"Ra!"Suara ketukan pintu diiringi suara panggilan Mimi membuatku yang tengah menyisir rambut, melihat ke arah pintu."Raihana Kamaya!" panggilnya lagi dengan nada khas Mother Gothel saat memanggil Rapunzel. "Ra—""Apa?" Aku membuka pintu, membuat mulut Mimi bungkam seketika."Boleh masuk?" tanyanya.Aku mengangguk, mempersilahkan Mimi melangkah ke dalam kamarku."Ya Allah .... Raya ... ini kamar hotel bintang berapa?" Mata Mimi menyisir ke seluruh ruangan dengan takjub. "Kasurnya, lemarinya. Astaga ... meja riasnya lebih bagus dari yang di bawah. Karpet bulunya juga," lanjut Mimi lagi mengelus barang-barang yang barusan dia sebutkan."Tidak usah lebay, Mi. Karpet pake diusap-usap segala.""Gusti, ini lemari apa toko? Banyak amat bajumu, Ra!" Aku menggelengkan kepala saat melihat Mimi membuka lemari pakaian yang masih terbuka setengah, setelah tadi aku mengambil pakaian dari sana."Ra, ini semua kamu yang milih?" Mimi menutup lemari, kini dia menghampiriku yang tengah duduk di meja
"SELAMAT ANDA TERTIPU!!""Mas Raffi!!"Aku melemparkan kembali laptop ke dalam air. Kemudian, aku menghujani Mas Raffi dengan cipratan air hingga baju serta tubuhnya menjadi basah.Tega sekali dia padaku. Pagi-pagi sudah membuat jantungku hampir melayang. Aku kira, laptop yang jatuh ke air adalah laptop yang biasa dipakainya untuk bekerja. Ternyata itu laptop rusak yang keyboard-nya pun sudah hilang sebagian.Mas Raffi sengaja menempelkan kertas yang dibalut plastik transparan, pada layarnya, agar aku bisa membaca langsung tulisan yang dia buat untukku.Sangat menyebalkan!"Stop, Ra! Hentikan, jangan diubek-ubek gitu airnya, nanti ikannya pada mati!" Aku berhenti. Napasku terengah dengan seluruh badan yang basah. "Sini, duduk. Capek," ujar Mas Raffi menarik tanganku.Aku menepis tangan dia dengan kasar. Kesal sekali aku dibuatnya pagi ini. Namun, meskipun begitu, aku tidak menolak ajakannya. Aku duduk di samping dia, dengan wajah yang ditekuk."Mas, tuh jahat banget. Aku sampai mau n
Sesuai yang dia perintahkan, aku pun membuka dan ... mataku membulat saat melihat isinya adalah uang. Berwarna merah, dan jumlahnya banyak."Ini banyak sekali, Mas.""Cuma tiga juta. Aku tidak banyak pegang uang cash. Dan ini, bisa kamu gunakan jika nanti uang itu habis." Benda tipis Mas Raffi berikan padaku."Pin-nya, tanggal lahir aku. 09 09 90. Saldonya tidak terlalu banyak, tapi insya Allah akan cukup untuk dua bulan. Jika setiap harinya, kamu mengeluarkan uang sebesar satu juta."Aku membulatkan mulut tanpa mengalihkan pandangan dari kartu ATM yang kini sudah berada di tanganku."Ini banyak banget, Mas. Uang segitu, buatku bisa untuk bertahun-tahun."Mas Raffi hanya terkekeh."Aku gak mau ah, simpen uang banyak-banyak. Kamu kasih kes aja setiap bulannya, Mas. Nanti ATM-nya ilang, gimana? Lagian, kamu harus belanja keperluan bengkel, 'kan. Nanti susah kalau ATM-nya di aku," ujarku mengembalikan kartu itu pada Mas Raffi."Raya, itu khusus aku buatkan untuk kamu. Untuk mengatur keua
"Raya, mau beli apa? Dipilih, dong." "Enggak, ah Ma. Baju-baju yang ada di lemari saja, belum semua Raya, pakai," ucapku menjawab pertanyaan Mama."Kalau tidak mau beli baju, mungkin kamu bisa beli lingerie, buat dipakai kalau nanti sudah suci? Biar Raffi, seneng.""Ah, malu, Ma. Nanti kalau diketawain gimana?" "Gak akan, percaya sama Mama. Laki-laki itu suka, lho kalau kita sebagai istrinya, punya inisiatif untuk menyenangkan pandangannya."Aku teridiam sejenak. Lalu, menganggukkan kepala sebagai tanda setuju dengan saran Mama.Saat ini, kami memang sudah berada di mall. Lebih tepatnya, di toko pakaian yang menyediakan berbagai macam jenis pakaian. Aku dan Mama pergi ke jajaran baju tidur. Sungguh, aku malu sendiri melihat baju transparan itu dipajang di tubuh patung. "Mau yang mana? Warna apa?" tanya Mama lagi."Terserah Mama aja."Mama mengambilkan dua lingerie dengan warna yang berbeda. Memasukannya pada keranjang transparan, disatukan dengan belanjaan milik Mama.Saat Mama ber
Sampai di rumah, rupanya Mas Raffi sudah pulang. Ia berdiri dengan bersidekap dada di teras rumah. Topi hitam masih bertengger di kepalanya. Sepertinya dia pun baru saja sampai."Assalamualaikum," ucapku seraya mengambil tangan suamiku dan menciumnya."Waalaikumsalam. Seru jalan-jalannya?" "Seru, Mas. Kita itu bukan jalan-jalan, lebih tepatnya belanja. Mama banyak banget belanjaannya. Segala macem dibelinya," ujarku bercerita."Sudah biasa," ucap Mas Raffi singkat."Siapa yang dateng, Fi? Ini ada mobil?" Aku baru sadar kalau ada mobil lain yang terparkir di depan rumah, saat Mama bertanya pada putranya."Istrinya Mas Kembar, Ma."Mama manggut-manggut. Ia tahu siapa yang dimaksud Mas Raffi. Mas kembar adalah Mas Daffa dan Mas Raffa. Itu artinya, yang datang adalah Mbak Cindy dan Mbak Syahida.Aku pun masuk ke dalam rumah dengan menggandeng Ibu. Berbasa-basi sebentar dengan Mbak Cindy, lalu mengantarkan Ibu dan Mimi ke kamarnya. Seperti biasa, Mbak Syahida hanya tersenyum tanpa mengel
Wajah cantik dengan penampilan menarik tidak menjamin seseorang akan memiliki hati yang bersih. Contohnya iparku yang satu ini. Rupa yang nyaris sempurna tanpa cela, harus ternoda dengan hati yang memiliki rasa iri dan dengki yang tertanam di hatinya. Kutundukkan pandangan saat Mbak Syahida berjalan semakin dekat pada kami. Dengan senyum manis yang menghiasi bibir, ia duduk di sofa yang berada di depanku.Ingin aku menyapa, tapi rasanya sungkan. Apalagi, setelah mendengar perkataan Mbak Cindy tadi. Aku semakin ragu untuk bersua dengannya."Ra, kamu itu jangan di rumah terus. Sekali-kali maen, dong ke rumah aku. Atau, kita bisa jalan-jalan dan shoping bareng, gitu. Pasti seru," ujar Mbak Cindy memecah keheningan diantara kita."Nanti, Mbak. Sekarang, kan sedang ada Ibu, gak enak kalau mau pergi-pergi," ucapku seraya melirik sekilas pada Mbak Syahida. Namun, dia tidak berekspresi. Terkesan bodoh amat dan memilih memainkan ponsel.'Ya Tuhan ... aku gereget banget melihatnya.'"Iya, juga
"Cari siapa?" Mbak Cindy keluar dari kamar sebelahnya dan langsung bertanya."Ibu sama Mimi, Mbak. Aku mau ajak mereka makan.""Oh, udah di ruang makan. Tadi sudah dipanggil sama Mama," ucapnya seraya menutup pintu kamar.Aku pun berjalan beriringan dengan Mbak Cindy ke ruang makan. Ternyata semuanya sudah berkumpul di sana. Termasuk Papa, yang tidak aku tahu kapan ia pulang.Tidak ada yang bicara di meja makan. Semuanya sibuk dengan makanan masing-masing. Hingga akhirnya, Mbak Cindy mulai bersuara."Pa, Ma, malam ini aku nginep di sini, ya? Tiba-tiba Citra demam. Kalau dibawa pulang, gak ada siap-siap di rumah. Mas Raffa sedang seminar ke luar kota.""Citra demam?" Kok, bisa?" tanya Papa."Tadi maen air ujan, Pa.""Yasudah, nginep aja. Mama juga khawatir kalau di rumah gak ada Raffa," pungkas Mama.Suasana kembali hening sampai makan siang sudah selesai. Mama serta anak dan menantunya memilih berkumpul di ruang televisi. Menikmati acara seraya mengobrol dan bercengkrama. Begitupun de
"Ibu gak nyuri, Ra. Demi Allah, Ibu tidak tahu kenapa jam tangan itu ada di tas, Ibu," ujar Ibu dengan terisak.Aku percaya, sangat percaya sama Ibu. Namun, sepertinya tidak dengan orang-orang yang ada di sini. Mas Raffi pun tidak melakukan pembelaan. Ia diam dan hanya bergeming."Aku tidak menyangka, kalian memanfaatkan kebaikan Mama," ucap Mbak Cindy lagi."Ibu, tidak mungkin melakukan itu, Mbak! Ini pasti fitnah. Ada yang memfitnah Ibu!" sanggahku seraya terus memeluk Ibu.Mas Raffi mengambil jam tangan yang tadi ada di tas Ibu. Ia mengembalikannya kepada Mama, yang sedari tadi diam tanpa kata."Sudah, Ra. Jangan menangis lagi. Ibu pun jangan menangis. Mungkin ini hanya salah paham. Iya, 'kan, Ma?" ucap suamiku itu."Emm ... iya, mungkin hanya salah paham. Gak, papa Bu Fatimah. Saya tidak marah, kok. Toh, jam tangan itu sudah kembali ke tangan saya." Mama tersenyum meski terlihat terpaksa.Aku melihat wajah-wajah mereka satu persatu. Siapa sekiranya diantara mereka yang berbuat hal