Apa yang ada di pikiran kalian saat mengetahui suami dekat dengan perempuan lain, padahal dia tidak dekat dengan kita? Kurasa normalnya kalian akan menduga adanya tindak perselingkuhan. Benar, ‘kan? Kemudian kalian akan mengamuk, menjambak si wanita dan menendang organ penting suami, atau mungkin kalian hanya bisa menangis-nangis meminta diceraikan?
Oh, come on, girls! Jangan lemah seperti itu! Dalam hidup ini, cinta yang murni dan sejati itu hanya ditujukan kepada Tuhan. Tidak perlu mencintai suami seluas samudera! Asalkan transferan tiap bulan tetap jalan, no problem! Abaikan saja! Toh, bukan kita yang rugi, ‘kan? Ya, kecuali kalau jatah uang bulanan berkurang, bolehlah kalian potong ‘itu’-nya. Ha-ha-ha!
Intinya, sebagai perempuan yang merasakan kecurigaan adanya perselingkuhan, aku tidak ingin bersikap lemah. Aku juga tidak ingin menyelidiki atau membalasnya karena tindakan itu sangat sia-sia dan membuang tenaga. Lebih baik aku memikirkan bagaimana cara agar koleksi liengerie-ku dalam lemari bisa membuat suamiku berpaling dari selingkuhannya.
Setelah menjalin komunikasi rahasia dengan suamiku, Vivian mengembalikan HP-ku tanpa rasa bersalah. Saat kutanya apa yang mereka bicarakan, dia bilang, “Tadi saya ngomelin dia. Bisa-bisanya dia membiarkan istri enggak kontrol-kontrol ke dokter, padahal itu sangat penting buat menjaga kehamilan kamu.”
“Oh, ya?”
'Ha-ha! Jangan kira gue bakal percaya, ya!'
“Terus-terus, apa katanya?” tanyaku pura-pura antusias.
“Yaaa, kamu tau sendiri, ‘kan, Jevin itu gimana? Anaknya pelit ngomong. Unresponsive!”
“Yaaaaah ....” Dengan segenap kemampuan akting yang kupunya, aku berpura-pura kecewa. “Kirain dia bakal nurut sama, Mbak. Ternyata ....”
Jangan salah! Ini hanya pancingan! Aku ingin melihat bagaimana reaksi Vivian kala kuanggap bahwa dirinya tidak berarti apa-apa untuk Jevin.
“Kamu tenang aja.” Dia tersenyum tipis dan memegang pundakku. Ini adalah kali ke dua dia menyentuhku. Sama seperti sebelumnya, aku tidak suka. “Kalau besok Jevin enggak bawa kamu cek kandungan, biar saya yang bawa.”
'Eh, buset! Biar apa coba? Biar orang-orang tau bahwa suami gue enggak peduli sama kehamilan gue? Hohoho! Enggak-enggak! Gue enggak bakal membiarkan orang-orang merendahkan gue!'
“Mbak baik banget, sih, padahal kita baru pertama—eh—maksud saya dua kali ketemu. Mbak dekat banget, ya, sama Mas Jevin? Emmm, atau mungkin kalian pernah pacaran?”
Meski hanya sekian detik, aku dapat menangkap raut keterkejutan di wajahnya.
'Haha! Kena lo! Gue enggak mudah dikibulin!'
Namun, Vivian sepertinya sudah sangat terlatih dalam mengendalikan mimik muka. Dia tertawa kecil dan menepuk lenganku pelan seraya menjawab, “Enggaklah! Mana mungkin? Jevin itu bukan tipe saya!”
'Oh, ya? Masa?'
“Eh, nama suami Mbak siapa, sih?” tanyaku kepo. “Kali aja saya kenal.”
Menjalin hubungan yang baik dengan perempuan terduga selingkuhan suami gue rasa bukan ide yang buruk. Siapa tau suatu saat gue bisa memerasnya seperti yang sering dilakukan karakter antagonist dalam sinema azab Ilahi. Sebelum gue melakukan hal itu, bukankah lebih penting mengetahui siapa suaminya? Kalau suaminya orang biasa yang enggak berpunya, ya, buat apa gue memeras dia. Apa juga yang mau diperas? Sperma?
Bukannya segera menjawab, Vivian lebih dulu memamerkan senyuman tenang. “Kamu pasti kenal, Na.”
'Oh, ya? Good-lah.'
“Dewa Angkasa Prima.”
“WHAT?” Aku terbelalak. “Anaknya Pak Angkasa Prima yang pengusaha tambang batu bara itu?” tanyaku seraya berharap bahwa tebakanku tidak benar.
Sayangnya, harapanku hancur lebur tatkala Vivian mengangguk penuh kepastian.
'Wah! Ini, mah, tambang buat pemerasan.'
Kupikir hanya aku perempuan beruntung yang dinikahi anak sultan. Aku lupa bahwa di luar sana ada banyak anak-anak sultan yang lebih mahasultan daripada Pak Adendra—mertuaku—bos besar dari PT. Adendra Timah Tbk. Memiliki tambang timah di Pulau Bangka beserta pabrik peleburannya membuatku berpikir bahwa mertuaku adalah pengusaha terkaya di Indonesia. Aku lupa bahwa di atas langit masih ada langit lainnya. Tentu mertuaku belum bisa menandingi kekayaan keluarga Angkasa Prima yang memiliki tambang batu bara di Kutai Timur dan Sumatra Barat.
“Kamu mungkin belum tau kalau mertua kita juga temenan.”
'Sesama pengusaha, ya, pasti temenan, ‘kan?'
Permusuhan antar pengusaha itu cuma ada di novel dan sinetron. Di dunia nyata, para pengusaha sibuk membangun citra.
“Suami saya sama Jevin juga saling kenal. Yaaa, meskipun enggak akrab.”
Aku manggut-manggut. Informasi itu menurutku sangat wajar mengingat bagaimana karakter Jevin yang antisosial.
Okay, sekarang informasi soal suaminya sudah berhasil kudapatkan. Sekarang saatnya mengorek informasi tentang hubungan mereka. Kalau mereka sering cekcok atau Vivian sering merasa tersudutkan gara-gara tak kunjung hamil, maka kemungkinan perselingkuhan dengan Jevin pastilah ada. Perempuan biasanya akan mencari kenyamanan di tempat lain kalau dia tidak menemukan kenyamanan di rumah suaminya. Meskipun kenyamanan itu didapat dari lelaki yang bukan tipenya.
“Terus gimana suami Mbak menanggapi permasalahan kalian? Apa dia menyalahkan Mbak?” tanyaku, berusaha back to the topic. “Kebanyakan cowok, ‘kan, suka melimpahkan kesalahan sama—”
“Saya memang enggak bisa hamil lagi, Na,” potongnya yang membuat keningku berkerut sebentar. Keberadaan kata ‘lagi’ menandakan bahwa sebelumnya dia pernah hamil.
Dia tersenyum getir dan menunduk. “Rahim saya diangkat waktu saya mengalami kecelakaan parah. Gara-gara itu saya enggak bisa hamil.” Dia menegakkan kepala, menatapku seraya tersenyum tabah.
Kata ‘lagi’ yang tadi tercetus kini mengundang beberapa persepsi di pikiranku. Meskipun dia tidak menyebutkan secara eksplisit bahwa dia ‘keguguran’ atau ‘kehilangan anak pertama’, aku tetap tidak bisa mengabaikan dugaan bahwa Vivian ‘pernah hamil’.
Penalaranku yang liar ini menciptakan skema tanpa diperintah. Bisa jadi Vivian mengandung anak dari lelaki lain sebelum menikah. Berhubung lelaki itu tidak mau bertanggung jawab—ah, ini cerita yang klise banget—maka Vivian menggugurkannya. Dalam upaya itu, terjadi hal yang buruk pada kandungannya yang membuat tim medis tidak memiliki pilihan selain mengangkat rahimnya. Selain itu, bisa jadi Vivian memang hamil anak suaminya saat baru-baru menikah, tapi keguguran.
“Suami Mbak memahami hal itu, ‘kan?” tanyaku hati-hati.
“Dia enggak tau, sih, kalau rahim saya diangkat.”
'HEI! WHAT DO YOU THINK?'
Aku berusaha keras menyembunyikan raut keterkejutanku. Aku berupaya tenang meskipun sebenarnya aku sangat tidak menyangka bahwa Vivian bisa menyembunyikan rahasia sebesar itu dari suaminya sendiri. Tidakkah dia berpikir bahwa menyimpan rahasia seperti itu justru akan merugikannya?
Vivian mulai menunjukkan ketidaknyamanan. Dia tertawa renyah dan kedua tangannya menggosok paha meski tidak kentara. Kemudian dia melirik arloji dan menarik napas kaget—entah itu hanya akting belaka atau memang sungguhan, aku tidak bisa membedakan.
“Ternyata udah jam 2, ya? Waktu enggak terasa banget kalau udah dibawa merumpi. By the way, saya harus ke airport sekarang.”
'Ya udah! Pergi aja sono!'
“Biasa, Dewa lagi betingkah, minta dijemput padahal udah ada supir yang standby 24 jam.”
'Waah! Perbudakan itu namanya! Jam kerjanya enggak manusiawi banget! Masa orang disuruh kerja 24 jam?'
“Saya pergi, ya, Na.”
'SILAKAN!'
“Diminum dulu, Mbak, tehnya. Kasian Bi Rahmah udah capek-capek bikin,” sergahku sebelum dia beranjak.
Meski terlihat sungkan, dia akhirnya meminum teh yang disuguhkan. Cara minumnya benar-benar elegan meski kentara sekali bahwa dia sedang buru-buru.
Huh, aku menyesal karena dulu tidak meminta Mama untuk mencarikanku kelas tata krama orang kaya. Aku merasa kalah telak dengan Vivian dari segi eleganitas.
Setelah berpamitan, dia turun ke bawah tanpa kuantarkan. Dia sendiri yang melarangku mengantarnya, katanya perempuan hamil harus banyak-banyak istirahat. Aku mengiakan saja meski sebenarnya tidak setuju. Sejauh yang kutahu, ibu hamil justru diminta banyak bergerak agar tetap fit.
Kepergiannya meninggalkan banyak tanya di pikiranku. Pertama, seakrab apa dia dengan Jevin hingga kanebo kering itu bercerita tentang kehamilanku, padahal dia melarangku memberi tahu keluarga. Ke dua, apa yang mereka bicarakan saat di telepon tadi sampai Vivian harus menjauhiku? Ke tiga, apa yang membuat Vivian menyembunyikan fakta tentang pengangkatan rahimnya dari sang suami? Apa pengangkatan rahim itu terjadi sebelum pernikahannya?
Ah, sudahlah! Untuk apa aku memikirkan sesuatu yang tidak akan menjadi uang? Lebih baik sekarang aku lanjut bekerja. Setidaknya aku harus berterima kasih pada Vivian, berkat kedatangannya rasa pusing dan mualku menghilang.
Puas menekuri layar laptop sampai mataku terasa pedas dan berair, aku pun beralih sebentar untuk mengambil segelas air putih di meja. Sambil minum, aku memerhatikan jam dinding yang menempel sejajar dengan smart LED TV 55 inch.
“Astaga!” Aku nyaris tersedak melihat jam. “Udah setengah lima?” Aku terbelalak. “Tadi Jevin bilang jam 5 gue udah harus selesai kerja, ‘kan?”
Aku buru-buru menutup semua lembar kerjaku dan mematikan macbook-ku. Sepanjang menekuri layar laptop tadi, aku sama sekali tidak memperhatikan jam digital yang tertera di pojok kanan bawah layar. Aku terlalu konsentrasi menyelesaikan desain template untuk kategori medsos.
Aku buru-buru ke kamar, membiarkan macbook-ku yang masih terbuka di atas meja. Aku harus mandi agar saat Jevin datang nanti dia tidak terlalu lama menunggu selesai berdandan. Maklum, perempuan sepertiku butuh waktu lebih dari satu jam hanya untuk bersolek dan memilih pakaian agar terlihat penuh effort.
Usai memoles bibir dengan lipstic warna peach, aku berpindah ke bagian Korean eyelash extension yang tampak sedikit kurang lentik. Kujepit bulu-bulu palsu itu dengan eyelash curler sampai lentiknya sesuai dengan keinginan. Kutambahkan juga eyeliner agar mataku tampak tegas dan tak mudah diintimidasi siapa pun. Setelah mengoles kelopak dengan eyeshadow satu warna yang senada dengan lipstick, sentuhan terakhir kupoleskan blash on warna peach di tulang pipi.
“Udah pulang, Mas?” tegurku saat Jevin masuk. Udah tau nanya. Aku membalas sendiri karena dia tak merespons. Dia mungkin menganggapku seperti udara yang tak kasat mata.
Kini aku beralih menata rambut. Hari ini, aku menginginkan model rambut yang lurus di atas dan ikal di bawah. Bermodal vitamin rambut dan catokan, aku sedikit memodifikasi rambutku yang aslinya sangat lurus. Ketika aku sibuk mengurusi rambut, dari pantulan cermin aku bisa melihat Jevin lewat di belakangku dan berkata, “Besok kamu harus cek kandungan. Saya temani.”
Entah apa alasan yang membuat tubuhku membeku. Mungkin karena aku tak menyangka Jevin peduli dengan kandunganku atau—mungkin lebih tepatnya—aku terkejut karena mengetahui dia bertidak seperti ini atas suruhan Vivian, bukan atas inisiatif sendiri.
Suara pintu kamar mandi yang tertutup mencairkan kebekuanku. Pundakku merosot lesu dan mataku menatap layu ke dalam cermin.
'Kayaknya bener, deh, Mas Jevin sama Vivian ada something.'
Aku menghela napas dan meletakkan catokan sedikit keras.
'Kenapa, sih, issue rumah tangga di mana-mana selalu sama? Enggak di dunia nyata, dunia maya, sinema azab ilahi, sinetron, sampai drama Korea isinya selalu aja sama, perselangkangan dan perselingkuhan!'
Ah, mungkin terlalu vulgar jika aku menyebut demikian, pasalnya aku belum mengetahui sejauh apa hubungan antara Jevin dan Vivian. Bisa jadi keduanya hanya berhubungan dekat—sama-sama punya perasaan tapi tidak bisa saling memiliki.
Tck! Tapi tetap saja aku tidak bisa mengenyahkan dugaan kalau hubungan mereka sudah mencapai tahap perselangkangan. Apalagi Jevin selama ini tidak pernah bersikap hangat padaku, ‘kan?
Tck! Cuek ajalah! Ngapain ngurusin mereka? Toh, Mas Jevin enggak mengurangi jatah nafkah lahir dan ....
Otakku yang terlewat cerdas ini mendadak mengaitkan apa yang terjadi hari ini dengan tiga persyaratan yang diajukan Jevin 5 jam setelah kami menikah. Jangan-jangan syarat berhubungan intim setiap Senin dan Kamis itu dibuat untuk memberikan jatah utama kepada Vivian?
Wah, kalau dugaan gue benar, Mas Jevin berarti kanebo brengsek!
Aku beranjak dari bangku dengan suasana hati yang kacau. Kubuka pintu ruang ganti pakaian. Kuambil satu set pakaian dalam yang terdiri dari underwear, bra, garter belt, hingga stocking super tipis yang warnanya senada dengan kulitku. Kutanggalkan seluruh pakaian dengan hati yang dongkol.
Meski tidak ingin mengakui, aku menyadari dan memahami sepenuhnya bahwa aku cukup terganggu dengan dugaan perselingkuhan suamiku. Ya, seharusnya aku memang tidak terganggu. Toh, jatah nafkah untukku tak berkurang sama sekali. Aku tidak dirugikan meskipun Jevin memiliki dua atau tiga selingkuhan di luar sana. Jevin itu anak orang kaya. Dia punya bisnis sendiri yang sekarang tengah berkembang pesat. Dia tidak akan kekurangan uang untuk membiayai istri dan selingkuhannya. Namun, entah kenapa aku tidak bisa membantah bahwa aku ... sakit hati.
Selesai memakai dalaman, aku buru-buru memasang black dress lengan tali spagetti yang panjangnya hanya setengah paha. Setelah itu kuambil beberapa perhiasan seperti anting, kalung, gelang, dan cincin, serta perlengkapan lain seperti handbag, dan heels. Aku keluar ruang ganti dengan tangan penuh berisi barang.
Saat aku keluar, Jevin berdiri bersandar di tembok samping pintu. Dia tidak akan masuk ke ruang ganti kalau aku di dalam. Mungkin pelanggaran privacy adalah salah satu hal yang dihindarinya meskipun kami jelas-jelas suami-istri.
Biasanya, aku akan menyapanya setiap kali bertemu pandang di ambang pintu. Kali ini, aku malas menatap wajahnya. Malas pula menyapa atau pura-pura tersenyum. Aku bahkan meninggalkan kamar dan memilih memasang semua perhiasan di sofa ruang keluarga.
“Eh, dari tadi HP gue ketinggalan di sini, ya?” gumamku saat memasang heels dan menatap HP di meja. Benda kesayanganku itu masih berbaring sexy di samping macbook.
Selesai memasang perhiasan, aku memeriksa HP dan mendapati 5 chat masuk dari Armand. Chat itu masuk jam 4 sore atau sekitar satu setengah jam yang lalu.
Armand Mustafa :
Ping
Ping
Ping
Pong
Gue bete! Help me!
“Sampah! Kebiasaan banget nge-chat isinya cuma ‘ping-pong’,” gerutuku sambil memikirkan balasan.
Aku :
I’m busy, kampret!
BTW, bete knp lo?
Kupikir Armand tidak akan langsung membalas mengingat chat-nya sudah berlalu hampir dua jam. Dia juga tidak online saat aku mengetik balasan. Oleh sebab itu aku cukup kaget mendengar notifikasi chat khusus Armand, yakni reffrain lagunya Ayu Ting-Ting berjudul Geboy Mujaer.
Digeboy-geboy mujaer, nang-ning-nong, nang-ning-nong.
Armand Mustafa :
Laki lo udah balik?
Pertanyaan itu membuat keningku mengernyit.
Aku :
Kenapa nanyain laki gue?
Ada noh lg ganti pakaian?
Mau gue videoin?
Armand Mustafa :
Iyuuuuh! GAK
Emangnya akika cowok apose?
Awalnya aku masih bisa terbahak membaca chat Armand. Namun, sepersekian detik kemudian, nyawaku seakan tercabut dari ubun-ubun setelah membaca chat berikutnya.
Armand Mustafa :
Lo udh tau blm kalo laki lo bilang ke Bos Yudha kalau seminggu lagi lo mau resign?
“WHAT THE ...?” Aku terlonjak dari sofa dalam keadaan mata melotot menatap HP. “He’s crazy!” pekikku dengan emosi yang melonjak tajam.
“Who is crazy?”
Aku menoleh dan mendapati kanebo gila itu sedang berdiri dengan kedua tangan tersimpan dalam saku celana. Astaga, tampang datarnya itu membuatku ingin melempar HP ke wajahnya.
Brengsek! Bisa-bisanya dia mengatur hidup dan matinya karir gue! Gue enggak pernah protes kalau dia pulang malam. Selama ini, gue juga enggak pernah kepoin kehidupan pribadinya, tapi kenapa, sih, dia musti bersikap seenaknya mengatur kehidupan gue? Apa karena gue istrinya? Apa karena istri harus nurut sama suami? Apa karena status sosial gue berada di bawahnya? Oh, come on, man! Gue enggak miskin-miskin amat! Gue enggak bisa diinjak-injak gini! Kalau dia memang lagi pengin cari gara-gara buat menjatuhkan talak ke gue, mending talak aja sekarang!
“Hello, Mam!” sapaku seraya ber-cipika-cipikidengan Mama mertua yang cantik membahana. Dia langsung menyambutku yang baru saja melangkahi pintu. Dia bahkan tidak menyapa putranya yang ‘nyelonong’masuk tanpa menyapa.'Huh! Dasar anak 'dulhakim'! Masa orang tua sendiri enggak disapa?'“How are you, Honey? Fine?Jevin kasih treatmentdengan baik, ‘kan?” tanyanya sembari memegang kedua lenganku.“Yes, of course, Mam!Coba aja kalau misalkan dia enggak nge-treataku dengan baik, huh! Aku bejek-bejek,tuh, pasti,” jawabku senormal mungkin.Aku ini bukan anak remaja labil yang suka mencurhatkan praduga kelakuan busuk suamiku kepada mamanya. Aku bukan perempuan melodrama yang cocok meniti peran sebagai sosok protagonist. Aku adalah Jena, perempuan selowdan santuyyang menghadapi masalah tanpa menimbulkan masalah. Anti diinjak-injak, tapi tidak balas menginjak-inj
'BRENGSEK! KANEBO SAMPAH! COWOK KURANG AJAR!'Kurasa makian itu belum cukup untuk menggambarkan kekesalanku pada Jevin. Bisa-bisanya dia menyeretku seperti karung beras saat mendatangi Papa Adendra dan rombongan keluarga Vivian. Apa dia tidak tahu bagaimana susahnya perempuan saat berjalan memakai heels setinggi 10 senti?“Pelan-pelan, dong, Mas! Aku jalannya susah, nih!” protesku yang tak digubrisnya. Jangankan memelankan langkah, dia justru mempercepat ritme ayunan kakinya.'Bangsat banget, nih, cowok! Semoga aja anak gue nanti bukan cowok. Gue enggak mau dia hidup berhati dingin dan kasar kayak papanya. Duh! Amit-amit banget pokoknya!'“Hello, Jevin! How are you?”tanya lelaki paruh baya yang mengenakan kacamata. Dia mengulurkan tangan dan tersenyum ramah kepada Jevin.Jevin menyambut uluran tangan itu dan menciumnya dengan sopan.'Ugh! Sok gentleman banget dia! Lagaknya udah kayak anak yang punya sopan
[Kenapa, sih, lo mau nikah sama dia?]'Astaga! Dia masih aja bahas kanebo kering.'“Lo kenapa nanya gitu, sih? Lo, ‘kan, udah tau jawabannya. Lagipula mana ada, sih, cowok yang mau sama gue? Cowok lain yang melihat gue pasti takut duluan. Takut di-matrein, takut diporotin, takut diinjak-injak sama keluarga besar gue. Kalau sama Jevin, ‘kan, aman. Starata status sosial gue ada di bawahnya dia. Jadi, dia enggak bakal merasa terinjak-injak sama keluarga gue.”Aku penggemar novel yang menceritakan tentang CEO-CEO yang jatuh cinta pada gadis miskin. Aku juga sudah sering menonton drakor dengan tema serupa. Permasalahan yang mereka hadapi pasti tidak jauh dari harga diri.Keluargaku bukan keluarga rakyat jelata yang kekurangan harta. Papaku direktur rumah sakit, sedangkan Mamaku dokter spesialis penyakit dalam. Intinya, keluargaku cukup terpandang di mata warga se-Kelurahan.Sementara itu, aku lebih banyak bergaul dengan kalangan
Meski sudah berusaha meyakinkan, nyatanya kedua wanita berstatus ‘Mama’ itu menertawakanku. Mungkin terlihat jelas di mata mereka bahwa aku sedang berbohong.Sekarang aku hanya bisa mengalihkan perhatian pada cangkir kosong di sebelah tangan kananku. Aku memanggil seseorang dan memintanya menuangkan kopi hitam di cangkirku. Setelah dituang, aku menenggaknya selagi panas. Aku tidak peduli dengan lidah dan tenggorokanku yang rasanya seperti terbakar.Saat kopiku habis, aku tertawa miris melihat Jevin dan Vivian keluar dari lift yang sama. Ketika itu, tidak hanya perutku yang terasa diaduk, tapi hatiku juga terasa ngilu, bahkan kepalaku mendadak pusing.Perutku bergejolak saat Jevin menarik kursi dan duduk di sebelahku. Aku langsung berdiri saat itu juga, membuat Mama, Mama Jennie, dan Jevin mendongak menatapku.“Sorry, Ma,” aku menatap Mamaku dan Mama Jennie secara bergantian, “aku sakit perut, nih,” dustaku sambil memega
“Lo kenapa mau-mau aja, sih, disuruh resign? Kalau lo enggak mau, harusnya lo berontak, dong! Bukannya lo udah mahir, ya, kalau soal pemberontakan?”Duduk memangku kardus berisi barang-barang, aku hanya bisa menghela napas mendengar pertanyaan atasan yang biasa kupanggil Bos Yudha. Dia sedang duduk bersandar di kursinya yang berukuran jumbo, itu pun masih tampak sesak karena bobot tubuhnya memang di ambang batas wajar. Dia seperti kesulitan duduk tegap karena perutnya yang buncit.'Ngomong-ngomong soal buncit, beberapa bulan ke depan mungkin perut gue bakalan sama kayak Bos Yudha. Bahkan mungkin lebih gede. Ah, bayanginnya aja rasanya begah banget.'“Woy!” tegurnya yang membuatku sedikit tersentak. “Yeee, malah melamun! Dengar enggak gue ngomong apa barusan?”“Dengar, Bos,” jawabku malas. “Tapi, ya, mau gimana lagi? Mas Jevin kalau udah ngomong A sampai kiamat pun enggak bakal berubah jadi B. Gue juga
Sepanjang perjalanan, entah sudah berapa kali supirku mendapat telepon dari Jevin. Ah, atau mungkin Vivian. Bahkan ada juga telepon dari rekan sesama supir di rumah. Mungkin Jevin yang memerintahkan semua supirnya untuk mencari keberadaan supirku.Ah, aku tidak peduli dengan Jevin. Dia tidak mungkin mengamuk hanya gara-gara aku tidak ke rumah sakit dan pergi tanpa izin, ‘kan?Sesampainya di Perpusda, aku mengambil beberapa buku fiksi agar terkesan seperti mayoritas pengunjung, padahal aku hanya ingin mendinginkan otak yang panas dan menenangkan hati yang gondok. Aku duduk di pojokan, tepatnya di meja panjang yang berada di bagian tengah. Aku membaringkan kepalaku di meja, tepatnya di atas tumpukan buku. Menghadapkan wajah ke dinding tembok. Juga memasang earphone wireless untuk mendengarkan musik. Kusetel lagu Geboy Mujaer milik Ayu Ting-Ting. Ini adalah lagu yang sering disetel Armand saat stress.'Digeboy-geboy mujaer, nang-ning-nong, nang-ning-nong, pat
“Jadi ngomong enggak, sih? Kok, pada diam?” Duduk di pinggir ranjangku, Vivian tampak bingung dan menggaruk kepala. Sementara itu, Jevin yang berdiri bersandar di lemari dengan kedua tangan terlipat di bawah dada juga tidak berkata apa-apa. Aku sudah tidak heran jika Jevin yang diam, tapi Vivian? Bukankah dia ke sini untuk memberitahuku sesuatu yang sulit dijelaskan Jevin sendirian? Lantas, kenapa dia ikut-ikutan diam? “Ini kalau enggak ada yang ngomong bakal kutinggal tidur, nih!” 'Emmmm, ancaman lo kayaknya enggak ekstrem, deh, Na. Masa ditinggal tidur doang? Ya, mana ngaruh? Coba kalau membunuh? Siapa tau ampuh.' Aku menggaruk rahang yang mendadak gatal. Sepertinya tidak ada gunanya mengancam kedua orang ini. Lihatlah! Keduanya masih bergeming. Bahkan tidak ada satu pun yang menatapku. Entah tidak berani atau belum siap. 'Kayaknya musti gue, deh, yang mengorek informasi.' “Kalian pernah pacaran, ya?” tanyaku seraya menatap k
Sekarang Jevin dan Vivian telah bertukar tempat. Jevin duduk di pinggir ranjang dalam posisi menghadapku, sementara Vivian berdiri di samping nakas. Dia tidak bergerak jauh dari kami.Jujur, saat ini hatiku ditikam oleh rasa sakit. Aku seorang istri dan calon mama. Saat pertama kali melihat hasil test pack, aku sudah berfantasi menimang dan menyusui anak. Aku bukan jenis perempuan yang tidak menyukai anak kecil. Pertumbuhan janin di rahimku begitu kutunggu-tunggu. So, wajar rasanya kalau pada detik ini aku merasa sakit hati mengetahui suamiku berpikir untuk menyerahkan anak kami kepada perempuan lain. Terlebih aku juga belum mengetahui apa alasan Jevin melakukan hal ini.“Jangan bilang kalau sejak awal alasan kamu menikahiku juga untuk ini, membantu Mbak Vivian?” tanyaku lagi, masih berharap bahwa setidaknya Jevin akan menggelengkan kepala meskipun tidak berkata ‘enggak’.“Sorry.”Satu kata itu seperti mantra sihir yang
“Lah? Kok, ke sini? Mau jemput siapa?”Aku terheran-heran saat mobil berhenti di depan pelataran airport. Saat mengajakku pergi, Jevin memang tidak mengatakan ke mana tujuan kami. Bahkan ketika kutanya, dia mengeluarkan jurus andalannya, yakni diam seribu bahasa. Dia hanya menyuruhku mengenakan jaket dan membalut Levin dengan beberapa lapis selimut. Sekarang bayiku itu tertidur lelap di kursi paling belakang bersama Hanin, baby sitter-nya.Saat aku dirawat di rumah sakit, Jevin memutusan memakai jasa baby sitteruntuk meringankan bebanku. Aku setuju-setuju saja karena waktu itu kondisiku memang tidak bisa berbuat banyak untuk merawat Levin.“Enggak jemput siapa-siapa,” jawabnya tanpa mengalihkan fokus dari tablet. Entah apa yang dikerjakannya sejak tadi.“Enggak jemput siapa-siapa, kok, ke sini? Mau makan di sini? Atau jangan-jangan ... kamu mau pergi ke luar negeri lagi?”Ketika itu rasa bingungku bertambah
Aku dan Vivian berhadapan. Saling melemparkan tatapan kebencian dan kemarahan.“Coba ulangi lagi!” pintanya menggeram.“Iblis. Man-dul,” ulangku penuh penekanan dan kuakhiri dengan seringaian.Pada situasi seperti ini aku tidak ingin terlihat lemah. Aku bukan bawang putih atau cinderella yang bisa diinjak-injak. Aku Jena Dheandra Pratama, pendatang baru dalam dunia peribuan yang rela melakukan apa saja demi mendapatkan kembali anak pertamanya. Rela melakukan apa saja itu termasuk ...“Oh my God!LEPASIN RAMBUT GUE, JENA!”Menjambak rambut musuh dengan penuh nafsu. Seperti mencabut rumput.“Lepas aja sendiri kalau bisa,” balasku santai, tapi sambil mengejan untuk mengumpulkan seluruh tenaga ke cengkeraman kedua tanganku di rambutnya. Aku tidak peduli dengan rasa sakit yang menyodok-nyodok jahitan perutku. Aku juga tidak peduli pada teriakan Dewa yang memintaku melepaskan rambut istrinya. &l
Demi Tuhan aku berjanji tidak akan pernah meragukan ucapan orang lagi.Sesaat sebelum melangkahi pintu vila, aku meragukan cerita Jevin. Hatiku menolak percaya kalau Dewa memegang senjata api dan pecahan guci berserakan di mana-mana.Menurutku, ceritanya sangatlah tidak realistis. Di kehidupan nyata seperti ini mana ada orang yang mau berurusan dengan senjata api? Ini bukan era peperangan! Bukankah kepemilikan senjata api termasuk tindakan ilegal di Indonesia? Kurasa Dewa masih cukup waras untuk tidak melanggar hukum. Lagipula apa yang terjadi sampai pecahan guci berserakan di mana-mana? Apakah Dewa menembak guci itu sampai hancur lebur untuk menakuti semua orang? Atau Vivian mengamuk seperti orang gila karena tidak mau melepaskan Levin?Semua pertanyaan yang berjubelan dalam pikiran membuatku nyaris kehilangan kepercayaan kepada Jevin. Aku bahkan percaya kalau semua ini hanyalah prank.Semua orang berkomplot mengerjaiku. Semua polisi yang kutemui tadi hany
[Kamu ke mana, Na?]“Nyusul Jevin.”Aku memutar setir saat melintasi tikungan. Berkendara seorang diri tanpa penumpang. Mamaku menelpon ke HP-nya yang kucuri saat kabur dari rumah. Sementara HP-ku kutinggalkan di laci kamar yang kuncinya kubawa pergi.Sebenarnya bukan hanya HP Mama yang kubawa kabur, HP Mama Jennie, bibi-bibi di rumah, bahkan milik security pun kuboyong pergi. Total ada 8 HP di kursi sebelah yang kunonaktifkan semuanya.Kenapa aku mencuri? Nanti kujelaskan. Sekarang aku sedang membagi fokus menyalip truk dan bicara dengan Mama di telepon.[Astagaaaa! Anak ini bener-bener ... hish! Kamu, tuh, nyusahin orang tau enggak? Kenapa enggak duduk di rumah aja, sih? Jevin sama Papa pasti bisa bawa Levin pulang!]Aku berhasil menyalip truk. Beberapa meter di depan ada taksi argo dan mobil hitam yang menjadi sasaran selanjutnya.“Apa jaminannya, Ma?”Kuinjak pedal gas lebih dalam. Laju mobilku pun s
“I follow you.”Aku menggenggam pergelangan Jevin. Dia nyaris melangkah mengikuti rombongan tetua lainnya yang hendak berpencar ke jalanan mencari Vivian dan Dewa. Oh, bukan pasangan itu yang ingin dicari, melainkan Levinku. Persetan dengan pasangan sedeng itu. Kami semua tidak peduli. Fokus kami hanya berpusat pada keturunan Adendra dan Pratama.“No!” tolak Jevin, lengkap dengan gelengan.“Aku juga mau nyari Levin, Mas.” Aku memelas dan bangkit dari undakan tangga.“Jena! Nurut sama suami!” tegur Mamaku.“Iya. Kamu habis operasi, loh, kalau kamu lupa.” Mama Jennie ikut mengeroyokku.“Tapi, Maaa ....”“You must rest, Jena!Jangan nyusahin! Kalau kamu keras kepala dan tiba-tiba tumbang gimana? Pencarian Levin bisa terhambat gara-gara sebagian orang sibuk ngurusin kamu.”Okay,sepertinya Mamaku sudah tidak bisa dibantah. Matanya sudah me
“Loh? Kok, enggak ada?” tanyaku lebih kepada diri sendiri. Tidak ada satu batang hidung manusia pun yang kutemui di kamar Levin ketika Jevin membukakan pintu. Kami masih berpegangan tangan saat memeriksa boxLevin dan mendapati kekosongan di sana. Hanya ada bau minyak telon yang tertinggal di sana.“Pada ke mana, tuh, Pasutribawa anak kita?” tanyaku yang kali ini menatap Jevin.“Mas!” tegurku sambil mengguncang tangan kami. Anehnya dia masih bergeming seolah guncanganku tak berarti apa-apa.Ini aneh. Sekilas tatapan Jevin terlihat kosong, tapi saat kutelaah lebih lanjut sepertinya ada sorot kekhawatiran yang tersirat dalam matanya.'Ada apa? Apa dia mengkhawatirkan hal yang sama kayak yang gue rasain?'Ah, baiklah! Saat ini tidak ada gunanya menebak-nebak isi hati dan pikiran Jevin. Aku harus mencari Levin supaya bisa menyalurkan air susuku. Payudaraku sekarang lagi penuh-penuhnya dan itu membuatku mer
Sebenarnya aku tahu bahwa Jevin tipe lelaki yang masa bodoh dengan omongan orang. Kalau hanya dikatai ‘enggak kreatif’ dan ‘malas mikir’ kurasa hal itu tidak termasuk dalam kategori hinaan baginya. Lihatlah sekarang, wajahnya flat seperti biasa.Aku memberikan klarifikasi seperti tadi hanya sekadar menanggapi ucapan Dewa saja. Kasihan, ‘kan, kalau dia sudah berusaha memancing obrolan, tapi tidak ada yang mematuk umpan yang dia berikan?“Anak-anak desain nungguin di bawah, mau pamitan,” kata Jevin saat hendak mengambil alih Levin yang masih menyusu.“Lah? Mereka belum pulang, ya?”Kurasa sangat wajar jika Jevin mengabaikan pertanyaan yang jawabannya sudah terang benderang. Jelas-jelas Jevin baru saja bilang bahwa mereka mau pamitan, jadi bukankah itu artinya mereka belum pulang?Sekarang Levin sudah berpindah tangan kepada Jevin. Aku melepas apron setelah memastikan kancing bajuku sudah tertutup
“Boleh gendong enggak?”“Boleh, Mbak. Tapi saya kasih tarif, ya. Sejam 10 juta. Biar saya makin kaya, Mbak. Mau beli DisneylandHongkong soalnya.”Vivian terkekeh. “Sejuta, mah, gampang.”“Uwuw! Susah, ya, tawar-menawar sama menantu sultan, berapa aja dihajar asalkan pengin.”Aku dan Vivian tertawa bersama. Tentu saja obrolan tadi hanya bercanda. Mana mungkin aku menjadikan Levin Putra Adendra—putraku—sebagai alat penghasil uang? Toh, aku juga tidak kekurangan uang.Setelah 48 jam dikurung di inkubator dan menginap 3 hari di rumah sakit sambil menunggu pulihnya tenagaku, hari ini aku dan Levin sudah diperbolehkan pulang. Keluarga besarku mempersiapkan syukuran besar-besaran untuk menyambut kepulangan kami. Ya, sekalian dengan acara tasmiyah dan akikah katanya.Acara diadakan di kediaman Papaku, mengingat aku harus tinggal sementara dengan Mamaku untuk mempelajari cara merawat b
“Sorry,saya enggak bisa nepati janji.”Ucapan pembuka dari Jevin disambut gelengan kepala Vivian. Sejak lima menit yang lalu, Vivian dan Dewa datang ke kamarku. Tepatnya, Jevinlah yang memanggil mereka untuk menyelesaikan permasalahan anak yang masih mengambang.Vivian dan Dewa duduk di sofa, sementara Jevin berdiri tanpa menyandar pada apa pun. Dia berdiri tidak jauh dari ranjangku. Kedua tangannya terkantongi dengan baik.Aku nyaris tertawa saat tadi Vivian masuk kamar masih mengenakan bantalan fake pregnant.Besar perut palsunya itu kalah kecil dibandingkan perut asliku sebelum operasi. Hal yang membuat perutku tergelitik adalah cara berjalannya yang benar-benar meniru perempuan hamil, sedikit mengangkang dan memegang belakang pinggang seakan perut palsu itu benar-benar berat dan menyulitkannya dalam berjalan.Hal yang membuatku bertanya-tanya adalah apakah atribut itu masih diperlukan mengingat Dewa sudah mengetahui semua keboho