"Kita ke penginapan dulu, ya?" Aku hanya mengangguk tanpa bersuara.Jarak antara rumahku ke vila, tidak terlalu jauh. Hanya sekitar lima menit dengan kendaraan, kami sudah sampai di vila tempat Mama dan Papa Mas Raffi menginap."Kamu tunggi di sini, biar aku turun sebentar," ucap Mas Raffi saat kami sampai di depan vila."Apa gak sebaiknya aku turun juga, tidak enak sama Mama dan Papa."Rasanya kurang sopan, jika aku diam di mobil sedangkan suamiku menemui orang tuanya."Yaudah, deh. Yuk, turun!"Mas Raffi membukakan pintu mobil, kemudian aku melangkah ke luar seraya mengedarkan pandangan. Rasanya seperti mimpi aku akan meninggalkan tempat kelahiranku ini. Tempat yang membesarkanku dengan sejuta kenangan di dalamnya. Nanti, aku pasti akan merindukan suasana ini. Daerah pinggir pantai dengan tempat wisata yang begitu indah. "Ma, sudah siap?" Suara Mas Raffi menyadarkanku. Buru-buru aku berjalan menghampiri kedua mertuaku dan menyalaminya. "Sepertinya kamu main kasar, Fi. Mata ist
Sepertinya ada yang salah. Tidak mungkin ini rumahnya mertuaku. Tidak mungkin mereka tinggal di sini. Ini jauh dari ekspektasiku. "Ayo, Ra!" Mas Raffi memegang tanganku.Meski belum yakin dengan apa yang aku lihat, aku pun turun untuk memastikannya sendiri. Penampakan rumah begitu jelas saat aku keluar dari mobil. Aku menggeleng-gelengkan kepala. Beberapa kali aku beristigfar seraya mengusap wajah berharap bangunan rumah yang ada di depanku, berubah menjadi yang aku bayangkan sebelumnya. Namun, tidak. Masih sama seperti yang pertama aku lihat. "Mas, kamu yakin ini rumahmu? Sepertinya kita salah alamat. Iya, 'kan?" ucapku sembari menahan lengan Mas Raffi.Dia melihatku dengan menyunggingkan senyum manis. Menarik pelan tanganku agar kaki ini melangkah maju."Mas, tunggu dulu. Ini rumah siapa? Rumah Bosmu?" Lagi, untuk ke sekian kalinya aku mempertanyakan rumah ini.Mas Raffi menggeleng. "Ini, rumah kita," jawabnya. Bagaimana aku akan percaya jika rumah di depanku ini adalah rumah su
Setelah berkenalan dengan anak-anak Papa dan Mama, beserta anak istrinya, kini aku disuruh istirahat. Perjalanan jauh membuat kepalaku sakit dan tubuhku terasa pegal. Aku masuk ke dalam kamar. Lagi, aku dibuat takjub dengan ruangan pribadi suamiku ini. Kamarnya luas sekali dengan kasur besar yang di atasnya sudah ditaburi bunga mawar merah. "Happy wedding My Brother!" Aku membaca tulisan yang menempel pada dinding dengan hiasan bunga-bunga cantik."Ini pasti dari saudara Mas Raffi," ucapku mengambil satu kelopak bunga mawar, dan menciumnya."Wangi," ucapku lagi. "Suka dengan kamarnya?" "Eh." Aku sedikit kaget saat kedua tangan Mas Raffi melingkar di pinggangku. Dagunya menempel di pundak dengan pipi yang menyentuh pipiku.Jangan tanyakan di mana jantungku, dia sedang jingkrak-jingkrak di atas ranjang. Eh."Nanti, kamu boleh mengubah kamar ini dengan selera kamu. Bebas, mau dengan tema apa, warna apa, dan barang-barang yang seperti apa." Mas Raffi berucap seraya mengeratkan peluk
Hatiku terusik setelah membaca tulisan pada kertas putih tadi. Siapa sekiranya yang memberikan kado dengan tulisan tersebut?Menantu Mama dan Papa ada empat, lima denganku. Menantu laki-laki, atau menantu perempuan yang memberikan hadiah ini untukku?Huft! Baru juga datang, aku sudah mendapatkan ancaman. Mungkin benar kata orang-orang. Kalau si miskin, tidak akan berteman dengan si kaya. Apalah aku yang hanya orang kampung yang kebetulan dinikahi orang kota? Tidak seperti mereka yang sudah terlahir dari keluarga kaya raya."Kenapa, Ra? Kadonya jelek?" tanya Mas Raffi.Ia menghampiri dan duduk di sampingku. Menatap kado yang tadi sudah aku buka. Buru-buru aku meremas kertas tadi dan memasukkannya ke dalam saku rok. Mas Raffi tidak boleh tahu tentang ini. Aku tidak mau nanti dia akan salah paham dan bertengkar dengan saudaranya."Bagus, bagus banget malah. Aku suka," ucapku memperlihatkan senyum termanisku."Wah, lagi buka-buka kado, ya?" Mama datang dan langsung ikut nimbrung dengan
Untuk ke sekian kalinya, aku kaget luar biasa. Jadi, Mas Raffi adalah anak dari seorang dokter? Kalau Papa dokter, besar kemungkinan jika suamiku pun sama. Aku sudah tidak bisa menahannya lagi. Mas Raffi, harus mengatakan semuanya padaku. Bicara jujur, tentang keluarganya. Buru-buru aku pergi meninggalkan Bibi menuju kamarku dan Mas Raffi. Membuka pintu dengan cepat, dan langsung duduk di depan Mas Raffi yang tengah fokus pada ponsel."Ada apa? Kenapa wajah kamu panik kayak gitu? Apa ada yang terjadi di bawah?" tanyanya menelisik setiap inti wajahku."Mas, tolong jangan buat aku seperti orang bodoh di rumah ini. Tadi, ada orang yang mengantarkan jas putih ke sini. Aku bengong, Mas. Aku gak tahu, kalau Papa itu seorang dokter. Coba, kalau tadi Bibi tidak datang, mungkin aku sudah mengusir wanita tadi dengan mengatakan salah alamat. Ayo, dong Mas. Jujur sama aku, aku tuh bingung dengan semua ini!" Mas Raffi menyimpan ponselnya. Ia memegang tanganku seraya menggeser tubuhnya menjadi l
"Astaghfirullahaladzim," lirihku seraya berjongkok memungut pecahan gelas yang berserakan."Ya Allah, Mbak. Sini, biar Bibi bantuin." "Kamu gak apa-apa, Ra? Ada yang luka?" Mas Raffi ikut berjongkok melihat kedua tangan dan kakiku yang tertutup rok plisket. Aku hanya mampu menggeleng. Mendongak sekilas, melihat pria yang berdiri memperhatikanku."Ke kamar aja, ya?" ujar Mas Raffi lagi.Kali ini aku mengangguk, meninggalkan mereka di ruang tamu dan naik ke lantai dua.Sesempit inikah Kota Jakarta, hingga aku harus bertemu dengan orang di masa lalu? Orang yang aku hindari untuk dilihat. Pria yang menjadi alasan aku menerima pinangan Mas Raffi. Agar aku bisa pergi jauh dari tempat di mana ada kenanganku dan dia didalamnya. Kujatuhkan bokong pada ujung ranjang. Meremas seprai dengan sangat kuat. "Kenapa harus bertemu lagi." Aku berujar seraya mengeratkan gigi.***"Ra, nanti kalau aku sudah jadi dokter, aku akan menikahi kamu. Mengajakmu ke kota, untuk menemani aku bekerja di sana. Ka
"Fi, Mama minta tolong, nanti kamu ambilkan seragam kita di butik Tante Andin, ya. Mama harus lihat katering. Takutnya nanti ada yang tidak sesuai selera kita.""Iya, Ma. Boleh," jawab Mas Raffi singkat.Saat ini kami sedang berada di meja makan. Sarapan pagi, sebelum melakukan aktivitas di luar rumah."Oh iya, itu di ruang tamu ada jas hujan, siapa yang nganterin?" tanya Papa. "Arga. Semalam dia datang ke sini."Dadaku tiba-tiba terasa sesak saat mendengar nama Arga disebut. Wajah Mas Raffi pun tiba-tiba kembali datar seperti semalam."Oh ... anak itu. Padahal, Papa sudah bilang tidak usah dikembalikan, masih aja tetap dibalikin." Papa kembali bersuara."Arga yang mana, sih, Pah? Kok, Mama kayak baru dengar nama itu?""Anak baru, Mah. Dokter magang. Dia mau pulang malam-malam, hujan. Papa kasih jas hujan yang selalu ada di mobil. Udah Papa ikhlasin, eh malah tetep dibalikin."Kulirik Mas Raffi semakin menunduk. Saat ia akan melihat ke arahku, buru-buru aku menunduk dengan menyuapkan
"Mas, ibu-ibu tadi tidak bilang apa-apa, 'kan?" tanyaku pada Mas Raffi.Saat ini, aku dan suamiku sudah berada di dalam mobil setelah tadi mengambil baju dari butik Tante Andin."Ibu-ibu yang mana?" tanya Aldi."Yang pake gamis bling-bling itu, lho.""Oh, Mamanya Arga? Tidak, dia tidak bilang apa-apa. Kenapa, gitu?" Aku terdiam dengan meneguk ludah. "Dari mana, Mas tahu kalau itu Mamanya Arga?" "Saat kita nikah, dia memperkenalkan diri sebagai mantan calon mertua dari pengantinku. Tapi, saat itu aku tidak tahu Arga itu yang mana. Semalam, aku baru tahu. Ternyata, dia ganteng, ya?" ujarnya seraya melirikku sekilas. Kemudian, dia kembali fokus pada jalanan yang mulai ramai.Aku jadi menyesal telah bertanya soal Mamanya Arga pada Mas Raffi. Takut jika kejadian tadi pagi terulang lagi."Kenapa diam? Inget mantan?" "Enak aja. Aku inget air mawarku yang tinggal sedikit. Padahal, ya sewaktu aku bawa dari rumah Ibu, isinya masih banyak sekali. Masih penuh, tapi pas tadi aku lihat, sedikit