Suasana gedung masih sepi, karena waktu dimulainya pesta pun masih lama. Aku dan Mas Raffi masuk ke dalam ruangan yang sudah disiapkan. Ternyata benar, di sini ada sepasang baju pesta yang begitu bagus dan cantik.Sebuah gaun berwarna biru langit dengan bagian bawah yang lebar dan berkilau. Lengkap juga dengan jilbab dan mahkota kecil yang bertengger pada kepala patung. Aku tersenyum sendiri seraya membayangkan betapa akan cantiknya aku saat memakai gaun mahal itu."Suka sama gaunnya, Ra?" Fokusku teralihkan pada wanita cantik yang baru saja datang."Tentu, Mah. Sangat suka. Terima kasih, ya untuk semua kebaikan Mama sama aku," ucapku seraya menyuguhkan senyum termanis.Wanita yang masih segar di usia enam puluh tahun itu, mengusap pipiku dengan lembut. Kemudian, ia menarik tubuhku untuk dipeluknya."Mama yang berterima kasih sama kamu, Sayang. Terima kasih, sudah menerima Raffi. Kamu tahu, dia spesial. Tapi, kamu masih mau menerima dia meskipun awalnya, dia mengaku sebagai orang bia
"Menantu? Siapa?" "Mbak Raya, adalah salah satu menantu dari Pak Pramono.""Hahahaha .... Aduh, kamu itu dibayar berapa sama si Raya, sampai mau-maunya mengakui dia sebagai menantu Dokter Pramono? Tidak mungkin seorang Dokter senior yang kaya raya, mau menjadikan gadis kampung seperti dia jadi menantunya. Jangan mimpi!"Aku dan pria di sampingku ini saling pandang. Bu Rahmi tidak percaya dan malah menuduhku menyuap pria yang menjadi keamanan di sini."Saya tidak dibayar, Mbak Raya memang—""Sudah, Pak. Tidak usah diperpanjang. Saya harus masuk, Bapak di sini saja, jangan biarkan Ibu ini mengikuti saya," ucapku saat melihat rombongan keluarga suamiku yang sudah pulang dari mesjid."Eh, songong sekali kamu, berani perintah-perintah orang!"Aku tidak meladeni ucapan Bu Rahmi lagi. Memilih cepat pergi sebelum Mas Raffi dan keluarganya melihatku yang sedang berdebat. Dari pintu masuk gedung, aku bisa melihat Bu Rahmi yang sedang ditahan satpam tadi. Sepertinya dia ingin menghampiri Papa
Suara gemuruh tepukan tangan terdengar begitu kompak saat seorang MC memanggil dan mempersilahkan aku dan Mas Raffi masuk. Dengan tangan saling berpegangan, kami masuk seraya menebar senyum ke setiap orang yang kami lewati. Di kanan dan kiri kami, berjejer tamu undangan dengan pakaian terbaik mereka. Tidak ada yang tidak tersenyum, semuanya terlihat bahagia menyambutku dan pengantinku. Kecuali ... seorang wanita dan anak laki-lakinya.Aku mengedipkan sebelah mata pada wanita yang membulatkan mata seraya tangan memegang dadanya. Apakah dia akan pingsan?Semoga tidak langsung stroke. Karena itu akan menimbulkan berita viral.Setelah sampai di pelaminan yang dipenuhi dengan hiasan bunga-bunga cantik, satu per satu tamu undangan yang didominasi oleh rekan kerja Papa, menghampiri kami. Saling menjabat tangan mengucapkan selamat. Lagi, aku harus selalu tersenyum menyambut kedatangan mereka. Pesta resepsi ini begitu sangat mewah. Aku dibuat takjub dengan dekorasi yang pastinya sangat maha
Melihat Bu Rahmi jatuh pingsan, semua orang yang tadinya fokus menikmati hidangan, kini beralih pada Bu Rahmi yang terkapar lemas di lantai.Arga mencoba membangunkan ibunya, tapi tidak bisa. Mata Bu Rahmi masih terpejam dengan tubuh yang tidak bergerak."Bu, bangun. Ya Allah, Bu, kenapa jadi begini?" Arga menepuk-nepuk pipi ibunya.Aku yang melihat kejadian ini merasa risau. Jantungku berdetak kencang dengan keringat dingin mulai membasahi tubuhku. Bagaimanapun juga, Bu Rahmi pingsan setelah mendengar aku berbicara. Secara tidak langsung, akulah yang akan jadi tersangka jika Bu Rahmi kenapa-kenapa.Orang-orang semakin berkerumun, membuatku terhimpit oleh mereka yang penasaran melihat keadaan Bu Rahmi."Kemari." Mas Raffi menarikku agar keluar dari kerumunan. "Mas, aku takut," ucapku seraya menggigit jari.Sungguh, aku benar-benar takut jika Arga akan menuduhku sebagai dalang dari tumbangnya Bu Rahmi."Tenanglah, tidak akan terjadi apa-apa," ucap Mas Raffi menenangkanku.Mas Raffi me
Suara-suara terdengar saling bergumam. Mempertanyakan kenapa pesta mewah bisa mati lampu di tengah-tengah acara. Ada juga yang berkata dengan candaan, bahwa yang punya acara telah kehabisan token listrik. Menyedihkan."Tenang semuanya! Sebentar lagi, lampu akan kembali menyala!" Seorang MC berteriak dengan keras untuk menengkan tamu undangan yang sudah berkasak-kusuk. Aku memejamkan mata, mengeratkan tangan pada lengan Mas Raffi."Kita hitung sama-sama agar lampunya kembali menyala!" ujar MC lagi."Tiga!""Dua!""Satu!"Semua orang bertepuk tangan, ketika lampu sudah kembali menyela. Aku pun bernapas lega, akhirnya ketakutanku berakhir. Perlahan, aku membuka mata. Namun, sesuatu membuatku terkejut luar biasa."Ibu?!" seruku ketika melihat wanitaku berdiri di sampingku.Ibu tidak berucap, ia hanya tersenyum begitu manis padaku.Aku melepaskan tangan Mas Raffi, memeluk Ibu yang terlihat sangat cantik dengan gamis baru serta wajah yang telah dipoles makeup."Kamu cantik sekali, Ra." P
Ibu, tidak membantah. Ia mengangguk mengikuti kemauan Mama. Dengan masih memakai mukena, Ibu mengekor di belakang Mama yang sudah berjalan terlebih dahulu.Pikiranku menjadi buruk. Haruskah aku mencurigai mertuaku, jika ia akan menyuruh Ibuku memasak atau mungkin mencuci piring?Sepertinya aku tidak akan mendapatkan jawaban jika berdiam diri tanpa mengikuti mereka. Dengan berjalan mengendap, aku pergi ke arah dapur dan berdiri di balik tembok penyekat. "Ini, lho Bu, rencananya saya mau masak ikan patin sama sup iga sapi. Kira-kira, yang Raya sukai itu yang mana, ya? Saya takutnya nanti dia gak suka dan gak makan masakan saya."Aku menghela napas lega saat mendengar Mama berucap. Ternyata, Mama menyuruh Ibu ke dapur, bukan untuk menyuruhnya memasak atau mencuci piring, melainkan hanya bertanya tentang makanan kesukaanku."Bu Rianti, Raya itu pemakan segala. Semua jenis makanan dia suka. Asal matang, pasti dimakan sama Raya," jawab Ibu dengan yakin."Begitu, ya? Kalau dari jenis sayura
"Ra!"Suara ketukan pintu diiringi suara panggilan Mimi membuatku yang tengah menyisir rambut, melihat ke arah pintu."Raihana Kamaya!" panggilnya lagi dengan nada khas Mother Gothel saat memanggil Rapunzel. "Ra—""Apa?" Aku membuka pintu, membuat mulut Mimi bungkam seketika."Boleh masuk?" tanyanya.Aku mengangguk, mempersilahkan Mimi melangkah ke dalam kamarku."Ya Allah .... Raya ... ini kamar hotel bintang berapa?" Mata Mimi menyisir ke seluruh ruangan dengan takjub. "Kasurnya, lemarinya. Astaga ... meja riasnya lebih bagus dari yang di bawah. Karpet bulunya juga," lanjut Mimi lagi mengelus barang-barang yang barusan dia sebutkan."Tidak usah lebay, Mi. Karpet pake diusap-usap segala.""Gusti, ini lemari apa toko? Banyak amat bajumu, Ra!" Aku menggelengkan kepala saat melihat Mimi membuka lemari pakaian yang masih terbuka setengah, setelah tadi aku mengambil pakaian dari sana."Ra, ini semua kamu yang milih?" Mimi menutup lemari, kini dia menghampiriku yang tengah duduk di meja
"SELAMAT ANDA TERTIPU!!""Mas Raffi!!"Aku melemparkan kembali laptop ke dalam air. Kemudian, aku menghujani Mas Raffi dengan cipratan air hingga baju serta tubuhnya menjadi basah.Tega sekali dia padaku. Pagi-pagi sudah membuat jantungku hampir melayang. Aku kira, laptop yang jatuh ke air adalah laptop yang biasa dipakainya untuk bekerja. Ternyata itu laptop rusak yang keyboard-nya pun sudah hilang sebagian.Mas Raffi sengaja menempelkan kertas yang dibalut plastik transparan, pada layarnya, agar aku bisa membaca langsung tulisan yang dia buat untukku.Sangat menyebalkan!"Stop, Ra! Hentikan, jangan diubek-ubek gitu airnya, nanti ikannya pada mati!" Aku berhenti. Napasku terengah dengan seluruh badan yang basah. "Sini, duduk. Capek," ujar Mas Raffi menarik tanganku.Aku menepis tangan dia dengan kasar. Kesal sekali aku dibuatnya pagi ini. Namun, meskipun begitu, aku tidak menolak ajakannya. Aku duduk di samping dia, dengan wajah yang ditekuk."Mas, tuh jahat banget. Aku sampai mau n