Melihat Bu Rahmi jatuh pingsan, semua orang yang tadinya fokus menikmati hidangan, kini beralih pada Bu Rahmi yang terkapar lemas di lantai.Arga mencoba membangunkan ibunya, tapi tidak bisa. Mata Bu Rahmi masih terpejam dengan tubuh yang tidak bergerak."Bu, bangun. Ya Allah, Bu, kenapa jadi begini?" Arga menepuk-nepuk pipi ibunya.Aku yang melihat kejadian ini merasa risau. Jantungku berdetak kencang dengan keringat dingin mulai membasahi tubuhku. Bagaimanapun juga, Bu Rahmi pingsan setelah mendengar aku berbicara. Secara tidak langsung, akulah yang akan jadi tersangka jika Bu Rahmi kenapa-kenapa.Orang-orang semakin berkerumun, membuatku terhimpit oleh mereka yang penasaran melihat keadaan Bu Rahmi."Kemari." Mas Raffi menarikku agar keluar dari kerumunan. "Mas, aku takut," ucapku seraya menggigit jari.Sungguh, aku benar-benar takut jika Arga akan menuduhku sebagai dalang dari tumbangnya Bu Rahmi."Tenanglah, tidak akan terjadi apa-apa," ucap Mas Raffi menenangkanku.Mas Raffi me
Suara-suara terdengar saling bergumam. Mempertanyakan kenapa pesta mewah bisa mati lampu di tengah-tengah acara. Ada juga yang berkata dengan candaan, bahwa yang punya acara telah kehabisan token listrik. Menyedihkan."Tenang semuanya! Sebentar lagi, lampu akan kembali menyala!" Seorang MC berteriak dengan keras untuk menengkan tamu undangan yang sudah berkasak-kusuk. Aku memejamkan mata, mengeratkan tangan pada lengan Mas Raffi."Kita hitung sama-sama agar lampunya kembali menyala!" ujar MC lagi."Tiga!""Dua!""Satu!"Semua orang bertepuk tangan, ketika lampu sudah kembali menyela. Aku pun bernapas lega, akhirnya ketakutanku berakhir. Perlahan, aku membuka mata. Namun, sesuatu membuatku terkejut luar biasa."Ibu?!" seruku ketika melihat wanitaku berdiri di sampingku.Ibu tidak berucap, ia hanya tersenyum begitu manis padaku.Aku melepaskan tangan Mas Raffi, memeluk Ibu yang terlihat sangat cantik dengan gamis baru serta wajah yang telah dipoles makeup."Kamu cantik sekali, Ra." P
Ibu, tidak membantah. Ia mengangguk mengikuti kemauan Mama. Dengan masih memakai mukena, Ibu mengekor di belakang Mama yang sudah berjalan terlebih dahulu.Pikiranku menjadi buruk. Haruskah aku mencurigai mertuaku, jika ia akan menyuruh Ibuku memasak atau mungkin mencuci piring?Sepertinya aku tidak akan mendapatkan jawaban jika berdiam diri tanpa mengikuti mereka. Dengan berjalan mengendap, aku pergi ke arah dapur dan berdiri di balik tembok penyekat. "Ini, lho Bu, rencananya saya mau masak ikan patin sama sup iga sapi. Kira-kira, yang Raya sukai itu yang mana, ya? Saya takutnya nanti dia gak suka dan gak makan masakan saya."Aku menghela napas lega saat mendengar Mama berucap. Ternyata, Mama menyuruh Ibu ke dapur, bukan untuk menyuruhnya memasak atau mencuci piring, melainkan hanya bertanya tentang makanan kesukaanku."Bu Rianti, Raya itu pemakan segala. Semua jenis makanan dia suka. Asal matang, pasti dimakan sama Raya," jawab Ibu dengan yakin."Begitu, ya? Kalau dari jenis sayura
"Ra!"Suara ketukan pintu diiringi suara panggilan Mimi membuatku yang tengah menyisir rambut, melihat ke arah pintu."Raihana Kamaya!" panggilnya lagi dengan nada khas Mother Gothel saat memanggil Rapunzel. "Ra—""Apa?" Aku membuka pintu, membuat mulut Mimi bungkam seketika."Boleh masuk?" tanyanya.Aku mengangguk, mempersilahkan Mimi melangkah ke dalam kamarku."Ya Allah .... Raya ... ini kamar hotel bintang berapa?" Mata Mimi menyisir ke seluruh ruangan dengan takjub. "Kasurnya, lemarinya. Astaga ... meja riasnya lebih bagus dari yang di bawah. Karpet bulunya juga," lanjut Mimi lagi mengelus barang-barang yang barusan dia sebutkan."Tidak usah lebay, Mi. Karpet pake diusap-usap segala.""Gusti, ini lemari apa toko? Banyak amat bajumu, Ra!" Aku menggelengkan kepala saat melihat Mimi membuka lemari pakaian yang masih terbuka setengah, setelah tadi aku mengambil pakaian dari sana."Ra, ini semua kamu yang milih?" Mimi menutup lemari, kini dia menghampiriku yang tengah duduk di meja
"SELAMAT ANDA TERTIPU!!""Mas Raffi!!"Aku melemparkan kembali laptop ke dalam air. Kemudian, aku menghujani Mas Raffi dengan cipratan air hingga baju serta tubuhnya menjadi basah.Tega sekali dia padaku. Pagi-pagi sudah membuat jantungku hampir melayang. Aku kira, laptop yang jatuh ke air adalah laptop yang biasa dipakainya untuk bekerja. Ternyata itu laptop rusak yang keyboard-nya pun sudah hilang sebagian.Mas Raffi sengaja menempelkan kertas yang dibalut plastik transparan, pada layarnya, agar aku bisa membaca langsung tulisan yang dia buat untukku.Sangat menyebalkan!"Stop, Ra! Hentikan, jangan diubek-ubek gitu airnya, nanti ikannya pada mati!" Aku berhenti. Napasku terengah dengan seluruh badan yang basah. "Sini, duduk. Capek," ujar Mas Raffi menarik tanganku.Aku menepis tangan dia dengan kasar. Kesal sekali aku dibuatnya pagi ini. Namun, meskipun begitu, aku tidak menolak ajakannya. Aku duduk di samping dia, dengan wajah yang ditekuk."Mas, tuh jahat banget. Aku sampai mau n
Sesuai yang dia perintahkan, aku pun membuka dan ... mataku membulat saat melihat isinya adalah uang. Berwarna merah, dan jumlahnya banyak."Ini banyak sekali, Mas.""Cuma tiga juta. Aku tidak banyak pegang uang cash. Dan ini, bisa kamu gunakan jika nanti uang itu habis." Benda tipis Mas Raffi berikan padaku."Pin-nya, tanggal lahir aku. 09 09 90. Saldonya tidak terlalu banyak, tapi insya Allah akan cukup untuk dua bulan. Jika setiap harinya, kamu mengeluarkan uang sebesar satu juta."Aku membulatkan mulut tanpa mengalihkan pandangan dari kartu ATM yang kini sudah berada di tanganku."Ini banyak banget, Mas. Uang segitu, buatku bisa untuk bertahun-tahun."Mas Raffi hanya terkekeh."Aku gak mau ah, simpen uang banyak-banyak. Kamu kasih kes aja setiap bulannya, Mas. Nanti ATM-nya ilang, gimana? Lagian, kamu harus belanja keperluan bengkel, 'kan. Nanti susah kalau ATM-nya di aku," ujarku mengembalikan kartu itu pada Mas Raffi."Raya, itu khusus aku buatkan untuk kamu. Untuk mengatur keua
"Raya, mau beli apa? Dipilih, dong." "Enggak, ah Ma. Baju-baju yang ada di lemari saja, belum semua Raya, pakai," ucapku menjawab pertanyaan Mama."Kalau tidak mau beli baju, mungkin kamu bisa beli lingerie, buat dipakai kalau nanti sudah suci? Biar Raffi, seneng.""Ah, malu, Ma. Nanti kalau diketawain gimana?" "Gak akan, percaya sama Mama. Laki-laki itu suka, lho kalau kita sebagai istrinya, punya inisiatif untuk menyenangkan pandangannya."Aku teridiam sejenak. Lalu, menganggukkan kepala sebagai tanda setuju dengan saran Mama.Saat ini, kami memang sudah berada di mall. Lebih tepatnya, di toko pakaian yang menyediakan berbagai macam jenis pakaian. Aku dan Mama pergi ke jajaran baju tidur. Sungguh, aku malu sendiri melihat baju transparan itu dipajang di tubuh patung. "Mau yang mana? Warna apa?" tanya Mama lagi."Terserah Mama aja."Mama mengambilkan dua lingerie dengan warna yang berbeda. Memasukannya pada keranjang transparan, disatukan dengan belanjaan milik Mama.Saat Mama ber
Sampai di rumah, rupanya Mas Raffi sudah pulang. Ia berdiri dengan bersidekap dada di teras rumah. Topi hitam masih bertengger di kepalanya. Sepertinya dia pun baru saja sampai."Assalamualaikum," ucapku seraya mengambil tangan suamiku dan menciumnya."Waalaikumsalam. Seru jalan-jalannya?" "Seru, Mas. Kita itu bukan jalan-jalan, lebih tepatnya belanja. Mama banyak banget belanjaannya. Segala macem dibelinya," ujarku bercerita."Sudah biasa," ucap Mas Raffi singkat."Siapa yang dateng, Fi? Ini ada mobil?" Aku baru sadar kalau ada mobil lain yang terparkir di depan rumah, saat Mama bertanya pada putranya."Istrinya Mas Kembar, Ma."Mama manggut-manggut. Ia tahu siapa yang dimaksud Mas Raffi. Mas kembar adalah Mas Daffa dan Mas Raffa. Itu artinya, yang datang adalah Mbak Cindy dan Mbak Syahida.Aku pun masuk ke dalam rumah dengan menggandeng Ibu. Berbasa-basi sebentar dengan Mbak Cindy, lalu mengantarkan Ibu dan Mimi ke kamarnya. Seperti biasa, Mbak Syahida hanya tersenyum tanpa mengel
"Raihanum." Aku menyebut nama dari bayi perempuan yang sedang menggeliat di tempat tidurnya. Bibirku tersenyum manis menatap sepasang mata yang mulai melihat dunia. "Selamat pagi, Sayang ...." Aku mengusap pelan pipinya dengan jari telunjukku. Dia menggoyangkan kepalanya seolah merasa terganggu dengan sentuhan lembutku. Bibirnya bergerak seperti mengemut sesuatu. Dan aku semakin gemas melihat itu. "Hey, princess Papa sudah bangun ternyata?" Aku menoleh pada Mas Raffi yang baru saja datang, dan langsung menghampiriku. Bukan. Bukan aku yang dia datangi, melainkan putri kecilnya. "Sepertinya dia haus, Sayang," ujarnya lagi. "Iya. Dia cari sesuatu.""Kasihlah. Kasihan dia."Aku pun mengambil bayi perempuan berusia empat puluh hari itu. Kini, dia menggeliat dalam gendongan, lalu kepalanya ke kanan dan kiri mencari sarapan paginya. Aku membuka kancing piyamaku, kemudian memberikan asupan gizi untuk putriku tercinta. "Persiapan di bawah gimana, Mas?" Aku melihat pada Mas Raffi. "
"Sayang ... udah belum?" "Belum!" Aku berteriak menjawab pertanyaan Mas Raffi. Saat ini aku tengah mondar-mandir di kamar mandi seraya memegang testpack. Sudah lima belas menit aku di dalam sini, tapi benda kecil itu belum menyentuh urinku. Rasanya campur aduk antara takut tidak sesuai dengan ekspektasi, juga penasaran yang luar biasa. "Sayang, ayo, dong! Masa dari tadi belum terus!" Mas Raffi kembali berujar. "Iya, bentar, Mas!"Dengan tangan yang bergetar, aku memasukkan testpack ke dalam urin yang sudah aku tampung dalam wadah. Setelah beberapa detik menunggu, aku mengangkatnya dengan mata terpejam. Sebelah mata aku buka sedikit, mencari garis yang menjadi penentu aku hamil atau tidaknya. Samar-samar aku melihat garis itu, hingga akhirnya mata kubuka lebar-lebar untuk memastikan penglihatanku tidaklah salah. "Dua?" gumamku, kemudian bibir tersenyum. Aku menutup mulut dengan mata yang berkaca-kaca. Ini memang bukan kehamilan pertama, tapi rasanya masih sama seperti waktu tah
"Pagi, Sayang ...."Sepasang tangan melingkar di pinggang, disusul dengan kecupan kecil di pipi. Aku yang tengah berkutat dengan alat masak, membalas sapaan Mas Raffi dengan usapan pelan di lengannya. Hal seperti ini bukan terjadi sekarang, tapi setiap pagi datang. Sikap Mas Raffi selalu hangat dan tambah romantis sejak kami tinggal di rumah ini. Itu mengapa, aku memperkejakan asisten rumah tangga yang pulang pergi. Aku tidak ingin melewatkan keromantisan ini karena ada orang lain di istana kami. "Sudah aku siapkan teh di atas meja. Mas duduk, sebentar lagi gorengan yang aku buat akan matang," ujarku. "Emh ... enggak mau. Aku mau tetap meluk kamu sampai gorengan itu pindah ke meja makan." Mas Raffi berucap manja. "Nanti kamu kecipratan minyak, Mas.""Biarin. Jangankan minyak, percikan api asmara dari luar pun bisa aku padamkan demi kamu.""Hah, gimana-gimana?" Aku menoleh, mencari wajah Mas Raffi yang menyusup di tengkuk leherku. Dia tidak berani mengangkat kepala. Malah semaki
"Gini aja, deh, Fi. Daripada kamu jual perhiasan Raya, mendingan kamu pinjem uang aja dari Mama." Aku yang tadi sudah berpikiran buruk, merasa lebih tenang saat mendengar suara Mama. Ternyata yang masuk tadi bukan Reyhan, melainkan Mama dan Mas Raffi yang membahas perhiasan. Oh, ya ampun. Mas Raffi ketahuan Mama akan menjual perhiasan? Aku berjalan mendekati mereka yang berada di ruang tamu. Pandanganku mengarah pada Mas Raffi yang memberikan isyarat dengan menempelkan jari telunjuk di bibirnya. Aku mengangguk kecil, lalu meraih tangan Mama dan menciumnya. "Rayyan mana, Ra?" tanya Mama tanpa melepaskan tanganku. "Lagi main di ruang tengah, Mah.""Kalau gitu, kamu duduk di sini, Mama mau bicara dengan kalian."Aku dan Mas Raffi saling pandang, lalu aku pun duduk di samping Mama. Begitu pun Mas Raffi. Kami mengapit Mama yang berada di tengah-tengah. "Fi, Ra, kalian ini masih punya orang tua. Ada Mama dan Papa, yang masih bisa bantu kalian. Bukan Mama mau sombong, soal uang, insya
"Semalam aku kaget banget, loh saat Mas Bayu membekap mulutku. Aku kira itu Reyhan."Aku menyeruput jus alpukat seraya memperhatikan Rayyan yang bermain. "Tadi malam, saat aku menyuruh kamu tidur, emang sudah merasakan ketidakberesan di rumah kita. Yang kata aku melihat kucing di kosan, itu sebenarnya yang aku lihat emang manusia.""Kok, gak bilang ke aku?" tanyaku. Saat ini, aku dan Mas Raffi masih membahas kejadian semalam yang membuat tubuh ini bergetar ketakutan. Kami duduk lesehan di teras depan seraya mengasuh Rayyan yang bermain di halaman. "Aku tidak mau kamu takut, Ra. Makanya aku menyuruh kamu tidur cepat. Dan setelah kami tidur, aku langsung menelepon polisi untuk datang secara diam-diam. Dan Bayu juga.""Terus, saat aku bangun dan ke lantai bawah, kamu kan tidak ada. Itu ke mana?" Aku masih bertanya karena penasaran. "Aku di luar. Secara tidak langsung, aku menggiring Reyhan masuk ke kamar tamu lewat jendela. Dan Bayu, saat itu sudah ada di dalam rumah ini. Dia aku su
"Mas Bayu ngapain di sini?" tanyaku, saat dia melepaskan tangannya dari bibirku. "Aku diminta Raffi datang ke sini. Dan kamu tahu, yang ada di kamar itu siapa? Si Reyhan. Dia nyusup masuk ke rumahmu lewat jendela kamar yang tidak dikunci.""Apa?" Rasa terkejutku bertambah berkali lipat. Jika saja tadi aku masuk ke sana, habislah riwayatku. Reyhan pasti akan dengan mudah melakukan perbuatan jahatnya padaku. Suara gagang pintu yang diputar dari dalam kamar tamu, membuatku dan Bayu menoleh. Semakin lama, suara di sana semakin keras. Karena mungkin Reyhan sudah menyadari jika dia masuk perangkap. "Mas Raffi, mana?" tanyaku, karena tak kulihat keberadaan suamiku. "Dia di luar.""Sendirian?" tanyaku lagi. "Temenin, Mas. Aku takut Reyhan menyerang Mas Raffi. Dia belum pulih." Aku panik. Bayu hendak melangkah menjauh dariku, tapi dia urungkan saat ada bayangan yang berjalan mendekat ke arah kami. Tidak lama kemudian, lampu pun menyala membuat ruangan yang gelap menjadi terang. Aku lan
"Mas, kenapa liatin aku terus?" Mama dan Papa, serta semua kakak Mas Raffi sudah pergi beberapa menit yang lalu. Sekarang, tinggallah kami berdua, dan Rayyan yang sudah tidur. Hari memang sudah malam. Perabot pemberian kakak-kakak Mas Raffi pun, sudah disimpan ke tempat yang semestinya. Dibantu kakak dan kakak iparku tentunya. Saat ini, aku dan Mas Raffi tengah duduk berdua di lantai dua rumah kami. Aku dan dia sedang menikmati malam, melihat bintang dan bulan yang bersinar bersamaan. Gorden kaca sengaja dibuka agar langit terlihat jelas. Di depan kami, dua cangkir teh menjadi pelengkap kebersamaanku dengan Mas Raffi. "Malu, ih diliatin terus," kataku lagi, memalingkan wajah ke arah lampu hias berbentuk hati yang berada di sudut ruangan. Mas Raffi menyentuh daguku. Menariknya sangat pelan, agar tatapanku kembali padanya. "Karena aku kagum pada kecantikan istriku ini. Makanya, aku pandang terus.""Ih, gombal, deh," ujarku. Padahal dalam hati, aku bahagia mendapatkan pujian dari
"Saat di hotel waktu itu, sebenarnya Mbak percaya jika kamu tidak melakukan apa-apa dengan Reyhan. Kalau kamu selingkuh dengan Reyhan, untuk apa kamu meminta Mbak datang? Iya, kan?"Aku mengangguk saat Mbak Kinara menjeda ucapannya. Saat ini, hanya ada aku dan dia. Kami duduk berhadapan di meja makan, setelah tadi Mbak Nara memintaku bicara berdua. "Saat kamu pergi dari hotel itu, sebenarnya Mbak masih ada di sana. Mbak menemui Reyhan setelah melihatmu benar-benar keluar dan pergi. Aku meminta Reyhan mengatakan apa yang terjadi antara kami dengannya, versi dia. Meskipun aku tidak percaya pada Reyhan, tapi aku tetap mendengarkan dan merekam pengakuannya. Kamu tahu kenapa?" Mbak Kinara melempar tanya. Aku menggelengkan kepala. Aku tidak mau menduga-duga dan mengatakan yang tidak ada dalam pikiran."Aku cemburu padamu, Ra. Aku iri melihat kedekatan kamu dengan Mama, juga perhatian Mama pada Rayyan.""Ya Allah, Mbak ...." Aku menatap sendu pada Mbak Kinara yang menunduk. "Maafkan Mbak
"Ini untuk kami, Mah?" tanyaku pada Mama, yang tengah membereskan sayuran serta buah segar ke dalam kulkas. Tidak hanya itu, Mama juga membeli bermacam bumbu dapur, juga perlengkapan lainnya. "Iya, Ra. Kalau untuk Mama, tidak mungkin dikeluarkan dari mobil. Ini semua untuk kalian. Mama juga beli vitamin penambah nafsu makan untuk kamu. Tapi, Raffi enggak boleh minum vitamin ini, ya? Dia punya vitamin sendiri dari dokternya," ujar Mama. Aku mengiyakan. Meskipun malu karena keluar dari kamar dalam keadaan rambut yang basah, aku tetap menemui ibu mertua yang tengah berbenah di dapur. Sedangkan Mas Raffi, dia masih di kamar. Sedang berpakaian setelah pada akhir tadi kami mandi bersama. Untunglah, kedua mertuaku paham situasi. Dari mereka tidak ada yang mengetuk pintu kamar sejak kedatangannya. Keduanya kompak membawa bermain Rayyan agar tidak mencari keberadaan orang tuanya. Ck, malu ... aku malu. Tapi, mau gimana lagi? Semuanya gara-gara ... ah, masa iya aku harus menyalahkan Mas