"Sayang ... udah belum?" "Belum!" Aku berteriak menjawab pertanyaan Mas Raffi. Saat ini aku tengah mondar-mandir di kamar mandi seraya memegang testpack. Sudah lima belas menit aku di dalam sini, tapi benda kecil itu belum menyentuh urinku. Rasanya campur aduk antara takut tidak sesuai dengan ekspektasi, juga penasaran yang luar biasa. "Sayang, ayo, dong! Masa dari tadi belum terus!" Mas Raffi kembali berujar. "Iya, bentar, Mas!"Dengan tangan yang bergetar, aku memasukkan testpack ke dalam urin yang sudah aku tampung dalam wadah. Setelah beberapa detik menunggu, aku mengangkatnya dengan mata terpejam. Sebelah mata aku buka sedikit, mencari garis yang menjadi penentu aku hamil atau tidaknya. Samar-samar aku melihat garis itu, hingga akhirnya mata kubuka lebar-lebar untuk memastikan penglihatanku tidaklah salah. "Dua?" gumamku, kemudian bibir tersenyum. Aku menutup mulut dengan mata yang berkaca-kaca. Ini memang bukan kehamilan pertama, tapi rasanya masih sama seperti waktu tah
"Raihanum." Aku menyebut nama dari bayi perempuan yang sedang menggeliat di tempat tidurnya. Bibirku tersenyum manis menatap sepasang mata yang mulai melihat dunia. "Selamat pagi, Sayang ...." Aku mengusap pelan pipinya dengan jari telunjukku. Dia menggoyangkan kepalanya seolah merasa terganggu dengan sentuhan lembutku. Bibirnya bergerak seperti mengemut sesuatu. Dan aku semakin gemas melihat itu. "Hey, princess Papa sudah bangun ternyata?" Aku menoleh pada Mas Raffi yang baru saja datang, dan langsung menghampiriku. Bukan. Bukan aku yang dia datangi, melainkan putri kecilnya. "Sepertinya dia haus, Sayang," ujarnya lagi. "Iya. Dia cari sesuatu.""Kasihlah. Kasihan dia."Aku pun mengambil bayi perempuan berusia empat puluh hari itu. Kini, dia menggeliat dalam gendongan, lalu kepalanya ke kanan dan kiri mencari sarapan paginya. Aku membuka kancing piyamaku, kemudian memberikan asupan gizi untuk putriku tercinta. "Persiapan di bawah gimana, Mas?" Aku melihat pada Mas Raffi. "
"Aku tidak bisa menikah denganmu, Ra. Orang tuaku tidak merestui kita.""Tapi kenapa?" tanyaku pada pria yang telah menanamkan sejuta bunga di taman hatiku.Namun, saat bunga sudah bermekaran, kini dengan tanpa rasa bersalah, dia menginjak dan membuangnya dengan seenaknya."Kamu itu miskin, Raya. Kamu orang susah. Aku tidak akan merestui anakku, untuk menikah denganmu. Kamu hanya akan menyusahkan dia. Menggerogoti uangnya, dan menikmatinya dengan ibumu yang janda itu," ujar seorang wanita yang baru saja datang. Deru ombak dan derasnya hujan menjadi saksi kepedihanku. Aku terjatuh terhempas pada duri yang sangat tajam. "Jadi karena ini kamu memutuskan mengakhiri hubungan kita, Ga? Karena aku orang miskin?" tanyaku pada pria yang hanya menunduk tidak berani menatapku."Ra—""Masih nanya lagi? Kamu, tuh harusnya ngaca di cermin yang gede, bukan melihat dirimu di air yang keruh. Tidak akan nampak kejelekan dan kebusukanmu jika bercermin di air got. Sama-sama kotor! Pikiranmu kotor, mau
Aku meraba dada menikmati denyutan yang semakin terasa nyata. Bukan karena gugup akan melepas status lajang, tapi kata-kata mereka yang melihat dan menilai calon pengantinku. "Astaghfirullah ...," lirihku seraya terus mengusap-usap dada yang berdenyut nyeri ini.Beberapa saat diam di ruang tengah, aku pun kembali ke kamar untuk mendinginkan hati dan pikiran. Aku duduk di pinggir ranjang, tepat di sebelah kipas angin yang terus berputar.Kuintip dari jendela kamarku, orang-orang sudah berkerumun memenuhi halaman rumah. Aku tahu, mereka datang bukan hanya untuk sekedar mendoakan pernikahanku. Tapi, juga penasaran dengan calon suamiku. "Sudah pada datang, matikan musiknya!" Seseorang terdengar berteriak dari arah luar.Itu artinya, rombongan calon suamiku sudah hadir dan akad akan segera dimulai."Apa aku keluar sekarang?" tanyaku pada MC yang tiba-tiba masuk. Ia memperbaiki riasan make-upnya. "Jangan dulu, Neng Geulis. Nanti, kalau dipanggil baru keluar," ucapnya seraya kembali ke lu
Ya Allah ....Benarkah, jodohku dia? Haruskah aku menikah dengan laki-laki sepertinya? Aku tersenyum tipis, lalu kembali menunduk."Betul, itu calon suamimu?" tanya penghulu lagi.Aku tidak sanggup menjawab. Hanya anggukkan kepala sebagai jawaban. Meskipun sebenarnya aku sudah yakin dengan pilihanku."Baiklah. Kita mulai saja ijab qabulnya."Aku menarik napas dalam. Dalam hati mengucapkan bismillah. Semua aku serahkan pada Yang Maha Kuasa. Meyakinkan diri, jika pernikahanku memang sudah dituliskan di Lauhul Mahfudz.Semua orang terdiam. Mereka sibuk mengabadikan momen ini. Sebenarnya, aku keberatan mereka mengambil gambar pengantinku. Aku takut jika mereka akan menyebarluaskan foto-fotoku dan pengantinku.Aku tidak ingin gambar-gambar itu nantinya akan sampai pada seseorang yang sudah membuatku tidak memiliki kepercayaan diri, dan menaburkan rasa sakit yang teramat sangat.Aku ingin bahagia, aku ingin bangkit dari rasa kecewa, dan hidup damai dengan orang yang kucinta. Aku ingin mel
"Tapi, wajahnya hitam sebelah!"Deg! Ada yang berdenyut kala Aisha mengatakan hal itu. "Hey, jangan bicara seperti itu, Nak. Tidak baik," ujar Teh Arini."Tidak apa-apa, Bu. Jangan dimarahi, saya tidak tersinggung. Apa yang dikatakan anak Ibu, memang benar adanya."Kekagumanku pada pria ber jas putih ini semakin bertambah. Tidak ada raut tidak suka atau marah dari wajah Raffi, saat mengatakan hal tersebut. Ia begitu tenang dan malah tersenyum tulus pada orang tua Aisha."Saya minta maaf," ucap A Yusuf. "Maaf, ya Ra?" Teh Arin melakukan hal yang sama padaku."Tidak apa, Teh. Aku baik-baik saja," jawabku.Melihat kebesaran hati Raffi, membuatku semakin percaya diri. Kini hatiku semakin yakin, jika aku tidak salah memilih pasangan. Meskipun, rupa yang dimiliki dia tidak seperti wajah pria pada umumnya.Bagian sebelah kiri wajah Raffi, hitam. Seperti tanda lahir, tapi sangat besar. Hingga menutup mata, pipi, sampai ke lehernya."Om ini gak jahat, Bu?" tanya Aisha membuka mata dan melih
"Mi, udah di sini aja," ucapku saat masuk ke dalam rumah."Lah, katanya mau pipis?""Gak, jadi."Aku memilih masuk ke dalam kamar. Kamar pengantin yang sudah dihias dan diberi wewangian. Aku mengintip dari kaca, apa yang sedang dilakukan orang itu di pelaminanku.Kebetulan, pelaminanku memang berada di luar rumah. Jadi, rumah kosong, hanya ada barang-barang dekor serta perabotan tukang hias saja."Ngintip apaan?" tanya Mimi. Dia ikut masuk dan mengintip juga."Tuh lihat. Dia pasti sedang mencari informasi tentang suamiku," ucapku."Kamu ngundang Nenek Lampir, itu?" Mimi bertanya kembali."Enggak, Mi. Dia sendiri yang datang. Makanya, aku buru-buru masuk ke sini. Malas harus bertemu dengan dia. Melihat matanya yang suka mendelik, nada bicara yang suka ketus, juga kata-katanya yang selalu menyakitkan," ujarku menggerutu.Mimi hanya manggut-manggut. Dia tahu betul kenapa aku tidak menyukai mantan calon mertuaku itu. Jangankan aku yang pernah langsung berhubungan dengan dia. Orang-orang s
"Astaghfirullah, Raya. Ada apa? Kenapa ponselnya di lempar?" Mas Raffi yang baru saja masuk, terheran karena aku melemparkan benda pipih itu tepat di kakinya.Aku memalingkan wajah. Enggan terlihat sedang emosi oleh matanya. Kutarik napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan.Mas Raffi mengambil ponselku. Ia menekan tombol yang berada di samping, lalu layar pun menyala."Sini, Mas. Jangan dilihat!" kataku berusaha merebut benda itu darinya.Mas Raffi mengangkat ponselku ke atas. "Sebentar, aku mau lihat apa yang membuatmu marah," ucapnya."Tidak ada, aku hanya iseng saja."Namun, usahaku untuk mencegahnya gagal. Ia mengerutkan kening, matanya fokus pada layar ponsel yang menyala.Di sampingnya, aku berdiri dengan menggigit jari telunjuk. Aku merasa was-was, takut jika dia sakit hati dengan postingan yang baru saja membuatku naik darah."Ini yang membuatmu marah?" tanyanya seraya memberikan ponsel yang masih menyala.Aku tertegun dalam kebingungan. Sikapnya di luar dugaan. Aku kira, d