"Ke rumah kita, Mas. Di sini, aku inget Ibu terus, aku mau Ibu bangun dan kembali. Padahal, aku kan gak boleh seperti ini, Mas. Aku gak mau bikin Ibu susah di sana karena sedihku ini."Mas Raffi langsung memelukku. Dia membelai kepalaku yang kini kembali tersedu. Aku benci dengan air mata ini. Kenapa sangat mudah jatuh dan membanjiri pipi? Aku ingin tegar. Aku ingin kuat dan tidak cengeng seperti sekarang ini. Kenapa? Kenapa selalu sakit jika mengingat Ibu? Tuhan .... Kenapa harus mengambil Ibu secepat ini? "Sabar, Sayang .... Ikhlas ...," tutur Mas Raffi. "Aku sudah ikhlas, aku ridho Ibu pergi, Mas. Tapi, tapi kenapa rasanya dadaku sesak mengingat Ibu, Mas? Aku merasa gagal jadi anak, aku gak bisa menemani dia dan membisikkan kalimat syahadat di telinganya. Aku bukan anak yang baik, Mas. Aku gagal.""Enggak. Kamu tidak gagal, Ra. Ini masalah waktu. Waktu yang tidak mengizinkan kita bertemu dulu dengan Ibu saat sakitnya dia. Buang rasa sesalmu, Sayang. Kamu anak terbaik, kamu su
"Bu Fatimah, hari ini kami akan pulang. Insya Allah, lain waktu kami akan kembali lagi ke sini. Jangan khawatirkan Raya, putri semata wayangmu. Kami akan menjaganya seperti putri kami sendiri."Aku tersenyum getir, merasakan dada yang berdenyut ketika Papa bicara di depan pusara Ibu. Hari ini keluarga suamiku akan pulang. Tapi, mereka menyempatkan diri untuk ke peristirahatan terakhir Ibu, mendoakannya seraya berpamitan. "Bu Fatimah, terima kasih sudah melahirkan Raya, mengizinkan dia berada di tengah-tengah kami. Seperti kamu yang tidak pernah menyia-nyiakan kehadirannya, begitu pun dengan kami. Ketulusan hatimu dan hatinya dalam menerima pinangan putra kami, tidak akan kami anggap sebelah mata. Jangan risau, Bu Fatimah .... Kami akan menyayanginya sampai kapan pun." Kali ini aku tersedu mendengar Mama yang berucap. Bayangan senyum Ibu saat aku jadi pengantin, hadir seperti potongan film yang mengingatkan aku akan masa itu. Pelukan serta usapan lembut di punggung Mas Raffi berika
Tidak ikut andil dia bilang? Oh, ya ampun, ringan sekali bibir Naima dalam berucap. Aku pikir, dia sudah berubah dan lebih dewasa dari sebelumnya. Namun, pemikiranku salah. Naima masih sama seperti dulu. Bibirnya masih begitu pedas dalam berkomentar. "Raya, jangan dengerin si Nai. Sudah, mendingan kamu segera berangkat saja, itu suamimu sudah menunggu." Bibi menyenggol lengan putrinya, kemudian menyuruhku tidak meladeni ocehan Naima. Aku juga tidak punya banyak waktu itu berdebat dengan Naima. Malah akan buang-buang waktu dan tenagaku saja. Seperti permintaan Bibi, aku pun masuk lagi ke dalam mobil dengan wajah ditekuk. Mas Raffi yang menyadari perubahan wajahku, dia mempertanyakan yang terjadi antara aku dan Naima tadi. "Tidak ada apa-apa, Mas. Sebaiknya kita berangkat sekarang," kataku pada Mas Raffi. Pria penyuka warna hitam itu segera melajukan mobil meninggalkan Bibi dan Naima di teras rumah. Entahlah mereka akan tetap di sana atau tidak saat nanti kami pulang, tapi kube
"Masya Allah, Ra .... Mertuamu baik banget! Mau atuh dibagi mertua macam mereka itu.""Hush! Kalau ngomong suka lolos rem. Sampai mati pun, Ibu enggak akan ridho, jika kamu jadi istri keduanya Nak Raffi. Enak aja, mau jadi pelakornya teman sendiri. Ibu gantung kamu di pohon pepaya." Mia yang tadi berucap lantang, kini bersembunyi di balik tubuhku setelah Bu Maeni mengecam ucapan bernada candaan putrinya itu. Saat pulang dari restoran A Yusuf tadi, ternyata di rumah sudah ada Mia dan ibunya. Karena mereka sudah kuanggap keluarga, aku pun menceritakan tentang kebaikan ayah dan ibu mertuaku kepada mereka. Hingga akhirnya Mia menanggapi curhatanku dengan guyonan. "Canda, Bu. Aku cuma becanda doang, kok," tutur Mia, dengan bibirnya yang mengerucut. "Lagipula, anaknya mertua Raya, kan bukan cuma Raffi, Bu. Ada dua kakaknya yang dokter itu.""Mikiiiiirr .... Mereka sudah punya anak istri. Lagipula, mana mungkin mereka melepaskan istrinya yang pada pintar dan cantik demi kamu yang burik."
"Mi, titip rumah, ya? Kalau kamu mau tinggal di sini, tinggallah. Aku tidak keberatan. Justru senang, karena ada yang ngurusi rumah peninggalan orang tuaku." Tanganku dan Mimi saling berpegangan, tubuh berhadapan dengan mata saling memandang. Setelah dari makam Ibu, kini aku pamit pada Mimi, yang datang membawa beras untuk kubawa ke kota. Sudah ditolak, tapi ia dan ibunya kekeh ingin memberikannya. Aku dan Mas Raffi pun menerima pemberian Mimi dan keluarganya yang sudah teramat baik. "Enggak, Ra. Aku gak mau tinggal di sini, aku takut keinget Ibu terus. Tapi aku janji, akan rutin bersihin biar tetap terawat," ujar Mimi. Aku berterima kasih untuk itu. Selain Mimi dan ibunya, Bibi dan Naima pun turut hadir dalam perpisahan ini. Adik dan keponakan Ibu itu, terlihat sedih karena tidak bisa memberikan apa-apa untukku. Sejak Bibi sakit stroke ringan, dia jadi tidak bisa bertani dan berkebun. Alhasil, sawahnya pun harus digadai ke orang untuk pengobatan. "Bi, aku ada sedikit rezeki b
"Bicara, dong, Ra. Perasaan sejak berangkat tadi, kamu diam terus."Aku melirik Mas Raffi, lalu tersenyum simpul. Masih dengan tanpa suara. Apa yang harus aku bicarakan? Tentang apa? Kami? Aku sedang tidak ingin membahas apa pun. Aku tengah menikmati perjalanan yang sunyi ini. Apalagi, hujan turun ringan, membuat suasana semakin terasa syahdu. "Bicara, Sayang .... Sepi banget." Mas Raffi kembali memancingku. "Bicara apa, sih, Mas? Gak ada yang harus dibicarakan," kataku seraya memperbaiki duduk. "Apa sajalah. Aku jadi ngantuk kalau kamu diam saja seperti itu."Hening kembali. Aku benar-benar tidak ada hasrat untuk membahas sesuatu dengan Mas Raffi. Aku hanya ingin merenung, membayangkan kenangan-kenangan indah yang pernah aku lalui bersama Ibu. Apakah saat ini aku sedang berada dalam fase penyesalan? Mungkin iya. Aku menyesali waktu, kenapa tidak menghubungi Ibu setiap hari ketika ia masih hidup. Tidak menanyakan kabarnya, sehat atau sakitnya dia saat itu. Sekarang, baru ak
"Raffi tadi mau ke mana, Ra? Keliatannya buru-buru banget?" tanya Mama, saat aku turun ke lantai bawah. "Mau ke RRC, Mah. Katanya ada masalah di sana. Tapi ... enggak bilang masalah apa.""Padahal baru saja pulang, belum juga istirahat, sudah pergi lagi."Aku tidak menanggapi Mama yang menggerutu. Perut yang keroncongan, membuatku meninggalkan Mama di ruang tengah, untuk pergi ke ruang makan. Kusimpan gelas bekas teh manis yang kubawa dari kamar di wastafel, lalu mencuci tangan, kemudian mengambil nasi.Sepi. Aku makan sendirian dengan perasaan tak menentu. Lagi-lagi bayangan Ibu datang mengusik kalbu. "Huft ...." Aku mengembuskan napas kasar seraya menggeser piring yang masih berisikan makanan. Tak enak. Rasanya makanan yang aku masukan ke dalam mulut, hambar. Aku tidak berselera makan. "Kenapa tidak dihabiskan, Mbak? Masakan Bibi enggak enak?" tanya Bi Marni."Enak, Bi. Masakan Bibi selalu enak, tapi lidah sayanya yang sedang tidak baik-baik saja." "Bibi paham perasaan Mbak Ra
"Mah, aku titip Raya, ya? Beberapa hari ini dia melamun terus. Mungkin selalu ingat Ibu."Aku berhenti melangkah saat mendengar Mas Raffi berbicara pada Mama. Kueratkan pegangan tangan pada railing tangga demi menekan rasa gugup yang tiba-tiba menerpa. Entah ada apa denganku, alhir-akhir ini selalu merasa khawatir yang berlebihan. Kadang rasa sedih datang dengan tiba-tiba membuatku menangis tanpa alasan yang jelas. "Iya, Fi. Kamu kerja yang fokus saja, soal Raya, Mama bisa atasi.""Jangan biarkan dia sendiri, ya, Mah. Sebisa mungkin, terus diajak ngobrol," ujar Mas Raffi lagi. "Iya, Fi ...."Niat hati ingin ke bawah untuk mengantarkan Mas Raffi yang akan berangkat bekerja, tapi urung aku lakukan. Aku malah kembali ke kamar dan mengurung diri enggan melakukan apa-apa. Meninggalnya Ibu sudah dua pekan, tapi sakitnya masih terasa hingga saat ini. Sepulangnya dari kampung halaman, aku belum pernah sekalipun keluar dari rumah. Jangankan untuk bekerja di restoran, untuk pergi ke waru