"Satu. Tidak boleh bertanya ke mana, di mana dan bersama siapa."
Aku terdiam setelah membaca paragraf isi dari post-marriage requirements. Kutarik mataku dari lembaran kertas. Kutatap lelaki yang duduk di sofa seberang. Lelaki yang masih mengenakan setelan tuxedo lengkap dengan dasi kupu-kupu itu menyatukan kedua tangan di bawah dada.
"Perlu banget, ya, Mas, pakai beginian?"
Kuguncang kertas HVS yang tidak berharga ini. Mungkin akan berharga jika isinya adalah pernyataan kepemilikan tanah. Kenyataannya, kertas ini hanyalah sampah tidak berguna dan justru menjadi momok yang menggelikan untukku.
"Masa aku enggak boleh nanya kamu ke mana, dengan siapa, dan semalam berbuat apa?"
Ah, sepertinya otakku sedang melawak di situasi yang tidak tepat. Bagaimana bisa aku berhalusinasi mendengar reffrain lagu Kangen Band berjudul Yolanda, padahal tidak ada HP yang mengumandangkan playlist secara nyata? Bahkan tidak ada benda elektronik di atas meja tempatku menumpukan kedua siku saat ini.
Lucunya, lelaki yang kuajak bicara tidak menanggapi pertanyaanku sama sekali. Mata sayu dengan kelopak monolid itu hanya menatapku datar. Mungkin baginya suaraku hanyalah kicauan burung yang patut diabaikan.
Aku berdecak sebal seraya mengembalikan fokus mataku ke lembaran kertas. "Percuma ngomong sama batu," gumamku keras, sengaja ingin membuatnya tersinggung. Sayangnya, dia tidak merespons apa-apa. Mungkin hinaanku bukanlah masaalah besar baginya.
Dua. Bersedia 'digauli' sebanyak dua kali dalam seminggu, tepatnya di hari Senin dan Kamis.
Aku membenturkan kepala ke meja usai membaca paragraf isi yang kedua dalam hati. Geregetan, sebal, tapi rasanya tidak berdaya untuk mengajukan protes.
"Kenapa soal sex juga harus diatur, sih, Mas? Kita, 'kan, udah jadi suami-istri," rengekku sambil mengangkat kepala dan menatapnya. "Tujuan menikah, 'kan, supaya bebas berhubungan sex. Kalau dibatasi kayak gini, apa untungnya kita nikah?"
Lagi-lagi rengekanku diabaikan. Dia menatapku dengan netra sipitnya yang sayu.
Ya, ini memang salahku. Seharusnya sebelum menikah aku bertanya lebih dulu, apakah ada aturan yang ingin dia ajukan atau tidak. Aku yang menganggap pernikahan ini seperti pernikahan normal lantas setuju menikah tanpa mengetahui bahwa Jevin Putra Adendra-lelaki yang lima jam lalu mensahkan diri menjadi suamiku-telah mempersiapkan post-marriage requirements yang rumit. Ya, sebenarnya tidak rumit, mudah malah. Namun, tetap saja menurutku semua persyaratan yang dia ajukan tidak masuk akal. Kenapa dia enggak minta no sex aja sekalian?
Sebelum akad, dia tidak mengungkit adanya perjanjian tertulis seperti ini, jadi kupikir pernikahan kami akan baik-baik saja dan berjalan normal seperti pasangan pada umumnya. Seandainya aku mengetahui tentang persyaratan ini aku pasti akan menolak menikahinya. Buat apa menikah kalau untuk berhubungan badan aja waktunya musti dibatasi?
Sekarang aku sudah kepalang basah. Sudah menikah, tapi baru tahu bahwa ada persyaratan-persyaratan-tidak wajar-yang harus kupatuhi. Rasanya ingin sekali menolak, tapi takut menghadapi konsekuensinya. Aku belum membaca post-marriage requirements ini sampai habis, jadi aku belum mengetahui risiko apa yang akan kuhadapi jika menolak menuruti semua persyaratan ini.
Ah, sudahlah! Percuma bernegosiasi dengan kayu mati. Iyakan saja maka semuanya akan selesai. Toh, dia masih memberiku jatah sex.
Aku kembali menekuri kertas. Tiga. Istri diwajibkan melahirkan empat anak dalam kurun waktu lima tahun. Jika dalam waktu setahun pernikahan Istri tidak kunjung menunjukkan tanda-tanda kehamilan, Suami berhak menjatuhkan talak satu.
"Astaghfirullaaah!" Aku mengurut dahi. Mendadak kepalaku terasa pusing. "Belum apa-apa kamu udah ngomongin soal talak, Mas?" tanyaku tak habis pikir. "Sebenarnya, pernikahan model apa, sih, yang lagi kamu rancang?"
Jevin merapatkan punggungnya ke sandaran sofa, masih dengan kedua tangan yang menyatu di bawah dada. "Saya sudah pernah ngomong, 'kan, kalau pernikahan kita enggak bakal sama dengan pernikahan orang-orang. Saya butuh anak secepatnya. Saya enggak mau buang-buang waktu menunggu. Jadi, kalau kamu enggak bisa menghasilkan ...." Dia menggantungkan penjelasan dan mengangkat bahu.
Menghasilkan? Menghasilkan katanya? Aku tertawa miris. Apa dia menyamakan rahim gue dengan ladang sawah?
"Jadi, kamu cuma menjadikan aku sebagai pabrik anak dan babumu, Mas?" tanyaku dengan nada sinis.
"Pabrik anak, yes. But, babu, no! Saya mempekerjakan beberapa ART, jadi kamu enggak perlu menyentuh pekerjaan rumah tangga."
Aku menggaruk alis dan memejamkan mata, mencoba untuk berpikir dari sudut pandangnya. Sayangnya, semakin aku berusaha memahami maka semakin buntulah otakku. Aku tidak bisa menebak, apa sebenarnya masalah dan keinginan lelaki ini.
"Tapi, Mas, aku masih muda. Usiaku masih 25. Aku belum siap punya anak."
Aku memang ingin berhubungan sex, tapi jujur aku belum siap memiliki anak. Tanggung jawabnya berat. Belum lagi derita yang harus kuhadapi saat hamil, melahirkan, dan menyusui, semuanya butuh kesiapan mental.
"Kamu lupa usia saya berapa?"
Pundakku merosot lesu. Ya, aku memang lupa kalau usianya sudah menginjak 32 tahun. Aku pernah tertipu mengira usianya sepantaran denganku karena wajahnya kelihatan jauh lebih muda dari usianya. Tidak ada kerutan di wajahnya. Kulitnya masih kencang, putih, dan tampak sangat mulus, jauh dari komedo, apalagi komodo.
"Memangnya Mama Papa kamu udah kebelet nimang cucu, ya, Mas?"
Setahuku, faktor yang menyebabkan lelaki ingin menikah dan segera memiliki momongan salah satunya adalah karena desakan orang tua. Namun, sejauh pengamatanku selama enam bulan sebelum pernikahan ini, kedua orang tua Jevin tidak sekuno orang tua lainnya. Mereka orang tua yang open minded, slow, tidak otoriter, dan membebaskan putra mereka mengambil keputusan semaunya.
"Jangan bawa-bawa orang tua saya. Ini enggak ada hubungannya sama mereka."
Jawaban Jevin menegaskan bahwa orang tuanya tidak menuntut apa pun pada pernikahan kami. Namun, hal ini justru semakin membuatku bingung, gerangan apa yang membuatnya ingin cepat-cepat memiliki anak? Setahuku dia bahkan tidak menyukai anak kecil.
Ah, ya, sudahlah! Turuti saja! Kepalaku sudah pusing gara-gara tiara yang masih terpasang di atas sasakan rambutku. Aku ingin cepat-cepat masuk kamar, melepas gaun pengantin yang ribet ini, menggantinya dengan lingerie yang sexy, lalu menggoda Jevin untuk segera menyetubuhiku. Kebetulan hari ini juga hari Kamis. Sesuai persyaratan ke dua, bukankah seharusnya hari ini aku diberi jatah?
"Okay, I agree," putusku daripada pembicaraan ini berlarut-larut. Aku tidak ingin mencari gara-gara dengan mengatakan tidak setuju. Aku tidak ingin menjanda di usia pernikahan yang baru menginjak angka 5 jam. Bukankah akan sangat merugikan kalau aku mendapat talak sebelum merasakan nikmatnya malam pertama?
Aku memukul meja dengan kedua telapak tanganku, sekalian menjadikannya tumpuan saat hendak bangkit. 45 menit duduk bersila-meski di atas sofa tetap saja membuat kakiku keram dan kesemutan. Pinggangku juga terasa kaku. Mungkin efek kelelahan karena kesibukan resepsi seharian ini.
"Tanda tangan dulu!" titahnya sambil menggelindingkan signature pen ke hadapanku. Ketika itu, posisiku masih setengah bangun, bahkan kedua kakiku belum berdiri lurus.
"Ya ampun, Mas, aku udah setuju. Ngapain musti tanda tangan lagi, sih? Ini bukan perjanjian kerjasama, 'kan?" tanyaku setelah mengempaskan pantat kembali ke sofa.
Sayangnya, lelaki yang begitu irit bicara ini tak menggubris keluhanku. Mata sipitnya masih menatapku sayu.
Meski meringis kesal, aku akhirnya mengalah dan mengambil signature pen itu. Kububuhkan tanda tanganku di atas nama Jena Dheandra Pratama yang diapit tanda kurung.
Usai tanda tangan, kulempar signature pen itu ke sofa, tepatnya ke samping kanannya. Benda tak berdosa itu berakhir tragis dengan terjepit di antara punggung dan pantat sofa.
"Puas, 'kan, Mas? Udah, ya! Aku mandi dulu! Capek!"
"Kamu enggak ada permintaan?" tanyanya sambil menarik punggung dari sandaran dan mengurai lipatan kakinya. Dia mengulurkan tangan untuk mengambil kertas yang telah kutandatangani.
"Enggak ada," jawabku ketus, lalu bangkit dan ngacir ke kamar mandi. Namun, belum sampai setengah menit, aku kembali keluar untuk mengambil koper. Kuseret koperku ke dalam kamar mandi, lalu kubanting pintu keras-keras.
"Brengsek banget! Tau gini, enggak bakal gue terima lamaran orang tuanya. Udah kaku kayak kanebo kering, pelit ngomong, eh banyak aturan pula." Aku mendecakkan lidah seraya menggelengkan kepala. "Kayaknya gue harus mempersiapkan diri buat jadi janda kapan aja," ucapku pesimis sambil berlutut untuk membuka koper.
Aku dan Jevin sebenarnya satu kantor. Lebih tepatnya, dia adalah atasan dari atasannya atasanku-dengan kata lain dia adalah bos tertinggi alias CEO di Stencilindo. Stencilindo adalah tools desain grafis berbasis web, desktop, dan android. Aku bekerja di badan usaha ini sebagai graphic designer sejak usiaku masih 21 tahun, artinya sudah 4 tahun aku mengabdikan diri untuk kemajuan perusahaan Jevin.
Delapan bulan yang lalu, kantorku mengadakan anniversary party yang ke delapan. Pada momen itu, tasku dan tas mamanya Jevin tidak sengaja tertukar saat kami di toilet. Beliau yang lebih dulu pergi sambil berteleponan dengan seseorang tidak menyadari bahwa tas yang dijinjing bukanlah tasnya. Aku mengejarnya untuk mengembalikan tas kami.
Hal gila yang membuatku stress adalah saat mamanya Jevin mengaku kehilangan dompet. Menurut pengakuannya, dompet itu tadinya masih tersimpan dalam tas. Secara otomatis, aku merasa tertuduh sebagai tersangka karena akulah orang yang terakhir kali memegang tasnya.
"Sumpah, Bu. Saya enggak buka tas Ibu. Apalagi sampai ngambil dompetnya."
Begitulah klarifikasiku yang gugup dan panik. Aku bahkan sudah terbayang diseret ke kantor polisi dan menghabiskan malam di sel tahanan.
"Eh, enggak, kok. Saya enggak nuduh kamu yang ngambil," sangkalnya seraya mengibaskan kedua tangan. "Kalau kamu yang ambil, enggak mungkin kamu mau mengembalikan ke saya, 'kan?"
Meski beliau tidak menuduh, tetap saja aku merasa tidak enak hati. Aku sampai kebingungan memikirkan langkah apa yang bisa kuperbuat untuk membersihkan nama baikku dan menemukan dompet beliau.
Di momen genting itulah Jevin datang sebagai penyelamatku. Dia menghampirinya mamanya dan memberikan dompet-yang katanya tercecer di kursi penonton. Pada detik itu juga akhirnya aku mengetahui bahwa aku berurusan dengan mamanya bosku.
Sejak hari itu, entah kenapa aku dan mamanya Jevin kerap bertemu secara tidak sengaja, baik itu di mall ataupun salon kecantikan langgananku. Kami cocok dalam mengobrol hingga beberapa kali beliau mengajakku makan bersama.
Dua bulan kemudian beliau mengungkapkan keinginan untuk menjadikanku sebagai menantu. Waktu itu, aku senang sekali membayangkan diriku menjadi istri CEO setelah jomlo menahun. Kupikir dengan menjadi istri CEO kehidupanku akan menjadi lebih mudah dan santai. Aku lupa bahwa bosku ini memiliki karakter yang unik dan aneh.
"Kalau tau bakalan kayak gini, mending jomlo seumur hidup, deh. Soal sex gampang. Sekarang, 'kan, banyak jasa penyedia lelaki panggilan yang bisa memuaskan perempuan gatal sepertiku."
Ya, sefrustrasi inilah aku sekarang. Namun, apa hendak dikata? Pisang sudah terlanjur menjadi smoothies. Aku tidak mungkin meminta cerai saat aku sendiri belum 'mencicipinya'. Lagipula kasihan Papa dan Mamaku. Mereka pasti malu gara-gara putrinya menjadi janda setelah lima jam resepsi usai.
"Okay, you're so beautiful, Jena! You're sexy!" pujiku sambil meraba lekuk pinggangku. Pantulan diriku dalam cermin begitu memuaskan. Memakai lingerie hitam, ketat, dan kurang bahan membuat kepercayaan diriku bangkit. Jade double V bodysuit ini membuatku merasakan sensasi menjepit-jepit di bawah sana.
"Now it's time to let go of my virginity," gumamku mantap sambil memutar badan tanpa mengalihkan pandangan dari cermin.
Puas menyaksikan kecantikan diri, aku melenggang keluar kamar mandi dan mendapati Jevin sudah duduk bersandar dan berselonjor kaki di tengah ranjang. Dia sudah melepaskan tuxedo, menyisakan kemeja putih yang kedua lengannya ditarik sampai ke siku. Pandangannya terfokus pada tablet yang dipegang.
"Mas!" panggilku sensual sambil berjalan meliuk-liuk seperti wanita penggoda. Aku juga memilin-milin rambutku dengan telunjuk.
Jevin hanya melirikku sebentar, tapi kemudian kembali fokus pada tablet-nya. Dia tidak terganggu ketika aku merangkak naik, duduk di sebelahnya, dan meraba-raba dadanya.
"Hari ini Kamis, 'kan, Mas?" tanyaku yang masih betah menggunakan nada sensual. Aku bahkan berani menyandarkan kepala di pundaknya tanpa permisi.
"Kamu enggak malu, ya, kayak pelacur gitu?" tanyanya datar tanpa memindahkan fokus dari dokumen yang sedang dibaca.
"Enggak, dong! Aku, 'kan, sekarang istrimu, Mas," jawabku seraya menciumi curuk lehernya.
Perempuan lain mungkin akan tersinggung dengan sebutan 'pelacur' tadi. Namun, hatiku tidak sesensitif itu. Aku justru sengaja bersikap seperti pelacur agar bisa memuaskan libidoku yang tidak pernah tersalurkan demi mematuhi larangan agama dan adat istiadat. Masa bodoh dengan lidahnya yang tajam. Lagipula bukankah dia ingin segera mempunyai anak? Jadi, bukankah sekarang kami harus cepat-cepat memulai penyemaian benih?
Tapi, memang dasar kanebo kering! Aku sudah meraba-raba dan menciuminya di segala titik yang terbuka, tapi dia masih saja bergeming. Dia bahkan tidak terganggu saat menandatangani dokumen digital.
Kalau gini caranya, lama-lama gue bisa basah sendirian, nih. Duh, udah enggak tahan! Ini cowok kapan, sih, mau bereaksi?
Aku benar-benar heran, kenapa Jevin masih bisa terlihat tenang, padahal aku sudah memastikan bahwa miliknya sudah mengeras di bawah sana. Apakah dia tidak merasa sesak? Apakah dia belum tergoda untuk-
"Kamu enggak bisa sabar dikit, ya? Saya masih sibuk. Wait five minutes!" pintanya yang masih betah menatap layar gawai.
Baiklah. Asalkan bukan hitungan jam, aku rela menunggu.
Kira-kira adegannya bakal sama enggak, ya, kayak di film-film biru? Ah, kalau sama, gue khawatir kalau desahan gue bakal-eits! Hotel ini kedap suara, 'kan? Jadi, harusnya gue enggak perlu khawatir sama tetangga kamar sebelah. Gue bisa teriak sepuas hati.
Asyik! Akhirnya Jevin mematikan tablet dan meletakkannya di atas nakas sisi kiri. Aku sudah kegirangan karena mengira dia akan langsung mencumbuku. Ternyata, dia cukup lama berdiam diri dan menatapku datar tanpa ekspresi. Aku kehilangan semangat begitu mencapai menit ke tiga. Kupikir dia akan mengutarakan penolakan dengan alasan lelah untuk menghindari malam pertama, tapi ternyata ....
Kucing mana tahan kalau diiming-imingi ikan? Sekenyang-kenyangnya, dia pasti nyambar, kok.
Aku tertawa dalam hati saat merasakan keganasannya meraup bibirku. Dia seperti pemain pro yang baru saja dilepas untuk melawan si amatir.
Jika tadi aku berusaha mengitimidasi, sekarang justru akulah yang merasa terintimidasi. Cumbuannya benar-benar melelahkan dan tanpa jeda, membuatku kewalahan untuk hanya sekadar bernapas.
"Are you ready to start now?" tanyanya saat berhenti sejenak dengan napas tersengal-sengal.
Bukannya menjawab aku justru terperangkap ke dalam tatapan mata sipitnya. Kubelai pipinya, kusapu keringat di dahinya, lalu kuraup bibirnya. Semoga saja dia paham bahwa tindakanku adalah jawaban yes atas pertanyaannya.
Tiga bulan kemudian ...."Jangan bilang ke siapa pun kalau kamu hamil.""Ke Mamaku?"Jevin menggeleng."Ke Mama kamu?"Dia menggeleng lagi."Kenapa, Mas? Bukannya waktu itu kamu sendiri yang minta aku supaya cepat-cepat hamil? Terus kenapa sekarang aku diminta menyembunyikan kehamilanku seakan ini adalah aib?"Aku benar-benar bingung dengan pola pikir Jevin-unique, complicated, and unpredictable. Aku tidak pernah mengerti apa yang dia pikirkan. Kenapa ketika aku menunjukkan test pack dengan hasil positif dia tidak segembira yang kubayangkan? Kupikir dia akan mengangkat tubuhku tinggi-tinggi dan berputar-putar sembari mengucapkan terima kasih, lalu mengecup bibirku. Ya, seperti adegan klise yang dilakukan romantic couple dalam novel atau drama Korea. Namun, kenyataan yang terjadi justru di luar prediksi.Untuk ap
"Thankyou, Mas. Kamu baik juga ternyata," ucapku seraya menyandarkan punggung dan kepala ke dashboard ranjang.Aku membenahi jubah lingerie-ku yang terbuka di bagian paha. Sebenarnya aku bisa membiarkannya terbuka begitu saja. Namun, mengingat hari ini bukan hari dimana aku seharusnya mendapat jatah 'kepuasan', maka aku memilih menjaga diri. Jika mengumbar tubuh seperti tadi maka akulah yang tersiksa karena tidak mendapatkan jamahannya. Jevin benar-benar tidak menyentuhku selain hari Senin dan Kamis."Duuuuh, kamu, kok, sweet banget, sih, Mas? Coba kamu sering-sering kayak gini. Bisa mealting terus aku," ucapku saat Jevin menutupi kaki sampai pangkal pahaku dengan selimut.Seperti biasa, lelaki itu tak berniat menanggapi ocehanku yang tidak bermutu. Mata sipit itu jarang menatapku sekalipun kami berhadapan sedekat sekarang. Ekspresinya juga tak berubah, masih kaku seperti
“Hah? Tiga hari?”Aku memekik tak percaya. Kukorek kuping kananku yang sedang ditempeli HP. Semoga saja tadi aku salah dengar.[Iya, Jena. Tiga hari.]Aku berdecak kesal, lalu menjatuhkan diri ke sofa ruang keluarga yang berada di sebelah kamar.“Enggak bisa, Man. Tiga hari itu terlalu mepet. Kategori yang dikerjakan juga banyak banget, ‘kan? Medsos, photo collage, greeting card. Bisa keder gue kalau ngerjain itu semua sendirian dalam waktu tiga hari. Mana masing-masing kategori minimal 5 desain. Wah! Ini kelihatan banget, sih, pengin bunuh gue.”Beberapa saat yang lalu, aku sedang asyik mendesain template cover book untuk edisi bulan Maret nanti. Aku mendapat mandat dari Bos Yudha by phone karena mulai Senin kemarin aku sudah Work from Home alias bekerja dari rumah. Tidak sulit bagiku mendapat izin WFH karena Jevinlah yang turun ta
Apa yang ada di pikiran kalian saat mengetahui suami dekat dengan perempuan lain, padahal dia tidak dekat dengan kita? Kurasa normalnya kalian akan menduga adanya tindak perselingkuhan. Benar, ‘kan? Kemudian kalian akan mengamuk, menjambak si wanita dan menendang organ penting suami, atau mungkin kalian hanya bisa menangis-nangis meminta diceraikan? Oh, come on, girls!Jangan lemah seperti itu! Dalam hidup ini, cinta yang murni dan sejati itu hanya ditujukan kepada Tuhan. Tidak perlu mencintai suami seluas samudera! Asalkan transferan tiap bulan tetap jalan, no problem!Abaikan saja! Toh, bukan kita yang rugi, ‘kan? Ya, kecuali kalau jatah uang bulanan berkurang, bolehlah kalian potong ‘itu’-nya. Ha-ha-ha! Intinya, sebagai perempuan yang merasakan kecurigaan adanya perselingkuhan, aku tidak ingin bersikap lemah. Aku juga tidak ingin menyelidiki atau membalasnya karena tindakan itu sangat sia-sia dan membuang tenaga. Lebih baik aku memikirkan bagaimana
“Hello, Mam!” sapaku seraya ber-cipika-cipikidengan Mama mertua yang cantik membahana. Dia langsung menyambutku yang baru saja melangkahi pintu. Dia bahkan tidak menyapa putranya yang ‘nyelonong’masuk tanpa menyapa.'Huh! Dasar anak 'dulhakim'! Masa orang tua sendiri enggak disapa?'“How are you, Honey? Fine?Jevin kasih treatmentdengan baik, ‘kan?” tanyanya sembari memegang kedua lenganku.“Yes, of course, Mam!Coba aja kalau misalkan dia enggak nge-treataku dengan baik, huh! Aku bejek-bejek,tuh, pasti,” jawabku senormal mungkin.Aku ini bukan anak remaja labil yang suka mencurhatkan praduga kelakuan busuk suamiku kepada mamanya. Aku bukan perempuan melodrama yang cocok meniti peran sebagai sosok protagonist. Aku adalah Jena, perempuan selowdan santuyyang menghadapi masalah tanpa menimbulkan masalah. Anti diinjak-injak, tapi tidak balas menginjak-inj
'BRENGSEK! KANEBO SAMPAH! COWOK KURANG AJAR!'Kurasa makian itu belum cukup untuk menggambarkan kekesalanku pada Jevin. Bisa-bisanya dia menyeretku seperti karung beras saat mendatangi Papa Adendra dan rombongan keluarga Vivian. Apa dia tidak tahu bagaimana susahnya perempuan saat berjalan memakai heels setinggi 10 senti?“Pelan-pelan, dong, Mas! Aku jalannya susah, nih!” protesku yang tak digubrisnya. Jangankan memelankan langkah, dia justru mempercepat ritme ayunan kakinya.'Bangsat banget, nih, cowok! Semoga aja anak gue nanti bukan cowok. Gue enggak mau dia hidup berhati dingin dan kasar kayak papanya. Duh! Amit-amit banget pokoknya!'“Hello, Jevin! How are you?”tanya lelaki paruh baya yang mengenakan kacamata. Dia mengulurkan tangan dan tersenyum ramah kepada Jevin.Jevin menyambut uluran tangan itu dan menciumnya dengan sopan.'Ugh! Sok gentleman banget dia! Lagaknya udah kayak anak yang punya sopan
[Kenapa, sih, lo mau nikah sama dia?]'Astaga! Dia masih aja bahas kanebo kering.'“Lo kenapa nanya gitu, sih? Lo, ‘kan, udah tau jawabannya. Lagipula mana ada, sih, cowok yang mau sama gue? Cowok lain yang melihat gue pasti takut duluan. Takut di-matrein, takut diporotin, takut diinjak-injak sama keluarga besar gue. Kalau sama Jevin, ‘kan, aman. Starata status sosial gue ada di bawahnya dia. Jadi, dia enggak bakal merasa terinjak-injak sama keluarga gue.”Aku penggemar novel yang menceritakan tentang CEO-CEO yang jatuh cinta pada gadis miskin. Aku juga sudah sering menonton drakor dengan tema serupa. Permasalahan yang mereka hadapi pasti tidak jauh dari harga diri.Keluargaku bukan keluarga rakyat jelata yang kekurangan harta. Papaku direktur rumah sakit, sedangkan Mamaku dokter spesialis penyakit dalam. Intinya, keluargaku cukup terpandang di mata warga se-Kelurahan.Sementara itu, aku lebih banyak bergaul dengan kalangan
Meski sudah berusaha meyakinkan, nyatanya kedua wanita berstatus ‘Mama’ itu menertawakanku. Mungkin terlihat jelas di mata mereka bahwa aku sedang berbohong.Sekarang aku hanya bisa mengalihkan perhatian pada cangkir kosong di sebelah tangan kananku. Aku memanggil seseorang dan memintanya menuangkan kopi hitam di cangkirku. Setelah dituang, aku menenggaknya selagi panas. Aku tidak peduli dengan lidah dan tenggorokanku yang rasanya seperti terbakar.Saat kopiku habis, aku tertawa miris melihat Jevin dan Vivian keluar dari lift yang sama. Ketika itu, tidak hanya perutku yang terasa diaduk, tapi hatiku juga terasa ngilu, bahkan kepalaku mendadak pusing.Perutku bergejolak saat Jevin menarik kursi dan duduk di sebelahku. Aku langsung berdiri saat itu juga, membuat Mama, Mama Jennie, dan Jevin mendongak menatapku.“Sorry, Ma,” aku menatap Mamaku dan Mama Jennie secara bergantian, “aku sakit perut, nih,” dustaku sambil memega
“Lah? Kok, ke sini? Mau jemput siapa?”Aku terheran-heran saat mobil berhenti di depan pelataran airport. Saat mengajakku pergi, Jevin memang tidak mengatakan ke mana tujuan kami. Bahkan ketika kutanya, dia mengeluarkan jurus andalannya, yakni diam seribu bahasa. Dia hanya menyuruhku mengenakan jaket dan membalut Levin dengan beberapa lapis selimut. Sekarang bayiku itu tertidur lelap di kursi paling belakang bersama Hanin, baby sitter-nya.Saat aku dirawat di rumah sakit, Jevin memutusan memakai jasa baby sitteruntuk meringankan bebanku. Aku setuju-setuju saja karena waktu itu kondisiku memang tidak bisa berbuat banyak untuk merawat Levin.“Enggak jemput siapa-siapa,” jawabnya tanpa mengalihkan fokus dari tablet. Entah apa yang dikerjakannya sejak tadi.“Enggak jemput siapa-siapa, kok, ke sini? Mau makan di sini? Atau jangan-jangan ... kamu mau pergi ke luar negeri lagi?”Ketika itu rasa bingungku bertambah
Aku dan Vivian berhadapan. Saling melemparkan tatapan kebencian dan kemarahan.“Coba ulangi lagi!” pintanya menggeram.“Iblis. Man-dul,” ulangku penuh penekanan dan kuakhiri dengan seringaian.Pada situasi seperti ini aku tidak ingin terlihat lemah. Aku bukan bawang putih atau cinderella yang bisa diinjak-injak. Aku Jena Dheandra Pratama, pendatang baru dalam dunia peribuan yang rela melakukan apa saja demi mendapatkan kembali anak pertamanya. Rela melakukan apa saja itu termasuk ...“Oh my God!LEPASIN RAMBUT GUE, JENA!”Menjambak rambut musuh dengan penuh nafsu. Seperti mencabut rumput.“Lepas aja sendiri kalau bisa,” balasku santai, tapi sambil mengejan untuk mengumpulkan seluruh tenaga ke cengkeraman kedua tanganku di rambutnya. Aku tidak peduli dengan rasa sakit yang menyodok-nyodok jahitan perutku. Aku juga tidak peduli pada teriakan Dewa yang memintaku melepaskan rambut istrinya. &l
Demi Tuhan aku berjanji tidak akan pernah meragukan ucapan orang lagi.Sesaat sebelum melangkahi pintu vila, aku meragukan cerita Jevin. Hatiku menolak percaya kalau Dewa memegang senjata api dan pecahan guci berserakan di mana-mana.Menurutku, ceritanya sangatlah tidak realistis. Di kehidupan nyata seperti ini mana ada orang yang mau berurusan dengan senjata api? Ini bukan era peperangan! Bukankah kepemilikan senjata api termasuk tindakan ilegal di Indonesia? Kurasa Dewa masih cukup waras untuk tidak melanggar hukum. Lagipula apa yang terjadi sampai pecahan guci berserakan di mana-mana? Apakah Dewa menembak guci itu sampai hancur lebur untuk menakuti semua orang? Atau Vivian mengamuk seperti orang gila karena tidak mau melepaskan Levin?Semua pertanyaan yang berjubelan dalam pikiran membuatku nyaris kehilangan kepercayaan kepada Jevin. Aku bahkan percaya kalau semua ini hanyalah prank.Semua orang berkomplot mengerjaiku. Semua polisi yang kutemui tadi hany
[Kamu ke mana, Na?]“Nyusul Jevin.”Aku memutar setir saat melintasi tikungan. Berkendara seorang diri tanpa penumpang. Mamaku menelpon ke HP-nya yang kucuri saat kabur dari rumah. Sementara HP-ku kutinggalkan di laci kamar yang kuncinya kubawa pergi.Sebenarnya bukan hanya HP Mama yang kubawa kabur, HP Mama Jennie, bibi-bibi di rumah, bahkan milik security pun kuboyong pergi. Total ada 8 HP di kursi sebelah yang kunonaktifkan semuanya.Kenapa aku mencuri? Nanti kujelaskan. Sekarang aku sedang membagi fokus menyalip truk dan bicara dengan Mama di telepon.[Astagaaaa! Anak ini bener-bener ... hish! Kamu, tuh, nyusahin orang tau enggak? Kenapa enggak duduk di rumah aja, sih? Jevin sama Papa pasti bisa bawa Levin pulang!]Aku berhasil menyalip truk. Beberapa meter di depan ada taksi argo dan mobil hitam yang menjadi sasaran selanjutnya.“Apa jaminannya, Ma?”Kuinjak pedal gas lebih dalam. Laju mobilku pun s
“I follow you.”Aku menggenggam pergelangan Jevin. Dia nyaris melangkah mengikuti rombongan tetua lainnya yang hendak berpencar ke jalanan mencari Vivian dan Dewa. Oh, bukan pasangan itu yang ingin dicari, melainkan Levinku. Persetan dengan pasangan sedeng itu. Kami semua tidak peduli. Fokus kami hanya berpusat pada keturunan Adendra dan Pratama.“No!” tolak Jevin, lengkap dengan gelengan.“Aku juga mau nyari Levin, Mas.” Aku memelas dan bangkit dari undakan tangga.“Jena! Nurut sama suami!” tegur Mamaku.“Iya. Kamu habis operasi, loh, kalau kamu lupa.” Mama Jennie ikut mengeroyokku.“Tapi, Maaa ....”“You must rest, Jena!Jangan nyusahin! Kalau kamu keras kepala dan tiba-tiba tumbang gimana? Pencarian Levin bisa terhambat gara-gara sebagian orang sibuk ngurusin kamu.”Okay,sepertinya Mamaku sudah tidak bisa dibantah. Matanya sudah me
“Loh? Kok, enggak ada?” tanyaku lebih kepada diri sendiri. Tidak ada satu batang hidung manusia pun yang kutemui di kamar Levin ketika Jevin membukakan pintu. Kami masih berpegangan tangan saat memeriksa boxLevin dan mendapati kekosongan di sana. Hanya ada bau minyak telon yang tertinggal di sana.“Pada ke mana, tuh, Pasutribawa anak kita?” tanyaku yang kali ini menatap Jevin.“Mas!” tegurku sambil mengguncang tangan kami. Anehnya dia masih bergeming seolah guncanganku tak berarti apa-apa.Ini aneh. Sekilas tatapan Jevin terlihat kosong, tapi saat kutelaah lebih lanjut sepertinya ada sorot kekhawatiran yang tersirat dalam matanya.'Ada apa? Apa dia mengkhawatirkan hal yang sama kayak yang gue rasain?'Ah, baiklah! Saat ini tidak ada gunanya menebak-nebak isi hati dan pikiran Jevin. Aku harus mencari Levin supaya bisa menyalurkan air susuku. Payudaraku sekarang lagi penuh-penuhnya dan itu membuatku mer
Sebenarnya aku tahu bahwa Jevin tipe lelaki yang masa bodoh dengan omongan orang. Kalau hanya dikatai ‘enggak kreatif’ dan ‘malas mikir’ kurasa hal itu tidak termasuk dalam kategori hinaan baginya. Lihatlah sekarang, wajahnya flat seperti biasa.Aku memberikan klarifikasi seperti tadi hanya sekadar menanggapi ucapan Dewa saja. Kasihan, ‘kan, kalau dia sudah berusaha memancing obrolan, tapi tidak ada yang mematuk umpan yang dia berikan?“Anak-anak desain nungguin di bawah, mau pamitan,” kata Jevin saat hendak mengambil alih Levin yang masih menyusu.“Lah? Mereka belum pulang, ya?”Kurasa sangat wajar jika Jevin mengabaikan pertanyaan yang jawabannya sudah terang benderang. Jelas-jelas Jevin baru saja bilang bahwa mereka mau pamitan, jadi bukankah itu artinya mereka belum pulang?Sekarang Levin sudah berpindah tangan kepada Jevin. Aku melepas apron setelah memastikan kancing bajuku sudah tertutup
“Boleh gendong enggak?”“Boleh, Mbak. Tapi saya kasih tarif, ya. Sejam 10 juta. Biar saya makin kaya, Mbak. Mau beli DisneylandHongkong soalnya.”Vivian terkekeh. “Sejuta, mah, gampang.”“Uwuw! Susah, ya, tawar-menawar sama menantu sultan, berapa aja dihajar asalkan pengin.”Aku dan Vivian tertawa bersama. Tentu saja obrolan tadi hanya bercanda. Mana mungkin aku menjadikan Levin Putra Adendra—putraku—sebagai alat penghasil uang? Toh, aku juga tidak kekurangan uang.Setelah 48 jam dikurung di inkubator dan menginap 3 hari di rumah sakit sambil menunggu pulihnya tenagaku, hari ini aku dan Levin sudah diperbolehkan pulang. Keluarga besarku mempersiapkan syukuran besar-besaran untuk menyambut kepulangan kami. Ya, sekalian dengan acara tasmiyah dan akikah katanya.Acara diadakan di kediaman Papaku, mengingat aku harus tinggal sementara dengan Mamaku untuk mempelajari cara merawat b
“Sorry,saya enggak bisa nepati janji.”Ucapan pembuka dari Jevin disambut gelengan kepala Vivian. Sejak lima menit yang lalu, Vivian dan Dewa datang ke kamarku. Tepatnya, Jevinlah yang memanggil mereka untuk menyelesaikan permasalahan anak yang masih mengambang.Vivian dan Dewa duduk di sofa, sementara Jevin berdiri tanpa menyandar pada apa pun. Dia berdiri tidak jauh dari ranjangku. Kedua tangannya terkantongi dengan baik.Aku nyaris tertawa saat tadi Vivian masuk kamar masih mengenakan bantalan fake pregnant.Besar perut palsunya itu kalah kecil dibandingkan perut asliku sebelum operasi. Hal yang membuat perutku tergelitik adalah cara berjalannya yang benar-benar meniru perempuan hamil, sedikit mengangkang dan memegang belakang pinggang seakan perut palsu itu benar-benar berat dan menyulitkannya dalam berjalan.Hal yang membuatku bertanya-tanya adalah apakah atribut itu masih diperlukan mengingat Dewa sudah mengetahui semua keboho