Aku diam kembali. Jadi, kedatangan kedua Mas Raffi ke restoran waktu itu, memang sengaja untuk meminta nomor ponselku? Dan dia tidak pernah patah hati oleh wanita lain? Pria berkemeja biru dongker itu terkikik melihatku yang bengong dengan ekspresi tidak percaya. Sepertinya, aku memang dibohongi. Eh, bukan dibohongi, lebih tepatnya Mas Raffi yang beralibi."Ra, pulang, yuk!" Suara Mas Raffi membuatku menoleh. Pria dengan kaus panjang warna hitam itu tersenyum manis padaku.Aku mengangguk. Setelah berpamitan pada Mas Bayu, aku pun masuk ke dalam mobil bersama suamiku."Ciee ... yang bohong, cieee ...!" "Mas Raffi melihatku yang menunjuk dirinya seraya meledek."Bohong? Siapa?" tanyanya mengerutkan kening."Tadi itu, ada yang laporan tahu. Katanya, ada seorang pria yang jatuh cinta pada pandangan pertama, tapi malah beralibi sedang patah hati. Sok-sokan minta nomor telepon buat curhat, padahal mah buat pendekatan. Ck ck ck." Kulihat sebelah wajah Mas Raffi mulai memerah. Hidungnya ke
Setelah pertanyaanku tidak mendapatkan jawaban, aku memilih pergi ke lantai atas. Masuk ke kamarku dengan wajah ditekuk."Di mana Mas Raffi?" tanyaku bicara sendiri.Namun, suara gemericik air dari dalam kamar mandi menjadi pertanda bahwa suamiku tengah berada di sana. Aku duduk di pinggir ranjang, mengambil ponsel dari dalam tas yang sedari tadi aku bawa, untuk menelepon Ibu. Rasanya sudah sangat lama aku tidak mengobrol sama Ibu. Padahal, baru dua hari ini."Assalamualaikum, Bu.""Waalaikumsalam, Ra. Kamu sehat, Nak?" tanya Ibu padaku."Sehat, Bu. Ibu, baik-baik saja, 'kan?" "Tentu saja Ibu baik-baik saja. Oh, iya Ra, uang yang waktu itu Nak Raffi kasih ke Ibu, Ibu gunakan untuk menyewa lahan sawah. Alhamdulilah, sudah bisa ditanami padi. Kamu jangan khawatir tentang keadaan Ibu, Ibu akan baik-baik saja. Insya Allah, Ibu akan tetap bisa makan."Aku bergeming mendengar ucapan Ibuku itu.Uang dari Mas Raffi? Uang yang mana?Jika menghitung uang hasil dari amplop pernikahan, itu tidak
Suasana gedung masih sepi, karena waktu dimulainya pesta pun masih lama. Aku dan Mas Raffi masuk ke dalam ruangan yang sudah disiapkan. Ternyata benar, di sini ada sepasang baju pesta yang begitu bagus dan cantik.Sebuah gaun berwarna biru langit dengan bagian bawah yang lebar dan berkilau. Lengkap juga dengan jilbab dan mahkota kecil yang bertengger pada kepala patung. Aku tersenyum sendiri seraya membayangkan betapa akan cantiknya aku saat memakai gaun mahal itu."Suka sama gaunnya, Ra?" Fokusku teralihkan pada wanita cantik yang baru saja datang."Tentu, Mah. Sangat suka. Terima kasih, ya untuk semua kebaikan Mama sama aku," ucapku seraya menyuguhkan senyum termanis.Wanita yang masih segar di usia enam puluh tahun itu, mengusap pipiku dengan lembut. Kemudian, ia menarik tubuhku untuk dipeluknya."Mama yang berterima kasih sama kamu, Sayang. Terima kasih, sudah menerima Raffi. Kamu tahu, dia spesial. Tapi, kamu masih mau menerima dia meskipun awalnya, dia mengaku sebagai orang bia
"Menantu? Siapa?" "Mbak Raya, adalah salah satu menantu dari Pak Pramono.""Hahahaha .... Aduh, kamu itu dibayar berapa sama si Raya, sampai mau-maunya mengakui dia sebagai menantu Dokter Pramono? Tidak mungkin seorang Dokter senior yang kaya raya, mau menjadikan gadis kampung seperti dia jadi menantunya. Jangan mimpi!"Aku dan pria di sampingku ini saling pandang. Bu Rahmi tidak percaya dan malah menuduhku menyuap pria yang menjadi keamanan di sini."Saya tidak dibayar, Mbak Raya memang—""Sudah, Pak. Tidak usah diperpanjang. Saya harus masuk, Bapak di sini saja, jangan biarkan Ibu ini mengikuti saya," ucapku saat melihat rombongan keluarga suamiku yang sudah pulang dari mesjid."Eh, songong sekali kamu, berani perintah-perintah orang!"Aku tidak meladeni ucapan Bu Rahmi lagi. Memilih cepat pergi sebelum Mas Raffi dan keluarganya melihatku yang sedang berdebat. Dari pintu masuk gedung, aku bisa melihat Bu Rahmi yang sedang ditahan satpam tadi. Sepertinya dia ingin menghampiri Papa
Suara gemuruh tepukan tangan terdengar begitu kompak saat seorang MC memanggil dan mempersilahkan aku dan Mas Raffi masuk. Dengan tangan saling berpegangan, kami masuk seraya menebar senyum ke setiap orang yang kami lewati. Di kanan dan kiri kami, berjejer tamu undangan dengan pakaian terbaik mereka. Tidak ada yang tidak tersenyum, semuanya terlihat bahagia menyambutku dan pengantinku. Kecuali ... seorang wanita dan anak laki-lakinya.Aku mengedipkan sebelah mata pada wanita yang membulatkan mata seraya tangan memegang dadanya. Apakah dia akan pingsan?Semoga tidak langsung stroke. Karena itu akan menimbulkan berita viral.Setelah sampai di pelaminan yang dipenuhi dengan hiasan bunga-bunga cantik, satu per satu tamu undangan yang didominasi oleh rekan kerja Papa, menghampiri kami. Saling menjabat tangan mengucapkan selamat. Lagi, aku harus selalu tersenyum menyambut kedatangan mereka. Pesta resepsi ini begitu sangat mewah. Aku dibuat takjub dengan dekorasi yang pastinya sangat maha
Melihat Bu Rahmi jatuh pingsan, semua orang yang tadinya fokus menikmati hidangan, kini beralih pada Bu Rahmi yang terkapar lemas di lantai.Arga mencoba membangunkan ibunya, tapi tidak bisa. Mata Bu Rahmi masih terpejam dengan tubuh yang tidak bergerak."Bu, bangun. Ya Allah, Bu, kenapa jadi begini?" Arga menepuk-nepuk pipi ibunya.Aku yang melihat kejadian ini merasa risau. Jantungku berdetak kencang dengan keringat dingin mulai membasahi tubuhku. Bagaimanapun juga, Bu Rahmi pingsan setelah mendengar aku berbicara. Secara tidak langsung, akulah yang akan jadi tersangka jika Bu Rahmi kenapa-kenapa.Orang-orang semakin berkerumun, membuatku terhimpit oleh mereka yang penasaran melihat keadaan Bu Rahmi."Kemari." Mas Raffi menarikku agar keluar dari kerumunan. "Mas, aku takut," ucapku seraya menggigit jari.Sungguh, aku benar-benar takut jika Arga akan menuduhku sebagai dalang dari tumbangnya Bu Rahmi."Tenanglah, tidak akan terjadi apa-apa," ucap Mas Raffi menenangkanku.Mas Raffi me
Suara-suara terdengar saling bergumam. Mempertanyakan kenapa pesta mewah bisa mati lampu di tengah-tengah acara. Ada juga yang berkata dengan candaan, bahwa yang punya acara telah kehabisan token listrik. Menyedihkan."Tenang semuanya! Sebentar lagi, lampu akan kembali menyala!" Seorang MC berteriak dengan keras untuk menengkan tamu undangan yang sudah berkasak-kusuk. Aku memejamkan mata, mengeratkan tangan pada lengan Mas Raffi."Kita hitung sama-sama agar lampunya kembali menyala!" ujar MC lagi."Tiga!""Dua!""Satu!"Semua orang bertepuk tangan, ketika lampu sudah kembali menyela. Aku pun bernapas lega, akhirnya ketakutanku berakhir. Perlahan, aku membuka mata. Namun, sesuatu membuatku terkejut luar biasa."Ibu?!" seruku ketika melihat wanitaku berdiri di sampingku.Ibu tidak berucap, ia hanya tersenyum begitu manis padaku.Aku melepaskan tangan Mas Raffi, memeluk Ibu yang terlihat sangat cantik dengan gamis baru serta wajah yang telah dipoles makeup."Kamu cantik sekali, Ra." P
Ibu, tidak membantah. Ia mengangguk mengikuti kemauan Mama. Dengan masih memakai mukena, Ibu mengekor di belakang Mama yang sudah berjalan terlebih dahulu.Pikiranku menjadi buruk. Haruskah aku mencurigai mertuaku, jika ia akan menyuruh Ibuku memasak atau mungkin mencuci piring?Sepertinya aku tidak akan mendapatkan jawaban jika berdiam diri tanpa mengikuti mereka. Dengan berjalan mengendap, aku pergi ke arah dapur dan berdiri di balik tembok penyekat. "Ini, lho Bu, rencananya saya mau masak ikan patin sama sup iga sapi. Kira-kira, yang Raya sukai itu yang mana, ya? Saya takutnya nanti dia gak suka dan gak makan masakan saya."Aku menghela napas lega saat mendengar Mama berucap. Ternyata, Mama menyuruh Ibu ke dapur, bukan untuk menyuruhnya memasak atau mencuci piring, melainkan hanya bertanya tentang makanan kesukaanku."Bu Rianti, Raya itu pemakan segala. Semua jenis makanan dia suka. Asal matang, pasti dimakan sama Raya," jawab Ibu dengan yakin."Begitu, ya? Kalau dari jenis sayura