Mimi tersentak. Pintu kamar Allan terbuka. Allan di balik pintu menatap pada Mimi.
"Ngapain di sini?" Allan berkata dengan ketus. Mata galak muncul lagi dari dua bola mata hitam dan tegas itu.
"Eh ... Ini ..." Mimi langsung gugup. Dia sampai bingung, mau bilang terima kasih, kata-kata itu seperti jauh sekali dari bibirnya.
"Apa itu?" Allan melihat piring yang Mimi bawa. Harum masuk ke hidung Allan dan terbayang rasanya yang lezat.
"Pancake. Buat Kak Allan ... ini ..." Mimi menyodorkan piring ke depan Allan.
Melihat tatapan tajam Allan, Mimi makin ciut. "Cuma mau bilang terima kasih ... Eh, kalau ga suka ... Ga apa ..."
Mimi menarik lagi tangannya. Dengan jantung berdetak tak beraturan, Mimi balik badan melangkah kembali menuju ke dapur.
"Hei!" panggil Allan.
Mimi seketika menghentikan langkahnya. Perlahan dia memutar tubuhnya. Allan berjalan ke arahnya.
"Thank you." Allan mengambil piring di tangan Mimi. Dia membawa piring itu ke ruang belakang, ke tempat kerjanya.
Mimi hanya menatap Allan. Bingung. Sesulit itu mendekati Allan. Dia tidak tahu ini pertanda baik atau bagaimana. Mimi mengekori Allan dengan pandangan hingga Allan tidak terlihat lagi.
Dengan lesu, Mimi melangkah balik ke dapur. Dia duduk di sana, mengambil sepotong pancake dan menaruhnya di piring kecil. Dia taburi parutan keju dan dia tuang sedikit susu coklat di atasnya.
Mimi menggigit pancake itu. Lezat, lumayan, buat cewek yang tidak tahu memasak seperti dirinya. Mudah-mudahan Allan juga menganggap ini enak.
"Makasih, Mi. Ini lezat. Ternyata kamu pintar juga bikin kue. Besok bikin lagi, ya?" Mimi bicara sendiri.
Dia membayangkan ngobrol dengan Allan. Lalu Mimi menggeleng keras, merasa konyol. Itu cuma khayalannya. Ajaib kalau bisa duduk dan ngobrol dengan cowok kayak bati itu.
"Gini ya, ceritanya jadi orang kesepian. Biasanya di rumah ramai terus. Di sini? Aku mesti baik-baik atau si makhluk antik itu ngamuk. Hee ... hee ..." Mimi tertawa sendiri.
Mimi menghabiskan pancake-nya. Lalu dia memberikan piring yang dia pakai. Baru dia melangkah ke kamarnya. Semua pekerjaan selesai, dia akan mandi lalu belajar.
Sambil belajar, Mimi mendengarkan musik. Lagu-lagu kesukaannya mengalun manis. Lagu tentang cinta yang sedikit slow dan membuat suasana hati teduh.
*****
Allan yang ada di ruang kerjanya duduk meneruskan membaca buku yang masih belum tuntas dia baca. Dia melihat pada piring berisi pancake di meja sebelahnya. Tidak begitu bagus tampilannya. Jelas Mimi tidak pintar memasak. Tapi dia berusaha.
Allan tersenyum kecil membayangkan kejadian tadi di taman belakang. Mimi benar-benar nekad. Kalau Allan tidak datang, entah dia jatuh terjungkal seperti apa. Bisa jadi dia terluka cukup parah.
Allan menarik ujung bibirnya. Merasa lucu mengingat kejadian tadi saat Mimi terjatuh dari tangga. Lalu ekspresi takut yang Mimi tunjukkan saat menyodorkan pancake di depan Allan.
Allan memungut sepotong pancake. Dia gigit sedikit, dia rasakan.
"Lumayan. Enak juga." Allan bergumam. Sambil kembali membaca tidak terasa tiga potong pancake itu habis juga.
Allan merasa haus. Dia keluar ruangannya dengan piring sudah kosong. Allan ke dapur, mencuci piringnya lalu minum segelas air.
"Ke mana gadis itu?" bisik Allan dalam hati. Allan menuju ke depan, ke kamar Mimi. Mendekati kamar itu, terdengar sayup-sayup suara Mimi bernyanyi mengikuti lagu yang dia putar.
"Suaranya oke juga." Kembali Allan bergumam.
Allan bermaksud kembali ke ruang kerjanya. Melintasi ruang tengah, Allan melihat jam di dinding. Hampir jam dua belas siang. Sebentar lagi jam makan siang. Allan kembali ke dapur. Dia lihat di meja makan hanya ada dua potong telur dadar sisa untuk sarapan.
Lebih baik dia masak saja untuk makan siang. Allan membuka kulkas. Dia melihat ada ayam di sana. Allan berpikir akan memasak menu apa yang praktis tapi lumayan enak. Dapat, ayam kecap.
Segera dia mulai sibuk dengan ayam dan bahan serta bumbu yang dia perlukan. Hampir dua puluh menit berlalu, Mimi muncul.
Bau harum dari dapur membuat Mimi keluar kamar. Dia kira Velia sudah datang dan memasak untuk makan siang. Ternyata Allan.
"Kak Allan ..." Mimi memanggil. Pelan, tapi masih tertangkap telinga Allan.
Allan menoleh, melihat Mimi. "Bentar selesai. Kamu lapar?" Suara Allan masih kaku dan datar, tapi tidak galak.
"Kukira Tante ... Kakak bisa masak?" Mimi maju tiga langkah, mendekati Allan. Masih sedikit takut, tapi dia berusaha tetap tenang.
"Aneh lihat cowok masak?" ujar Allan.
"Nggak, sih ... Cuma ... Ga nyangka." Mimi memandangi Allan yang dengan lincah memasukkan bumbu lalu mengaduk isi penggorengan.
"Oke. Sudah siap. Kamu mau makan?" Allan bertanya lagi. Sekarang dia melihat pada Mimi.
"Ah ... Nanti saja. Kakak duluan." Mimi merasa canggung makan berdua Allan. Selama ini belum pernah terjadi Allan makan bersama. Akan aneh rasanya. Meski Mimi berharap Allan jadi normal lagi, ternyata hanya berdua begini rasanya kikuk.
"Terserah ..." ucap Allan. Dia memindah ayam kecap di wajan ke piring saji.
Mimi balik badan, mau ke depan lagi, tepat saat itu Velia masuk rumah, berjalan menuju ke tempat Mimi.
"Hai, harum sekali!" Velia tersenyum lebar. "Kamu masak, Mi?"
"Aku ga pintar masak, Tan. Kak Allan ..."
"Allan?" Velia cukup kaget. Dia mempercepat langkah masuk ke dapur. Ini kemajuan. Allan tidak pernah lagi mau repot soal makanan. Tidak jarang Allan juga malas makan kalau mood-nya lagi berantakan.
"Lan?!" Velia mendekati Allan. Mimi memperhatikan ibu dan anak itu.
"Mama sudah pulang?" Allan melihat mamanya.
"Hm, Mama lama ga menikmati masakan kamu. Pasti lezat. Makan sama-sama, ya?" Velia memandang Allan sambil tersenyum lebar.
"Ya," jawab Allan pendek.
Senyum Velia kembali mengembang.Velia berdoa dalam hatinya. Rasa syukur mulai meluap. Apa yang dia lihat hari ini, membuat Velia yakin masih ada harapan Allan akan kembali seperti dulu.
"Mi, sini. Kita makan sama-sama." Velia menoleh pada Mimi yang dari tadi belum bergerak.
"Iya, Tan. Aku bantu menyiapkan meja." Mimi mendekati Velia dan membantunya menyiapkan piring dan gelas.
Makan bersama. Mimi mencatat hari ini di jurnal hariannya. Hari penuh kejutan. Allan menolongnya tiba-tiba. Dia memasak buat makan siang dan mau makan bersama.
*****
"Ga nyangka, Day. Kak Allan bisa masak juga. Enak lagi masakannya. Aku aja cewek ga tahu tuh, ayam kecap bisa selezat itu dikasih bumbu apa." Mimi bertelepon dengan Dayinta.
Mimi memang suka cerita apa saja pada sahabat barunya itu. Dan Dayinta pendengar yang baik. Dia bisa menampung semua yang Mimi katakan. Dia menyikapi dengan baik. Tidak menilai buruk atau bagus. Sebaliknya dia akui bagus atau tidak jika memang harus diakui.
"Bagus, dong! Kamu bisa memberi perubahan pada makhluk antik!" Dayinta tersenyum lebar. Panggilan Mimi buat Allan, makhluk antik.
"Ih, mana ada. Itu lagi mood dia bagus. Coba nggak, aku bisa kena semprot," tukas Mimi.
"Hee ... hee ..." Dayinta terkekeh.
"Kamu ini, bukan bersimpati malah ditertawakan," gerutu Mimi.
"Ga usah ngambek, cantikmu berkurang." Dayinta menggoda Mimi.
"Hee ... hee ..." Mimi ikut tertawa.
"Mi, berarti kamu bisa mendekati Kak Allan itu lewat masakan. Kamu coba buatin apa gitu, siapa tahu makin baik dia nanti," kata Dayinta.
"Apa iya?" ujar Mimi. Dia memikirkan yang Dayinta katakan.
"Dia punya makanan kesukaan apa? Buatkan. Pasti makin seneng, tuh ..." lanjut Dayinta.
"Makanan kesukaan?! Aku tahu!" Mimi menjawab cepat. Dia ingat sesuatu tentang Allan.
Dayinta melambai pada Mimi yang berdiri di depan pintu kelas. Mimi tersenyum melihat sahabatnya, lalu berjelan mendekati Dayinta dan duduk di sisi cewek bertubuh bongsor itu. "Gimana? Berhasil?" sambut Dayinta. "Apanya yang berhasil?" Mimi mengeluarkan laptop dan membukanya, menyiapkan alat itu untuk kelas yang akan segera dimulai beberapa menit lagi. "Misi makanan kesukaan?" Dayinta memandang Mimi. Mimi menoleh pada Dayinta. "Belum, Day. Harus cari momen yang pas. Ga bisa asal. Kalau Kak Allan lagi bete, bukan dia mau makan, dia semprot aku, berabe urusan." Dayinta menanyakan rencana Mimi mau membuat makanan kesukaan Allan. "Ih, kayak mau nembak cowok aja pakai momen yang pas, biar spesial, tak terlupakan sepanjang hidup." Dayinta terkekeh. "Iya juga, ya ..." Mimi mengerutkan kening, menyatukan alisnya. "Emang ganteng ya, Kak Allan itu?" Dayinta jadi penasaran. "Ganteng. Jadi model atau artis juga cocok tampangnya. Tapi gitu, deh, mengerikan. Makhluk antik." Mimi men
Dag dig dug di dada Mimi makin jadi memandang wajah tampan di depannya. Sebenarnya Allan masih lebih ganteng, tapi ada raut khas wajah Nehan yang membuat dia begitu menarik. "Sampai minggu depan. Aku sudah mikir kita bisa duet bareng, nih, di satu momen nanti." Nehan kembali tersenyum. Kata-kata itu membuat Mimi makin melambung. Duet? Sama di keren ini? Wajah Mimi memerah. "Ah, iya, Kak ...," ujar Mimi sambil tersenyum malu-malu, lalu dia berjalan keluar ruangan besar itu. “Dia cantik sekali.” Bram bicara sambal melihat Mimi yang berlari kecil meninggalkan ruangan itu. “Mau, Bram?” ujar Nehan. “Kalau masih jomblo, oke. Tapi aku sudah ada cewek, Bro, harus setia,” tukas Bram menoleh pada Nehan. “Cie … setia …” Nehan menggeleng. Bram selama ini dikenal suka gonta ganti pacar. “Udah, Guys, lanjut … masih panjang antrian.” Finda nyeletuk. “Oke.” Dan terdengar nama yang lain dipanggil untuk maju memulai audisinya. Di luar ruangan, Mimi merasakan lebih lega. Perlahan degupan j
Mimi makin sibuk tetapi makin bersemangat. Seminggu dua kali latihan paduan suara. Terasa hobinya tuntas tersalurkan di sana. Latihan vokal yang dia dapat mematangkan tekniknya dalam bernyanyi. Juga seru, dia makin punya banyak teman. Yang lebih asyik lagi, Kak Nehan Mahadi. Mimi bisa melihatnya membuat harinya makin cerah rasanya. Nehan ramah, supel, dan ngocol. Seru banget latihan bersamanya. Tidak disangka, waktu mereka dibagi dalam kelompok kecil, Nehan menjadi mentor kelompok Mimi. Sekarang, Mimi mulai kenal dekat siapa Nehan. Dia dari Fakultas Teknik, sudah mulai mengerjakan skripsi. Dia asli dari Jember, salah satu kota di Jawa Timur. Lahirnya 24 Mei. Mimi mencatat semua informasi tentang Nehan. Dan apapun yang ada hubungannya dengan pria itu menarik buat Mimi. Suaranya lagi kalau menyanyi, tenor abis. Bikin Mimi merinding saat dia menarik nada tinggi dan pakai falsetto. Teknik vokalnya benar-benar mantap dan matang. Misal dia pingin jadi penyanyi dan mendaftarkan diri ikut
Berkutat di dapur, Mimi akhirnya selesai juga membuat puding coklat buat Allan. Siang panas begini pasti cocok makan puding dingin dengan vla susu. Mimi tersenyum membayangkan Allan akan senang menerima kejutan Mimi. Siapa tahu pemuda tampan yang dingin itu akan menyisihkan kebekuannya dan melempar senyum pada Mimi. Mimi meletakkan puding di piring saji kecil yang manis. Dia akan tunggu sampai jam makan siang. Mimi tidak berani mengganggu Allan kecuali pada jam makan. "Ya, ini waktunya." Mimi melihat jam dinding di dapur. Dia berdiri akan memanggi Allan di ruang kerjanya. Baru empat langkah, Allan muncul. Dia rupanya sudah tahu ini saatnya makan siang. Kebiasaan Allan tidak begitu peduli dengan jam makan. "Eh, Kak ... Makanan siap." Mimi memandang Allan. Berharap mood cowok itu sedang bagus. "Oke." Allan melangkah mendekati meja. Dia membuka tudung saji dan melihat apa yang Mimi siapkan. Mimi menunggu reaksi Allan saat melihat puding di piring. Dia akan senang. "Ayo ... se
Mimi menghentikan mulutnya mengunyah makanan. Dia memandang Allan dengan gelisah. Ingin sekali dia menangis, tapi dia malu dan takut. Mimi menunduk, kembali mengunyah makanannya dengan cepat. Dia merasa butiran bening sudah bertengger di ujung matanya. Allan maju dan duduk di kursi di depan Mimi. Jujur saja, Mimi ingin berlari meninggalkan Allan, lalu masuk ke kamarnya. Tapi dia harus bertahan, harus bisa menghadapi Allan. "Maafkan aku ..." Allan menatap Mimi yang menunduk, pura-pura sibuk dengan makanan yang sudah kosong di atas piring. Mimi mencedok sayur sekali, sedikit saja. Dia pura-pura ingin lanjut makan, padahal dia hanya tidak mau melihat Allan. "Aku ... Tidak seharusnya aku marah sama kamu. Kamu sudah menyiapkan makanan buat aku, dan ... aku ga menghargainya." Kali ini Allan bicara lembut. Suaranya yang seperti ini yang dulu selalu Mimi dengar kalau Allan bicara. Mimi tidak menjawab. Tidak tahu mau bicara apa. Kalau dia buka mulut, Mimi takut air matanya tumpah. "Ma
Mimi menatap Ricky. Menunggu temannya itu ingin mengatakan sesuatu. Wajah Ricky tampak serius, tapi malah terlihat lucu. Karena bagusnya ini cowok mewujudkan diri dengan tampang lucu dan menggemaskan. "Kamu beneran suka sama itu kakak keren dan ganteng?" Ricky lurus memandang pada mata Mimi. "Iya ... Gitu, deh ..." Mimi nyengir. "Sejauh ini, dia itu salah satu idola di fakultas dia. Secara dia anak orang tajir meski ga melintir. Tunggangan dia aja lumayan keren, kan? Dan dia ga suka main cewek. Baik sama semua tapi ga PHP." Ricky menceritakan soal Nehan. Mimi mengerutkan kening. Ini cowok tahu detil gitu, dapat info dari mana? "Kamu abis mata-matai Kak Nehan, ya?" Mimi mengacungkan telunjuknya di depan Ricky. "Nggak laa ... Ngapain? Emangnya dia mau selingkuh?" Ricky ikutan nyengir. Mimi terkikik. Lucunya Ricky akhirnya muncul lagi. Hati Mimi makin melambung. Pria yang dia sukai memang orang baik. Rasanya dia makin ingin dekat sama Nehan. Siapa yang tahu apa yang terjadi nanti.
“Aku berangkat dulu. Jangan sampai telat. Seminar kali ini penting banget.” Velia menarik kopernya. “Sini, aku bawakan.” Allan meminta koper Velia dan membawakan ke depan. Velia mengikuti sambil menenteng tasnya. Di halaman rumah mobil jemputan Velia sudah menunggu. Allan menaruh koper di bagasi, lalu melihat Velia yang sudah masuk ke dalam mobil. “Mama baik-baik.” “Tentu. Kamu juga, baik-baik sama Mimi. Mama cuma nginap semalam. Oke?” Velia tersenyum. Mobil berjalan keluar halaman, meninggalkan rumah itu. Allan balik badan dan melihat Mimi keluar rumah. Dia sudah siap akan pergi ke kampus. “Aku pergi, Kak,” pamit Mimi. “Kamu pulang sore?” Allan bertanya. “Nggak. Paling jam tiga sudah di rumah,” jawab Mimi. “Langsung pulang. Ga usah nunggu tumpangan.” Allan memandang Mimi. Mimi yang sedang merapatkan kancing tasnya mengangkat kepala melihat Allan. Apa maksud Allan berkata begitu? “Kamu baru kenal siapa kakak paduan suaramu itu. Jaga diri.” Pandangan Allan tajam pada Mimi. “
Velia cepat berbalik badan. Lebih baik dia pergi dulu ke tempat lain saja, baru dia kembali ke kamar nanti. "Velia?!" Suara itu. Velia tidak mungkin lupa suara Ferdinand. Velia mempercepat langkahnya. Tapi Ferdinand juga melangkah lebih cepat. Dia telah ada di depan wanita itu, menghadang langkah Velia. "Benar. Ini kamu. Velia, akhirnya aku bisa bertemu dengan kamu." Ferdinand memandang Velia seperti tidak percaya. Wanita ini masih saja cantik meski lama mereka tak bertemu. "Maaf, aku harus pergi." Velia berbalik lagi segera melangkahkan kakinya. Dengan cepat Ferdinand menarik tangan Velia. "Vel, please." Velia berusaha melepaskan pegangan Ferdinad tapi tidak bisa. Velia terpaksa berhenti. "Sudah empat belas tahun, Vel. Kamu menghilang. Kamu bawa Allan dan aku tidak pernah tahu kamu di mana." Ferdinad langsung mengatakan apa yang terpendam di dalam hatinya selama ini. Tangan Ferdinand melepaskan pegangan dari Velia. "Kita sudah selesai. Aku dan Allan tidak ada urusan dengan kam
Allan berdiri di altar menunggu Mimi akan masuk bersama Hendra. Hatinya berdetak makin kencang setiap melihat arloji di pergelangan tangannya, memastikan menit berjalan dan tidak lama lagi pengantinnya akan datang menemui dia. Velia duduk di kursi di deretan pertama. Ferdinand di sisinya. Momen yang tak pernah terpikir oleh Velia, mereka duduk bersama, menyaksikan putra mereka menikah. Kalaupun ada pikiran itu, Velia membuangnya jauh-jauh. Ferdinand suami orang lain. Dia singkirkan semua bayangan Ferdinand. Siapa yang tahu yang akan terjadi dalam hidup. Velia dan Ferdinand menjadi teman. Perlahan, Velia mampu mengubah sakit hati jadi pengalaman yang mendewasakannya. Cinta yang dalam pada Ferdinand, dia ubah menjadi rasa sayang pada seorang kakak. Lea duduk di belakang mereka bersama Astari, Devis, dan putra mereka yang lucu. Sayang, Andini tidak bisa datang pada acara pemberkatan. Dia mengatakan akan menyusul saat resepsi. "Mari hadirin sekalian, kita akan menyambut mempelai wanita
Hari-hari penuh kejutan seolah tiada habisnya. Itu yang Mimi rasakan. Kejutan baik dan menyenangkan, tetapi juga kejutan yang membuat hati rasa tidak karuan. Semua itu membuat up and down hari-hari yang dilalui. Megi, kejutan terakhir yang sempat membuat Mimi galau. Keinginannya untuk bersimpati membuka pintu lain yang tidak dia duga. Allan bertemu sahabat lamanya. Megi, yang Allan kenal dengan panggilan Rere. Setelah kunjungan ke rumah sakit hari itu, Allan terus berkomunikasi dengan Megi. Mimi tidak bisa melarang. Bagaimanapun mereka teman lama dan Megi sedang butuh bantuan. Allan juga selalu memberitahu Mimi apa saja yang Allan komunikasikan dengan temannya itu. Allan tidak ingin Mimi salah paham lalu hubungan mereka yang menjadi tidak baik. "Kamu yakin ga masalah Kak Allan dekat sama Megi?" Dayinta menimpali apa yang Mimi katakan padanya. "Aku harus larang? Hanya karena cemburu? Aku ga cemburu juga, sih. Hanya ada rasa ga nyaman saja." Mimi menelusuri hatinya. Dia harus percaya
Mimi, Allan, dan Velia mengantar Ferdinand, Lea, dan Astari, serta Bintang yang tampan ke bandara. Mereka akhirnya balik ke Bandung. Astari sudah cukup kuat. Begitu juga bayinya. Perusahaan juga sudah menunggu Astari kembali menata pekerjaan di sana. Melepaskan mereka pulang ternyata cukup mengharukan. Apalagi Mimi mulai terbiasa mendengar suara tangis bayi mungil itu. Mendengar Velia atau Lea menyanyi saat menggendong Bintang hingga bayi itu tidur dalam dekaoan mereka. Pasti akan lama bisa melihatnya lagi. Dari bandara, Allan meluncur menuju kantor Velia. Memang hari Sabtu, tetapi ada yang harus Velia kerjakan. Sedang Allan dan Mimi, meneruskan perjalanan kemudian ke rumah sakit. Mimi terus memikirkan Megi. Sejak tahu wanita itu kecelakaan, dia merasa iba dan ingin tahu seperti apa kondisinya. "Kamu mau menjenguk Megi? Dia yang selama ini bersikap mengesalkan sama kamu? Yakin?" Itu yang Allan katakan waktu mendengar permintaan Mimi. Mimi dengan mantap mengatakan memang ingin menje
Hati Mimi berdetak kencang. Pesan yang dia terima dari Megi membuat semua kegembiraannya seketika lenyap. Megi dipecat. Tentu saja dia sangat marah. Dia punya posisi dengan prospek bagus di kantor, sebagai asisten bagian pemasaran. Kalau sampai tiba-tiba itu lepas, dia harus mulai di tempat lain, tentu tidak mudah. Yang menjadi masalah adalah Mimi yang Megi anggap sebagai biang keladi! Sangat tidak masuk akal. Mimi ada di bagian lain di kantor itu. Dengan Megi juga jarang berurusan. Bagaimana bisa Mimi yang bersalah kalau Megi dipecat? Mimi berpikir, apa yang terjadi? Di mana letak kesalahannya? Dia bicara apa dengan Pak Guntur? Mimi tidak mengerti. Sepanjang malam Mimi jadi tidak tenang. Beberapa kali dia terbangun karena mimpi buruk. "Ah, Mi, kenapa kamu jadi takut kayak gini. Megi uda ga akan balik kantor. Tenang saja." Mimi menenangkan dirinya sendiri. Dia tegaskan kalau Megi hanya mengancam, karena dia kesal. Bisa jadi dia begitu kepada orang lain juga, bukan hanya Mimi. Mimi
Tangan Allan terulur, meraih jemari Mimi dan menyematkan cincin mungil di jari manis tangan kiri gadis berbalut gaun warna salem itu. Cantik, sangat pas buat dirinya. Mimi terlihat lebih dewasa tapi tidak terkesan lebih tua dari umurnya. Dengan senyum manis, sementara jantung yang terus meletup, Mimi ganti memasangkan cincin di jari manis tangan kiri Allan. Jarinya kuat, besar, dan panjang. Tangan Mimi terlihat begitu mungil berpegangan pada tangan Allan. Tepuk tangan terdengar dari keluarga yang hadir. Senyum menghiasi wajah orang tua Mimi, Viviana dan Hendra. Velia dan Ferdinand, kali ini duduk berdampingan. Ini hari istimewa Allan. Putra mereka resmi bertunangan dengan Mimi. Ferdinand tidak mengira, dia bisa hadir dan menyaksikan hari berharga ini. "Selamat ya ... makin sayang satu sama lain. Biar angin ribut menderu, tetap kokoh cintanya!" Melisa, kakak Mimi nyeletuk, membuat yang lain tertawa, sementara Mimi makin tersipu. Doa dinaikkan untuk keduanya. Agar dengan memasuki hub
Suara tangis bayi kembali terdengar, tapi kemudian hilang. Andini berdiri dan mendekat ke ruang bersalin. Dia yakin itu bayi Astari yang sudah lahir. Tangis yang membawa kebahagiaan. Sebuah kehidupan baru yang hadir. Mengubah banyak hal dalam kehidupan sebuah keluarga. "Suaranya kencang sekali. Pasti dia anak laki-laki yang kuat." Andini tersenyum. Hatinya campur aduk dengan kejadian tiba-tiba ini. Senang, tapi masih sedikit cemas. Apakah Astari baik-baik saja? Bayinya juga, apakah benar-benar sehat? Allan memandang Andini yang masih gelisah, tetapi senyum Andini belum hilang dari bibirnya. "Sudah tahu nama anaknya Kak Tari?" Allan bertanya. Andini kembali mendekati Allan, duduk di tempatnya semula. "Ya. Kak Tari pernah bilang, Bintang. Baru itu yang aku tahu, belum tahu lengkapnya. Aku ga sabar mau lihat dia." Pintu ruangan itu terbuka. Velia keluar dari sana. Allan dan Andini memandang Velia yang berjalan ke arah mereka. "Tan, gimana?" Andini menatap Velia. Velia tersenyum. "T
Allan kembali ke ruangan. Andini dan Yudha tampak tersenyum satu sama lain. Allan mencoba mencermati wajah mereka. Tampak biasa saja. Tidak ada yang aneh. Allan juga mendengar pembicaraan mereka bukan tentang sesuatu yang khusus di antara mereka. Tidak lama kemudian, Allan dan Andini pamitan, meninggalkan Yudha. Dalam perjalanan pulang, ingin sekali Allan bertanya, tapi dia merasa tidak nyaman. Bagaimanapun, Andini pernah ada rasa padanya. Dia mengenal Andini sebagai kakak belum begitu lama. Kikuk dan canggung bertanya hal-hal semacam itu. Allan mengantar Andini ke hotel lalu dia kembali pulang. Baru selesai mandi, dering ponsel terdengar keras. Cepat-cepat dia menerima panggilan itu. Yudha yang menghubunginya. Dengan semangat Yudha menceritakan apa yang terjadi pada pertemuan terakhirnya dengan Andini. Gadis itu menerima Yudha. Mata Allan melebar, dadanya berdegup kencang. Kenapa dia yang merasa tidak karuan padahal Yudha yang mendapat jawaban cinta? "Yudha, serius? Ini beneran?" A
Mimi memperhatikan dua design yang ada di tangannya. Keduanya sangat manis dan Mimi suka. Allan ternyata punya selera bagus juga dalam mode. Mimi memilih gaun dengan model slim di badan, lengan sampai di siku, dari pinggang higga selutut melebar. Allan tersenyum saat Mimi menunjuk design yang dia pilih. Benar-benar mewakili karakter Mimi. Imut, ceria, tetapi juga cerdas. Allan makin tidak sabar segera melihat Mimi memakainya. Dan itu di hari istimewa mereka. Allan sudah menyiapkan hari dia akan datang menemui orang tua Mimi di Surabaya, menggelar pertunangan di sana. "Kak, makasih banget. Aku ga mikir apapun soal pertunangan. Tapi Kak Allan, astaga, aku benar-benar terkejut," ujar Mimi sambil tersenyum senang. Mata cerah Mimi membuat Allan ikut tersenyum lebar. Keluar dari butik itu, Allan langsung membawa Mimi pulang ke salah satu hotel tak jauh dari situ. Kejutan apa lagi yang Allan siapkan? Mimi merasa sore itu Allan bertingkah begitu berbeda. "Kak Astari dan Kak Andin datang. B
Seketika Mimi mengangkat wajahnya mendengar pertanyaan Guntur. Dia menggigit bibirnya dan memandang sedikit takut pada pimpinannya itu. "Katakan saja yang kamu tahu. Aku tahu kamu gadis yang jujur. Aku juga berharap kamu gadis yang berani." Tatapan Guntur tertuju pada Mimi. Makin berdesir hati Mimi. Seperti yang Guntur pikirkan, memang ada masalah dengan pelaporan itu. Mimi merasa makin sulit situasinya. Ini akan menjadi kesempatan dia jadi pahlawan atau di sisi lain, dia akan menjadi musuh beberapa orang di kantor itu. Yang pasti, Mimi tidak mungkin tidak mengatakan yang dia temukan. Jika dia mengatakan yang berbeda karena ingin aman, bisa jadi dia dinilai sebagai pegawai yang buruk. "Mimi, waktu kita tidak banyak." Guntur menegaskan karena Mimi tidak segera menjawab. "Saya minta maaf, Pak, ini ..." Mimi mendekat dan menunjukkan yang dia lihat pada laporan itu. Dag dig di dadanya bukan makin surut. Dalam hati Mimi terus berdoa hari ini menjadi hari baik buatnya. Kalaupun yang ter