Share

Bab 7

Author: Pena_yuni
last update Last Updated: 2023-01-13 18:28:03

"Mas, ada tamu di depan," ucapku setelah melihat Mas Raffi menyelesaikan salatnya.

Ia berbalik melihatku.

"Siapa?" tanyanya.

"Gak tahu, nganterin ini." Aku memperlihatkan kunci mobil yang diberikan pria tadi.

Mas Raffi membulatkan mulut dengan kepala yang manggut-manggut.

"Hm ... apa dia bicara sesuatu padamu?" Suamiku kembali bertanya.

"Tidak. Hanya bilang nganterin mobil saja, sekarang masih di depan. Lagi ngobrol sama Ibu." Aku duduk di pinggir ranjang.

Mas Raffi berdiri. Ia mengelus kepalaku sebentar, lalu keluar dengan buru-buru.

Baru juga aku akan bertanya kenapa pria itu memanggilnya 'bapak', tapi Mas Raffi keburu pergi. Padahal, kalau dilihat lebih tua orang tadi di bandingkan suamiku.

Aku keluar dari kamar, ingin ikut nimbrung ngobrol bersama mereka. Namun, aku tidak melihat keduanya di ruang depan. Tidak ada tamu, juga tidak ada suamiku di sana.

Di mana mereka?

Aku melihat ke luar rumah. Mobil yang dibawa orang tadi pun tidak ada. Aku panik, pikiranku langsung buruk. Jangan-jangan mereka kabur. Atau, pria tadi menculik Mas Raffi.

"Bu!"

Aku berteriak seraya masuk ke dapur.

"Apa, Ra?"

"Mas Raffi ke mana?" tanyaku langsung.

"Cieee ... pengantin baru. Baru juga ditinggal bentar, udah nyari-nyari suaminya."

Bukannya menjawab pertanyaanku, Ibu malah menggodaku. Bukan hanya Ibu, tapi saudara-saudaraku yang masih ada di sini, ikut nimbrung menggodaku.

"Bukan gitu, itu ada telepon di hapenya dia. Takut penting," ujarku berbohong.

"Raffi katanya pergi sebentar. Tadi, dia ijin sama Ibu, mau ke bengkel buat benerin mobil."

"Oh," kataku seraya duduk di kursi meja makan.

Aku memutar tutup toples, mengambil kue kering dari dalam sana, lalu memakannya.

"Ra, kamu sudah solat?" Ibu kembali bersuara.

"Aku gak solat, Bu. Aku lagi haid."

"Kapan?" tanya Ibu.

"Tadi, pas waktu dzuhur," jawabku seraya mengunyah kue.

"Ya Allah, kasihan sekali si Raffi, gak bisa nganu, ya dia!" seru Bibi dari arah kamar mandi. Dia yang tengah mencuci piring, langsung menelengkan kepala sembari berseru.

Sedangkan aku, mengerucutkan bibir seraya menggigit kue dengan rakus.

Ini bukan mauku. Bukan juga rencanaku. Padahal, baru tiga minggu yang lalu aku selesai datang bulan. Dan tiba-tiba sekarang tamu itu datang lagi.

"Ya, enggak apa-apa, kali Raya datang bulan. Malah bagus, siapa tahu aja nanti malam dia berubah pikiran dan tiba-tiba minta cerai karena matanya sudah terbuka lebar," celetuk Naima, anaknya Bibi.

"Naima!" Bibi menyebut nama anaknya dengan keras.

"Apa, sih Ma? Benar 'kan, apa yang aku katakan?" ucapnya lagi tanpa rasa bersalah.

Aku mengepalkan kedua tanganku bersiap untuk memberi pelajaran pada wanita satu anak itu. Namun, Ibu memegangnya. Menggelengkan kepala seraya menatapku sendu.

Aku berdiri dan memilih pergi ke kamar. Menjatuhkan tubuhku dan berbaring di atas ranjang pengantin.

Samar-samar, aku mendengar suara Bibi yang tengah menasehati anaknya. Disusul suara Ibu, yang menengahi anak dan ibu yang sedang beradu mulut. Aku mengambil bantal, menutup telingaku agar tidak mendengar suara-suara yang tidak mengenakkan dari bibir Naima.

"Dasar, tukang nyinyir," umpatku.

Dari dulu, dia selalu jadi saudara yang paling banyak komentar. Semua tentangku dia komentari. Bahkan, dia yang paling senang saat aku berpisah dengan Arga. Dia bangga, karena bisa membuktikan omongannya yang bilang kalau aku tidak pantas dengan pria seperti Arga.

Naima tidak mau aku mengalahkan dia yang sudah menikah terlebih dahulu dengan seorang guru sekolah dasar, dan punya anak. Dia selalu beranggapan kalau dia paling baik, paling hebat, dan paling beruntung.

*

"Assalamualaikumwarahmatullah ...."

Aku membuka mata, samar-samar kulihat Mas Raffi sedang duduk di atas sejadah. Aku beringsut duduk dengan menyandarkan punggung pada tembok.

"Sudah bangun?" ucapnya melihatku.

Aku mengangguk, merapikan rambutku.

"Nyenyak sekali tidurnya. Lelah, ya?" tanyanya lagi.

Mas Raffi menyimpan sejadah, lalu dia duduk bersila di depanku.

"Iya. Mas, tadi salat apa?" tanyaku.

Jujur saja, setelah mendengarkan Naima yang bertengkar dengan Bibi, aku sudah tidak ingat apa-apa lagi. Sepertinya, aku tidur setengah pingsan.

"Solat maghrib. Tuh." Mas Raffi menunjuk jam bergambar Hello Kitty yang sudah menunjukkan pukul enam lebih lima belas menit.

Aku hanya membulatkan mulut seraya manggut-manggut.

"Mas, dari mana? Lama sekali perginya," ucapku merapikan bantal yang tadi aku lempar ke sembarang arah.

"Dari bengkel, terus lihat Mama sama Papa di penginapan. Takutnya mereka gak kerasan, tapi alhamdulillah mereka suka dengan tempatnya."

Ah, seandainya aku memiliki rumah yang besar, mungkin mertuaku tidak harus menginap di vila. Apalah daya, rumah peninggalan Bapak ini, hanya memiliki dua kamar dengan satu ruang tamu yang tidak terlalu besar. Ruang makan yang menyatu dengan dapur, dan kamar mandi satu untuk semua.

"Kok, cemberut? Kenapa?" tanya Mas Raffi menatapku dengan lekat.

"Hmm ... enggak apa-apa. Aku lapar. Makan, yuk!"

Mas Raffi mengangguk, kemudian kami keluar dari kamar bersamaan.

"Nak, baru saja Ibu mau panggil kalian untuk makan. Mari, duduk di sini, kita makan bareng-bareng," ucap Ibu menyambut aku dan suamiku.

"Makasih, Bu. Maaf, jadi ngerepotin Ibu." Mas Raffi duduk di kursi yang ditunjuk Ibu.

"Tidak ada yang direpotkan. Ayo, dimakan."

Dapur sudah sepi. Hanya ada Ibu di ruangan ini. Itu artinya, Bibi sudah pulang. Baguslah, telingaku jadi aman, tidak harus mendengar kata-kata menyakitkan yang diucapkan Naima. Bibi itu orangnya baik, sama seperti Ibu. Perhatian dan sayang padaku. Bibi juga sering membelikanku baju lebaran, saat aku belum bekerja dulu. Tapi, sayangnya Naima tidak mewarisi sifat Bibi.

"Jangan celingak-celinguk, Ra." Ibu menasehati.

"Eh, iya Bu."

Selesai makan, aku dan Ibu, serta Mas Raffi, duduk lesehan di ruang tengah. Menonton televisi, seraya membuka amplop dari tamu undangan tadi.

"Alhamdulilah, Ra. Yang sayang sama kamu itu banyak. Ini untuk bekal kalian," ujar Ibu saat membuka amplop yang isinya uang berwarna merah.

Aku dan Mas Raffi hanya tersenyum.

"Lah, Bu. Ini mah dua rebu," kataku memperlihatkan isi amplop itu pada Ibu.

Ibu terbahak sampai matanya berair.

"Ini apa, Ra?" tanya Ibu seraya mengeluarkan isi dari amplop yang ia pegang.

"Kayak tisu, Bu. Tisu basah yang buat perabotan kayaknya," ujar Mas Raffi.

"Lah, dikira kita galon, ya Bu, dikirimin tisu basah!" ujarku.

Ibu terbahak lagi sampai terbatuk-batuk. Sedangkan Mas Raffi, hanya tersenyum simpul seraya mengunyah keripik singkong.

Ada-ada saja mereka. Idenya beda-beda. Perutku jadi sakit karena terus tertawa. Padahal, aku dan Ibu tidak pernah mengharapkan apa pun, selain doa yang baik untuk rumah tangga kita. Jika pun ada yang memberi, itu rezeki buat kita.

"Alhamdulilah, Ra. Ini semua rezeki kalian. Disimpan, ya buat bekal besok," ujar Ibu menggeser tumpukan uang itu ke depanku.

"Ibu, sebaiknya itu buat Ibu saja. Ibu yang simpen." Aku melihat pada pria yang barusan bersuara.

"Ibu? Jangan Nak, Raffi. Ini hak kalian, rezeki kalian."

"Itu rezeki kami, dan kami memberikan itu untuk Ibu. Kami ikhlas, iya 'kan, Ra?"

"Iya," jawabku singkat.

Aku tidak percaya jika Mas Raffi akan sebaik itu. Aku kira, dia akan mengambil sebagian, atau bahkan hanya membagi Ibu sebagian kecil saja.

"Tapi, Nak ...."

"Ibu, aku memang bukan orang kaya, Raffi hanya seorang anak manusia yang memiliki banyak kekurangan. Tapi ... Raffi janji sama Ibu. Raya anak Ibu, tidak akan kekurangan makan selama hidup dengan Raffi. Semua kebutuhan Raya, insya Allah akan Raffi penuhi. Bismillah," ujar Mas Raffi menggenggam tangan Ibu. Matanya begitu yakin dengan kata-kata yang dia ucapkan.

Aku langsung memeluk tubuh Ibu, yang kini matanya sudah berkaca-kaca. Demi Tuhan, aku tersentuh dengan kata-kata yang Mas Raffi ucapkan.

Semoga ini awal yang baik untuk pernikahan kami.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
marisa mokos
butuh koin
goodnovel comment avatar
yara
menantu yg baik..mau dong 1 suami kyk gt..wkwkk
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Menikah dengan Pria Buruk Rupa, Ternyata Dia ....   Bab 8

    "Mas, nanti di Jakarta, kita tinggal bersama orang tua Mas, atau kita ngontrak?" tanyaku.Saat ini, kami sudah berada di kamar. Kami sama-sama merebahkan diri di ranjang pengantin. Aku tidur berbantalkan lengan kekar Mas Raffi, dengan menghadap ke arahnya. Sedang dia, tidur terlentang dengan mata melihat langit-langit kamar yang terbuat dari anyaman bambu. "Kita tinggal di rumah Papa dan Mama. Kamu tidak keberatan, 'kan?"Aku meneguk ludah dengan kasar. Jika boleh meminta, aku ingin hidup mengontrak saja. Karena aku takut jika nanti tidak bisa jadi menantu yang baik. Apalagi, katanya orang tua yang hidup di kota, selalu ikut campur sama urusan rumah tangga anaknya. Menurut cerita yang aku baca. Mudah-mudahan tidak dengan orang tua Mas Raffi. "Kenapa diam? Keberatan?" tanya Mas Raffi lagi."Tidak. Aku hanya sedang membayangkan Kota Jakarta. Aku belum pernah ke sana." Aku menatap Mas Raffi yang juga tengah melihatku.Kini, ia menggeser tubuhnya hingga berhadapan denganku. Tangannya

    Last Updated : 2023-01-17
  • Menikah dengan Pria Buruk Rupa, Ternyata Dia ....   Bab 9

    "Kita ke penginapan dulu, ya?" Aku hanya mengangguk tanpa bersuara.Jarak antara rumahku ke vila, tidak terlalu jauh. Hanya sekitar lima menit dengan kendaraan, kami sudah sampai di vila tempat Mama dan Papa Mas Raffi menginap."Kamu tunggi di sini, biar aku turun sebentar," ucap Mas Raffi saat kami sampai di depan vila."Apa gak sebaiknya aku turun juga, tidak enak sama Mama dan Papa."Rasanya kurang sopan, jika aku diam di mobil sedangkan suamiku menemui orang tuanya."Yaudah, deh. Yuk, turun!"Mas Raffi membukakan pintu mobil, kemudian aku melangkah ke luar seraya mengedarkan pandangan. Rasanya seperti mimpi aku akan meninggalkan tempat kelahiranku ini. Tempat yang membesarkanku dengan sejuta kenangan di dalamnya. Nanti, aku pasti akan merindukan suasana ini. Daerah pinggir pantai dengan tempat wisata yang begitu indah. "Ma, sudah siap?" Suara Mas Raffi menyadarkanku. Buru-buru aku berjalan menghampiri kedua mertuaku dan menyalaminya. "Sepertinya kamu main kasar, Fi. Mata ist

    Last Updated : 2023-01-17
  • Menikah dengan Pria Buruk Rupa, Ternyata Dia ....   Bab 10

    Sepertinya ada yang salah. Tidak mungkin ini rumahnya mertuaku. Tidak mungkin mereka tinggal di sini. Ini jauh dari ekspektasiku. "Ayo, Ra!" Mas Raffi memegang tanganku.Meski belum yakin dengan apa yang aku lihat, aku pun turun untuk memastikannya sendiri. Penampakan rumah begitu jelas saat aku keluar dari mobil. Aku menggeleng-gelengkan kepala. Beberapa kali aku beristigfar seraya mengusap wajah berharap bangunan rumah yang ada di depanku, berubah menjadi yang aku bayangkan sebelumnya. Namun, tidak. Masih sama seperti yang pertama aku lihat. "Mas, kamu yakin ini rumahmu? Sepertinya kita salah alamat. Iya, 'kan?" ucapku sembari menahan lengan Mas Raffi.Dia melihatku dengan menyunggingkan senyum manis. Menarik pelan tanganku agar kaki ini melangkah maju."Mas, tunggu dulu. Ini rumah siapa? Rumah Bosmu?" Lagi, untuk ke sekian kalinya aku mempertanyakan rumah ini.Mas Raffi menggeleng. "Ini, rumah kita," jawabnya. Bagaimana aku akan percaya jika rumah di depanku ini adalah rumah su

    Last Updated : 2023-01-17
  • Menikah dengan Pria Buruk Rupa, Ternyata Dia ....   Bab 11

    Setelah berkenalan dengan anak-anak Papa dan Mama, beserta anak istrinya, kini aku disuruh istirahat. Perjalanan jauh membuat kepalaku sakit dan tubuhku terasa pegal. Aku masuk ke dalam kamar. Lagi, aku dibuat takjub dengan ruangan pribadi suamiku ini. Kamarnya luas sekali dengan kasur besar yang di atasnya sudah ditaburi bunga mawar merah. "Happy wedding My Brother!" Aku membaca tulisan yang menempel pada dinding dengan hiasan bunga-bunga cantik."Ini pasti dari saudara Mas Raffi," ucapku mengambil satu kelopak bunga mawar, dan menciumnya."Wangi," ucapku lagi. "Suka dengan kamarnya?" "Eh." Aku sedikit kaget saat kedua tangan Mas Raffi melingkar di pinggangku. Dagunya menempel di pundak dengan pipi yang menyentuh pipiku.Jangan tanyakan di mana jantungku, dia sedang jingkrak-jingkrak di atas ranjang. Eh."Nanti, kamu boleh mengubah kamar ini dengan selera kamu. Bebas, mau dengan tema apa, warna apa, dan barang-barang yang seperti apa." Mas Raffi berucap seraya mengeratkan peluk

    Last Updated : 2023-01-17
  • Menikah dengan Pria Buruk Rupa, Ternyata Dia ....   Bab 12

    Hatiku terusik setelah membaca tulisan pada kertas putih tadi. Siapa sekiranya yang memberikan kado dengan tulisan tersebut?Menantu Mama dan Papa ada empat, lima denganku. Menantu laki-laki, atau menantu perempuan yang memberikan hadiah ini untukku?Huft! Baru juga datang, aku sudah mendapatkan ancaman. Mungkin benar kata orang-orang. Kalau si miskin, tidak akan berteman dengan si kaya. Apalah aku yang hanya orang kampung yang kebetulan dinikahi orang kota? Tidak seperti mereka yang sudah terlahir dari keluarga kaya raya."Kenapa, Ra? Kadonya jelek?" tanya Mas Raffi.Ia menghampiri dan duduk di sampingku. Menatap kado yang tadi sudah aku buka. Buru-buru aku meremas kertas tadi dan memasukkannya ke dalam saku rok. Mas Raffi tidak boleh tahu tentang ini. Aku tidak mau nanti dia akan salah paham dan bertengkar dengan saudaranya."Bagus, bagus banget malah. Aku suka," ucapku memperlihatkan senyum termanisku."Wah, lagi buka-buka kado, ya?" Mama datang dan langsung ikut nimbrung dengan

    Last Updated : 2023-01-17
  • Menikah dengan Pria Buruk Rupa, Ternyata Dia ....   Bab 13

    Untuk ke sekian kalinya, aku kaget luar biasa. Jadi, Mas Raffi adalah anak dari seorang dokter? Kalau Papa dokter, besar kemungkinan jika suamiku pun sama. Aku sudah tidak bisa menahannya lagi. Mas Raffi, harus mengatakan semuanya padaku. Bicara jujur, tentang keluarganya. Buru-buru aku pergi meninggalkan Bibi menuju kamarku dan Mas Raffi. Membuka pintu dengan cepat, dan langsung duduk di depan Mas Raffi yang tengah fokus pada ponsel."Ada apa? Kenapa wajah kamu panik kayak gitu? Apa ada yang terjadi di bawah?" tanyanya menelisik setiap inti wajahku."Mas, tolong jangan buat aku seperti orang bodoh di rumah ini. Tadi, ada orang yang mengantarkan jas putih ke sini. Aku bengong, Mas. Aku gak tahu, kalau Papa itu seorang dokter. Coba, kalau tadi Bibi tidak datang, mungkin aku sudah mengusir wanita tadi dengan mengatakan salah alamat. Ayo, dong Mas. Jujur sama aku, aku tuh bingung dengan semua ini!" Mas Raffi menyimpan ponselnya. Ia memegang tanganku seraya menggeser tubuhnya menjadi l

    Last Updated : 2023-01-17
  • Menikah dengan Pria Buruk Rupa, Ternyata Dia ....   Bab 14

    "Astaghfirullahaladzim," lirihku seraya berjongkok memungut pecahan gelas yang berserakan."Ya Allah, Mbak. Sini, biar Bibi bantuin." "Kamu gak apa-apa, Ra? Ada yang luka?" Mas Raffi ikut berjongkok melihat kedua tangan dan kakiku yang tertutup rok plisket. Aku hanya mampu menggeleng. Mendongak sekilas, melihat pria yang berdiri memperhatikanku."Ke kamar aja, ya?" ujar Mas Raffi lagi.Kali ini aku mengangguk, meninggalkan mereka di ruang tamu dan naik ke lantai dua.Sesempit inikah Kota Jakarta, hingga aku harus bertemu dengan orang di masa lalu? Orang yang aku hindari untuk dilihat. Pria yang menjadi alasan aku menerima pinangan Mas Raffi. Agar aku bisa pergi jauh dari tempat di mana ada kenanganku dan dia didalamnya. Kujatuhkan bokong pada ujung ranjang. Meremas seprai dengan sangat kuat. "Kenapa harus bertemu lagi." Aku berujar seraya mengeratkan gigi.***"Ra, nanti kalau aku sudah jadi dokter, aku akan menikahi kamu. Mengajakmu ke kota, untuk menemani aku bekerja di sana. Ka

    Last Updated : 2023-01-20
  • Menikah dengan Pria Buruk Rupa, Ternyata Dia ....   Bab 15

    "Fi, Mama minta tolong, nanti kamu ambilkan seragam kita di butik Tante Andin, ya. Mama harus lihat katering. Takutnya nanti ada yang tidak sesuai selera kita.""Iya, Ma. Boleh," jawab Mas Raffi singkat.Saat ini kami sedang berada di meja makan. Sarapan pagi, sebelum melakukan aktivitas di luar rumah."Oh iya, itu di ruang tamu ada jas hujan, siapa yang nganterin?" tanya Papa. "Arga. Semalam dia datang ke sini."Dadaku tiba-tiba terasa sesak saat mendengar nama Arga disebut. Wajah Mas Raffi pun tiba-tiba kembali datar seperti semalam."Oh ... anak itu. Padahal, Papa sudah bilang tidak usah dikembalikan, masih aja tetap dibalikin." Papa kembali bersuara."Arga yang mana, sih, Pah? Kok, Mama kayak baru dengar nama itu?""Anak baru, Mah. Dokter magang. Dia mau pulang malam-malam, hujan. Papa kasih jas hujan yang selalu ada di mobil. Udah Papa ikhlasin, eh malah tetep dibalikin."Kulirik Mas Raffi semakin menunduk. Saat ia akan melihat ke arahku, buru-buru aku menunduk dengan menyuapkan

    Last Updated : 2023-01-20

Latest chapter

  • Menikah dengan Pria Buruk Rupa, Ternyata Dia ....   EXTRA PART SEASON 2

    "Raihanum." Aku menyebut nama dari bayi perempuan yang sedang menggeliat di tempat tidurnya. Bibirku tersenyum manis menatap sepasang mata yang mulai melihat dunia. "Selamat pagi, Sayang ...." Aku mengusap pelan pipinya dengan jari telunjukku. Dia menggoyangkan kepalanya seolah merasa terganggu dengan sentuhan lembutku. Bibirnya bergerak seperti mengemut sesuatu. Dan aku semakin gemas melihat itu. "Hey, princess Papa sudah bangun ternyata?" Aku menoleh pada Mas Raffi yang baru saja datang, dan langsung menghampiriku. Bukan. Bukan aku yang dia datangi, melainkan putri kecilnya. "Sepertinya dia haus, Sayang," ujarnya lagi. "Iya. Dia cari sesuatu.""Kasihlah. Kasihan dia."Aku pun mengambil bayi perempuan berusia empat puluh hari itu. Kini, dia menggeliat dalam gendongan, lalu kepalanya ke kanan dan kiri mencari sarapan paginya. Aku membuka kancing piyamaku, kemudian memberikan asupan gizi untuk putriku tercinta. "Persiapan di bawah gimana, Mas?" Aku melihat pada Mas Raffi. "

  • Menikah dengan Pria Buruk Rupa, Ternyata Dia ....   Bab 273 Ending Season 2 Kebahagiaan yang Sempurna

    "Sayang ... udah belum?" "Belum!" Aku berteriak menjawab pertanyaan Mas Raffi. Saat ini aku tengah mondar-mandir di kamar mandi seraya memegang testpack. Sudah lima belas menit aku di dalam sini, tapi benda kecil itu belum menyentuh urinku. Rasanya campur aduk antara takut tidak sesuai dengan ekspektasi, juga penasaran yang luar biasa. "Sayang, ayo, dong! Masa dari tadi belum terus!" Mas Raffi kembali berujar. "Iya, bentar, Mas!"Dengan tangan yang bergetar, aku memasukkan testpack ke dalam urin yang sudah aku tampung dalam wadah. Setelah beberapa detik menunggu, aku mengangkatnya dengan mata terpejam. Sebelah mata aku buka sedikit, mencari garis yang menjadi penentu aku hamil atau tidaknya. Samar-samar aku melihat garis itu, hingga akhirnya mata kubuka lebar-lebar untuk memastikan penglihatanku tidaklah salah. "Dua?" gumamku, kemudian bibir tersenyum. Aku menutup mulut dengan mata yang berkaca-kaca. Ini memang bukan kehamilan pertama, tapi rasanya masih sama seperti waktu tah

  • Menikah dengan Pria Buruk Rupa, Ternyata Dia ....   Bab 272 Telat

    "Pagi, Sayang ...."Sepasang tangan melingkar di pinggang, disusul dengan kecupan kecil di pipi. Aku yang tengah berkutat dengan alat masak, membalas sapaan Mas Raffi dengan usapan pelan di lengannya. Hal seperti ini bukan terjadi sekarang, tapi setiap pagi datang. Sikap Mas Raffi selalu hangat dan tambah romantis sejak kami tinggal di rumah ini. Itu mengapa, aku memperkejakan asisten rumah tangga yang pulang pergi. Aku tidak ingin melewatkan keromantisan ini karena ada orang lain di istana kami. "Sudah aku siapkan teh di atas meja. Mas duduk, sebentar lagi gorengan yang aku buat akan matang," ujarku. "Emh ... enggak mau. Aku mau tetap meluk kamu sampai gorengan itu pindah ke meja makan." Mas Raffi berucap manja. "Nanti kamu kecipratan minyak, Mas.""Biarin. Jangankan minyak, percikan api asmara dari luar pun bisa aku padamkan demi kamu.""Hah, gimana-gimana?" Aku menoleh, mencari wajah Mas Raffi yang menyusup di tengkuk leherku. Dia tidak berani mengangkat kepala. Malah semaki

  • Menikah dengan Pria Buruk Rupa, Ternyata Dia ....   Bab 271 Dipanggil Teteh

    "Gini aja, deh, Fi. Daripada kamu jual perhiasan Raya, mendingan kamu pinjem uang aja dari Mama." Aku yang tadi sudah berpikiran buruk, merasa lebih tenang saat mendengar suara Mama. Ternyata yang masuk tadi bukan Reyhan, melainkan Mama dan Mas Raffi yang membahas perhiasan. Oh, ya ampun. Mas Raffi ketahuan Mama akan menjual perhiasan? Aku berjalan mendekati mereka yang berada di ruang tamu. Pandanganku mengarah pada Mas Raffi yang memberikan isyarat dengan menempelkan jari telunjuk di bibirnya. Aku mengangguk kecil, lalu meraih tangan Mama dan menciumnya. "Rayyan mana, Ra?" tanya Mama tanpa melepaskan tanganku. "Lagi main di ruang tengah, Mah.""Kalau gitu, kamu duduk di sini, Mama mau bicara dengan kalian."Aku dan Mas Raffi saling pandang, lalu aku pun duduk di samping Mama. Begitu pun Mas Raffi. Kami mengapit Mama yang berada di tengah-tengah. "Fi, Ra, kalian ini masih punya orang tua. Ada Mama dan Papa, yang masih bisa bantu kalian. Bukan Mama mau sombong, soal uang, insya

  • Menikah dengan Pria Buruk Rupa, Ternyata Dia ....   Bab 270 Menjual Perhiasan

    "Semalam aku kaget banget, loh saat Mas Bayu membekap mulutku. Aku kira itu Reyhan."Aku menyeruput jus alpukat seraya memperhatikan Rayyan yang bermain. "Tadi malam, saat aku menyuruh kamu tidur, emang sudah merasakan ketidakberesan di rumah kita. Yang kata aku melihat kucing di kosan, itu sebenarnya yang aku lihat emang manusia.""Kok, gak bilang ke aku?" tanyaku. Saat ini, aku dan Mas Raffi masih membahas kejadian semalam yang membuat tubuh ini bergetar ketakutan. Kami duduk lesehan di teras depan seraya mengasuh Rayyan yang bermain di halaman. "Aku tidak mau kamu takut, Ra. Makanya aku menyuruh kamu tidur cepat. Dan setelah kami tidur, aku langsung menelepon polisi untuk datang secara diam-diam. Dan Bayu juga.""Terus, saat aku bangun dan ke lantai bawah, kamu kan tidak ada. Itu ke mana?" Aku masih bertanya karena penasaran. "Aku di luar. Secara tidak langsung, aku menggiring Reyhan masuk ke kamar tamu lewat jendela. Dan Bayu, saat itu sudah ada di dalam rumah ini. Dia aku su

  • Menikah dengan Pria Buruk Rupa, Ternyata Dia ....   Bab 269 Penangkapan Reyhan

    "Mas Bayu ngapain di sini?" tanyaku, saat dia melepaskan tangannya dari bibirku. "Aku diminta Raffi datang ke sini. Dan kamu tahu, yang ada di kamar itu siapa? Si Reyhan. Dia nyusup masuk ke rumahmu lewat jendela kamar yang tidak dikunci.""Apa?" Rasa terkejutku bertambah berkali lipat. Jika saja tadi aku masuk ke sana, habislah riwayatku. Reyhan pasti akan dengan mudah melakukan perbuatan jahatnya padaku. Suara gagang pintu yang diputar dari dalam kamar tamu, membuatku dan Bayu menoleh. Semakin lama, suara di sana semakin keras. Karena mungkin Reyhan sudah menyadari jika dia masuk perangkap. "Mas Raffi, mana?" tanyaku, karena tak kulihat keberadaan suamiku. "Dia di luar.""Sendirian?" tanyaku lagi. "Temenin, Mas. Aku takut Reyhan menyerang Mas Raffi. Dia belum pulih." Aku panik. Bayu hendak melangkah menjauh dariku, tapi dia urungkan saat ada bayangan yang berjalan mendekat ke arah kami. Tidak lama kemudian, lampu pun menyala membuat ruangan yang gelap menjadi terang. Aku lan

  • Menikah dengan Pria Buruk Rupa, Ternyata Dia ....   Bab 268 Keluargaku Dalam Bahaya

    "Mas, kenapa liatin aku terus?" Mama dan Papa, serta semua kakak Mas Raffi sudah pergi beberapa menit yang lalu. Sekarang, tinggallah kami berdua, dan Rayyan yang sudah tidur. Hari memang sudah malam. Perabot pemberian kakak-kakak Mas Raffi pun, sudah disimpan ke tempat yang semestinya. Dibantu kakak dan kakak iparku tentunya. Saat ini, aku dan Mas Raffi tengah duduk berdua di lantai dua rumah kami. Aku dan dia sedang menikmati malam, melihat bintang dan bulan yang bersinar bersamaan. Gorden kaca sengaja dibuka agar langit terlihat jelas. Di depan kami, dua cangkir teh menjadi pelengkap kebersamaanku dengan Mas Raffi. "Malu, ih diliatin terus," kataku lagi, memalingkan wajah ke arah lampu hias berbentuk hati yang berada di sudut ruangan. Mas Raffi menyentuh daguku. Menariknya sangat pelan, agar tatapanku kembali padanya. "Karena aku kagum pada kecantikan istriku ini. Makanya, aku pandang terus.""Ih, gombal, deh," ujarku. Padahal dalam hati, aku bahagia mendapatkan pujian dari

  • Menikah dengan Pria Buruk Rupa, Ternyata Dia ....   Bab 267 Sedang Miskin-miskinnya

    "Saat di hotel waktu itu, sebenarnya Mbak percaya jika kamu tidak melakukan apa-apa dengan Reyhan. Kalau kamu selingkuh dengan Reyhan, untuk apa kamu meminta Mbak datang? Iya, kan?"Aku mengangguk saat Mbak Kinara menjeda ucapannya. Saat ini, hanya ada aku dan dia. Kami duduk berhadapan di meja makan, setelah tadi Mbak Nara memintaku bicara berdua. "Saat kamu pergi dari hotel itu, sebenarnya Mbak masih ada di sana. Mbak menemui Reyhan setelah melihatmu benar-benar keluar dan pergi. Aku meminta Reyhan mengatakan apa yang terjadi antara kami dengannya, versi dia. Meskipun aku tidak percaya pada Reyhan, tapi aku tetap mendengarkan dan merekam pengakuannya. Kamu tahu kenapa?" Mbak Kinara melempar tanya. Aku menggelengkan kepala. Aku tidak mau menduga-duga dan mengatakan yang tidak ada dalam pikiran."Aku cemburu padamu, Ra. Aku iri melihat kedekatan kamu dengan Mama, juga perhatian Mama pada Rayyan.""Ya Allah, Mbak ...." Aku menatap sendu pada Mbak Kinara yang menunduk. "Maafkan Mbak

  • Menikah dengan Pria Buruk Rupa, Ternyata Dia ....   Bab 266 Kedatangan Kakak Mas Raffi

    "Ini untuk kami, Mah?" tanyaku pada Mama, yang tengah membereskan sayuran serta buah segar ke dalam kulkas. Tidak hanya itu, Mama juga membeli bermacam bumbu dapur, juga perlengkapan lainnya. "Iya, Ra. Kalau untuk Mama, tidak mungkin dikeluarkan dari mobil. Ini semua untuk kalian. Mama juga beli vitamin penambah nafsu makan untuk kamu. Tapi, Raffi enggak boleh minum vitamin ini, ya? Dia punya vitamin sendiri dari dokternya," ujar Mama. Aku mengiyakan. Meskipun malu karena keluar dari kamar dalam keadaan rambut yang basah, aku tetap menemui ibu mertua yang tengah berbenah di dapur. Sedangkan Mas Raffi, dia masih di kamar. Sedang berpakaian setelah pada akhir tadi kami mandi bersama. Untunglah, kedua mertuaku paham situasi. Dari mereka tidak ada yang mengetuk pintu kamar sejak kedatangannya. Keduanya kompak membawa bermain Rayyan agar tidak mencari keberadaan orang tuanya. Ck, malu ... aku malu. Tapi, mau gimana lagi? Semuanya gara-gara ... ah, masa iya aku harus menyalahkan Mas

DMCA.com Protection Status