"Raya, mau beli apa? Dipilih, dong." "Enggak, ah Ma. Baju-baju yang ada di lemari saja, belum semua Raya, pakai," ucapku menjawab pertanyaan Mama."Kalau tidak mau beli baju, mungkin kamu bisa beli lingerie, buat dipakai kalau nanti sudah suci? Biar Raffi, seneng.""Ah, malu, Ma. Nanti kalau diketawain gimana?" "Gak akan, percaya sama Mama. Laki-laki itu suka, lho kalau kita sebagai istrinya, punya inisiatif untuk menyenangkan pandangannya."Aku teridiam sejenak. Lalu, menganggukkan kepala sebagai tanda setuju dengan saran Mama.Saat ini, kami memang sudah berada di mall. Lebih tepatnya, di toko pakaian yang menyediakan berbagai macam jenis pakaian. Aku dan Mama pergi ke jajaran baju tidur. Sungguh, aku malu sendiri melihat baju transparan itu dipajang di tubuh patung. "Mau yang mana? Warna apa?" tanya Mama lagi."Terserah Mama aja."Mama mengambilkan dua lingerie dengan warna yang berbeda. Memasukannya pada keranjang transparan, disatukan dengan belanjaan milik Mama.Saat Mama ber
Sampai di rumah, rupanya Mas Raffi sudah pulang. Ia berdiri dengan bersidekap dada di teras rumah. Topi hitam masih bertengger di kepalanya. Sepertinya dia pun baru saja sampai."Assalamualaikum," ucapku seraya mengambil tangan suamiku dan menciumnya."Waalaikumsalam. Seru jalan-jalannya?" "Seru, Mas. Kita itu bukan jalan-jalan, lebih tepatnya belanja. Mama banyak banget belanjaannya. Segala macem dibelinya," ujarku bercerita."Sudah biasa," ucap Mas Raffi singkat."Siapa yang dateng, Fi? Ini ada mobil?" Aku baru sadar kalau ada mobil lain yang terparkir di depan rumah, saat Mama bertanya pada putranya."Istrinya Mas Kembar, Ma."Mama manggut-manggut. Ia tahu siapa yang dimaksud Mas Raffi. Mas kembar adalah Mas Daffa dan Mas Raffa. Itu artinya, yang datang adalah Mbak Cindy dan Mbak Syahida.Aku pun masuk ke dalam rumah dengan menggandeng Ibu. Berbasa-basi sebentar dengan Mbak Cindy, lalu mengantarkan Ibu dan Mimi ke kamarnya. Seperti biasa, Mbak Syahida hanya tersenyum tanpa mengel
Wajah cantik dengan penampilan menarik tidak menjamin seseorang akan memiliki hati yang bersih. Contohnya iparku yang satu ini. Rupa yang nyaris sempurna tanpa cela, harus ternoda dengan hati yang memiliki rasa iri dan dengki yang tertanam di hatinya. Kutundukkan pandangan saat Mbak Syahida berjalan semakin dekat pada kami. Dengan senyum manis yang menghiasi bibir, ia duduk di sofa yang berada di depanku.Ingin aku menyapa, tapi rasanya sungkan. Apalagi, setelah mendengar perkataan Mbak Cindy tadi. Aku semakin ragu untuk bersua dengannya."Ra, kamu itu jangan di rumah terus. Sekali-kali maen, dong ke rumah aku. Atau, kita bisa jalan-jalan dan shoping bareng, gitu. Pasti seru," ujar Mbak Cindy memecah keheningan diantara kita."Nanti, Mbak. Sekarang, kan sedang ada Ibu, gak enak kalau mau pergi-pergi," ucapku seraya melirik sekilas pada Mbak Syahida. Namun, dia tidak berekspresi. Terkesan bodoh amat dan memilih memainkan ponsel.'Ya Tuhan ... aku gereget banget melihatnya.'"Iya, juga
"Cari siapa?" Mbak Cindy keluar dari kamar sebelahnya dan langsung bertanya."Ibu sama Mimi, Mbak. Aku mau ajak mereka makan.""Oh, udah di ruang makan. Tadi sudah dipanggil sama Mama," ucapnya seraya menutup pintu kamar.Aku pun berjalan beriringan dengan Mbak Cindy ke ruang makan. Ternyata semuanya sudah berkumpul di sana. Termasuk Papa, yang tidak aku tahu kapan ia pulang.Tidak ada yang bicara di meja makan. Semuanya sibuk dengan makanan masing-masing. Hingga akhirnya, Mbak Cindy mulai bersuara."Pa, Ma, malam ini aku nginep di sini, ya? Tiba-tiba Citra demam. Kalau dibawa pulang, gak ada siap-siap di rumah. Mas Raffa sedang seminar ke luar kota.""Citra demam?" Kok, bisa?" tanya Papa."Tadi maen air ujan, Pa.""Yasudah, nginep aja. Mama juga khawatir kalau di rumah gak ada Raffa," pungkas Mama.Suasana kembali hening sampai makan siang sudah selesai. Mama serta anak dan menantunya memilih berkumpul di ruang televisi. Menikmati acara seraya mengobrol dan bercengkrama. Begitupun de
"Ibu gak nyuri, Ra. Demi Allah, Ibu tidak tahu kenapa jam tangan itu ada di tas, Ibu," ujar Ibu dengan terisak.Aku percaya, sangat percaya sama Ibu. Namun, sepertinya tidak dengan orang-orang yang ada di sini. Mas Raffi pun tidak melakukan pembelaan. Ia diam dan hanya bergeming."Aku tidak menyangka, kalian memanfaatkan kebaikan Mama," ucap Mbak Cindy lagi."Ibu, tidak mungkin melakukan itu, Mbak! Ini pasti fitnah. Ada yang memfitnah Ibu!" sanggahku seraya terus memeluk Ibu.Mas Raffi mengambil jam tangan yang tadi ada di tas Ibu. Ia mengembalikannya kepada Mama, yang sedari tadi diam tanpa kata."Sudah, Ra. Jangan menangis lagi. Ibu pun jangan menangis. Mungkin ini hanya salah paham. Iya, 'kan, Ma?" ucap suamiku itu."Emm ... iya, mungkin hanya salah paham. Gak, papa Bu Fatimah. Saya tidak marah, kok. Toh, jam tangan itu sudah kembali ke tangan saya." Mama tersenyum meski terlihat terpaksa.Aku melihat wajah-wajah mereka satu persatu. Siapa sekiranya diantara mereka yang berbuat hal
"Turun! Pak Tarmin, turun!!" Dalam kebingungan Pak Tarmin, Mas Raffi menggedor kaca sebelah kanan, dan menyuruh supir itu untuk turun."Jangan, Pak! Biarkan saja," ucapku."Tidak bisa, Bu. Saya tidak bisa membantah Pak Raffi." Pak Tarmin membuka pintu, ia turun dari mobil sesuai perintah bos-nya.Tentu saja, hal itu disambut baik oleh Mas Raffi. Buru-buru dia masuk dan duduk di kursi kemudi."Sayang ... keluar, yuk? Kamu jangan pergi, pliiisss. Bagaimana dengan aku, jika kamu pergi?" Mas Raffi menarik tanganku, tapi aku menepisnya."Ibu, aku minta maaf. Mungkin kejadian ini menyakiti Ibu. Raffi tidak menuduh Ibu, mencuri. Karena Raffi yakin, Ibu tidak akan melakukan itu." Dengan lembutnya, Mas Raffi berbicara pada Ibu. "Sekarang, kita turun dulu, yuk. Kita dinginkan kepala, agar tidak saling menyakiti," lanjut Mas Raffi membujuk kami.Kami saling diam. Mata Mas Raffi melihatku dan Ibu bergantian. Ia mengiba, mengajakku agar ikut dengannya."Turun, Raya. Kamu tidak boleh pergi tanpa
Sudah dua jam lamanya aku diam di dalam kamar. Mengurung diri, tidak mau keluar. Dan selama itu juga, Mas Raffi setia menemani. Meskipun tidak saling bicara, dan dia hanya bergelut dengan laptopnya, tapi dia tidak meninggalkanku.Aku merasa heran dengan lelaki itu. Tidak bosankah dia di sini? Diam membisu tanpa bicara? Bahkan tidak saling menyapa?'Sabar sekali kamu, Mas.'Sejak kejadian tadi, aku terus merenung. Aku merutuki kebodohanku yang hampir saja terjebak dalam permainan ipar si pemilik hati yang dengki. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku, jika tadi melabrak Mbak Syahida dan menuduhnya memfitnah Ibu. Aku akan malu seumur hidup."Raffi, Raya!"Pintu diketuk seiring dengan suara Mama memanggil.Mas Raffi melirikku sekilas, namun aku membuang pandangan ke sembarang arah.Pria itu menyimpan laptopnya, turun dari ranjang, lalu membuka pintu."Boleh Mama, masuk?" tanya wanita yang kini berdiri di ambang pintu."Boleh, Ma."Mama berjalan mendekat. Aku yang tengah berbaring m
"Keluarin semua isi dari dua kardus itu, lalu Bibi cari kardus yang lebih besar, nanti kita satuin. Biar lebih simpel aja, takutnya nanti kepisah," tuturku menjelaskan.Padahal, bukan itu alasan sebenarnya. Aku hanya ingin membuktikan, jika Ibu tidak mungkin mencuri. Agar Mama pun bisa percaya, bukan hanya memaafkan karena ada aku di sini.Bi Marni mengangguk paham. Ia pamit pergi ke warung terdekat, untuk membeli kardus yang lebih besar.Ponsel Mas Raffi berdering. Mas Raffi memperlihatkan nama yang tertera pada layar ponselnya padaku. Nama Bayu, yang kubaca. Aku mengangguk, memberikan isyarat pada Mas Raffi untuk mengangkatnya."Sebentar, ya?" ucap Mas Raffi seraya mengecup pucuk kepalaku.Aku membereskan piring kotor dan menyimpannya di wastafel. Kemudian, mengambil buah apel dari kulkas, dan mengupasnya. Memotong kecil-kecil, untuk aku nikmati bersama Mas Raffi."Ateee, Cici mau itu!" Seorang gadis kecil menghampiriku dan menunjuk pada apel yang sedang aku potong. Dia Citra, anak
"Raihanum." Aku menyebut nama dari bayi perempuan yang sedang menggeliat di tempat tidurnya. Bibirku tersenyum manis menatap sepasang mata yang mulai melihat dunia. "Selamat pagi, Sayang ...." Aku mengusap pelan pipinya dengan jari telunjukku. Dia menggoyangkan kepalanya seolah merasa terganggu dengan sentuhan lembutku. Bibirnya bergerak seperti mengemut sesuatu. Dan aku semakin gemas melihat itu. "Hey, princess Papa sudah bangun ternyata?" Aku menoleh pada Mas Raffi yang baru saja datang, dan langsung menghampiriku. Bukan. Bukan aku yang dia datangi, melainkan putri kecilnya. "Sepertinya dia haus, Sayang," ujarnya lagi. "Iya. Dia cari sesuatu.""Kasihlah. Kasihan dia."Aku pun mengambil bayi perempuan berusia empat puluh hari itu. Kini, dia menggeliat dalam gendongan, lalu kepalanya ke kanan dan kiri mencari sarapan paginya. Aku membuka kancing piyamaku, kemudian memberikan asupan gizi untuk putriku tercinta. "Persiapan di bawah gimana, Mas?" Aku melihat pada Mas Raffi. "
"Sayang ... udah belum?" "Belum!" Aku berteriak menjawab pertanyaan Mas Raffi. Saat ini aku tengah mondar-mandir di kamar mandi seraya memegang testpack. Sudah lima belas menit aku di dalam sini, tapi benda kecil itu belum menyentuh urinku. Rasanya campur aduk antara takut tidak sesuai dengan ekspektasi, juga penasaran yang luar biasa. "Sayang, ayo, dong! Masa dari tadi belum terus!" Mas Raffi kembali berujar. "Iya, bentar, Mas!"Dengan tangan yang bergetar, aku memasukkan testpack ke dalam urin yang sudah aku tampung dalam wadah. Setelah beberapa detik menunggu, aku mengangkatnya dengan mata terpejam. Sebelah mata aku buka sedikit, mencari garis yang menjadi penentu aku hamil atau tidaknya. Samar-samar aku melihat garis itu, hingga akhirnya mata kubuka lebar-lebar untuk memastikan penglihatanku tidaklah salah. "Dua?" gumamku, kemudian bibir tersenyum. Aku menutup mulut dengan mata yang berkaca-kaca. Ini memang bukan kehamilan pertama, tapi rasanya masih sama seperti waktu tah
"Pagi, Sayang ...."Sepasang tangan melingkar di pinggang, disusul dengan kecupan kecil di pipi. Aku yang tengah berkutat dengan alat masak, membalas sapaan Mas Raffi dengan usapan pelan di lengannya. Hal seperti ini bukan terjadi sekarang, tapi setiap pagi datang. Sikap Mas Raffi selalu hangat dan tambah romantis sejak kami tinggal di rumah ini. Itu mengapa, aku memperkejakan asisten rumah tangga yang pulang pergi. Aku tidak ingin melewatkan keromantisan ini karena ada orang lain di istana kami. "Sudah aku siapkan teh di atas meja. Mas duduk, sebentar lagi gorengan yang aku buat akan matang," ujarku. "Emh ... enggak mau. Aku mau tetap meluk kamu sampai gorengan itu pindah ke meja makan." Mas Raffi berucap manja. "Nanti kamu kecipratan minyak, Mas.""Biarin. Jangankan minyak, percikan api asmara dari luar pun bisa aku padamkan demi kamu.""Hah, gimana-gimana?" Aku menoleh, mencari wajah Mas Raffi yang menyusup di tengkuk leherku. Dia tidak berani mengangkat kepala. Malah semaki
"Gini aja, deh, Fi. Daripada kamu jual perhiasan Raya, mendingan kamu pinjem uang aja dari Mama." Aku yang tadi sudah berpikiran buruk, merasa lebih tenang saat mendengar suara Mama. Ternyata yang masuk tadi bukan Reyhan, melainkan Mama dan Mas Raffi yang membahas perhiasan. Oh, ya ampun. Mas Raffi ketahuan Mama akan menjual perhiasan? Aku berjalan mendekati mereka yang berada di ruang tamu. Pandanganku mengarah pada Mas Raffi yang memberikan isyarat dengan menempelkan jari telunjuk di bibirnya. Aku mengangguk kecil, lalu meraih tangan Mama dan menciumnya. "Rayyan mana, Ra?" tanya Mama tanpa melepaskan tanganku. "Lagi main di ruang tengah, Mah.""Kalau gitu, kamu duduk di sini, Mama mau bicara dengan kalian."Aku dan Mas Raffi saling pandang, lalu aku pun duduk di samping Mama. Begitu pun Mas Raffi. Kami mengapit Mama yang berada di tengah-tengah. "Fi, Ra, kalian ini masih punya orang tua. Ada Mama dan Papa, yang masih bisa bantu kalian. Bukan Mama mau sombong, soal uang, insya
"Semalam aku kaget banget, loh saat Mas Bayu membekap mulutku. Aku kira itu Reyhan."Aku menyeruput jus alpukat seraya memperhatikan Rayyan yang bermain. "Tadi malam, saat aku menyuruh kamu tidur, emang sudah merasakan ketidakberesan di rumah kita. Yang kata aku melihat kucing di kosan, itu sebenarnya yang aku lihat emang manusia.""Kok, gak bilang ke aku?" tanyaku. Saat ini, aku dan Mas Raffi masih membahas kejadian semalam yang membuat tubuh ini bergetar ketakutan. Kami duduk lesehan di teras depan seraya mengasuh Rayyan yang bermain di halaman. "Aku tidak mau kamu takut, Ra. Makanya aku menyuruh kamu tidur cepat. Dan setelah kami tidur, aku langsung menelepon polisi untuk datang secara diam-diam. Dan Bayu juga.""Terus, saat aku bangun dan ke lantai bawah, kamu kan tidak ada. Itu ke mana?" Aku masih bertanya karena penasaran. "Aku di luar. Secara tidak langsung, aku menggiring Reyhan masuk ke kamar tamu lewat jendela. Dan Bayu, saat itu sudah ada di dalam rumah ini. Dia aku su
"Mas Bayu ngapain di sini?" tanyaku, saat dia melepaskan tangannya dari bibirku. "Aku diminta Raffi datang ke sini. Dan kamu tahu, yang ada di kamar itu siapa? Si Reyhan. Dia nyusup masuk ke rumahmu lewat jendela kamar yang tidak dikunci.""Apa?" Rasa terkejutku bertambah berkali lipat. Jika saja tadi aku masuk ke sana, habislah riwayatku. Reyhan pasti akan dengan mudah melakukan perbuatan jahatnya padaku. Suara gagang pintu yang diputar dari dalam kamar tamu, membuatku dan Bayu menoleh. Semakin lama, suara di sana semakin keras. Karena mungkin Reyhan sudah menyadari jika dia masuk perangkap. "Mas Raffi, mana?" tanyaku, karena tak kulihat keberadaan suamiku. "Dia di luar.""Sendirian?" tanyaku lagi. "Temenin, Mas. Aku takut Reyhan menyerang Mas Raffi. Dia belum pulih." Aku panik. Bayu hendak melangkah menjauh dariku, tapi dia urungkan saat ada bayangan yang berjalan mendekat ke arah kami. Tidak lama kemudian, lampu pun menyala membuat ruangan yang gelap menjadi terang. Aku lan
"Mas, kenapa liatin aku terus?" Mama dan Papa, serta semua kakak Mas Raffi sudah pergi beberapa menit yang lalu. Sekarang, tinggallah kami berdua, dan Rayyan yang sudah tidur. Hari memang sudah malam. Perabot pemberian kakak-kakak Mas Raffi pun, sudah disimpan ke tempat yang semestinya. Dibantu kakak dan kakak iparku tentunya. Saat ini, aku dan Mas Raffi tengah duduk berdua di lantai dua rumah kami. Aku dan dia sedang menikmati malam, melihat bintang dan bulan yang bersinar bersamaan. Gorden kaca sengaja dibuka agar langit terlihat jelas. Di depan kami, dua cangkir teh menjadi pelengkap kebersamaanku dengan Mas Raffi. "Malu, ih diliatin terus," kataku lagi, memalingkan wajah ke arah lampu hias berbentuk hati yang berada di sudut ruangan. Mas Raffi menyentuh daguku. Menariknya sangat pelan, agar tatapanku kembali padanya. "Karena aku kagum pada kecantikan istriku ini. Makanya, aku pandang terus.""Ih, gombal, deh," ujarku. Padahal dalam hati, aku bahagia mendapatkan pujian dari
"Saat di hotel waktu itu, sebenarnya Mbak percaya jika kamu tidak melakukan apa-apa dengan Reyhan. Kalau kamu selingkuh dengan Reyhan, untuk apa kamu meminta Mbak datang? Iya, kan?"Aku mengangguk saat Mbak Kinara menjeda ucapannya. Saat ini, hanya ada aku dan dia. Kami duduk berhadapan di meja makan, setelah tadi Mbak Nara memintaku bicara berdua. "Saat kamu pergi dari hotel itu, sebenarnya Mbak masih ada di sana. Mbak menemui Reyhan setelah melihatmu benar-benar keluar dan pergi. Aku meminta Reyhan mengatakan apa yang terjadi antara kami dengannya, versi dia. Meskipun aku tidak percaya pada Reyhan, tapi aku tetap mendengarkan dan merekam pengakuannya. Kamu tahu kenapa?" Mbak Kinara melempar tanya. Aku menggelengkan kepala. Aku tidak mau menduga-duga dan mengatakan yang tidak ada dalam pikiran."Aku cemburu padamu, Ra. Aku iri melihat kedekatan kamu dengan Mama, juga perhatian Mama pada Rayyan.""Ya Allah, Mbak ...." Aku menatap sendu pada Mbak Kinara yang menunduk. "Maafkan Mbak
"Ini untuk kami, Mah?" tanyaku pada Mama, yang tengah membereskan sayuran serta buah segar ke dalam kulkas. Tidak hanya itu, Mama juga membeli bermacam bumbu dapur, juga perlengkapan lainnya. "Iya, Ra. Kalau untuk Mama, tidak mungkin dikeluarkan dari mobil. Ini semua untuk kalian. Mama juga beli vitamin penambah nafsu makan untuk kamu. Tapi, Raffi enggak boleh minum vitamin ini, ya? Dia punya vitamin sendiri dari dokternya," ujar Mama. Aku mengiyakan. Meskipun malu karena keluar dari kamar dalam keadaan rambut yang basah, aku tetap menemui ibu mertua yang tengah berbenah di dapur. Sedangkan Mas Raffi, dia masih di kamar. Sedang berpakaian setelah pada akhir tadi kami mandi bersama. Untunglah, kedua mertuaku paham situasi. Dari mereka tidak ada yang mengetuk pintu kamar sejak kedatangannya. Keduanya kompak membawa bermain Rayyan agar tidak mencari keberadaan orang tuanya. Ck, malu ... aku malu. Tapi, mau gimana lagi? Semuanya gara-gara ... ah, masa iya aku harus menyalahkan Mas