"Lho, kenapa dibongkar, Fi? Bukannya mau dikirim lewat ekspedisi?" tanya Mama yang baru saja datang. Melihatku dan Mas Raffi yang sedang mengeluarkan barang-barang dari dalam dus, Mama langsung duduk di sebelahku."Mau dipindahin ke kardus yang lebih besar, Ma. Biar disatuin."Mama mengangguk seraya membulatkan mulut mendengar jawaban dari putranya."Ra, Raya gak marah kan, sama Mama? Raya, tidak benci kan, sama Mama?" Aku yang tengah memegang mukena yang waktu itu kami beli, beralih memegang tangan Mama. "Tidak, Ma. Raya, cuma sedih aja melihat Ibu mendapatkan tuduhan itu. Tapi, sekarang Raya sudah sedikit tenang. Karena Raya bisa membuktikan kalau Ibu, memang benar-benar difitnah. Raya, tahu siapa orang di balik kekacauan pagi tadi.""Benarkah? Siapa?" tanya Mama. Mas Raffi yang tengah memasukkan barang untuk Ibu, seketika melihat ke arahku."Ada lah. Nanti juga Mama dan Mas Raffi akan tahu," tuturku seraya tersenyum.Hanya helaan napas yang kudengar dari Mama. Ia tidak kembali b
Aku langsung masuk kembali ke dalam mobil. Mas Raffi pun langsung tancap gas menuju rumah sakit di mana Citra dirawat."Kenapa bisa jatuh, sih? Mama, juga kok, tidak menghubungi kita?" "Mungkin Mama panik dan langsung membawa Citra ke rumah sakit. Mudah-mudahan Citra tidak kenapa-napa ya, Mas?" "Semoga saja. Berdoa," ucap Mas Raffi. Tidak ada lagi pembicaraan di antara kami. Mas Raffi lebih fokus pada jalanan. Sedangkan aku, memikirkan Citra yang mungkin tengah berbaring lemah di ranjang rumah sakit. Ada sesal dalam hatiku. Seandainya saja aku tidak ikut Mas Raffi, mungkin aku akan bersama Citra saat ini. Mungkin, Citra tidak akan jatuh dari tangga jika aku berada di rumah bersamanya. Mbak Cindy? Apa Mbak Cindy tahu, jika Citra kecelakaan?Apa jangan-jangan Mbak Cindy masih di luar rumah, saat Citra jatuh?Ah, tidak mungkin. Mbak Cindy sudah pergi sejak tadi. Tidak mungkin dia belum pulang.Hatiku terus bergumam mengatakan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi di rumah saat aku da
"Kita akan bicara setelah aku melihat keadaan putriku," tutur pria itu melewati Mbak Cindy.Mas Raffa, ia berhenti sejenak, mengambil tangan Mama, lalu menciumnya. Kemudian kembali berjalan dan masuk ke dalam ruang rawat Citra.Aku menjatuhkan tubuhku pada kursi setelah Mbak Cindy pergi mengikuti suaminya. Sungguh, mendapatkan serangan mendadak dari Mbak Cindy, membuatku kaget. Jika saja tidak ada Mama, mungkin aku sudah melawan dia dengan lebih kasar. "Kamu baik-baik saja?" Mas Raffi mengusap kepalaku."Beli air minum, Fi. Mungkin Raya, syok," ujar Mama pada suamiku."Tidak usah, Ma. Raya tidak apa-apa, kok. Hanya sedikit kaget dengan serangan Mbak Cindy. Aku masih belum percaya jika itu adalah sifat asli Mbak Cindy."Mama menghela napas, lalu mengembuskannya kasar. "Cindy memang seperti itu, tapi Mama juga tidak menyangka jika dia akan menamparmu tadi. Sampai merah begitu."Mas Raffi mengusap pipi yang tadi ditampar Mbak Cindy. Kemudian mengecupnya singkat. "Mas, ih ini di rumah s
Citra, dia tidak ingin aku pulang. Dia ingin istirahat, jika aku yang menemaninya tidur. Tentu saja hal ini membuat Mbak Cindy keberatan. Ia tidak mengizinkan aku menunggui Citra, dengan alasan aku akan mencelakai balita itu.Sungguh pikiran yang sangat kotor."Gak mau sama Mami, Mami pegi-pegi terus. Maunya sama Tante aja," ujar Citra seraya merengek menangis."Mami tidak akan pergi, Mami mau nemenin Cici di sini. Sama Mami, aja, ya?" bujuk Mbak Cindy. Namun, Citra menggeleng. Ia kekeh ingin aku, yang menemani dia si sini.Entahlah, aku juga tidak tahu kenapa Citra memilih aku dibandingkan ibunya sendiri. Pada umumnya, anak seusia dia akan selalu ingin bersama ibunya dalam keadaan apa pun. Apalagi, dalam keadaan sakit seperti ini. "Sudah, Sin, biarkan Citra sama Raya, Raya tidak akan mencelakai anakmu. Dia juga seorang wanita yang akan menjadi Ibu, tidak mungkin dia jahat pada Citra." Mama ikut bersuara memberikan saran pada menantu yang keras kepala ini."Gak mau, Ma. Citra anakku,
"Apa yang ingin kamu bicarakan, Ga?" Pria yang duduk di depanku menghela napas, lalu mengembuskannya perlahan. Matanya lekat melihatku yang juga tengah menatapnya. Arga tidak langsung bicara. Ia melemparkan pandangan pada beberapa orang yang berada di kantin rumah sakit ini. Aku bersedia ikut dengannya, karena penasaran dengan apa yang akan dia sampaikan padaku."Maafkan aku, Ra." "Untuk?" tanyaku tidak mengerti."Kejadian dulu yang membuatmu sakit.""Sudah aku maafkan, aku harus kembali ke kamar Citra," ucapku berdiri. Sungguh, aku tidak ingin mendengar apa pun tentang itu. Aku sudah mengubur dalam-dalam rasa sakitku yang dulu hampir membuatku enggan untuk mengenal seorang pria lagi. "Ra, tunggu! Duduklah, aku butuh waktumu sebentar. Tidak usah bicara, cukup dengarkan apa yang ingin aku katakan."Aku duduk kembali. Melipat tangan di atas meja, dengan pandangan fokus pada gelas berisikan kopi."Jujur, aku sangat kaget saat mendengar kabar jika kamu menikah. Aku tidak menyangka ka
Lima hari sudah berlalu, katanya Citra sudah bisa dibawa pulang. Aku tidak sempat menjenguknya lagi karena Mas Raffi yang sibuk. Akhir-akhir ini Mas Raffi sering pulang telat karena bengkel dan rental mobil miliknya diserbu pelanggan. Aku sering kasihan melihat suamiku yang pulang dengan wajah lelah. Hanya pijatan di pundak yang aku suguhkan setiap hari saat ia kembali ke rumah. Aku belum bisa melakukan lebih, atau menyuguhkan sesuatu yang berharga yang kupunya. Karena kemarin, aku masih datang bulan.Namun, tidak untuk hari. Sepertinya malam ini akan jadi malam bersejarah untukku. Pagi ini, aku sudah bersuci. Tamu bulananku sudah pergi dengan sendirinya."Mbak Raya! Kemon!" Suara cempreng Bi Marni terdengar nyaring. Aku buru-buru turun menemui wanita itu."Berangkat sekarang, Bi?" "Ya, sekarang. Masa, tahun depan?" Aku nyengir memperlihatkan deretan gigiku pada Bi Marni. Satu minggu di sini, aku banyak tahu tentang wanita itu. Kehidupan keluarganya, juga masalah rumah tangganya ya
Kututup wajahku dengan selimut saat Mas Raffi menyalakan lampu yang tadi ia matikan. Sungguh, aku malu jika Mas Raffi melihat wajah ini. Kejadian tadi membuatku kehilangan muka di depan suamiku sendiri. Aku akan malu seumur hidup, dan tidak akan pernah melupakan kejadian tadi. Entah karena gugup atau takut, tiba-tiba saja aku kelepasan dan kentut di depan suamiku. Sungguh memalukan!"Kenapa ditutup wajahnya?" tanya Mas Raffi. Ia kembali naik ke ranjang, dan membaringkan tubuhnya di sampingku. Aku tidak menjawab pertanyaan Mas Raffi, memilih diam di balik selimut yang membungkus tubuh polosku. "Aku tahu, kalau kamu belum tidur, Ra. Kalau masih bersembunyi, aku matikan lagi lampunya," ujar Mas Raffi lagi, mengancamku.Perlahan, aku menurunkan selimut dari wajahku. Melihat ke arah Mas Raffi seraya menggigit bibir. Kedua sudut bibir Mas Raffi terangkat dengan mata yang tak lepas dariku.'Ah, aku malu!'Tangan Mas Raffi melingkar di pinggangku, menarik dengan lembut tubuhku, hingga kit
Mama dan Papa saling pandang lagi. Kemudian, Papa tertawa terbahak saat menyadari sesuatu. Mama pun ikut tertawa saat tangannya menyentuh kepala putranya yang masih basah."Tahu, kan sekarang, gimana rasanya menikah itu? Sudah merasakan, dia Mah." Papa kembali terbahak."Pantesan senyum-senyum terus dari tadi. Udah gitu pake peluk-peluk Mama segala, lagi. Eh, tahunya beneran lagi seneng. Selamat, sudah bongkaran!" kelakar Mama membuat kedua telinga Mas Raffi semakin memerah.Pria itu melepaskan pelukannya dari Mama, kemudian menarik kursi dan duduk di depan Papa. Aku semakin enggan untuk menghampiri mereka. Wajahku sudah memanas duluan akibat ulah Mas Raffi. "Sekarang, Raya di mana? Kamu gak bikin dia jadi susah jalan, kan?" tanya Mama langsung membuatku menutup wajah.'Mas Raffi memang benar-benar, ya. Bikin malu aja.' Aku menggerutu dalam hati.Untuk menenangkan hatiku yang terus berlari maraton, aku memilih tidak dulu menghampiri mereka di ruang makan. Dan akhirnya memilih duduk d