Share

Bab 4

"Tapi, wajahnya hitam sebelah!"

Deg!

Ada yang berdenyut kala Aisha mengatakan hal itu.

"Hey, jangan bicara seperti itu, Nak. Tidak baik," ujar Teh Arini.

"Tidak apa-apa, Bu. Jangan dimarahi, saya tidak tersinggung. Apa yang dikatakan anak Ibu, memang benar adanya."

Kekagumanku pada pria ber jas putih ini semakin bertambah. Tidak ada raut tidak suka atau marah dari wajah Raffi, saat mengatakan hal tersebut. Ia begitu tenang dan malah tersenyum tulus pada orang tua Aisha.

"Saya minta maaf," ucap A Yusuf.

"Maaf, ya Ra?" Teh Arin melakukan hal yang sama padaku.

"Tidak apa, Teh. Aku baik-baik saja," jawabku.

Melihat kebesaran hati Raffi, membuatku semakin percaya diri. Kini hatiku semakin yakin, jika aku tidak salah memilih pasangan. Meskipun, rupa yang dimiliki dia tidak seperti wajah pria pada umumnya.

Bagian sebelah kiri wajah Raffi, hitam. Seperti tanda lahir, tapi sangat besar. Hingga menutup mata, pipi, sampai ke lehernya.

"Om ini gak jahat, Bu?" tanya Aisha membuka mata dan melihat wajah Raffi.

"Tidak, Neng. Ayo, salaman sama Om dan Kak Raya." Teh Arin mengarahkan anaknya.

Meski masih takut-takut, Aisha menerima uluran tangan Raffi. Kemudian, ia beralih padaku. Aku membungkukkan badan, memeluk gadis berusia enam tahun itu.

"Ra, untuk bekal menempuh hidup baru, tidak banyak, tapi mudah-mudahan bermanfaat." Aku menerima amplop yang diberikan A Yusuf.

Entah dengan apa aku harus mengucapkan terima kasih. Mereka begitu sangat baik padaku. Saat aku mengatakan akan menikah, Teh Arin sudah memberikan sejumlah uang untuk membantuku mempersiapkan pernikahan. Dan sekarang, mereka pun memberikanku amplop yang aku yakini isinya adalah uang juga.

Ya Allah ... panjangkanlah umur mereka. Lebihkanlah rezeki mereka dari yang telah mereka berikan padaku.

"Terima kasih, A. Seharusnya tidak usah repot-repot," ucapku tidak enak.

"Tidak apa-apa, Ra. Hanya sedikit," ujar A Yusuf lagi.

"Itu isinya uang, Kak. Warna merah, sepuluh lembar," celetuk Aisha membuat mata Teh Arin membulat ke arah anak itu.

Aisha menurunkan sepuluh jarinya seraya mendelikkan mata saat melihat ibunya melotot.

Sontak saja, ucapan Aisha membuat kami yang berada di pelaminan tertawa. Anak itu memang ceplas-ceplos. Dia selalu spontan dalam berucap.

Keluarga harmonis yang selalu rame itu bersiap turun dari pelaminan. Namun, kembali kita semua dikejutkan oleh aksi spontan dari Aisha.

Bugh!

"Aisha!!"

"Neng!!"

Aku dan semua orang yang mengenal dia, berteriak kencang saat melihat gadis kecil itu loncat dari pelaminan. Namun, Aisha hanya nyengir memperlihatkan gigi putihnya, tanpa rasa bersalah.

Seperti sedang menonton komedi, aksi Aisha membuat semua orang tertawa terpingkal.

Sedangkan Teh Arin, berjalan sembari menutup sebagian wajahnya dengan sebelah tangan. Mungkin malu dengan tingkah anak perempuannya itu.

"Dia lucu, ya?" ucap Raffi.

"Eh." Aku tersadar ternyata sejak tadi aku memegang tangan Raffi.

Refleks karena kaget melihat Aisha yang loncat, hingga membuatku seperti orang yang hilang ingatan.

"Kenapa dilepas? Halal, 'kan?" ucapnya lagi.

Aku hanya tersenyum tertunduk. Aku malu diperhatikan sedekat ini.

"Yang tadi, itu yang punya restoran tempat kamu kerja, 'kan?"

"Iya," jawabku.

"Aku baru tahu, kalau mereka punya anak."

"Itu, karena waktu Mas, ke sana, Aisha sedang sekolah. Terus, ngaji kalau sore hari."

Raffi mengangguk mengerti.

Pertemuan awal aku dan Raffi adalah saat aku bekerja di restoran. Dia adalah salah satu pengunjung yang singgah di sana.

Waktu itu, dia tengah liburan bersama teman-temannya. Katanya, mereka tengah menyusuri wisata pantai yang ada di Garut. Hingga akhirnya, sampai di daerahku.

Tidak ada yang aneh saat awal bertemu. Sama seperti pelayan dan pelanggan. Namun, bulan-bulan berikutnya dia kembali datang saat sedang patah hati.

Katanya, wanita yang dia sukai, menikah dengan orang lain. Dia juga bercerita kalau dia sudah jadi langganan ditolak banyak wanita karena wajahnya yang buruk rupa.

"Kamu tidak takut atau jijik dengan wajahku?" tanyanya.

"Tidak, Mas. Biasa saja," ucapku kala itu.

Kedekatan kita terus berlanjut hingga sering berkomunikasi lewat sambungan telepon. Awalnya, aku hanya ingin jadi teman dan pendengar yang baik untuknya. Tidak ada niatan untuk menikah dengan Raffi. Karena pada saat itu aku masih jadi kekasih pria lain.

Namun, saat dia tahu aku telah dicampakkan, tiba-tiba dia datang ke rumahku dan memintaku pada Ibu, untuk menjadi istrinya.

"Ibu, terserah kamu, Ra. Kalau kamu bersedia, ya terima. Jika tidak, ya tolak saja dengan halus," ujar Ibu saat itu.

Aku bingung. Hatiku baru saja hancur karena ucapan seorang pria dan ibunya. Aku takut, jika nanti akan merasakan hal yang sama.

Namun, seiring berjalannya waktu, entah kenapa aku semakin yakin pada Raffi. Aku beranggapan, jika orang seperti dia tidak akan pernah mendua. Dia akan setia. Karena dia ... berbeda.

Aku pun akhirnya menerima pinangannya. Dan disambut bahagia oleh keluarga besar Raffi. Berbanding terbalik dari keluarga Raffi, keluarga besarku justru awalnya tidak setuju dengan pernikahan ini.

Alasannya, karena wajah Raffi yang hitam sebelah. Aku dibilang bodoh, buta dan umpatan lainnya.

"Seperti tidak ada laki-laki lain saja."

"Emangnya pria di dunia ini cuma dia?"

"Kalau dia kaya. Kalau miskin? Malah membatin!"

Dan masih ujaran-ujaran yang tidak mengenakkan lainnya dari keluargaku. Namun, karena Ibu setuju, Ibu bilang silahkan, aku semakin yakin dengan pilihanku. Dia ... adalah jodohku.

"Simpan dulu ponselnya, ada yang datang," ujar Raffi.

Aku menyimpan ponselku dan melihat ke arah pintu masuk. Dadaku berdetak kencang melihat dia yang sangat aku kenali.

Seingatku, aku tidak mengundang dia untuk hadir. Tapi, kenapa dia harus datang?

"Mas, aku kebelet. Kamu aja yang di sini, aku ke belakang dulu," ujarku.

Aku sudah bersumpah untuk tidak ingin bertemu dengannya lagi. Aku benci padanya, kata-katanya, yang masih terngiang di telingaku.

"Ya, gak papa. Kamu hati-hati," ucap Raffi.

"Mimi, bantuin!" Aku berteriak pada temanku itu.

Buru-buru Mimi mendekat membantuku yang kesulitan dengan gaun yang lebar berekor panjang. Aku harus segera turun dari pelaminan, sebelum dia datang.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Asnidar Ummu Syifa
tetangga kampung juga ada yg seperti itu tapi cewek sebelah wajahnya hitam dan agak berbulu tapi tetap cantik dengan rambut tebal, bulu mata lebat.awal lihat aneh tapi lama kelamaan biasa sj, kami juga gk pernah mengejek atw apapun itu,dia juga nyaman² sj brinteraksi dengan kami
goodnovel comment avatar
Novitra Yanti
menghindar tak menyelesaikan masalah...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status