Home / Romansa / Hatimu Bukan Sebongkah Batu / 9. Suka Memandangnya

Share

9. Suka Memandangnya

last update Last Updated: 2021-03-25 14:11:08

Dag dig dug di dada Mimi makin jadi memandang wajah tampan di depannya. Sebenarnya Allan masih lebih ganteng, tapi ada raut khas wajah Nehan yang membuat dia begitu menarik. 

"Sampai minggu depan. Aku sudah mikir kita bisa duet bareng, nih, di satu momen nanti." Nehan kembali tersenyum. 

Kata-kata itu membuat Mimi makin melambung. Duet? Sama di keren ini? Wajah Mimi memerah. 

"Ah, iya, Kak ...," ujar Mimi sambil tersenyum malu-malu, lalu dia berjalan keluar ruangan besar itu. 

“Dia cantik sekali.” Bram bicara sambal melihat Mimi yang berlari kecil meninggalkan ruangan itu.

“Mau, Bram?” ujar Nehan.

“Kalau masih jomblo, oke. Tapi aku sudah ada cewek, Bro, harus setia,” tukas Bram menoleh pada Nehan.

“Cie … setia …” Nehan menggeleng. Bram selama ini dikenal suka gonta ganti pacar.

“Udah, Guys, lanjut … masih panjang antrian.” Finda nyeletuk.

“Oke.” Dan terdengar nama yang lain dipanggil untuk maju memulai audisinya. 

Di luar ruangan, Mimi merasakan lebih lega. Perlahan degupan jantungnya melambat, bukan, kembali normal. 

Sambil terus berjalan menjauh dari aula itu, Mimi menyusuri hatinya. Dia merasa ada degupan aneh di dadanya saat dekat Nehan. Apa dia naksir kakak tingkatnya itu? Detak jantungnya begitu cepat, rasanya kikuk dan serba salah di dekatnya, tapi dia terkagum-kagum pada Nehan. 

"Namanya juga unik. Nehan. Apa artinya?" Pikiran Mimi masih dipenuhi Nehan. Mimi jadi ga sabar, kalau nanti mulai berlatih, pasti seru bertemu dengan Nehan lagi. 

Pikirannya dipenuhi Nehan. Dia sudah tingkat berapa, dari fakultas apa. Orangnya seperti apa. Mimi berjalan terus ke arah gerbang kampus.  Padahal harusnya dia ga perlu jalan jauh. Langsung pesan ojol bisa. Tapi karena melamun dia berjalan lumayan jauh. 

"Mimi!!" Itu suara Dayinta. Mimi menoleh. Dayinta berlari kecil mendekati Mimi. "Kamu udah kelar? Hasilnya?"

"Lolos! Minggu depan mulai latihan. Kamu gimana?" Mimi bertanya soal latihan karate Dayinta. 

"Lancar, ga ada masalah." Dayinta melangkah di sisi Mimi. 

“Bagus, deh,” tukas Mimi. “Langsung pulang, kan?”

“Iya, udah gerah banget. Aku udah pesan ojol, dikit lagi nyampai.” Dayinta memperhatikan ponselnya, mengecek driver sampai di mana.

“Eh, aku malah lupa belum pesan. Bentar.” Mimi berhenti. Dia segera buka aplikasi ojol dan memesan kendaraan.

“Tuh, driver-ku datang. Aku duluan, Mi. Sampai besok.” Dayinta melambai, berlari kecil ke arah driver yang ada sudah menunggu.

“Bye …” Mimi melambai pada Dayinta. 

Tiga menit berikut driver Mimi datang juga. Segera dia meluncur menuju rumah.

*****

Seperti biasa rumah itu sepi. Di dalam Allan sedang menyelesaikan gambarnya. Meski dengan emosi yang naik turun, akhirnya dia bisa selesai juga melukis kejadian kecelakaan Yashinta. Lukisan dengan background gelap itu terpampang di depannya. Allan memandanginya. Hatinya bergemuruh.

“Wanita gila! Kamu benar-benar tak punya hati! Allan dan aku bersahabat sudah lama. Bisa kamu mempermainkan aku dan Allan begini!? Lebih baik kamu mati!” Teriakan itu kembali muncul di kepala Allan.

Yudha, sahabatnya, kalap, setelah mengetahui Yashinta mempermainkan cintanya, sengaja menghancurkan persahabatannya dengan Allan.

“Hee … hee …” Tawa mengejek muncul di bibir seksi Yashinta. Terlihat dia senang dengan ledakan emosi Yudha.

“Ahh!!” Yudha menonjok dinding kelas yang sudah sepi.

“Yudha! Sudahlah … Kita pergi saja!” Allan cepat menarik Yudha dan mengajak temannya itu keluar kelas.

Yashinta masih tersenyum sinis dan merasa menang, memandang dua pria yang telah dia taklukkan.

Di luar kelas, Yudha menyentakkan lengannya yang dipegang Allan.

“Kamu bisa terima dihina dan direndahkan perempuan itu?!” Yudha menatap Allan tajam. 

“Aku marah dan sakit hati. Tapi ga harus kayak gini, Yudha. Kita sudah tahu semua sekarang. Aku ga mau musuhan lagi sama kamu.” Allan bicara tegas pada sahabatnya itu. 

Allan anak tunggal. Yudha, buat Allan seperti saudara. Hubungan mereka sangat dekat selama ini. Tapi gara-gara Yashinta, mereka sempat saling membenci dan bermusuhan.

“Aku mengira kamu menikungku, Lan. Sahabatku, yang kuanggap saudara, tiba-tiba bermain api di belakangku dengan cewek yang aku sayangi … Aku ga bisa dibuat gini, Lan!” Yudha benar-benar tidak bisa menerima perlakukan Yashinta.

Yudha memang cinta mati pada Yashinta. Semua yang Yashinta mau, dia dengan suka memberikannya. Uang, barang mahal, kewemahan, semuanya, hingga di ranjang sekalipun. Prinsip Yudha menjaga kemurnian hubungan sampai pernikahan akhirnya luntur karena alasan cinta pada gadis itu. Ternyata semua hanya palsu dan permainan Yashinta belaka.

Dan karena itu, Yudha benar-benar kalut. Kemarahan yang tak terkendali membuat Yudha nekad menabrak Yashinta, hingga gadis yang dia cintai itu tewas di tempat kejadian. Yudha menangis meraung-raung melihat Yashinta tewas. Antara puas membalas sakit hatinya, menyesal, dan juga perih, semua meledak di sana.

Allan mengusap wajahnya. “Uuffhhh …” 

Yudha berada di penjara. Allan belum pernah menengok sahabatnya itu. Entah bagaimana kabar Yudha, Allan tidak tahu lagi.

Tok tok tok!

Pintu ruangan itu diketuk. Allan menoleh ke pintu. Dia tahu Mimi yang ada di sana. Beberapa hari terakhir, Velia selalu pulang lebih malam, Mimi yang menyiapkan makan malam. Selesai dia masak, dia akan memanggil Allan makan, lalu dia masuk ke kamarnya.

Allan bangun dari kursinya, melangkah ke pintu. Dia buka pintu dan melihat Mimi berdiri di sana.

“Maaf, makan malam sudah siap, Kak. Silakan makan.” Lalu gadis itu melangkah menjauh.

Allan hanya menatap Mimi yang menuju kamarnya. Allan ke ruang makan. Masakan sederhana yang Mimi buat. Itupun dia lihat resep di G****e, tapi rasanya tidak buruk, meski tidak sangat enak. Allan duduk, menghadapi sup dengan ayam goreng dan kerupuk, plus sambal di piringnya.

“Thank you, Mi.” Allan bergumam. Lalu dia mulai makan. Tidak ingin makan, tidak merasa lapar. Hanya makan saja.

Selesai itu, Allan ke depan, ke kamarnya, yang ada di sebelah kamar Mimi. Hampir dia membuka pintu, ia mendengar Mimi bernyanyi. Diiringi dentingan dawai gitar yang Mimi mainkan.

“Never … never enough … Never never…” Pelan terdengar karena pintu kamar Mimi juga tertutup.

“Suara kamu bagus memang,” Allan menikmati suara manis dan merdu Mimi. Lumayan juga permainan gitarnya.

Allan masuk ke kamarnya, dia pergi mandi. Berlama-lama dia mengguyur badannya di bawah shower. Puas mandi, Allan berganti pakaian dengan kaos putih dan celana pendek coklat. Baru selesai, pintu kamarnya diketuk.

Allan yakin, Mimi yang ada di sana. Dia membuka pintu, seperti de javu, Mimi di sana berdiri memandang Allan.

“Aku sudah makan.” Allan memandang Mimi.

“Eh, aku … mau ke minimarket sebentar, Kak.” Mimi minta ijin keluar rumah.

“Oh … pergi aja,” sahut Allan datar.

“Makasih.” Mimi balik badan dan menuju keluar rumah.

Allan kembali memperhatikan Mimi hingga hilang dari pandangannya. Mimi cantik, baik, perhatian, dan cerdas. Allan suka memperhatikan Mimi diam-diam. Dia merasa nyaman mendengar suara gadis itu yang suka bernyanyi sambil mengerjakan sesuatu. Kadang dia bertingkah lucu seperti ABG, Allan suka senyum sendiri melihatnya. Ada rasa nyaman mengembang di hati Allan ketika dia mengingat gadis yang baru dewasa itu. 

“Mimi …,” ucap Allan lirih, dan dia masuk lagi ke dalam kamarnya.

Related chapters

  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   10. Nehan Mahadi

    Mimi makin sibuk tetapi makin bersemangat. Seminggu dua kali latihan paduan suara. Terasa hobinya tuntas tersalurkan di sana. Latihan vokal yang dia dapat mematangkan tekniknya dalam bernyanyi. Juga seru, dia makin punya banyak teman. Yang lebih asyik lagi, Kak Nehan Mahadi. Mimi bisa melihatnya membuat harinya makin cerah rasanya. Nehan ramah, supel, dan ngocol. Seru banget latihan bersamanya. Tidak disangka, waktu mereka dibagi dalam kelompok kecil, Nehan menjadi mentor kelompok Mimi. Sekarang, Mimi mulai kenal dekat siapa Nehan. Dia dari Fakultas Teknik, sudah mulai mengerjakan skripsi. Dia asli dari Jember, salah satu kota di Jawa Timur. Lahirnya 24 Mei. Mimi mencatat semua informasi tentang Nehan. Dan apapun yang ada hubungannya dengan pria itu menarik buat Mimi. Suaranya lagi kalau menyanyi, tenor abis. Bikin Mimi merinding saat dia menarik nada tinggi dan pakai falsetto. Teknik vokalnya benar-benar mantap dan matang. Misal dia pingin jadi penyanyi dan mendaftarkan diri ikut

    Last Updated : 2021-03-27
  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   11. Kejutan Puding Mimi

    Berkutat di dapur, Mimi akhirnya selesai juga membuat puding coklat buat Allan. Siang panas begini pasti cocok makan puding dingin dengan vla susu. Mimi tersenyum membayangkan Allan akan senang menerima kejutan Mimi. Siapa tahu pemuda tampan yang dingin itu akan menyisihkan kebekuannya dan melempar senyum pada Mimi. Mimi meletakkan puding di piring saji kecil yang manis. Dia akan tunggu sampai jam makan siang. Mimi tidak berani mengganggu Allan kecuali pada jam makan. "Ya, ini waktunya." Mimi melihat jam dinding di dapur. Dia berdiri akan memanggi Allan di ruang kerjanya. Baru empat langkah, Allan muncul. Dia rupanya sudah tahu ini saatnya makan siang. Kebiasaan Allan tidak begitu peduli dengan jam makan. "Eh, Kak ... Makanan siap." Mimi memandang Allan. Berharap mood cowok itu sedang bagus. "Oke." Allan melangkah mendekati meja. Dia membuka tudung saji dan melihat apa yang Mimi siapkan. Mimi menunggu reaksi Allan saat melihat puding di piring. Dia akan senang. "Ayo ... se

    Last Updated : 2021-03-28
  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   12. Kata Hati Allan

    Mimi menghentikan mulutnya mengunyah makanan. Dia memandang Allan dengan gelisah. Ingin sekali dia menangis, tapi dia malu dan takut. Mimi menunduk, kembali mengunyah makanannya dengan cepat. Dia merasa butiran bening sudah bertengger di ujung matanya. Allan maju dan duduk di kursi di depan Mimi. Jujur saja, Mimi ingin berlari meninggalkan Allan, lalu masuk ke kamarnya. Tapi dia harus bertahan, harus bisa menghadapi Allan. "Maafkan aku ..." Allan menatap Mimi yang menunduk, pura-pura sibuk dengan makanan yang sudah kosong di atas piring. Mimi mencedok sayur sekali, sedikit saja. Dia pura-pura ingin lanjut makan, padahal dia hanya tidak mau melihat Allan. "Aku ... Tidak seharusnya aku marah sama kamu. Kamu sudah menyiapkan makanan buat aku, dan ... aku ga menghargainya." Kali ini Allan bicara lembut. Suaranya yang seperti ini yang dulu selalu Mimi dengar kalau Allan bicara. Mimi tidak menjawab. Tidak tahu mau bicara apa. Kalau dia buka mulut, Mimi takut air matanya tumpah. "Ma

    Last Updated : 2021-03-29
  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   13. Makin Terpaut

    Mimi menatap Ricky. Menunggu temannya itu ingin mengatakan sesuatu. Wajah Ricky tampak serius, tapi malah terlihat lucu. Karena bagusnya ini cowok mewujudkan diri dengan tampang lucu dan menggemaskan. "Kamu beneran suka sama itu kakak keren dan ganteng?" Ricky lurus memandang pada mata Mimi. "Iya ... Gitu, deh ..." Mimi nyengir. "Sejauh ini, dia itu salah satu idola di fakultas dia. Secara dia anak orang tajir meski ga melintir. Tunggangan dia aja lumayan keren, kan? Dan dia ga suka main cewek. Baik sama semua tapi ga PHP." Ricky menceritakan soal Nehan. Mimi mengerutkan kening. Ini cowok tahu detil gitu, dapat info dari mana? "Kamu abis mata-matai Kak Nehan, ya?" Mimi mengacungkan telunjuknya di depan Ricky. "Nggak laa ... Ngapain? Emangnya dia mau selingkuh?" Ricky ikutan nyengir. Mimi terkikik. Lucunya Ricky akhirnya muncul lagi. Hati Mimi makin melambung. Pria yang dia sukai memang orang baik. Rasanya dia makin ingin dekat sama Nehan. Siapa yang tahu apa yang terjadi nanti.

    Last Updated : 2021-04-01
  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   14. Perjumpaan Tak Terduga

    “Aku berangkat dulu. Jangan sampai telat. Seminar kali ini penting banget.” Velia menarik kopernya. “Sini, aku bawakan.” Allan meminta koper Velia dan membawakan ke depan. Velia mengikuti sambil menenteng tasnya. Di halaman rumah mobil jemputan Velia sudah menunggu. Allan menaruh koper di bagasi, lalu melihat Velia yang sudah masuk ke dalam mobil. “Mama baik-baik.” “Tentu. Kamu juga, baik-baik sama Mimi. Mama cuma nginap semalam. Oke?” Velia tersenyum. Mobil berjalan keluar halaman, meninggalkan rumah itu. Allan balik badan dan melihat Mimi keluar rumah. Dia sudah siap akan pergi ke kampus. “Aku pergi, Kak,” pamit Mimi. “Kamu pulang sore?” Allan bertanya. “Nggak. Paling jam tiga sudah di rumah,” jawab Mimi. “Langsung pulang. Ga usah nunggu tumpangan.” Allan memandang Mimi. Mimi yang sedang merapatkan kancing tasnya mengangkat kepala melihat Allan. Apa maksud Allan berkata begitu? “Kamu baru kenal siapa kakak paduan suaramu itu. Jaga diri.” Pandangan Allan tajam pada Mimi. “

    Last Updated : 2021-04-01
  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   15. Sampai Kapan Kamu Menghindar? 

    Velia cepat berbalik badan. Lebih baik dia pergi dulu ke tempat lain saja, baru dia kembali ke kamar nanti. "Velia?!" Suara itu. Velia tidak mungkin lupa suara Ferdinand. Velia mempercepat langkahnya. Tapi Ferdinand juga melangkah lebih cepat. Dia telah ada di depan wanita itu, menghadang langkah Velia. "Benar. Ini kamu. Velia, akhirnya aku bisa bertemu dengan kamu." Ferdinand memandang Velia seperti tidak percaya. Wanita ini masih saja cantik meski lama mereka tak bertemu. "Maaf, aku harus pergi." Velia berbalik lagi segera melangkahkan kakinya. Dengan cepat Ferdinand menarik tangan Velia. "Vel, please." Velia berusaha melepaskan pegangan Ferdinad tapi tidak bisa. Velia terpaksa berhenti. "Sudah empat belas tahun, Vel. Kamu menghilang. Kamu bawa Allan dan aku tidak pernah tahu kamu di mana." Ferdinad langsung mengatakan apa yang terpendam di dalam hatinya selama ini. Tangan Ferdinand melepaskan pegangan dari Velia. "Kita sudah selesai. Aku dan Allan tidak ada urusan dengan kam

    Last Updated : 2021-04-04
  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   16. Paket Buat Allan

    Pria itu masih menatap foto di dinding. Foto Allan dan Velia, berdua, dengan senyuman lebar di bagian bibir mereka. Foto yang mengingatkan Mimi seperti apa Allan jika bebas tersenyum. "Itu Tante Velia dan Kak Allan. Yang punya rumah ini." Mimi menjawab dengan mata masih tertuju pada foto besar itu. "Mbaknya bukan yang punya rumah?" Bapak itu kembali bertanya. HP Mimi berdering. Dia lihat Nehan yang menghubungi dia. "Maaf, Pak, saya ada telpon." Mimi tidak menjawab pertanyaan bapak itu. "Iya, Mbak, ga apa-apa. Saya permisi saja. Terima kasih." Bapak itu meninggalkan rumah. Mimi mengikuti ke depan sementara dia juga menjawab telpon Nehan. "Sore, Kak. Gimana?" Mimi bicara di telpon. "Mi, aku ada undangan untuk menyanyi di pernikahan. Pengantin minta lagu khusus dan duet. Aku jadi teringat sama kamu. Bisa temani ga?" Nehan menjelaskan keperluan dia menelpon Mimi. Mimi tersenyum lebar. Duet dengan Nehan lagi? Dan ini full satu lagu, di sebuah pernikahan. Kok seru gini, ya? "Yesss .

    Last Updated : 2021-04-06
  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   17. Kemarahan Velia

    Mimi baru selesai menyiapkan makan malam, Velia masuk dari arah depan. Dia terlihat lelah dan letih. "Tan, aku buatkan lemon tea, mau?" Mimi menawari Velia. Velia tersenyum. Dia duduk dan melihat apa yang Mimi siapkan di meja. "Ya, kurasa lemon tea bagus untuk membuat fresh lagi." "Sebentar, ya, Tan." Mimi meletakkan mangkuk sambal di meja lalu berbalik membuatkan lemon tea untuk Velia. Velia memperhatikan Mimi. Dia tersenyum melihat gerak gerik Mimi. Sesekali masih tampak seperti gadis remaja. Menyenangkan melihat Mimi sibuk dengan apa yang ada di depannya. Mata Velia tertuju pada kotak di depan Mimi yang ada di sebelah kanan gadis itu. Seperti bingkisan cantik. Velia berdiri dan mendekat. "Ini dari mana?" Velia memegang kotak itu, membuka tutupnya. "Eh ... Oh, itu ..." Mimi bingung. Dia ingat pesan Allan agar mengaku kalau dia yang mendapat kotak berisi makanan kaleng itu. "Makanan kaleng?" Velia mencermati kaleng-kaleng makanan di dalam kardus itu. Mimi tidak menanggapi. Di

    Last Updated : 2021-04-08

Latest chapter

  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   120. Hari Itu

    Allan berdiri di altar menunggu Mimi akan masuk bersama Hendra. Hatinya berdetak makin kencang setiap melihat arloji di pergelangan tangannya, memastikan menit berjalan dan tidak lama lagi pengantinnya akan datang menemui dia. Velia duduk di kursi di deretan pertama. Ferdinand di sisinya. Momen yang tak pernah terpikir oleh Velia, mereka duduk bersama, menyaksikan putra mereka menikah. Kalaupun ada pikiran itu, Velia membuangnya jauh-jauh. Ferdinand suami orang lain. Dia singkirkan semua bayangan Ferdinand. Siapa yang tahu yang akan terjadi dalam hidup. Velia dan Ferdinand menjadi teman. Perlahan, Velia mampu mengubah sakit hati jadi pengalaman yang mendewasakannya. Cinta yang dalam pada Ferdinand, dia ubah menjadi rasa sayang pada seorang kakak. Lea duduk di belakang mereka bersama Astari, Devis, dan putra mereka yang lucu. Sayang, Andini tidak bisa datang pada acara pemberkatan. Dia mengatakan akan menyusul saat resepsi. "Mari hadirin sekalian, kita akan menyambut mempelai wanita

  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   119. Hari-hari Penuh Kejutan

    Hari-hari penuh kejutan seolah tiada habisnya. Itu yang Mimi rasakan. Kejutan baik dan menyenangkan, tetapi juga kejutan yang membuat hati rasa tidak karuan. Semua itu membuat up and down hari-hari yang dilalui. Megi, kejutan terakhir yang sempat membuat Mimi galau. Keinginannya untuk bersimpati membuka pintu lain yang tidak dia duga. Allan bertemu sahabat lamanya. Megi, yang Allan kenal dengan panggilan Rere. Setelah kunjungan ke rumah sakit hari itu, Allan terus berkomunikasi dengan Megi. Mimi tidak bisa melarang. Bagaimanapun mereka teman lama dan Megi sedang butuh bantuan. Allan juga selalu memberitahu Mimi apa saja yang Allan komunikasikan dengan temannya itu. Allan tidak ingin Mimi salah paham lalu hubungan mereka yang menjadi tidak baik. "Kamu yakin ga masalah Kak Allan dekat sama Megi?" Dayinta menimpali apa yang Mimi katakan padanya. "Aku harus larang? Hanya karena cemburu? Aku ga cemburu juga, sih. Hanya ada rasa ga nyaman saja." Mimi menelusuri hatinya. Dia harus percaya

  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   118. Ada Kenangan Di Antara Mereka

    Mimi, Allan, dan Velia mengantar Ferdinand, Lea, dan Astari, serta Bintang yang tampan ke bandara. Mereka akhirnya balik ke Bandung. Astari sudah cukup kuat. Begitu juga bayinya. Perusahaan juga sudah menunggu Astari kembali menata pekerjaan di sana. Melepaskan mereka pulang ternyata cukup mengharukan. Apalagi Mimi mulai terbiasa mendengar suara tangis bayi mungil itu. Mendengar Velia atau Lea menyanyi saat menggendong Bintang hingga bayi itu tidur dalam dekaoan mereka. Pasti akan lama bisa melihatnya lagi. Dari bandara, Allan meluncur menuju kantor Velia. Memang hari Sabtu, tetapi ada yang harus Velia kerjakan. Sedang Allan dan Mimi, meneruskan perjalanan kemudian ke rumah sakit. Mimi terus memikirkan Megi. Sejak tahu wanita itu kecelakaan, dia merasa iba dan ingin tahu seperti apa kondisinya. "Kamu mau menjenguk Megi? Dia yang selama ini bersikap mengesalkan sama kamu? Yakin?" Itu yang Allan katakan waktu mendengar permintaan Mimi. Mimi dengan mantap mengatakan memang ingin menje

  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   117. Kata Orang Senjata Makan Tuan

    Hati Mimi berdetak kencang. Pesan yang dia terima dari Megi membuat semua kegembiraannya seketika lenyap. Megi dipecat. Tentu saja dia sangat marah. Dia punya posisi dengan prospek bagus di kantor, sebagai asisten bagian pemasaran. Kalau sampai tiba-tiba itu lepas, dia harus mulai di tempat lain, tentu tidak mudah. Yang menjadi masalah adalah Mimi yang Megi anggap sebagai biang keladi! Sangat tidak masuk akal. Mimi ada di bagian lain di kantor itu. Dengan Megi juga jarang berurusan. Bagaimana bisa Mimi yang bersalah kalau Megi dipecat? Mimi berpikir, apa yang terjadi? Di mana letak kesalahannya? Dia bicara apa dengan Pak Guntur? Mimi tidak mengerti. Sepanjang malam Mimi jadi tidak tenang. Beberapa kali dia terbangun karena mimpi buruk. "Ah, Mi, kenapa kamu jadi takut kayak gini. Megi uda ga akan balik kantor. Tenang saja." Mimi menenangkan dirinya sendiri. Dia tegaskan kalau Megi hanya mengancam, karena dia kesal. Bisa jadi dia begitu kepada orang lain juga, bukan hanya Mimi. Mimi

  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   116. Janji Hati

    Tangan Allan terulur, meraih jemari Mimi dan menyematkan cincin mungil di jari manis tangan kiri gadis berbalut gaun warna salem itu. Cantik, sangat pas buat dirinya. Mimi terlihat lebih dewasa tapi tidak terkesan lebih tua dari umurnya. Dengan senyum manis, sementara jantung yang terus meletup, Mimi ganti memasangkan cincin di jari manis tangan kiri Allan. Jarinya kuat, besar, dan panjang. Tangan Mimi terlihat begitu mungil berpegangan pada tangan Allan. Tepuk tangan terdengar dari keluarga yang hadir. Senyum menghiasi wajah orang tua Mimi, Viviana dan Hendra. Velia dan Ferdinand, kali ini duduk berdampingan. Ini hari istimewa Allan. Putra mereka resmi bertunangan dengan Mimi. Ferdinand tidak mengira, dia bisa hadir dan menyaksikan hari berharga ini. "Selamat ya ... makin sayang satu sama lain. Biar angin ribut menderu, tetap kokoh cintanya!" Melisa, kakak Mimi nyeletuk, membuat yang lain tertawa, sementara Mimi makin tersipu. Doa dinaikkan untuk keduanya. Agar dengan memasuki hub

  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   115. Tangis yang Membawa Kegembiraan

    Suara tangis bayi kembali terdengar, tapi kemudian hilang. Andini berdiri dan mendekat ke ruang bersalin. Dia yakin itu bayi Astari yang sudah lahir. Tangis yang membawa kebahagiaan. Sebuah kehidupan baru yang hadir. Mengubah banyak hal dalam kehidupan sebuah keluarga. "Suaranya kencang sekali. Pasti dia anak laki-laki yang kuat." Andini tersenyum. Hatinya campur aduk dengan kejadian tiba-tiba ini. Senang, tapi masih sedikit cemas. Apakah Astari baik-baik saja? Bayinya juga, apakah benar-benar sehat? Allan memandang Andini yang masih gelisah, tetapi senyum Andini belum hilang dari bibirnya. "Sudah tahu nama anaknya Kak Tari?" Allan bertanya. Andini kembali mendekati Allan, duduk di tempatnya semula. "Ya. Kak Tari pernah bilang, Bintang. Baru itu yang aku tahu, belum tahu lengkapnya. Aku ga sabar mau lihat dia." Pintu ruangan itu terbuka. Velia keluar dari sana. Allan dan Andini memandang Velia yang berjalan ke arah mereka. "Tan, gimana?" Andini menatap Velia. Velia tersenyum. "T

  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   114. Semua Mungkin Saja Terjadi

    Allan kembali ke ruangan. Andini dan Yudha tampak tersenyum satu sama lain. Allan mencoba mencermati wajah mereka. Tampak biasa saja. Tidak ada yang aneh. Allan juga mendengar pembicaraan mereka bukan tentang sesuatu yang khusus di antara mereka. Tidak lama kemudian, Allan dan Andini pamitan, meninggalkan Yudha. Dalam perjalanan pulang, ingin sekali Allan bertanya, tapi dia merasa tidak nyaman. Bagaimanapun, Andini pernah ada rasa padanya. Dia mengenal Andini sebagai kakak belum begitu lama. Kikuk dan canggung bertanya hal-hal semacam itu. Allan mengantar Andini ke hotel lalu dia kembali pulang. Baru selesai mandi, dering ponsel terdengar keras. Cepat-cepat dia menerima panggilan itu. Yudha yang menghubunginya. Dengan semangat Yudha menceritakan apa yang terjadi pada pertemuan terakhirnya dengan Andini. Gadis itu menerima Yudha. Mata Allan melebar, dadanya berdegup kencang. Kenapa dia yang merasa tidak karuan padahal Yudha yang mendapat jawaban cinta? "Yudha, serius? Ini beneran?" A

  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   113. Menjawab Teka-Teki

    Mimi memperhatikan dua design yang ada di tangannya. Keduanya sangat manis dan Mimi suka. Allan ternyata punya selera bagus juga dalam mode. Mimi memilih gaun dengan model slim di badan, lengan sampai di siku, dari pinggang higga selutut melebar. Allan tersenyum saat Mimi menunjuk design yang dia pilih. Benar-benar mewakili karakter Mimi. Imut, ceria, tetapi juga cerdas. Allan makin tidak sabar segera melihat Mimi memakainya. Dan itu di hari istimewa mereka. Allan sudah menyiapkan hari dia akan datang menemui orang tua Mimi di Surabaya, menggelar pertunangan di sana. "Kak, makasih banget. Aku ga mikir apapun soal pertunangan. Tapi Kak Allan, astaga, aku benar-benar terkejut," ujar Mimi sambil tersenyum senang. Mata cerah Mimi membuat Allan ikut tersenyum lebar. Keluar dari butik itu, Allan langsung membawa Mimi pulang ke salah satu hotel tak jauh dari situ. Kejutan apa lagi yang Allan siapkan? Mimi merasa sore itu Allan bertingkah begitu berbeda. "Kak Astari dan Kak Andin datang. B

  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   112. Kenyataan Mulai Terbuka

    Seketika Mimi mengangkat wajahnya mendengar pertanyaan Guntur. Dia menggigit bibirnya dan memandang sedikit takut pada pimpinannya itu. "Katakan saja yang kamu tahu. Aku tahu kamu gadis yang jujur. Aku juga berharap kamu gadis yang berani." Tatapan Guntur tertuju pada Mimi. Makin berdesir hati Mimi. Seperti yang Guntur pikirkan, memang ada masalah dengan pelaporan itu. Mimi merasa makin sulit situasinya. Ini akan menjadi kesempatan dia jadi pahlawan atau di sisi lain, dia akan menjadi musuh beberapa orang di kantor itu. Yang pasti, Mimi tidak mungkin tidak mengatakan yang dia temukan. Jika dia mengatakan yang berbeda karena ingin aman, bisa jadi dia dinilai sebagai pegawai yang buruk. "Mimi, waktu kita tidak banyak." Guntur menegaskan karena Mimi tidak segera menjawab. "Saya minta maaf, Pak, ini ..." Mimi mendekat dan menunjukkan yang dia lihat pada laporan itu. Dag dig di dadanya bukan makin surut. Dalam hati Mimi terus berdoa hari ini menjadi hari baik buatnya. Kalaupun yang ter

DMCA.com Protection Status