Untuk ke sekian kalinya, aku kaget luar biasa. Jadi, Mas Raffi adalah anak dari seorang dokter? Kalau Papa dokter, besar kemungkinan jika suamiku pun sama. Aku sudah tidak bisa menahannya lagi. Mas Raffi, harus mengatakan semuanya padaku. Bicara jujur, tentang keluarganya. Buru-buru aku pergi meninggalkan Bibi menuju kamarku dan Mas Raffi. Membuka pintu dengan cepat, dan langsung duduk di depan Mas Raffi yang tengah fokus pada ponsel."Ada apa? Kenapa wajah kamu panik kayak gitu? Apa ada yang terjadi di bawah?" tanyanya menelisik setiap inti wajahku."Mas, tolong jangan buat aku seperti orang bodoh di rumah ini. Tadi, ada orang yang mengantarkan jas putih ke sini. Aku bengong, Mas. Aku gak tahu, kalau Papa itu seorang dokter. Coba, kalau tadi Bibi tidak datang, mungkin aku sudah mengusir wanita tadi dengan mengatakan salah alamat. Ayo, dong Mas. Jujur sama aku, aku tuh bingung dengan semua ini!" Mas Raffi menyimpan ponselnya. Ia memegang tanganku seraya menggeser tubuhnya menjadi l
"Astaghfirullahaladzim," lirihku seraya berjongkok memungut pecahan gelas yang berserakan."Ya Allah, Mbak. Sini, biar Bibi bantuin." "Kamu gak apa-apa, Ra? Ada yang luka?" Mas Raffi ikut berjongkok melihat kedua tangan dan kakiku yang tertutup rok plisket. Aku hanya mampu menggeleng. Mendongak sekilas, melihat pria yang berdiri memperhatikanku."Ke kamar aja, ya?" ujar Mas Raffi lagi.Kali ini aku mengangguk, meninggalkan mereka di ruang tamu dan naik ke lantai dua.Sesempit inikah Kota Jakarta, hingga aku harus bertemu dengan orang di masa lalu? Orang yang aku hindari untuk dilihat. Pria yang menjadi alasan aku menerima pinangan Mas Raffi. Agar aku bisa pergi jauh dari tempat di mana ada kenanganku dan dia didalamnya. Kujatuhkan bokong pada ujung ranjang. Meremas seprai dengan sangat kuat. "Kenapa harus bertemu lagi." Aku berujar seraya mengeratkan gigi.***"Ra, nanti kalau aku sudah jadi dokter, aku akan menikahi kamu. Mengajakmu ke kota, untuk menemani aku bekerja di sana. Ka
"Fi, Mama minta tolong, nanti kamu ambilkan seragam kita di butik Tante Andin, ya. Mama harus lihat katering. Takutnya nanti ada yang tidak sesuai selera kita.""Iya, Ma. Boleh," jawab Mas Raffi singkat.Saat ini kami sedang berada di meja makan. Sarapan pagi, sebelum melakukan aktivitas di luar rumah."Oh iya, itu di ruang tamu ada jas hujan, siapa yang nganterin?" tanya Papa. "Arga. Semalam dia datang ke sini."Dadaku tiba-tiba terasa sesak saat mendengar nama Arga disebut. Wajah Mas Raffi pun tiba-tiba kembali datar seperti semalam."Oh ... anak itu. Padahal, Papa sudah bilang tidak usah dikembalikan, masih aja tetap dibalikin." Papa kembali bersuara."Arga yang mana, sih, Pah? Kok, Mama kayak baru dengar nama itu?""Anak baru, Mah. Dokter magang. Dia mau pulang malam-malam, hujan. Papa kasih jas hujan yang selalu ada di mobil. Udah Papa ikhlasin, eh malah tetep dibalikin."Kulirik Mas Raffi semakin menunduk. Saat ia akan melihat ke arahku, buru-buru aku menunduk dengan menyuapkan
"Mas, ibu-ibu tadi tidak bilang apa-apa, 'kan?" tanyaku pada Mas Raffi.Saat ini, aku dan suamiku sudah berada di dalam mobil setelah tadi mengambil baju dari butik Tante Andin."Ibu-ibu yang mana?" tanya Aldi."Yang pake gamis bling-bling itu, lho.""Oh, Mamanya Arga? Tidak, dia tidak bilang apa-apa. Kenapa, gitu?" Aku terdiam dengan meneguk ludah. "Dari mana, Mas tahu kalau itu Mamanya Arga?" "Saat kita nikah, dia memperkenalkan diri sebagai mantan calon mertua dari pengantinku. Tapi, saat itu aku tidak tahu Arga itu yang mana. Semalam, aku baru tahu. Ternyata, dia ganteng, ya?" ujarnya seraya melirikku sekilas. Kemudian, dia kembali fokus pada jalanan yang mulai ramai.Aku jadi menyesal telah bertanya soal Mamanya Arga pada Mas Raffi. Takut jika kejadian tadi pagi terulang lagi."Kenapa diam? Inget mantan?" "Enak aja. Aku inget air mawarku yang tinggal sedikit. Padahal, ya sewaktu aku bawa dari rumah Ibu, isinya masih banyak sekali. Masih penuh, tapi pas tadi aku lihat, sedikit
Aku diam kembali. Jadi, kedatangan kedua Mas Raffi ke restoran waktu itu, memang sengaja untuk meminta nomor ponselku? Dan dia tidak pernah patah hati oleh wanita lain? Pria berkemeja biru dongker itu terkikik melihatku yang bengong dengan ekspresi tidak percaya. Sepertinya, aku memang dibohongi. Eh, bukan dibohongi, lebih tepatnya Mas Raffi yang beralibi."Ra, pulang, yuk!" Suara Mas Raffi membuatku menoleh. Pria dengan kaus panjang warna hitam itu tersenyum manis padaku.Aku mengangguk. Setelah berpamitan pada Mas Bayu, aku pun masuk ke dalam mobil bersama suamiku."Ciee ... yang bohong, cieee ...!" "Mas Raffi melihatku yang menunjuk dirinya seraya meledek."Bohong? Siapa?" tanyanya mengerutkan kening."Tadi itu, ada yang laporan tahu. Katanya, ada seorang pria yang jatuh cinta pada pandangan pertama, tapi malah beralibi sedang patah hati. Sok-sokan minta nomor telepon buat curhat, padahal mah buat pendekatan. Ck ck ck." Kulihat sebelah wajah Mas Raffi mulai memerah. Hidungnya ke
Setelah pertanyaanku tidak mendapatkan jawaban, aku memilih pergi ke lantai atas. Masuk ke kamarku dengan wajah ditekuk."Di mana Mas Raffi?" tanyaku bicara sendiri.Namun, suara gemericik air dari dalam kamar mandi menjadi pertanda bahwa suamiku tengah berada di sana. Aku duduk di pinggir ranjang, mengambil ponsel dari dalam tas yang sedari tadi aku bawa, untuk menelepon Ibu. Rasanya sudah sangat lama aku tidak mengobrol sama Ibu. Padahal, baru dua hari ini."Assalamualaikum, Bu.""Waalaikumsalam, Ra. Kamu sehat, Nak?" tanya Ibu padaku."Sehat, Bu. Ibu, baik-baik saja, 'kan?" "Tentu saja Ibu baik-baik saja. Oh, iya Ra, uang yang waktu itu Nak Raffi kasih ke Ibu, Ibu gunakan untuk menyewa lahan sawah. Alhamdulilah, sudah bisa ditanami padi. Kamu jangan khawatir tentang keadaan Ibu, Ibu akan baik-baik saja. Insya Allah, Ibu akan tetap bisa makan."Aku bergeming mendengar ucapan Ibuku itu.Uang dari Mas Raffi? Uang yang mana?Jika menghitung uang hasil dari amplop pernikahan, itu tidak
Suasana gedung masih sepi, karena waktu dimulainya pesta pun masih lama. Aku dan Mas Raffi masuk ke dalam ruangan yang sudah disiapkan. Ternyata benar, di sini ada sepasang baju pesta yang begitu bagus dan cantik.Sebuah gaun berwarna biru langit dengan bagian bawah yang lebar dan berkilau. Lengkap juga dengan jilbab dan mahkota kecil yang bertengger pada kepala patung. Aku tersenyum sendiri seraya membayangkan betapa akan cantiknya aku saat memakai gaun mahal itu."Suka sama gaunnya, Ra?" Fokusku teralihkan pada wanita cantik yang baru saja datang."Tentu, Mah. Sangat suka. Terima kasih, ya untuk semua kebaikan Mama sama aku," ucapku seraya menyuguhkan senyum termanis.Wanita yang masih segar di usia enam puluh tahun itu, mengusap pipiku dengan lembut. Kemudian, ia menarik tubuhku untuk dipeluknya."Mama yang berterima kasih sama kamu, Sayang. Terima kasih, sudah menerima Raffi. Kamu tahu, dia spesial. Tapi, kamu masih mau menerima dia meskipun awalnya, dia mengaku sebagai orang bia
"Menantu? Siapa?" "Mbak Raya, adalah salah satu menantu dari Pak Pramono.""Hahahaha .... Aduh, kamu itu dibayar berapa sama si Raya, sampai mau-maunya mengakui dia sebagai menantu Dokter Pramono? Tidak mungkin seorang Dokter senior yang kaya raya, mau menjadikan gadis kampung seperti dia jadi menantunya. Jangan mimpi!"Aku dan pria di sampingku ini saling pandang. Bu Rahmi tidak percaya dan malah menuduhku menyuap pria yang menjadi keamanan di sini."Saya tidak dibayar, Mbak Raya memang—""Sudah, Pak. Tidak usah diperpanjang. Saya harus masuk, Bapak di sini saja, jangan biarkan Ibu ini mengikuti saya," ucapku saat melihat rombongan keluarga suamiku yang sudah pulang dari mesjid."Eh, songong sekali kamu, berani perintah-perintah orang!"Aku tidak meladeni ucapan Bu Rahmi lagi. Memilih cepat pergi sebelum Mas Raffi dan keluarganya melihatku yang sedang berdebat. Dari pintu masuk gedung, aku bisa melihat Bu Rahmi yang sedang ditahan satpam tadi. Sepertinya dia ingin menghampiri Papa
"Raihanum." Aku menyebut nama dari bayi perempuan yang sedang menggeliat di tempat tidurnya. Bibirku tersenyum manis menatap sepasang mata yang mulai melihat dunia. "Selamat pagi, Sayang ...." Aku mengusap pelan pipinya dengan jari telunjukku. Dia menggoyangkan kepalanya seolah merasa terganggu dengan sentuhan lembutku. Bibirnya bergerak seperti mengemut sesuatu. Dan aku semakin gemas melihat itu. "Hey, princess Papa sudah bangun ternyata?" Aku menoleh pada Mas Raffi yang baru saja datang, dan langsung menghampiriku. Bukan. Bukan aku yang dia datangi, melainkan putri kecilnya. "Sepertinya dia haus, Sayang," ujarnya lagi. "Iya. Dia cari sesuatu.""Kasihlah. Kasihan dia."Aku pun mengambil bayi perempuan berusia empat puluh hari itu. Kini, dia menggeliat dalam gendongan, lalu kepalanya ke kanan dan kiri mencari sarapan paginya. Aku membuka kancing piyamaku, kemudian memberikan asupan gizi untuk putriku tercinta. "Persiapan di bawah gimana, Mas?" Aku melihat pada Mas Raffi. "
"Sayang ... udah belum?" "Belum!" Aku berteriak menjawab pertanyaan Mas Raffi. Saat ini aku tengah mondar-mandir di kamar mandi seraya memegang testpack. Sudah lima belas menit aku di dalam sini, tapi benda kecil itu belum menyentuh urinku. Rasanya campur aduk antara takut tidak sesuai dengan ekspektasi, juga penasaran yang luar biasa. "Sayang, ayo, dong! Masa dari tadi belum terus!" Mas Raffi kembali berujar. "Iya, bentar, Mas!"Dengan tangan yang bergetar, aku memasukkan testpack ke dalam urin yang sudah aku tampung dalam wadah. Setelah beberapa detik menunggu, aku mengangkatnya dengan mata terpejam. Sebelah mata aku buka sedikit, mencari garis yang menjadi penentu aku hamil atau tidaknya. Samar-samar aku melihat garis itu, hingga akhirnya mata kubuka lebar-lebar untuk memastikan penglihatanku tidaklah salah. "Dua?" gumamku, kemudian bibir tersenyum. Aku menutup mulut dengan mata yang berkaca-kaca. Ini memang bukan kehamilan pertama, tapi rasanya masih sama seperti waktu tah
"Pagi, Sayang ...."Sepasang tangan melingkar di pinggang, disusul dengan kecupan kecil di pipi. Aku yang tengah berkutat dengan alat masak, membalas sapaan Mas Raffi dengan usapan pelan di lengannya. Hal seperti ini bukan terjadi sekarang, tapi setiap pagi datang. Sikap Mas Raffi selalu hangat dan tambah romantis sejak kami tinggal di rumah ini. Itu mengapa, aku memperkejakan asisten rumah tangga yang pulang pergi. Aku tidak ingin melewatkan keromantisan ini karena ada orang lain di istana kami. "Sudah aku siapkan teh di atas meja. Mas duduk, sebentar lagi gorengan yang aku buat akan matang," ujarku. "Emh ... enggak mau. Aku mau tetap meluk kamu sampai gorengan itu pindah ke meja makan." Mas Raffi berucap manja. "Nanti kamu kecipratan minyak, Mas.""Biarin. Jangankan minyak, percikan api asmara dari luar pun bisa aku padamkan demi kamu.""Hah, gimana-gimana?" Aku menoleh, mencari wajah Mas Raffi yang menyusup di tengkuk leherku. Dia tidak berani mengangkat kepala. Malah semaki
"Gini aja, deh, Fi. Daripada kamu jual perhiasan Raya, mendingan kamu pinjem uang aja dari Mama." Aku yang tadi sudah berpikiran buruk, merasa lebih tenang saat mendengar suara Mama. Ternyata yang masuk tadi bukan Reyhan, melainkan Mama dan Mas Raffi yang membahas perhiasan. Oh, ya ampun. Mas Raffi ketahuan Mama akan menjual perhiasan? Aku berjalan mendekati mereka yang berada di ruang tamu. Pandanganku mengarah pada Mas Raffi yang memberikan isyarat dengan menempelkan jari telunjuk di bibirnya. Aku mengangguk kecil, lalu meraih tangan Mama dan menciumnya. "Rayyan mana, Ra?" tanya Mama tanpa melepaskan tanganku. "Lagi main di ruang tengah, Mah.""Kalau gitu, kamu duduk di sini, Mama mau bicara dengan kalian."Aku dan Mas Raffi saling pandang, lalu aku pun duduk di samping Mama. Begitu pun Mas Raffi. Kami mengapit Mama yang berada di tengah-tengah. "Fi, Ra, kalian ini masih punya orang tua. Ada Mama dan Papa, yang masih bisa bantu kalian. Bukan Mama mau sombong, soal uang, insya
"Semalam aku kaget banget, loh saat Mas Bayu membekap mulutku. Aku kira itu Reyhan."Aku menyeruput jus alpukat seraya memperhatikan Rayyan yang bermain. "Tadi malam, saat aku menyuruh kamu tidur, emang sudah merasakan ketidakberesan di rumah kita. Yang kata aku melihat kucing di kosan, itu sebenarnya yang aku lihat emang manusia.""Kok, gak bilang ke aku?" tanyaku. Saat ini, aku dan Mas Raffi masih membahas kejadian semalam yang membuat tubuh ini bergetar ketakutan. Kami duduk lesehan di teras depan seraya mengasuh Rayyan yang bermain di halaman. "Aku tidak mau kamu takut, Ra. Makanya aku menyuruh kamu tidur cepat. Dan setelah kami tidur, aku langsung menelepon polisi untuk datang secara diam-diam. Dan Bayu juga.""Terus, saat aku bangun dan ke lantai bawah, kamu kan tidak ada. Itu ke mana?" Aku masih bertanya karena penasaran. "Aku di luar. Secara tidak langsung, aku menggiring Reyhan masuk ke kamar tamu lewat jendela. Dan Bayu, saat itu sudah ada di dalam rumah ini. Dia aku su
"Mas Bayu ngapain di sini?" tanyaku, saat dia melepaskan tangannya dari bibirku. "Aku diminta Raffi datang ke sini. Dan kamu tahu, yang ada di kamar itu siapa? Si Reyhan. Dia nyusup masuk ke rumahmu lewat jendela kamar yang tidak dikunci.""Apa?" Rasa terkejutku bertambah berkali lipat. Jika saja tadi aku masuk ke sana, habislah riwayatku. Reyhan pasti akan dengan mudah melakukan perbuatan jahatnya padaku. Suara gagang pintu yang diputar dari dalam kamar tamu, membuatku dan Bayu menoleh. Semakin lama, suara di sana semakin keras. Karena mungkin Reyhan sudah menyadari jika dia masuk perangkap. "Mas Raffi, mana?" tanyaku, karena tak kulihat keberadaan suamiku. "Dia di luar.""Sendirian?" tanyaku lagi. "Temenin, Mas. Aku takut Reyhan menyerang Mas Raffi. Dia belum pulih." Aku panik. Bayu hendak melangkah menjauh dariku, tapi dia urungkan saat ada bayangan yang berjalan mendekat ke arah kami. Tidak lama kemudian, lampu pun menyala membuat ruangan yang gelap menjadi terang. Aku lan
"Mas, kenapa liatin aku terus?" Mama dan Papa, serta semua kakak Mas Raffi sudah pergi beberapa menit yang lalu. Sekarang, tinggallah kami berdua, dan Rayyan yang sudah tidur. Hari memang sudah malam. Perabot pemberian kakak-kakak Mas Raffi pun, sudah disimpan ke tempat yang semestinya. Dibantu kakak dan kakak iparku tentunya. Saat ini, aku dan Mas Raffi tengah duduk berdua di lantai dua rumah kami. Aku dan dia sedang menikmati malam, melihat bintang dan bulan yang bersinar bersamaan. Gorden kaca sengaja dibuka agar langit terlihat jelas. Di depan kami, dua cangkir teh menjadi pelengkap kebersamaanku dengan Mas Raffi. "Malu, ih diliatin terus," kataku lagi, memalingkan wajah ke arah lampu hias berbentuk hati yang berada di sudut ruangan. Mas Raffi menyentuh daguku. Menariknya sangat pelan, agar tatapanku kembali padanya. "Karena aku kagum pada kecantikan istriku ini. Makanya, aku pandang terus.""Ih, gombal, deh," ujarku. Padahal dalam hati, aku bahagia mendapatkan pujian dari
"Saat di hotel waktu itu, sebenarnya Mbak percaya jika kamu tidak melakukan apa-apa dengan Reyhan. Kalau kamu selingkuh dengan Reyhan, untuk apa kamu meminta Mbak datang? Iya, kan?"Aku mengangguk saat Mbak Kinara menjeda ucapannya. Saat ini, hanya ada aku dan dia. Kami duduk berhadapan di meja makan, setelah tadi Mbak Nara memintaku bicara berdua. "Saat kamu pergi dari hotel itu, sebenarnya Mbak masih ada di sana. Mbak menemui Reyhan setelah melihatmu benar-benar keluar dan pergi. Aku meminta Reyhan mengatakan apa yang terjadi antara kami dengannya, versi dia. Meskipun aku tidak percaya pada Reyhan, tapi aku tetap mendengarkan dan merekam pengakuannya. Kamu tahu kenapa?" Mbak Kinara melempar tanya. Aku menggelengkan kepala. Aku tidak mau menduga-duga dan mengatakan yang tidak ada dalam pikiran."Aku cemburu padamu, Ra. Aku iri melihat kedekatan kamu dengan Mama, juga perhatian Mama pada Rayyan.""Ya Allah, Mbak ...." Aku menatap sendu pada Mbak Kinara yang menunduk. "Maafkan Mbak
"Ini untuk kami, Mah?" tanyaku pada Mama, yang tengah membereskan sayuran serta buah segar ke dalam kulkas. Tidak hanya itu, Mama juga membeli bermacam bumbu dapur, juga perlengkapan lainnya. "Iya, Ra. Kalau untuk Mama, tidak mungkin dikeluarkan dari mobil. Ini semua untuk kalian. Mama juga beli vitamin penambah nafsu makan untuk kamu. Tapi, Raffi enggak boleh minum vitamin ini, ya? Dia punya vitamin sendiri dari dokternya," ujar Mama. Aku mengiyakan. Meskipun malu karena keluar dari kamar dalam keadaan rambut yang basah, aku tetap menemui ibu mertua yang tengah berbenah di dapur. Sedangkan Mas Raffi, dia masih di kamar. Sedang berpakaian setelah pada akhir tadi kami mandi bersama. Untunglah, kedua mertuaku paham situasi. Dari mereka tidak ada yang mengetuk pintu kamar sejak kedatangannya. Keduanya kompak membawa bermain Rayyan agar tidak mencari keberadaan orang tuanya. Ck, malu ... aku malu. Tapi, mau gimana lagi? Semuanya gara-gara ... ah, masa iya aku harus menyalahkan Mas