Wajah cantik dengan penampilan menarik tidak menjamin seseorang akan memiliki hati yang bersih. Contohnya iparku yang satu ini. Rupa yang nyaris sempurna tanpa cela, harus ternoda dengan hati yang memiliki rasa iri dan dengki yang tertanam di hatinya. Kutundukkan pandangan saat Mbak Syahida berjalan semakin dekat pada kami. Dengan senyum manis yang menghiasi bibir, ia duduk di sofa yang berada di depanku.Ingin aku menyapa, tapi rasanya sungkan. Apalagi, setelah mendengar perkataan Mbak Cindy tadi. Aku semakin ragu untuk bersua dengannya."Ra, kamu itu jangan di rumah terus. Sekali-kali maen, dong ke rumah aku. Atau, kita bisa jalan-jalan dan shoping bareng, gitu. Pasti seru," ujar Mbak Cindy memecah keheningan diantara kita."Nanti, Mbak. Sekarang, kan sedang ada Ibu, gak enak kalau mau pergi-pergi," ucapku seraya melirik sekilas pada Mbak Syahida. Namun, dia tidak berekspresi. Terkesan bodoh amat dan memilih memainkan ponsel.'Ya Tuhan ... aku gereget banget melihatnya.'"Iya, juga
"Cari siapa?" Mbak Cindy keluar dari kamar sebelahnya dan langsung bertanya."Ibu sama Mimi, Mbak. Aku mau ajak mereka makan.""Oh, udah di ruang makan. Tadi sudah dipanggil sama Mama," ucapnya seraya menutup pintu kamar.Aku pun berjalan beriringan dengan Mbak Cindy ke ruang makan. Ternyata semuanya sudah berkumpul di sana. Termasuk Papa, yang tidak aku tahu kapan ia pulang.Tidak ada yang bicara di meja makan. Semuanya sibuk dengan makanan masing-masing. Hingga akhirnya, Mbak Cindy mulai bersuara."Pa, Ma, malam ini aku nginep di sini, ya? Tiba-tiba Citra demam. Kalau dibawa pulang, gak ada siap-siap di rumah. Mas Raffa sedang seminar ke luar kota.""Citra demam?" Kok, bisa?" tanya Papa."Tadi maen air ujan, Pa.""Yasudah, nginep aja. Mama juga khawatir kalau di rumah gak ada Raffa," pungkas Mama.Suasana kembali hening sampai makan siang sudah selesai. Mama serta anak dan menantunya memilih berkumpul di ruang televisi. Menikmati acara seraya mengobrol dan bercengkrama. Begitupun de
"Ibu gak nyuri, Ra. Demi Allah, Ibu tidak tahu kenapa jam tangan itu ada di tas, Ibu," ujar Ibu dengan terisak.Aku percaya, sangat percaya sama Ibu. Namun, sepertinya tidak dengan orang-orang yang ada di sini. Mas Raffi pun tidak melakukan pembelaan. Ia diam dan hanya bergeming."Aku tidak menyangka, kalian memanfaatkan kebaikan Mama," ucap Mbak Cindy lagi."Ibu, tidak mungkin melakukan itu, Mbak! Ini pasti fitnah. Ada yang memfitnah Ibu!" sanggahku seraya terus memeluk Ibu.Mas Raffi mengambil jam tangan yang tadi ada di tas Ibu. Ia mengembalikannya kepada Mama, yang sedari tadi diam tanpa kata."Sudah, Ra. Jangan menangis lagi. Ibu pun jangan menangis. Mungkin ini hanya salah paham. Iya, 'kan, Ma?" ucap suamiku itu."Emm ... iya, mungkin hanya salah paham. Gak, papa Bu Fatimah. Saya tidak marah, kok. Toh, jam tangan itu sudah kembali ke tangan saya." Mama tersenyum meski terlihat terpaksa.Aku melihat wajah-wajah mereka satu persatu. Siapa sekiranya diantara mereka yang berbuat hal
"Turun! Pak Tarmin, turun!!" Dalam kebingungan Pak Tarmin, Mas Raffi menggedor kaca sebelah kanan, dan menyuruh supir itu untuk turun."Jangan, Pak! Biarkan saja," ucapku."Tidak bisa, Bu. Saya tidak bisa membantah Pak Raffi." Pak Tarmin membuka pintu, ia turun dari mobil sesuai perintah bos-nya.Tentu saja, hal itu disambut baik oleh Mas Raffi. Buru-buru dia masuk dan duduk di kursi kemudi."Sayang ... keluar, yuk? Kamu jangan pergi, pliiisss. Bagaimana dengan aku, jika kamu pergi?" Mas Raffi menarik tanganku, tapi aku menepisnya."Ibu, aku minta maaf. Mungkin kejadian ini menyakiti Ibu. Raffi tidak menuduh Ibu, mencuri. Karena Raffi yakin, Ibu tidak akan melakukan itu." Dengan lembutnya, Mas Raffi berbicara pada Ibu. "Sekarang, kita turun dulu, yuk. Kita dinginkan kepala, agar tidak saling menyakiti," lanjut Mas Raffi membujuk kami.Kami saling diam. Mata Mas Raffi melihatku dan Ibu bergantian. Ia mengiba, mengajakku agar ikut dengannya."Turun, Raya. Kamu tidak boleh pergi tanpa
Sudah dua jam lamanya aku diam di dalam kamar. Mengurung diri, tidak mau keluar. Dan selama itu juga, Mas Raffi setia menemani. Meskipun tidak saling bicara, dan dia hanya bergelut dengan laptopnya, tapi dia tidak meninggalkanku.Aku merasa heran dengan lelaki itu. Tidak bosankah dia di sini? Diam membisu tanpa bicara? Bahkan tidak saling menyapa?'Sabar sekali kamu, Mas.'Sejak kejadian tadi, aku terus merenung. Aku merutuki kebodohanku yang hampir saja terjebak dalam permainan ipar si pemilik hati yang dengki. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku, jika tadi melabrak Mbak Syahida dan menuduhnya memfitnah Ibu. Aku akan malu seumur hidup."Raffi, Raya!"Pintu diketuk seiring dengan suara Mama memanggil.Mas Raffi melirikku sekilas, namun aku membuang pandangan ke sembarang arah.Pria itu menyimpan laptopnya, turun dari ranjang, lalu membuka pintu."Boleh Mama, masuk?" tanya wanita yang kini berdiri di ambang pintu."Boleh, Ma."Mama berjalan mendekat. Aku yang tengah berbaring m
"Keluarin semua isi dari dua kardus itu, lalu Bibi cari kardus yang lebih besar, nanti kita satuin. Biar lebih simpel aja, takutnya nanti kepisah," tuturku menjelaskan.Padahal, bukan itu alasan sebenarnya. Aku hanya ingin membuktikan, jika Ibu tidak mungkin mencuri. Agar Mama pun bisa percaya, bukan hanya memaafkan karena ada aku di sini.Bi Marni mengangguk paham. Ia pamit pergi ke warung terdekat, untuk membeli kardus yang lebih besar.Ponsel Mas Raffi berdering. Mas Raffi memperlihatkan nama yang tertera pada layar ponselnya padaku. Nama Bayu, yang kubaca. Aku mengangguk, memberikan isyarat pada Mas Raffi untuk mengangkatnya."Sebentar, ya?" ucap Mas Raffi seraya mengecup pucuk kepalaku.Aku membereskan piring kotor dan menyimpannya di wastafel. Kemudian, mengambil buah apel dari kulkas, dan mengupasnya. Memotong kecil-kecil, untuk aku nikmati bersama Mas Raffi."Ateee, Cici mau itu!" Seorang gadis kecil menghampiriku dan menunjuk pada apel yang sedang aku potong. Dia Citra, anak
"Lho, kenapa dibongkar, Fi? Bukannya mau dikirim lewat ekspedisi?" tanya Mama yang baru saja datang. Melihatku dan Mas Raffi yang sedang mengeluarkan barang-barang dari dalam dus, Mama langsung duduk di sebelahku."Mau dipindahin ke kardus yang lebih besar, Ma. Biar disatuin."Mama mengangguk seraya membulatkan mulut mendengar jawaban dari putranya."Ra, Raya gak marah kan, sama Mama? Raya, tidak benci kan, sama Mama?" Aku yang tengah memegang mukena yang waktu itu kami beli, beralih memegang tangan Mama. "Tidak, Ma. Raya, cuma sedih aja melihat Ibu mendapatkan tuduhan itu. Tapi, sekarang Raya sudah sedikit tenang. Karena Raya bisa membuktikan kalau Ibu, memang benar-benar difitnah. Raya, tahu siapa orang di balik kekacauan pagi tadi.""Benarkah? Siapa?" tanya Mama. Mas Raffi yang tengah memasukkan barang untuk Ibu, seketika melihat ke arahku."Ada lah. Nanti juga Mama dan Mas Raffi akan tahu," tuturku seraya tersenyum.Hanya helaan napas yang kudengar dari Mama. Ia tidak kembali b
Aku langsung masuk kembali ke dalam mobil. Mas Raffi pun langsung tancap gas menuju rumah sakit di mana Citra dirawat."Kenapa bisa jatuh, sih? Mama, juga kok, tidak menghubungi kita?" "Mungkin Mama panik dan langsung membawa Citra ke rumah sakit. Mudah-mudahan Citra tidak kenapa-napa ya, Mas?" "Semoga saja. Berdoa," ucap Mas Raffi. Tidak ada lagi pembicaraan di antara kami. Mas Raffi lebih fokus pada jalanan. Sedangkan aku, memikirkan Citra yang mungkin tengah berbaring lemah di ranjang rumah sakit. Ada sesal dalam hatiku. Seandainya saja aku tidak ikut Mas Raffi, mungkin aku akan bersama Citra saat ini. Mungkin, Citra tidak akan jatuh dari tangga jika aku berada di rumah bersamanya. Mbak Cindy? Apa Mbak Cindy tahu, jika Citra kecelakaan?Apa jangan-jangan Mbak Cindy masih di luar rumah, saat Citra jatuh?Ah, tidak mungkin. Mbak Cindy sudah pergi sejak tadi. Tidak mungkin dia belum pulang.Hatiku terus bergumam mengatakan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi di rumah saat aku da