Home / Romansa / Hatimu Bukan Sebongkah Batu / 5. Harus Tahu Membawa Diri

Share

5. Harus Tahu Membawa Diri

last update Last Updated: 2021-03-19 18:02:25

Perkuliahan dimulai. Mimi merasa dia seolah masuk ke dunia baru dengan menjadi seorang mahasiswi. Suasana belajar sangat berbeda dengan saat Mimi masih duduk di bangku SMA dan disebut siswa. Awalnya aneh juga tidak dipanggil anak-anak atau murid-murid, tetapi saudara. 

Belum lagi kelas yang jumlahnya besar, isinya makin beragam orang yang asalnya dari berbagai kota di Indonesia. Malah tidak sedikit yang berasal dari pulau lain. Mimi bersemangat dengan situasi baru ini meski dia harus belajar cepat untuk menyesuaikan diri. 

Berjalan dua minggu kuliah, Mimi sudah mulai kenal sebagian besar teman sekelasnya. Dua yang cukup akrab. Dayinta dan Ricky. Mereka teman yang mengasyikkan. Mimi merasa ada yang menyemangati dia. Di rumah suasana selalu tegang karena harus menjaga perasaan Allan, maka di kampus, Mimi melepas semuanya. Dia bisa mengekspresikan dirinya. Mau tertawa, melucu, bercanda, bebas, jadi dirinya sendiri.

Dayinta berasal dari kota Cilacap. Kota kecil di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dekat dengan Pulau Nusakambangan. Sedang Ricky, dia asli dari Makasar. Tapi sejak SMP di Surabaya, lalu kuliah pindah di Malang. Mimi jadi makin merasa nyaman, karena dia juga lama di Surabaya, meski lahirnya di Malang.

“Mi, pulang ntar ikut aku, yuk!” ajak Dayinta. Ini kelas mereka yang terakhir hari ini.

“Ke mana?” tanya Mimi.

“Nonton. Ada film keren. Baru tayang.” Dayinta mendekatkan wajahnya ke arah Mimi, agar tidak perlu bicara keras. Dosen mereka sedang menyiapkan peralatan mengajar, kelas hampir dimulai.

“Hm … jam berapa?” tanya Mimi. Ikut setengah berbisik.

“Filmnya jam setengah lima. Ya? Besok libur, kan? Ga harus belajar.” Dayinta membujuk Mimi.

“Oke, deh.” Mimi mengangguk setelah beberapa saat berpikir. Dayinta tersenyum dan mengangkat jempolnya.

Usai kelas, kedua gadis itu berjalan bersama keluar kelas. Ricky mengikuti mereka, lalu mengejutkan keduanya.

“Bahh!!!” Keras sekali suara cowok itu di belakang Mimi dan Dayinta. Kontan kedua cewek di depan Ricky terlonjak kaget.

“Dasar! Iiih … Bisa jantungan, tahu?!” Dayinta spontan memukul lengan Ricky lalu menjewer telinganya.

“Aduhh!! Ampun!!” Ricky berteriak kesakitan.

“Jangan usil lagi!” sentak Dayinta. Mimi sudah ngakak melihat tingkah kedua temannya itu.

“Iya, janji. Auhh!!!” Ricky mengelus lengan dan telinganya. Ngilu dan panas rasanya kena serangan Dayinta.

“Kalian mau ke mana?” tanya Ricky. Mereka melanjutkan langkah meninggalkan kelas.

“Urusan cewek,” sahut Dayinta.

“Mau nonton,” jawab Mimi.

“Ahh … ikut, deh .…” Ricky tersenyum sumringah.

“Ngapain? Ganggu aja.” Dayinta menyahut ketus.

“Dayinta Putriana Azriel, yang cantik dan baik hati. Yuk, bersabarlah pada temanmu yang kece ini ….” Ricky membujuk Dayinta.

Mimi sudah tertawa lebar melihat Ricky mulai lagi aksinya.

“Hmm, ngerayu ….,” cibir Dayinta. 

Lalu Ricky menoleh pada Mimi. “Bernice Milano Antoneta Ferdian, boleh ya?”

“Kalau panggil nama lengkap pasti ada maunya. Kayak ngabsen aja. Iih …” Dayinta nyengir.

“Ntar aku traktir, mau?” bujuk Ricky lagi.

Dayinta melirik Mimi. Tersenyum tipis.

“Aku bayarin naik taksi online juga. Hm, oke, nggak?” Lagi sogokan bertambah.

“Baiklah … Berbaik hati sedikit tidak rugi. Come on!” sahut Dayinta.

“Mantap!!” Ricky menepuk pipi Dayinta karena kegirangan.

“Eh … tanganmu! Jangan sembarangan pegang-pegang!” seru Dayinta.

Ricky dan Mimi kembali ngakak. Mereka pun pergi bertiga. Memang seru dan mengasyikkan. Ricky anaknya easy going, bikin renyah suasana, dan yang paling bagus, dia melindungi kalau sama teman cewek. Siang menjelang sore itu menjadi hari yang menyenangkan buat Mimi. Apalagi filmnya seru sekali. Action comedy diselipi kisah romantis. Benar-benar pas buat menutup hari sibuk sebelum weekend.

“Puas, kan?” ujar Dayinta saat mereka sudah di food court, makan malam selesai nonton.

“Hmm … banget. Ga nyesel aku ikut sama kamu.” Mimi mengangguk. Dia memutar garpu, melilitkan mie pangsit dan mulai makan.

“Ga rugi aku membujuk temanku yang cantik dan baik hati ini.” Ricky menimpali sambil memainkan alisnya menggoda Dayinta.

“Udah, makan, ga usah aneh-aneh,” tukas Dayinta. Rasanya Ricky selalu saja membuat dia kesal. 

“He … hee ….” Ricky melebarkan bibir mempertontonkan giginya yang sedikit ada gingsul di sebelah kiri.

Food court penuh. Ya, jam makan malam. Banyak orang pulang kerja pergi belanja sekalian makan malam. Sambil berbincang tentang film yang mereka tonton, ketiganya menghabiskan makanan masing-masing.

Selesai makan, bersiap pulang. Mimi berdiri dan melangkah meninggalkan meja. Mendadak seseorang menabraknya. Terkejut Mimi oleng hampir terguling. Cowok yang menabraknya cepat menangkap tubuh Mimi.

“Sorry, nggak sengaja …,” katanya. Suaranya berat, tapi enak didengar.

Mimi segera menegakkan badannya. Kembali pada posisi tadi. “Ga apa-apa.” 

Mimi masih memandangi cowok di depannya. Tinggi, hampir setinggi Allan. Kulitnya putih bersih, tampan. Dengan rambut cepak, keren banget. Terus terang saja, cowok itu cukup mempesona di mata Mimi. 

“Mi! Kamu ga apa-apa?” tanya Dayinta.

“Nggak … nggak apa-apa.” Mimi menoleh pada Dayinta dan Ricky yang menunggunya. Segera dia menyusul kedua temannya itu. Masih sempat Mimi menoleh pada cowok itu, yang sudah duduk di tempat tadi Mimi duduk.

*****

Tepat setengah sembilan malam, Mimi tiba di rumah. Suasana sepi seperti biasa. Mimi masuk langsung menuju ke kamarnya. Dia meletakkan tas, melepas sepatu, lalu jaketnya dan bersiap mandi. Lelah juga setelah sepanjang hari dari pagi beraktivitas di luar rumah.

Mimi mandi keramas biar segar dan bersih lagi. Lalu dia menuju ke dapur, ingin membuat teh lemon madu, untuk menghangatkan badan. Di sana ada Allan, dia sedang makan. Mimi berhenti di dekat pintu, berpikir, mau balik atau lanjut.

Allan mengangkat kepala, melihat Mimi. Kepalang basah, Mimi maju beberapa langkah.

“Malam, Kak.” Mimi menyapa.

“Kenapa pulang malam? Kamu ga kasih tahu sama Mama kalau lambat pulang?” Allan bertanya dengan suara datar, sedikit kaku.

“Ah … lupa … HP mati.” Mimi berhenti, merasa tangan dan kakinya panas dingin. Ya, seharusnya dia tetap kasih kabar. Itu juga yang biasa dia lakukan saat di rumahnya. Dia pasti memberitahu ke mana, dengan siapa, akan pulang jam berapa.

“Mama cemas. Kamu dihubungi ga bisa. Mama ga tahu mau tanya sama siapa.” Allan menatap Mimi. Tatapan tajam itu membuat Mimi menciut. 

“Maaf ….” Mimi menunduk.

“Ini memang bukan rumah kamu. Tapi ini juga bukan kos-kosan. Yang dengan semaunya kamu bisa datang dan pergi. Kos-kosan saja ada aturannya. Masa ga tahu gimana harus bawa diri?” Allan berdiri mengangkat piring dan gelasnya. Dia mencucinya di wastafel. Mimi hanya memperhatikan saja, tidak berani berkata apa-apa.

Allan tidak bicara lagi. Dia meninggalkan dapur. Mimi menghembuskan napas panjang. 

“Bodoh … kenapa kamu ga mikir, sih?” umpatnya pada diri sendiri. Harusnya tadi bisa dia pinjam ponsel Dayinta kalau sekedar buat chat saja. 

Dia bisa mengerti kalau Allan akan makin tidak menyukai dia setelah ini. Kesan dia cewek seenaknya, ga tahu aturan, pasti melekat di kepala Allan. Setelah kapan hari dia masuk ruangan kerja Allan tanpa permisi, lalu malah Mimi pergi sampai malam ga ada kabar. Ahhh ….

Dengan rasa bersalah dan hati galau, Mimi akhirnya mengambil air hangat saja, malas bikin minuman lagi. Baru saja meneguk air hangat di gelas yang dia pegang, Velia masuk ke dapur.

“Mi, kenapa sampai malam?” Velia bertanya. Tetap lembut, tapi ada nada cemas.

“Eh … maaf, Tan .…” Mimi memandang Velia.

Related chapters

  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   6. Senyum Allan

    Velia tersenyum manis. Dia duduk di sebelah Mimi. "Kamu kenapa?" Velia melihat Mimi tampak tegang. "Maaf, Tan, aku tadi ga kasih kabar kalau pulang agak malam. Habis kuliah jalan sama teman. Ada film bagus diajak nonton. Tante pasti kuatir aku ga ada kabar." Mimi menjelaskan. "Iya. Aku telpon beberapa kali kamu ga angkat. Mau memastikan saja, kamu ikut makan malam atau tidak," ujar Velia. "Ooh ... Lain kali aku pasti kasih tahu kalau pulang lebih lambat, Tan. Maaf." Mimi masih merasa bersalah. "Ga apa-apa." Kembali Velia tersenyum pada Mimi. "Gimana kuliah? Asyik, 'kan?" Velia mencoba mengalihkan pembicaraan agar Mimi lebih cair. "Iya. Masih penyesuaian sih, Tan. Tapi menyenangkan. Entah kalau udah jadwal mesti kumpul tugas-tugas nanti. Belum lagi kalau ikut kegiatan lainnya. Masih pendaftaran juga," jawab Mimi. Sedikit reda rasa tegang yang tadi mengocok dadanya. "Hmm ... Kamu mau ikut kegiatan apa?" tanya Velia. Dia menuang air di gelas, lalu meneguk beberapa kali. Tern

    Last Updated : 2021-03-21
  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   7. Masih Ada Harapan

    Mimi tersentak. Pintu kamar Allan terbuka. Allan di balik pintu menatap pada Mimi. "Ngapain di sini?" Allan berkata dengan ketus. Mata galak muncul lagi dari dua bola mata hitam dan tegas itu. "Eh ... Ini ..." Mimi langsung gugup. Dia sampai bingung, mau bilang terima kasih, kata-kata itu seperti jauh sekali dari bibirnya. "Apa itu?" Allan melihat piring yang Mimi bawa. Harum masuk ke hidung Allan dan terbayang rasanya yang lezat. "Pancake. Buat Kak Allan ... ini ..." Mimi menyodorkan piring ke depan Allan. Melihat tatapan tajam Allan, Mimi makin ciut. "Cuma mau bilang terima kasih ... Eh, kalau ga suka ... Ga apa ..." Mimi menarik lagi tangannya. Dengan jantung berdetak tak beraturan, Mimi balik badan melangkah kembali menuju ke dapur. "Hei!" panggil Allan. Mimi seketika menghentikan langkahnya. Perlahan dia memutar tubuhnya. Allan berjalan ke arahnya. "Thank you." Allan mengambil piring di tangan Mimi. Dia membawa piring itu ke ruang belakang, ke tempat kerjanya.

    Last Updated : 2021-03-22
  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   8. Cowok Keren Itu

    Dayinta melambai pada Mimi yang berdiri di depan pintu kelas. Mimi tersenyum melihat sahabatnya, lalu berjelan mendekati Dayinta dan duduk di sisi cewek bertubuh bongsor itu. "Gimana? Berhasil?" sambut Dayinta. "Apanya yang berhasil?" Mimi mengeluarkan laptop dan membukanya, menyiapkan alat itu untuk kelas yang akan segera dimulai beberapa menit lagi. "Misi makanan kesukaan?" Dayinta memandang Mimi. Mimi menoleh pada Dayinta. "Belum, Day. Harus cari momen yang pas. Ga bisa asal. Kalau Kak Allan lagi bete, bukan dia mau makan, dia semprot aku, berabe urusan." Dayinta menanyakan rencana Mimi mau membuat makanan kesukaan Allan. "Ih, kayak mau nembak cowok aja pakai momen yang pas, biar spesial, tak terlupakan sepanjang hidup." Dayinta terkekeh. "Iya juga, ya ..." Mimi mengerutkan kening, menyatukan alisnya. "Emang ganteng ya, Kak Allan itu?" Dayinta jadi penasaran. "Ganteng. Jadi model atau artis juga cocok tampangnya. Tapi gitu, deh, mengerikan. Makhluk antik." Mimi men

    Last Updated : 2021-03-23
  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   9. Suka Memandangnya

    Dag dig dug di dada Mimi makin jadi memandang wajah tampan di depannya. Sebenarnya Allan masih lebih ganteng, tapi ada raut khas wajah Nehan yang membuat dia begitu menarik. "Sampai minggu depan. Aku sudah mikir kita bisa duet bareng, nih, di satu momen nanti." Nehan kembali tersenyum. Kata-kata itu membuat Mimi makin melambung. Duet? Sama di keren ini? Wajah Mimi memerah. "Ah, iya, Kak ...," ujar Mimi sambil tersenyum malu-malu, lalu dia berjalan keluar ruangan besar itu. “Dia cantik sekali.” Bram bicara sambal melihat Mimi yang berlari kecil meninggalkan ruangan itu. “Mau, Bram?” ujar Nehan. “Kalau masih jomblo, oke. Tapi aku sudah ada cewek, Bro, harus setia,” tukas Bram menoleh pada Nehan. “Cie … setia …” Nehan menggeleng. Bram selama ini dikenal suka gonta ganti pacar. “Udah, Guys, lanjut … masih panjang antrian.” Finda nyeletuk. “Oke.” Dan terdengar nama yang lain dipanggil untuk maju memulai audisinya. Di luar ruangan, Mimi merasakan lebih lega. Perlahan degupan j

    Last Updated : 2021-03-25
  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   10. Nehan Mahadi

    Mimi makin sibuk tetapi makin bersemangat. Seminggu dua kali latihan paduan suara. Terasa hobinya tuntas tersalurkan di sana. Latihan vokal yang dia dapat mematangkan tekniknya dalam bernyanyi. Juga seru, dia makin punya banyak teman. Yang lebih asyik lagi, Kak Nehan Mahadi. Mimi bisa melihatnya membuat harinya makin cerah rasanya. Nehan ramah, supel, dan ngocol. Seru banget latihan bersamanya. Tidak disangka, waktu mereka dibagi dalam kelompok kecil, Nehan menjadi mentor kelompok Mimi. Sekarang, Mimi mulai kenal dekat siapa Nehan. Dia dari Fakultas Teknik, sudah mulai mengerjakan skripsi. Dia asli dari Jember, salah satu kota di Jawa Timur. Lahirnya 24 Mei. Mimi mencatat semua informasi tentang Nehan. Dan apapun yang ada hubungannya dengan pria itu menarik buat Mimi. Suaranya lagi kalau menyanyi, tenor abis. Bikin Mimi merinding saat dia menarik nada tinggi dan pakai falsetto. Teknik vokalnya benar-benar mantap dan matang. Misal dia pingin jadi penyanyi dan mendaftarkan diri ikut

    Last Updated : 2021-03-27
  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   11. Kejutan Puding Mimi

    Berkutat di dapur, Mimi akhirnya selesai juga membuat puding coklat buat Allan. Siang panas begini pasti cocok makan puding dingin dengan vla susu. Mimi tersenyum membayangkan Allan akan senang menerima kejutan Mimi. Siapa tahu pemuda tampan yang dingin itu akan menyisihkan kebekuannya dan melempar senyum pada Mimi. Mimi meletakkan puding di piring saji kecil yang manis. Dia akan tunggu sampai jam makan siang. Mimi tidak berani mengganggu Allan kecuali pada jam makan. "Ya, ini waktunya." Mimi melihat jam dinding di dapur. Dia berdiri akan memanggi Allan di ruang kerjanya. Baru empat langkah, Allan muncul. Dia rupanya sudah tahu ini saatnya makan siang. Kebiasaan Allan tidak begitu peduli dengan jam makan. "Eh, Kak ... Makanan siap." Mimi memandang Allan. Berharap mood cowok itu sedang bagus. "Oke." Allan melangkah mendekati meja. Dia membuka tudung saji dan melihat apa yang Mimi siapkan. Mimi menunggu reaksi Allan saat melihat puding di piring. Dia akan senang. "Ayo ... se

    Last Updated : 2021-03-28
  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   12. Kata Hati Allan

    Mimi menghentikan mulutnya mengunyah makanan. Dia memandang Allan dengan gelisah. Ingin sekali dia menangis, tapi dia malu dan takut. Mimi menunduk, kembali mengunyah makanannya dengan cepat. Dia merasa butiran bening sudah bertengger di ujung matanya. Allan maju dan duduk di kursi di depan Mimi. Jujur saja, Mimi ingin berlari meninggalkan Allan, lalu masuk ke kamarnya. Tapi dia harus bertahan, harus bisa menghadapi Allan. "Maafkan aku ..." Allan menatap Mimi yang menunduk, pura-pura sibuk dengan makanan yang sudah kosong di atas piring. Mimi mencedok sayur sekali, sedikit saja. Dia pura-pura ingin lanjut makan, padahal dia hanya tidak mau melihat Allan. "Aku ... Tidak seharusnya aku marah sama kamu. Kamu sudah menyiapkan makanan buat aku, dan ... aku ga menghargainya." Kali ini Allan bicara lembut. Suaranya yang seperti ini yang dulu selalu Mimi dengar kalau Allan bicara. Mimi tidak menjawab. Tidak tahu mau bicara apa. Kalau dia buka mulut, Mimi takut air matanya tumpah. "Ma

    Last Updated : 2021-03-29
  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   13. Makin Terpaut

    Mimi menatap Ricky. Menunggu temannya itu ingin mengatakan sesuatu. Wajah Ricky tampak serius, tapi malah terlihat lucu. Karena bagusnya ini cowok mewujudkan diri dengan tampang lucu dan menggemaskan. "Kamu beneran suka sama itu kakak keren dan ganteng?" Ricky lurus memandang pada mata Mimi. "Iya ... Gitu, deh ..." Mimi nyengir. "Sejauh ini, dia itu salah satu idola di fakultas dia. Secara dia anak orang tajir meski ga melintir. Tunggangan dia aja lumayan keren, kan? Dan dia ga suka main cewek. Baik sama semua tapi ga PHP." Ricky menceritakan soal Nehan. Mimi mengerutkan kening. Ini cowok tahu detil gitu, dapat info dari mana? "Kamu abis mata-matai Kak Nehan, ya?" Mimi mengacungkan telunjuknya di depan Ricky. "Nggak laa ... Ngapain? Emangnya dia mau selingkuh?" Ricky ikutan nyengir. Mimi terkikik. Lucunya Ricky akhirnya muncul lagi. Hati Mimi makin melambung. Pria yang dia sukai memang orang baik. Rasanya dia makin ingin dekat sama Nehan. Siapa yang tahu apa yang terjadi nanti.

    Last Updated : 2021-04-01

Latest chapter

  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   120. Hari Itu

    Allan berdiri di altar menunggu Mimi akan masuk bersama Hendra. Hatinya berdetak makin kencang setiap melihat arloji di pergelangan tangannya, memastikan menit berjalan dan tidak lama lagi pengantinnya akan datang menemui dia. Velia duduk di kursi di deretan pertama. Ferdinand di sisinya. Momen yang tak pernah terpikir oleh Velia, mereka duduk bersama, menyaksikan putra mereka menikah. Kalaupun ada pikiran itu, Velia membuangnya jauh-jauh. Ferdinand suami orang lain. Dia singkirkan semua bayangan Ferdinand. Siapa yang tahu yang akan terjadi dalam hidup. Velia dan Ferdinand menjadi teman. Perlahan, Velia mampu mengubah sakit hati jadi pengalaman yang mendewasakannya. Cinta yang dalam pada Ferdinand, dia ubah menjadi rasa sayang pada seorang kakak. Lea duduk di belakang mereka bersama Astari, Devis, dan putra mereka yang lucu. Sayang, Andini tidak bisa datang pada acara pemberkatan. Dia mengatakan akan menyusul saat resepsi. "Mari hadirin sekalian, kita akan menyambut mempelai wanita

  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   119. Hari-hari Penuh Kejutan

    Hari-hari penuh kejutan seolah tiada habisnya. Itu yang Mimi rasakan. Kejutan baik dan menyenangkan, tetapi juga kejutan yang membuat hati rasa tidak karuan. Semua itu membuat up and down hari-hari yang dilalui. Megi, kejutan terakhir yang sempat membuat Mimi galau. Keinginannya untuk bersimpati membuka pintu lain yang tidak dia duga. Allan bertemu sahabat lamanya. Megi, yang Allan kenal dengan panggilan Rere. Setelah kunjungan ke rumah sakit hari itu, Allan terus berkomunikasi dengan Megi. Mimi tidak bisa melarang. Bagaimanapun mereka teman lama dan Megi sedang butuh bantuan. Allan juga selalu memberitahu Mimi apa saja yang Allan komunikasikan dengan temannya itu. Allan tidak ingin Mimi salah paham lalu hubungan mereka yang menjadi tidak baik. "Kamu yakin ga masalah Kak Allan dekat sama Megi?" Dayinta menimpali apa yang Mimi katakan padanya. "Aku harus larang? Hanya karena cemburu? Aku ga cemburu juga, sih. Hanya ada rasa ga nyaman saja." Mimi menelusuri hatinya. Dia harus percaya

  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   118. Ada Kenangan Di Antara Mereka

    Mimi, Allan, dan Velia mengantar Ferdinand, Lea, dan Astari, serta Bintang yang tampan ke bandara. Mereka akhirnya balik ke Bandung. Astari sudah cukup kuat. Begitu juga bayinya. Perusahaan juga sudah menunggu Astari kembali menata pekerjaan di sana. Melepaskan mereka pulang ternyata cukup mengharukan. Apalagi Mimi mulai terbiasa mendengar suara tangis bayi mungil itu. Mendengar Velia atau Lea menyanyi saat menggendong Bintang hingga bayi itu tidur dalam dekaoan mereka. Pasti akan lama bisa melihatnya lagi. Dari bandara, Allan meluncur menuju kantor Velia. Memang hari Sabtu, tetapi ada yang harus Velia kerjakan. Sedang Allan dan Mimi, meneruskan perjalanan kemudian ke rumah sakit. Mimi terus memikirkan Megi. Sejak tahu wanita itu kecelakaan, dia merasa iba dan ingin tahu seperti apa kondisinya. "Kamu mau menjenguk Megi? Dia yang selama ini bersikap mengesalkan sama kamu? Yakin?" Itu yang Allan katakan waktu mendengar permintaan Mimi. Mimi dengan mantap mengatakan memang ingin menje

  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   117. Kata Orang Senjata Makan Tuan

    Hati Mimi berdetak kencang. Pesan yang dia terima dari Megi membuat semua kegembiraannya seketika lenyap. Megi dipecat. Tentu saja dia sangat marah. Dia punya posisi dengan prospek bagus di kantor, sebagai asisten bagian pemasaran. Kalau sampai tiba-tiba itu lepas, dia harus mulai di tempat lain, tentu tidak mudah. Yang menjadi masalah adalah Mimi yang Megi anggap sebagai biang keladi! Sangat tidak masuk akal. Mimi ada di bagian lain di kantor itu. Dengan Megi juga jarang berurusan. Bagaimana bisa Mimi yang bersalah kalau Megi dipecat? Mimi berpikir, apa yang terjadi? Di mana letak kesalahannya? Dia bicara apa dengan Pak Guntur? Mimi tidak mengerti. Sepanjang malam Mimi jadi tidak tenang. Beberapa kali dia terbangun karena mimpi buruk. "Ah, Mi, kenapa kamu jadi takut kayak gini. Megi uda ga akan balik kantor. Tenang saja." Mimi menenangkan dirinya sendiri. Dia tegaskan kalau Megi hanya mengancam, karena dia kesal. Bisa jadi dia begitu kepada orang lain juga, bukan hanya Mimi. Mimi

  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   116. Janji Hati

    Tangan Allan terulur, meraih jemari Mimi dan menyematkan cincin mungil di jari manis tangan kiri gadis berbalut gaun warna salem itu. Cantik, sangat pas buat dirinya. Mimi terlihat lebih dewasa tapi tidak terkesan lebih tua dari umurnya. Dengan senyum manis, sementara jantung yang terus meletup, Mimi ganti memasangkan cincin di jari manis tangan kiri Allan. Jarinya kuat, besar, dan panjang. Tangan Mimi terlihat begitu mungil berpegangan pada tangan Allan. Tepuk tangan terdengar dari keluarga yang hadir. Senyum menghiasi wajah orang tua Mimi, Viviana dan Hendra. Velia dan Ferdinand, kali ini duduk berdampingan. Ini hari istimewa Allan. Putra mereka resmi bertunangan dengan Mimi. Ferdinand tidak mengira, dia bisa hadir dan menyaksikan hari berharga ini. "Selamat ya ... makin sayang satu sama lain. Biar angin ribut menderu, tetap kokoh cintanya!" Melisa, kakak Mimi nyeletuk, membuat yang lain tertawa, sementara Mimi makin tersipu. Doa dinaikkan untuk keduanya. Agar dengan memasuki hub

  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   115. Tangis yang Membawa Kegembiraan

    Suara tangis bayi kembali terdengar, tapi kemudian hilang. Andini berdiri dan mendekat ke ruang bersalin. Dia yakin itu bayi Astari yang sudah lahir. Tangis yang membawa kebahagiaan. Sebuah kehidupan baru yang hadir. Mengubah banyak hal dalam kehidupan sebuah keluarga. "Suaranya kencang sekali. Pasti dia anak laki-laki yang kuat." Andini tersenyum. Hatinya campur aduk dengan kejadian tiba-tiba ini. Senang, tapi masih sedikit cemas. Apakah Astari baik-baik saja? Bayinya juga, apakah benar-benar sehat? Allan memandang Andini yang masih gelisah, tetapi senyum Andini belum hilang dari bibirnya. "Sudah tahu nama anaknya Kak Tari?" Allan bertanya. Andini kembali mendekati Allan, duduk di tempatnya semula. "Ya. Kak Tari pernah bilang, Bintang. Baru itu yang aku tahu, belum tahu lengkapnya. Aku ga sabar mau lihat dia." Pintu ruangan itu terbuka. Velia keluar dari sana. Allan dan Andini memandang Velia yang berjalan ke arah mereka. "Tan, gimana?" Andini menatap Velia. Velia tersenyum. "T

  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   114. Semua Mungkin Saja Terjadi

    Allan kembali ke ruangan. Andini dan Yudha tampak tersenyum satu sama lain. Allan mencoba mencermati wajah mereka. Tampak biasa saja. Tidak ada yang aneh. Allan juga mendengar pembicaraan mereka bukan tentang sesuatu yang khusus di antara mereka. Tidak lama kemudian, Allan dan Andini pamitan, meninggalkan Yudha. Dalam perjalanan pulang, ingin sekali Allan bertanya, tapi dia merasa tidak nyaman. Bagaimanapun, Andini pernah ada rasa padanya. Dia mengenal Andini sebagai kakak belum begitu lama. Kikuk dan canggung bertanya hal-hal semacam itu. Allan mengantar Andini ke hotel lalu dia kembali pulang. Baru selesai mandi, dering ponsel terdengar keras. Cepat-cepat dia menerima panggilan itu. Yudha yang menghubunginya. Dengan semangat Yudha menceritakan apa yang terjadi pada pertemuan terakhirnya dengan Andini. Gadis itu menerima Yudha. Mata Allan melebar, dadanya berdegup kencang. Kenapa dia yang merasa tidak karuan padahal Yudha yang mendapat jawaban cinta? "Yudha, serius? Ini beneran?" A

  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   113. Menjawab Teka-Teki

    Mimi memperhatikan dua design yang ada di tangannya. Keduanya sangat manis dan Mimi suka. Allan ternyata punya selera bagus juga dalam mode. Mimi memilih gaun dengan model slim di badan, lengan sampai di siku, dari pinggang higga selutut melebar. Allan tersenyum saat Mimi menunjuk design yang dia pilih. Benar-benar mewakili karakter Mimi. Imut, ceria, tetapi juga cerdas. Allan makin tidak sabar segera melihat Mimi memakainya. Dan itu di hari istimewa mereka. Allan sudah menyiapkan hari dia akan datang menemui orang tua Mimi di Surabaya, menggelar pertunangan di sana. "Kak, makasih banget. Aku ga mikir apapun soal pertunangan. Tapi Kak Allan, astaga, aku benar-benar terkejut," ujar Mimi sambil tersenyum senang. Mata cerah Mimi membuat Allan ikut tersenyum lebar. Keluar dari butik itu, Allan langsung membawa Mimi pulang ke salah satu hotel tak jauh dari situ. Kejutan apa lagi yang Allan siapkan? Mimi merasa sore itu Allan bertingkah begitu berbeda. "Kak Astari dan Kak Andin datang. B

  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   112. Kenyataan Mulai Terbuka

    Seketika Mimi mengangkat wajahnya mendengar pertanyaan Guntur. Dia menggigit bibirnya dan memandang sedikit takut pada pimpinannya itu. "Katakan saja yang kamu tahu. Aku tahu kamu gadis yang jujur. Aku juga berharap kamu gadis yang berani." Tatapan Guntur tertuju pada Mimi. Makin berdesir hati Mimi. Seperti yang Guntur pikirkan, memang ada masalah dengan pelaporan itu. Mimi merasa makin sulit situasinya. Ini akan menjadi kesempatan dia jadi pahlawan atau di sisi lain, dia akan menjadi musuh beberapa orang di kantor itu. Yang pasti, Mimi tidak mungkin tidak mengatakan yang dia temukan. Jika dia mengatakan yang berbeda karena ingin aman, bisa jadi dia dinilai sebagai pegawai yang buruk. "Mimi, waktu kita tidak banyak." Guntur menegaskan karena Mimi tidak segera menjawab. "Saya minta maaf, Pak, ini ..." Mimi mendekat dan menunjukkan yang dia lihat pada laporan itu. Dag dig di dadanya bukan makin surut. Dalam hati Mimi terus berdoa hari ini menjadi hari baik buatnya. Kalaupun yang ter

DMCA.com Protection Status