“Hello, Mam!” sapaku seraya ber-cipika-cipiki dengan Mama mertua yang cantik membahana. Dia langsung menyambutku yang baru saja melangkahi pintu. Dia bahkan tidak menyapa putranya yang ‘nyelonong’ masuk tanpa menyapa.
'Huh! Dasar anak 'dulhakim'! Masa orang tua sendiri enggak disapa?'
“How are you, Honey? Fine? Jevin kasih treatment dengan baik, ‘kan?” tanyanya sembari memegang kedua lenganku.
“Yes, of course, Mam! Coba aja kalau misalkan dia enggak nge-treat aku dengan baik, huh! Aku bejek-bejek, tuh, pasti,” jawabku senormal mungkin.
Aku ini bukan anak remaja labil yang suka mencurhatkan praduga kelakuan busuk suamiku kepada mamanya. Aku bukan perempuan melodrama yang cocok meniti peran sebagai sosok protagonist. Aku adalah Jena, perempuan selow dan santuy yang menghadapi masalah tanpa menimbulkan masalah. Anti diinjak-injak, tapi tidak balas menginjak-injak. Intinya, aku tidak akan menceritakan masalah rumah tanggaku kepada mertuaku.
Syukurlah Mama Jennie tidak berkarakter antagonist. Dia tidak seperti mertua yang digambarkan di sinema azab Ilahi. Dia perempuan ramah yang selalu menyambutku dengan pelukan hangat. Ya, bisa dibilang Mama Jennie adalah karakter mertua idaman. Lihatlah sekarang! Dia malah tertawa seakan-akan ucapanku tadi adalah lawakan.
“'Bejek' aja ‘senjata’-nya, Na. Biar 'keder'. Mandul-mandul, deh.”
Nah, dengar sendiri, ‘kan? Jawabannya lebih mengerikan dari ucapanku yang sebelumnya.
“Eh, tapi kamu gemukan, ya, sekarang,” tegur tantenya Jevin yang sedari tadi berdiri di sebelah Mama Jennie. “Udah isi belum, sih?” tanyanya ketika menarikku ke dalam pelukan.
'Udah, Tan, tapi si blekuk itu enggak kasih izin go public.'
“Doain yang terbaik aja, Tan,” jawabku lain di mulut, lain di hati. “Om Sugara enggak ikut?” tanyaku, mencoba mengalihkan topik setelah pelukan kami terurai. Topik tentang kehamilan ini terlalu riskan jika diteruskan.
“Ada. Tadi kayaknya ke toilet, deh.” Tante Manda celingukan menatap ke belakang seperti mencari keberadaan suami yang diragukan keberadaannya. “Lagi diare dia.”
“Diare? Serius?” tanya Mama Jennie yang langsung mendapat anggukan dari Tante Manda.
'Bagus! Bahas aja, tuh, topik diare sampai kenyang. Semoga aja kalian lupa sama topik ‘hamilan-hamilun’.'
“Makan pucuk daun jambu muda aja.”
Saran Mama Jennie langsung mengundang ringisan kecut dari Tante Manda.
“Ngeri amat, Jen. Laki gue bukan kambing kali. Kayak enggak ada obat lain aja.”
“Eeeh, jangan salah, loh, Man. Gue tiap kali Papanya Jevin diare, langsung gue jejelin pucuk daun jambu. Masa bodohlah dia mau protes kayak gimana, yang penting dia cepat sembuh dan...” Mama Jennie berhenti sebentar dan mendekatkan wajahnya ke telinga Tante Manda, “enggak ngerepotin,” lalu tertawa bersama sambil menutup mulut.
'Hadeeeh! Dasar emak-emak! Enggak rakyat jelata, enggak sekelas ratu sejagat, tetap aja sama suami kayak gitu, selalu merasa direpotin. Untung gue enggak. Haha!'
Saat keduanya tertawa dan memperbincangkan suami mereka, aku mengedarkan pandangan ke arah ruang tamu yang berada di sisi kiri rumah, mencari keberadaan si kanebo kering. Kupikir dia sedang kongko-kongko bersama Papa, Om, dan sepupunya yang memenuhi sofa, ternyata dia sedang duduk sendirian di undakan tangga sambil memainkan HP.
'Jangan-jangan lagi chatting-an sama Vivian. Ngobrolin apa, ya? Jangan-jangan habis ini mau ketemuan. Lah? Kalau beneran gimana? Gue pulang sama siapa? Masa minta anterin sama supir Mama Jennie, sih? Malu-maluin banget, ‘kan?'
'Ah, bodo amatlah!'
“Ma, aku bantu ke dapur dulu, ya,” kataku yang menyerobot keheningan yang sempat terjadi di antara Mama Jennie dengan Tante Manda.
“Oh, barengan aja,” jawabnya yang langsung menggandengku menuju lorong dapur yang berada di sisi kanan pintu masuk.
Aku sempat melirik Jevin saat kami kebetulan bertemu pandang selama beberapa detik. Aku langsung mendengus dan membuang muka, muak melihat wajahnya yang superflat itu. Aku benar-benar ‘gedeg’ dengan responsnya ketika diajak berdiskusi tadi—ah, mungkin lebih tepat bila disebut berdebat. Ya, saat di perjalanan tadi aku mendebat tindakannya yang memutuskan persoalan resign-ku tanpa berdiskusi lebih dulu.
Aku memang pernah berpikir untuk resign saat mengingat cerita teman-temanku yang sudah menikah tentang bagaimana beratnya penderitaan mereka di trimester pertama kehamilan. Baru dua hari WFH saja aku sudah dibebankan banyak pekerjaan yang membuatku migrain. Aku tidak terbayang jika nanti saat perutku sudah besar Bos Yudha memberiku pekerjaan yang lebih berat. Apalagi orang-orang kantor dan Bos Yudha juga tidak mengetahui kehamilanku, ‘kan?
Namun, kekhawatiranku ini tidak lantas membuatku berpikir untuk serta merta mengundurkan diri. Aku masih ingin bekerja. I love my job! I love my passion! By working I feel more alive. Itulah yang membuatku keberatan jika Jevin benar-benar memintaku resign.
Lagipula, bukankah beberapa waktu yang lalu dia tidak mengizinkan resign? Dia bilang kalau mencari graphic designer itu sulit. Lantas, mengapa sekarang aku dikeluarkan tanpa diskusi sama sekali?
Tahukah kalian bagaimana respons si kunyuk itu ketika aku membahas masalah ini?
“Saya benci melihat muka lelah kamu saat saya pulang ke rumah.”
Wow! Jawaban yang sangat kesultanan sekali, ‘kan? Dia benci melihat wajah perempuan yang sebentar lagi akan memberinya keturunan?
Berengsek banget memang!
Kemudian ketika aku bersikeras tidak ingin resign dan mengemukakan alasan panjang x lebar x tinggi = luas, dengan mudahnya dia mengangkat bahu dan bilang, “Whatever!” Aku bersumpah, detik itu juga aku langsung melempar handbag-ku ke wajahnya. Namun, dia dengan santainya mengembalikan handbag-ku seolah lemparanku tadi tidak menyakiti wajahnya.
Melihat resposnya justru membuatku merasa bersalah karena jelas-jelas aku menyakiti wajahnya, tapi dia bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Sejak detik itu, aku memutuskan untuk diam, meskipun sebenarnya aku masih penasaran, apakah dia tetap pada keputusannya untuk memberhentikanku bekerja atau tidak.
“Woaaah!”
Aku bergumam takjub melihat para asisten rumah tangga yang mengenakan seragam seperti chef sedang menjarah dapur keluarga Adendra yang sudah seperti dapur restoran. Mereka bergerak lincah ke sana kemari untuk mempersiapkan jamuan yang akan diadakan di rooftop. Melihat banyaknya jumlah mereka yang mungkin lebih dari sepuluh orang membuatku berkeyakinan bahwa tidak ada yang membutuhkan bantuanku.
“Coba kalian cicipi buatan mereka. Siapa tau ada yang keasinan atau kebanyakan merica,” kata Mama Jennie ketika kami bertiga mendekati stainless table.
Seorang perempuan muda datang menghampiri kami. Dia membawa troli berisi tiga buah piring yang terdiri dari appetizer, main course, dan dessert. Sumpah, platting-annya cantik banget! Aku sampai speechless dan tidak tega memporak-porandakan seni yang mereka ciptakan. Ini memang bukan pengalaman pertamaku mencicipi hidangan di rumah keluarga Adendra. Aku bahkan pernah disuguhi hidangan yang membuat mood-ku meningkat tajam. Namun, kali rasanya sungguh berbeda karena Mama Jennie dan Papa Adendra mengundang seluruh sanak saudaranya, membuat dinner malam ini terasa sangat spesial.
Aku diberikan satu piring kecil kosong dan sendok untuk mencicipi ketiga hidangan. Saat aku hendak menyedok appetizer yang aku tidak tahu apa namanya, Mama Jennie tiba-tiba beristighfar dan menepuk pelan pundakku. Aku menatapnya tanpa bertanya. Tatapan dan ekspresiku mungkin sudah cukup mewakili pertanyaan yang tidak kuucapkan.
“Mama lupa ngundang orang tua kamu, Jena.” Dia tampak sangat menyesal. Kupikir dia tidak sedang berakting lupa. “Bentar, ya.” Dia meletakkan piring dan sendoknya ke meja. “Mama mau telepon mereka dulu. Semoga aja mereka bisa datang,” katanya seraya berjalan pergi tanpa menunggu jawabanku. Ah, sebenarnya aku juga malas memberikan jawaban. Biarlah Mama Jennie sendiri yang mengundang orang tuaku karena ini adalah acaranya, bukan acaraku.
“Ini apa, sih? Risoles, ya?”
Pertanyaan Tante Manda kepada ART muda itu membuatku terdistraksi dari kepergian Mama Jennie. Aku menatap sendok Tante Manda yang sedang menekan-nekan makanan berbentuk segi tiga. Dari bentuk dan tampangnya, kupikir itu memang risoles.
“Iya, Bu. Isinya ada mayonise, smoked beef, ayam, kentang, wortel, jagung, daun bawang, seledri, dan telur rebus,” terangnya cukup rinci.
“Oh, complicated juga, ya, isinya. Tapi umum, kayak enggak ada effort. Tampilannya doang yang cetar badai.”
Seandainya aku berada di posisi ART, mungkin aku akan melempar risoles itu ke wajah Tante Manda. Aku cukup tersinggung dengan kata ‘doang’ yang seakan menjadi pelengkap hinaannya. Ucapannya terdengar sangat tidak menghargai apa yang dilakukan oleh mereka yang sudah bekerja keras.
Ya, sudahlah! Aku tidak peduli! Sekarang aku hanya ingin mencicipi rasanya. Aku tidak boleh membiarkan air liurku menetes keluar hanya gara-gara ngiler melihat tampilan luarnya yang begitu menggoda.
“Emmmmm, ya Tuhan ini enak banget!” pujiku setelah merasakan kelezatan hidangan pembuka yang baru saja kucicipi. Mayonise-nya tidak terlalu asam dan sangat lembut. Garam dan mericanya pas. Manisnya juga dapat. Mungkin dari jagung manis. Meskipun hidangannya sangat biasa, rasanya benar-benar istimewa.
“Good!” Tante Manda manggut-manggut, mengakui kelezatan hidangan yang sempat dipandang sebelah mata.
“Astaga!” Aku terkinjat sambil memegang dada. Aku juga refleks memboyong badan ke arah Tante Manda gara-gara kemunculan Jevin yang benar-benar mengagetkanku. “Kenapa muncul kayak jelangkung, sih? Permisi dulu bisa, ‘kan?” omelku pada Jevin yang sedang memperhatikan makanan.
Aku benar-benar tidak menyadari, kapan lelaki itu berdiri di sebelahku. Langkah kedatangannya tidak terdengar sama sekali.
Berbeda denganku yang mengalami sport jantung dadakan, orang yang kuomeli malah menggedikkan bahu tak acuh. Dia mengambil piring dan sendok yang tadinya dipegang mamanya, lalu ikut mencicipi risoles.
“Gimana, Vin? Enak?” tanya Tante Manda. Dia menatap Jevin penuh harap seolah komentar lelaki itu sangat berarti untuk keabsahan hidangan.
Jevin tidak merespons lebih dari sekadar anggukan. Dia memang tidak pemilih kalau soal makanan. Dia tidak pernah protes disuguhi apa pun, mungkin jika batu sekalipun.
“Kalau kamu enggak protes berarti risolesnya memang enak,” kata Tante Manda yang membuatku berdecih dalam hati. Dia beranggapan bahwa pendapat Jevin menentukan segalanya, padahal dia sendiri tadi sudah mengakui kelezatan risoles itu.
'Tante Manda enggak tau aja kalau Jevin itu enggak tau apa-apa soal rasa.'
“Next, main course-nya,” kata Tante Manda sambil menarik piring berisi steak. “Yuk, kita icip lagi,” ucapnya penuh semangat.
Berbeda dengan saat mencicipi risoles yang penuh antusias, kali ini aku mendadak kehilangan selera. Aroma panggangan daging itu membuat perutku bergejolak.
'Tck, enggak bisa, nih. Bahaya kalau gue sampai mual di sini. Tante Manda, ‘kan, pengalamannya segudang. Dia pasti ngeh kalau gue hamil walaupun cuma gue mual.'
Aku meletakkan piring dan sendok, lalu sedikit menyerongkan badan ke arah Tante Manda. “Maaf, Tan, aku ke toilet, ya. Mules,” kataku penuh dusta. Aku bahkan berakting sakit perut dengan cara mengusap perutku dengan gerakan memutar dan mengerucutkan semua bagian wajahku. Masa bodoh jika wajahku dibilang jelek! Siapa yang peduli soal muka di situasi seperti ini?
Setelah Tante Manda mengangguk, aku langsung angkat kaki meninggalkan dapur, tak sudi berada di pijakan yang sama dengan Jevin. Selagi bisa menghindar, maka aku akan menjauhinya sebisaku. Aku nyaris menghentikan aktingku dan mengembalikan raut mukaku seperti semula andai saja tidak berpapasan dengan Mama Jennie.
“Mau ke mana, Jena?” tanyanya sambil memegang lenganku.
“Toilet, Ma. Tiba-tiba mules.”
“Loh, kenapa? Gara-gara makanannya, ya?” tebaknya yang langsung kusanggah dengan gelengan.
“Udah dulu, ya, Ma. Aku buru-buru.” Aku mendramatisir akting mulasku yang berhasil membuat Mama Jennie menyuruhku buru-buru pergi.
Meskipun mulas ini hanya pura-pura, aku tetap pergi ke toilet untuk menenangkan diri. Ya, menenangkan diri. Didekati oleh kanebo kering tadi membuat mood-ku berantakan. Aku memang melupakan permasalahan resign. Namun, melihatnya memainkan HP di tangga tadi membuatku kembali memikirkan hubungannya dengan Vivian.
'Yaelah! Kok, mules beneran? Pasti gara-gara duduk di atas kloset, nih. Klosetnya manggil-manggil minta dipakai.'
Setelah menuntaskan hajat dadakan yang baru datang saat duduk di kloset, aku akhirnya keluar toilet tanpa memuntahkan isi perut. Aneh memang, bukannya muntah, aku justru membuang hajat. Mungkin ini karma dari dustaku yang jadi kenyataan. Tapi, baguslah! Dengan begitu, aku jadi tidak terhitung dusta, ‘kan?
Begitu membuka pintu toilet, aku nyaris terkena serangan jantung untuk yang ke dua kali dalam sehari. Sepertinya malaikat maut sedang mengingatkanku bahwa kematian bisa datang kapan saja dan di mana saja.
“Kenapa ada di sini lagi, sih?” tanyaku setengah mengomel dan mengelus dada untuk menenangkan jantungku yang kelabakan.
“Saya cuma mau ngingetin, jangan kasih tau siapa pun soal kehamilan kamu,” jawabnya dengan irama, tatapan, dan ekspresi yang sama datarnya. Kedua tangannya bahkan terkantong rapi dalam celana.
'Maunya apa, sih? Vivian dikasih tau, tapi keluarga enggak. Apa, sih, arti Vivian buat dia?'
Aku menghela napas sambil merotasikan bola mata.
'Repot-repot nyamperin ke sini cuma buat mastiin gue tutup mulut? Tck-tck-tck! Keterlaluan banget memang!'
“Ya-ya-ya-ya!” Aku mengangguk. “I’m not senile! Aku ingat apa aja yang enggak dan boleh kulakuin sebagai istri Jevin,” balasku rada-rada malas.
“Pertama enggak boleh tanya ke mana, di mana, dan sama siapa. Dua bersedia ‘digauli’ sebanyak dua kali dalam seminggu, tepatnya di hari Senin dan Kamis. Tiga istri diwajibkan melahirkan empat anak dalam kurun waktu lima tahun. Jika dalam waktu setahun pernikahan Istri enggak bisa kasih anak, Suami berhak menjatuhkan talak satu,” ejaku sambil menyatukan kedua tangan di bawah dada. Aku ingin menunjukkan bahwa ingatanku tidak perlu diragukan.
“Ah!” Aku menjentikkan jari. “Mungkin sekarang tambah lagi aturan yang harus dimasukkan dalam paper; enggak boleh kasih tau siapa pun kalau aku hamil.” Aku mengangguk seakan itu adalah ide kreatif yang patut diapresiasi. “Mungkin nanti bakal nambah lagi aturan baru; aku enggak boleh keluar rumah sampai melahirkan supaya enggak ada satupun orang yang tau bahwa aku hamil. Itu, ‘kan, alasan kamu nyuruh aku resign? Kamu takut orang-orang kantor lihat perut aku yang membesar atau dengar aku muntah-muntah?” tuduhku dengan sebelah alis terangkat.
Ekspresinya yang tetap datar membuatku mengambil kesimpulan bahwa semua tuduhanku benar dan itu membuatku tertawa miris. Lucunya, entah kenapa hatiku malah merasa tercubit. Hal yang kuinginkan adalah setidaknya Jevin menggelengkan kepala meski hanya berdusta. Bukankah kebohongan akan terasa manis bagi orang yang dibohongi? Apa salahnya memberiku hal yang manis-manis? Toh, itu semua tidak akan membuatnya mati, ‘kan?
Aku menghela napas untuk mengurai rasa sesak yang mendadak memenuhi dada. Kuurai lipatan kedua tanganku, lalu kukibaskan rambutku. “Okay, setelah kerjaanku selesai, aku bakal resign dan liburan ke luar negeri,” putusku. “Aku bakal pergi sejauh yang kubisa supaya orang-orang; keluarga dan tetangga, enggak ada satu pun yang tau kalau aku hamil. Kamu tenang aja.”
Lagi-lagi aku merasakan cubitan yang menyakitkan di ulu hatiku. Sumpah, aku tidak tahu bahwa kehamilanku bagaikan aib yang harus ditutup rapat. Aku bahkan tidak tahu, kenapa aku mengalah dan berinisiatif meninggalkan negaraku sendiri hanya untuk menuruti keinginan Jevin.
Untuk pertama kalinya aku melihat kening Jevin berkerut meski hanya sepersekian detik. Apakah itu pertanda bahwa dia tidak sependapat dengan ucapanku?
Ah, masa bodoh! Aku ingin liburan ke luar negeri, sendirian, dan melewatkan masa kehamilanku tanpa menatap wajahnya yang menyebalkan. Aku bisa mengurus semua keperluanku sendiri. Aku tidak membutuhkannya. Aku bahkan bisa melahirkan sendiri. Bukankah segala sesuatu tentang kehamilan dan melahirkan dapat dipelajari dari internet dan YouTube?
“Bye!” ucapku seraya melambaikan jari sebelum pergi. Aku berjalan tanpa ada niatan menoleh sedikit pun. Kusatukan kembali kedua tanganku di bawah dada yang entah kenapa merasa sesak. Sialnya lagi, kedua mataku juga mendadak digenangi air.
'Ah, sialan! Masa gara-gara ini doang gue jadi mewek, sih? Enggak strong banget!'
Aku menadahkan wajah dan mengipas-ngipasi mataku yang berair, berharap bahwa genangan ini bisa segera surut tanpa upaya yang berarti. Setelah merasa lebih baik, aku pun mengembalikan posisi wajah. Namun, langkahku mendadak membeku saat melihat Vivian melangkahi pintu utama bersama lelaki setampan Song Joong Ki. Di depan mereka, ada sepasang orang tua yang sedang berpeluk hangat dengan Papa Adendra. Melihat adegan itu saja sudah cukup membuat otakku yang cerdas bisa mengambil kesimpulan bahwa pasangan orang tua itu adalah mertua Vivian dan lelaki yang digandengnya adalah suaminya.
'Apa mereka diundang juga? Setau gue, dinner malam ini, ‘kan, cuma buat keluarga besar Adendra doang. Tadi Mama Jennie bahkan nyaris kelupaan ngundang orang tua gue. Terus, ngapain keluarga itu ada di sini?'
Entah kenapa aku sangat refleks mengembuskan napas. Aku seperti orang yang kelelahan, padahal tidak melakukan aktivitas berat.
'Tapi, bagus juga, sih, kalau misalkan Vivian beneran selingkuh sama Jevin.'
Entah kenapa aku kembali teringat dugaan perselingkuhan. Aku bahkan tersenyum meski bukan jenis senyuman bahagia.
'Kalau misalkan cowok seganteng Song Joong Ki itu mau, gue enggak bakal nolak kalau dia minta gue jadi partner selingkuhannya meskipun cuma dalam rangka balas dendam.'
“Ngapain senyum-senyum sendiri? Gila?”
Untuk yang ke tiga kalinya dalam sehari, aku nyaris terkena serangan jantung lagi. Jevin rupanya sedang menguji ketahanan jantungku. Dia muncul dan berdiri tepat di sebelahku tanpa kusadari sama sekali. Aku heran, seringan apa langkahnya sehingga aku tak pernah mendengar derap sepatunya sama sekali.
“Iya. Aku gila. Kenapa? Malu punya istri kayak aku?” sahutku ketus sambil melengos berbalik arah. Rencananya aku ingin kembali ke dapur, malas menghampiri keluarga Vivian. Namun, aku membeku di tempat dalam keadaan badan terpulas karena tak sempat berbalik sempurna. Penyebab kebekuanku adalah ... tangan Jevin yang menggenggam lengan kananku.
'Ini orang kenapa lagi? Kenapa megang-megang tangan gue? Demi apa coba? Nyebrang aja gue enggak pernah digandeng. Tck! Jantung gue juga kenapa lagi? Kenapa pakai acara cenat-cenut kayak ABG labil yang jatuh 'centong', sih? Duuuuh, sadar, Jena! Sadar! Mungkin dia cuma mau bikin selingkuhannya 'cembokir'. Lo jangan 'geeruddin!'.'
'BRENGSEK! KANEBO SAMPAH! COWOK KURANG AJAR!'Kurasa makian itu belum cukup untuk menggambarkan kekesalanku pada Jevin. Bisa-bisanya dia menyeretku seperti karung beras saat mendatangi Papa Adendra dan rombongan keluarga Vivian. Apa dia tidak tahu bagaimana susahnya perempuan saat berjalan memakai heels setinggi 10 senti?“Pelan-pelan, dong, Mas! Aku jalannya susah, nih!” protesku yang tak digubrisnya. Jangankan memelankan langkah, dia justru mempercepat ritme ayunan kakinya.'Bangsat banget, nih, cowok! Semoga aja anak gue nanti bukan cowok. Gue enggak mau dia hidup berhati dingin dan kasar kayak papanya. Duh! Amit-amit banget pokoknya!'“Hello, Jevin! How are you?”tanya lelaki paruh baya yang mengenakan kacamata. Dia mengulurkan tangan dan tersenyum ramah kepada Jevin.Jevin menyambut uluran tangan itu dan menciumnya dengan sopan.'Ugh! Sok gentleman banget dia! Lagaknya udah kayak anak yang punya sopan
[Kenapa, sih, lo mau nikah sama dia?]'Astaga! Dia masih aja bahas kanebo kering.'“Lo kenapa nanya gitu, sih? Lo, ‘kan, udah tau jawabannya. Lagipula mana ada, sih, cowok yang mau sama gue? Cowok lain yang melihat gue pasti takut duluan. Takut di-matrein, takut diporotin, takut diinjak-injak sama keluarga besar gue. Kalau sama Jevin, ‘kan, aman. Starata status sosial gue ada di bawahnya dia. Jadi, dia enggak bakal merasa terinjak-injak sama keluarga gue.”Aku penggemar novel yang menceritakan tentang CEO-CEO yang jatuh cinta pada gadis miskin. Aku juga sudah sering menonton drakor dengan tema serupa. Permasalahan yang mereka hadapi pasti tidak jauh dari harga diri.Keluargaku bukan keluarga rakyat jelata yang kekurangan harta. Papaku direktur rumah sakit, sedangkan Mamaku dokter spesialis penyakit dalam. Intinya, keluargaku cukup terpandang di mata warga se-Kelurahan.Sementara itu, aku lebih banyak bergaul dengan kalangan
Meski sudah berusaha meyakinkan, nyatanya kedua wanita berstatus ‘Mama’ itu menertawakanku. Mungkin terlihat jelas di mata mereka bahwa aku sedang berbohong.Sekarang aku hanya bisa mengalihkan perhatian pada cangkir kosong di sebelah tangan kananku. Aku memanggil seseorang dan memintanya menuangkan kopi hitam di cangkirku. Setelah dituang, aku menenggaknya selagi panas. Aku tidak peduli dengan lidah dan tenggorokanku yang rasanya seperti terbakar.Saat kopiku habis, aku tertawa miris melihat Jevin dan Vivian keluar dari lift yang sama. Ketika itu, tidak hanya perutku yang terasa diaduk, tapi hatiku juga terasa ngilu, bahkan kepalaku mendadak pusing.Perutku bergejolak saat Jevin menarik kursi dan duduk di sebelahku. Aku langsung berdiri saat itu juga, membuat Mama, Mama Jennie, dan Jevin mendongak menatapku.“Sorry, Ma,” aku menatap Mamaku dan Mama Jennie secara bergantian, “aku sakit perut, nih,” dustaku sambil memega
“Lo kenapa mau-mau aja, sih, disuruh resign? Kalau lo enggak mau, harusnya lo berontak, dong! Bukannya lo udah mahir, ya, kalau soal pemberontakan?”Duduk memangku kardus berisi barang-barang, aku hanya bisa menghela napas mendengar pertanyaan atasan yang biasa kupanggil Bos Yudha. Dia sedang duduk bersandar di kursinya yang berukuran jumbo, itu pun masih tampak sesak karena bobot tubuhnya memang di ambang batas wajar. Dia seperti kesulitan duduk tegap karena perutnya yang buncit.'Ngomong-ngomong soal buncit, beberapa bulan ke depan mungkin perut gue bakalan sama kayak Bos Yudha. Bahkan mungkin lebih gede. Ah, bayanginnya aja rasanya begah banget.'“Woy!” tegurnya yang membuatku sedikit tersentak. “Yeee, malah melamun! Dengar enggak gue ngomong apa barusan?”“Dengar, Bos,” jawabku malas. “Tapi, ya, mau gimana lagi? Mas Jevin kalau udah ngomong A sampai kiamat pun enggak bakal berubah jadi B. Gue juga
Sepanjang perjalanan, entah sudah berapa kali supirku mendapat telepon dari Jevin. Ah, atau mungkin Vivian. Bahkan ada juga telepon dari rekan sesama supir di rumah. Mungkin Jevin yang memerintahkan semua supirnya untuk mencari keberadaan supirku.Ah, aku tidak peduli dengan Jevin. Dia tidak mungkin mengamuk hanya gara-gara aku tidak ke rumah sakit dan pergi tanpa izin, ‘kan?Sesampainya di Perpusda, aku mengambil beberapa buku fiksi agar terkesan seperti mayoritas pengunjung, padahal aku hanya ingin mendinginkan otak yang panas dan menenangkan hati yang gondok. Aku duduk di pojokan, tepatnya di meja panjang yang berada di bagian tengah. Aku membaringkan kepalaku di meja, tepatnya di atas tumpukan buku. Menghadapkan wajah ke dinding tembok. Juga memasang earphone wireless untuk mendengarkan musik. Kusetel lagu Geboy Mujaer milik Ayu Ting-Ting. Ini adalah lagu yang sering disetel Armand saat stress.'Digeboy-geboy mujaer, nang-ning-nong, nang-ning-nong, pat
“Jadi ngomong enggak, sih? Kok, pada diam?” Duduk di pinggir ranjangku, Vivian tampak bingung dan menggaruk kepala. Sementara itu, Jevin yang berdiri bersandar di lemari dengan kedua tangan terlipat di bawah dada juga tidak berkata apa-apa. Aku sudah tidak heran jika Jevin yang diam, tapi Vivian? Bukankah dia ke sini untuk memberitahuku sesuatu yang sulit dijelaskan Jevin sendirian? Lantas, kenapa dia ikut-ikutan diam? “Ini kalau enggak ada yang ngomong bakal kutinggal tidur, nih!” 'Emmmm, ancaman lo kayaknya enggak ekstrem, deh, Na. Masa ditinggal tidur doang? Ya, mana ngaruh? Coba kalau membunuh? Siapa tau ampuh.' Aku menggaruk rahang yang mendadak gatal. Sepertinya tidak ada gunanya mengancam kedua orang ini. Lihatlah! Keduanya masih bergeming. Bahkan tidak ada satu pun yang menatapku. Entah tidak berani atau belum siap. 'Kayaknya musti gue, deh, yang mengorek informasi.' “Kalian pernah pacaran, ya?” tanyaku seraya menatap k
Sekarang Jevin dan Vivian telah bertukar tempat. Jevin duduk di pinggir ranjang dalam posisi menghadapku, sementara Vivian berdiri di samping nakas. Dia tidak bergerak jauh dari kami.Jujur, saat ini hatiku ditikam oleh rasa sakit. Aku seorang istri dan calon mama. Saat pertama kali melihat hasil test pack, aku sudah berfantasi menimang dan menyusui anak. Aku bukan jenis perempuan yang tidak menyukai anak kecil. Pertumbuhan janin di rahimku begitu kutunggu-tunggu. So, wajar rasanya kalau pada detik ini aku merasa sakit hati mengetahui suamiku berpikir untuk menyerahkan anak kami kepada perempuan lain. Terlebih aku juga belum mengetahui apa alasan Jevin melakukan hal ini.“Jangan bilang kalau sejak awal alasan kamu menikahiku juga untuk ini, membantu Mbak Vivian?” tanyaku lagi, masih berharap bahwa setidaknya Jevin akan menggelengkan kepala meskipun tidak berkata ‘enggak’.“Sorry.”Satu kata itu seperti mantra sihir yang
Makan berdua, tapi rasanya seperti sendirian. Gara-gara pengakuan Armand yang mengejutkan, semua kosakata dalam otakku raib entah ke mana. Aku juga tidak tahu bagaimana harus bersikap. Daripada salah bertindak dan menyakiti perasaannya, diam adalah solusi terbaik sepanjang masa.Selesai menghabiskan dua burger, satu porsi kentang goreng, serta satu paket nasi dan ayam kentaki, aku benar-benar kekenyangan. Sepertinya Armand juga sama. Dia bersendawa nyaring sambil mengelus perutnya yang begah.Aku membereskan bekas kemasan makanan, sementara Armand pergi ke toilet. Kepergiannya membuatku menghela napas lega. Bukan apa-apa. Sepanjang acara makan, aku rasanya begitu sulit bernapas, khawatir jika adegan-adegan khilaf yang sering dikisahkan dalam novel terjadi dalam kisahku. Maksudku, aku takut Arman menciumku dan aku keenakan hingga kami terjerumus dalam perselingkuhan. Aku ke sini hanya untuk menghilangkan rasa sedihku, bukan menambah permasalahan baru dengan pria yang su
“Lah? Kok, ke sini? Mau jemput siapa?”Aku terheran-heran saat mobil berhenti di depan pelataran airport. Saat mengajakku pergi, Jevin memang tidak mengatakan ke mana tujuan kami. Bahkan ketika kutanya, dia mengeluarkan jurus andalannya, yakni diam seribu bahasa. Dia hanya menyuruhku mengenakan jaket dan membalut Levin dengan beberapa lapis selimut. Sekarang bayiku itu tertidur lelap di kursi paling belakang bersama Hanin, baby sitter-nya.Saat aku dirawat di rumah sakit, Jevin memutusan memakai jasa baby sitteruntuk meringankan bebanku. Aku setuju-setuju saja karena waktu itu kondisiku memang tidak bisa berbuat banyak untuk merawat Levin.“Enggak jemput siapa-siapa,” jawabnya tanpa mengalihkan fokus dari tablet. Entah apa yang dikerjakannya sejak tadi.“Enggak jemput siapa-siapa, kok, ke sini? Mau makan di sini? Atau jangan-jangan ... kamu mau pergi ke luar negeri lagi?”Ketika itu rasa bingungku bertambah
Aku dan Vivian berhadapan. Saling melemparkan tatapan kebencian dan kemarahan.“Coba ulangi lagi!” pintanya menggeram.“Iblis. Man-dul,” ulangku penuh penekanan dan kuakhiri dengan seringaian.Pada situasi seperti ini aku tidak ingin terlihat lemah. Aku bukan bawang putih atau cinderella yang bisa diinjak-injak. Aku Jena Dheandra Pratama, pendatang baru dalam dunia peribuan yang rela melakukan apa saja demi mendapatkan kembali anak pertamanya. Rela melakukan apa saja itu termasuk ...“Oh my God!LEPASIN RAMBUT GUE, JENA!”Menjambak rambut musuh dengan penuh nafsu. Seperti mencabut rumput.“Lepas aja sendiri kalau bisa,” balasku santai, tapi sambil mengejan untuk mengumpulkan seluruh tenaga ke cengkeraman kedua tanganku di rambutnya. Aku tidak peduli dengan rasa sakit yang menyodok-nyodok jahitan perutku. Aku juga tidak peduli pada teriakan Dewa yang memintaku melepaskan rambut istrinya. &l
Demi Tuhan aku berjanji tidak akan pernah meragukan ucapan orang lagi.Sesaat sebelum melangkahi pintu vila, aku meragukan cerita Jevin. Hatiku menolak percaya kalau Dewa memegang senjata api dan pecahan guci berserakan di mana-mana.Menurutku, ceritanya sangatlah tidak realistis. Di kehidupan nyata seperti ini mana ada orang yang mau berurusan dengan senjata api? Ini bukan era peperangan! Bukankah kepemilikan senjata api termasuk tindakan ilegal di Indonesia? Kurasa Dewa masih cukup waras untuk tidak melanggar hukum. Lagipula apa yang terjadi sampai pecahan guci berserakan di mana-mana? Apakah Dewa menembak guci itu sampai hancur lebur untuk menakuti semua orang? Atau Vivian mengamuk seperti orang gila karena tidak mau melepaskan Levin?Semua pertanyaan yang berjubelan dalam pikiran membuatku nyaris kehilangan kepercayaan kepada Jevin. Aku bahkan percaya kalau semua ini hanyalah prank.Semua orang berkomplot mengerjaiku. Semua polisi yang kutemui tadi hany
[Kamu ke mana, Na?]“Nyusul Jevin.”Aku memutar setir saat melintasi tikungan. Berkendara seorang diri tanpa penumpang. Mamaku menelpon ke HP-nya yang kucuri saat kabur dari rumah. Sementara HP-ku kutinggalkan di laci kamar yang kuncinya kubawa pergi.Sebenarnya bukan hanya HP Mama yang kubawa kabur, HP Mama Jennie, bibi-bibi di rumah, bahkan milik security pun kuboyong pergi. Total ada 8 HP di kursi sebelah yang kunonaktifkan semuanya.Kenapa aku mencuri? Nanti kujelaskan. Sekarang aku sedang membagi fokus menyalip truk dan bicara dengan Mama di telepon.[Astagaaaa! Anak ini bener-bener ... hish! Kamu, tuh, nyusahin orang tau enggak? Kenapa enggak duduk di rumah aja, sih? Jevin sama Papa pasti bisa bawa Levin pulang!]Aku berhasil menyalip truk. Beberapa meter di depan ada taksi argo dan mobil hitam yang menjadi sasaran selanjutnya.“Apa jaminannya, Ma?”Kuinjak pedal gas lebih dalam. Laju mobilku pun s
“I follow you.”Aku menggenggam pergelangan Jevin. Dia nyaris melangkah mengikuti rombongan tetua lainnya yang hendak berpencar ke jalanan mencari Vivian dan Dewa. Oh, bukan pasangan itu yang ingin dicari, melainkan Levinku. Persetan dengan pasangan sedeng itu. Kami semua tidak peduli. Fokus kami hanya berpusat pada keturunan Adendra dan Pratama.“No!” tolak Jevin, lengkap dengan gelengan.“Aku juga mau nyari Levin, Mas.” Aku memelas dan bangkit dari undakan tangga.“Jena! Nurut sama suami!” tegur Mamaku.“Iya. Kamu habis operasi, loh, kalau kamu lupa.” Mama Jennie ikut mengeroyokku.“Tapi, Maaa ....”“You must rest, Jena!Jangan nyusahin! Kalau kamu keras kepala dan tiba-tiba tumbang gimana? Pencarian Levin bisa terhambat gara-gara sebagian orang sibuk ngurusin kamu.”Okay,sepertinya Mamaku sudah tidak bisa dibantah. Matanya sudah me
“Loh? Kok, enggak ada?” tanyaku lebih kepada diri sendiri. Tidak ada satu batang hidung manusia pun yang kutemui di kamar Levin ketika Jevin membukakan pintu. Kami masih berpegangan tangan saat memeriksa boxLevin dan mendapati kekosongan di sana. Hanya ada bau minyak telon yang tertinggal di sana.“Pada ke mana, tuh, Pasutribawa anak kita?” tanyaku yang kali ini menatap Jevin.“Mas!” tegurku sambil mengguncang tangan kami. Anehnya dia masih bergeming seolah guncanganku tak berarti apa-apa.Ini aneh. Sekilas tatapan Jevin terlihat kosong, tapi saat kutelaah lebih lanjut sepertinya ada sorot kekhawatiran yang tersirat dalam matanya.'Ada apa? Apa dia mengkhawatirkan hal yang sama kayak yang gue rasain?'Ah, baiklah! Saat ini tidak ada gunanya menebak-nebak isi hati dan pikiran Jevin. Aku harus mencari Levin supaya bisa menyalurkan air susuku. Payudaraku sekarang lagi penuh-penuhnya dan itu membuatku mer
Sebenarnya aku tahu bahwa Jevin tipe lelaki yang masa bodoh dengan omongan orang. Kalau hanya dikatai ‘enggak kreatif’ dan ‘malas mikir’ kurasa hal itu tidak termasuk dalam kategori hinaan baginya. Lihatlah sekarang, wajahnya flat seperti biasa.Aku memberikan klarifikasi seperti tadi hanya sekadar menanggapi ucapan Dewa saja. Kasihan, ‘kan, kalau dia sudah berusaha memancing obrolan, tapi tidak ada yang mematuk umpan yang dia berikan?“Anak-anak desain nungguin di bawah, mau pamitan,” kata Jevin saat hendak mengambil alih Levin yang masih menyusu.“Lah? Mereka belum pulang, ya?”Kurasa sangat wajar jika Jevin mengabaikan pertanyaan yang jawabannya sudah terang benderang. Jelas-jelas Jevin baru saja bilang bahwa mereka mau pamitan, jadi bukankah itu artinya mereka belum pulang?Sekarang Levin sudah berpindah tangan kepada Jevin. Aku melepas apron setelah memastikan kancing bajuku sudah tertutup
“Boleh gendong enggak?”“Boleh, Mbak. Tapi saya kasih tarif, ya. Sejam 10 juta. Biar saya makin kaya, Mbak. Mau beli DisneylandHongkong soalnya.”Vivian terkekeh. “Sejuta, mah, gampang.”“Uwuw! Susah, ya, tawar-menawar sama menantu sultan, berapa aja dihajar asalkan pengin.”Aku dan Vivian tertawa bersama. Tentu saja obrolan tadi hanya bercanda. Mana mungkin aku menjadikan Levin Putra Adendra—putraku—sebagai alat penghasil uang? Toh, aku juga tidak kekurangan uang.Setelah 48 jam dikurung di inkubator dan menginap 3 hari di rumah sakit sambil menunggu pulihnya tenagaku, hari ini aku dan Levin sudah diperbolehkan pulang. Keluarga besarku mempersiapkan syukuran besar-besaran untuk menyambut kepulangan kami. Ya, sekalian dengan acara tasmiyah dan akikah katanya.Acara diadakan di kediaman Papaku, mengingat aku harus tinggal sementara dengan Mamaku untuk mempelajari cara merawat b
“Sorry,saya enggak bisa nepati janji.”Ucapan pembuka dari Jevin disambut gelengan kepala Vivian. Sejak lima menit yang lalu, Vivian dan Dewa datang ke kamarku. Tepatnya, Jevinlah yang memanggil mereka untuk menyelesaikan permasalahan anak yang masih mengambang.Vivian dan Dewa duduk di sofa, sementara Jevin berdiri tanpa menyandar pada apa pun. Dia berdiri tidak jauh dari ranjangku. Kedua tangannya terkantongi dengan baik.Aku nyaris tertawa saat tadi Vivian masuk kamar masih mengenakan bantalan fake pregnant.Besar perut palsunya itu kalah kecil dibandingkan perut asliku sebelum operasi. Hal yang membuat perutku tergelitik adalah cara berjalannya yang benar-benar meniru perempuan hamil, sedikit mengangkang dan memegang belakang pinggang seakan perut palsu itu benar-benar berat dan menyulitkannya dalam berjalan.Hal yang membuatku bertanya-tanya adalah apakah atribut itu masih diperlukan mengingat Dewa sudah mengetahui semua keboho