Share

Bab 8

"Mas, nanti di Jakarta, kita tinggal bersama orang tua Mas, atau kita ngontrak?" tanyaku.

Saat ini, kami sudah berada di kamar. Kami sama-sama merebahkan diri di ranjang pengantin. Aku tidur berbantalkan lengan kekar Mas Raffi, dengan menghadap ke arahnya. Sedang dia, tidur terlentang dengan mata melihat langit-langit kamar yang terbuat dari anyaman bambu.

"Kita tinggal di rumah Papa dan Mama. Kamu tidak keberatan, 'kan?"

Aku meneguk ludah dengan kasar.

Jika boleh meminta, aku ingin hidup mengontrak saja. Karena aku takut jika nanti tidak bisa jadi menantu yang baik. Apalagi, katanya orang tua yang hidup di kota, selalu ikut campur sama urusan rumah tangga anaknya. Menurut cerita yang aku baca.

Mudah-mudahan tidak dengan orang tua Mas Raffi.

"Kenapa diam? Keberatan?" tanya Mas Raffi lagi.

"Tidak. Aku hanya sedang membayangkan Kota Jakarta. Aku belum pernah ke sana." Aku menatap Mas Raffi yang juga tengah melihatku.

Kini, ia menggeser tubuhnya hingga berhadapan denganku. Tangannya terulur mengelus rambutku yang tergerai. Napas hangatnya begitu terasa lembut mengenai keningku.

"Besok, akan berangkat jam berapa?" tanyaku lagi.

"Pagi saja, biar santai di jalannya."

Aku mengangguk. Tangan Mas Raffi yang tadi mengelus rambutku, kini beralih ke pinggang. Memelukku dengan sayang, setelah sebelumnya mengecup pucuk kepalaku.

Sekarang, hanya ada helaan napas dan dengkuran halus yang terdengar dari suamiku itu. Ia sudah tertidur, sedangkan aku masih terjaga.

"Tidur yang nyenyak, Mas," ucapku seraya mengusap pipinya. Pipi hitam, yang ditumbuhi bulu-bulu halus.

Seandainya saja aku punya ilmu seperti Jini Oh Jini, mungkin besok dia akan mendapati wajah mulus tanpa cela. Tapi, kalau dia tidak memiliki tanda lahir seperti ini, mungkinkah dia masih mau dengan wanita kampung sepertiku?

"Tidak, tidak. Lebih baik seperti ini saja, daripada tampan dan sempurna. Nanti malah aku yang menderita."

Seperti orang gila. Aku terus bergumam dan membayangkan yang tidak-tidak.

Sebelah tangan Mas Raffi yang melingkar di pinggangku, aku singkirkan. Dengan pelan, aku turun dari ranjang dan keluar dari kamar. Niat hati ingin ke kamar mandi untuk buang air kecil, tapi langkahku terhenti saat melihat pintu kamar Ibu yang terbuka sedikit.

Aku mengintip dan melihat sedang apa wanita hebatku itu. Keningku mengkerut saat melihat pundak Ibu bergetar sembari duduk membelakangi pintu.

"Pak, anak kita sudah menemukan jodohnya. Dia pria baik, insya Allah sholeh, dan bisa menjaga putri kita. Dia memang tidak seperti pria lainnya, ada tanda lahir yang menutupi ketampanan wajahnya. Tapi, bapak jangan khawatir, dia pria yang bertanggung jawab."

Aku menutup mulut, saat melihat Ibu, tengah berbicara pada foto Bapak yang sudah usang. Ia sedang mengadu pada Bapak, lewat sebuah foto yang warnanya sudah memudar.

"Ibu," ucapku mengusap pundaknya.

Ibu menoleh, mata sayunya memerah dan berair.

"Kenapa belum tidur, Ra?" tanyanya.

Aku berjalan beberapa langkah, hingga kini aku berdiri di depan Ibu. Aku merendahkan tubuhku, kemudian duduk dengan memeluk kaki Ibu. Menyimpan kepala ini di pangkuan wanita yang telah melahirkanku itu.

"Aku tidak bisa tidur, Bu. Bagaimana dengan Ibu, kalau aku pergi ikut Mas Raffi?"

Tangan Ibu menyentuh kepalaku, membelainya hingga aku terpejam menikmati sentuhan jari-jari yang sudah mulai keriput itu.

"Jangan pikirkan Ibu, Ibu akan baik-baik saja di sini. Dengar, Nak." Ibu mengangkat kepalaku, menangkup kedua pipi ini hingga aku bersitatap dengannya. "Jadilah pakaian untuk suamimu. Jadilah istri yang baik, nurut pada suami. Dia adalah jalanmu menuju surganya Allah. Ridho Allah, ada pada suamimu," ujar Ibu menjiwil hidungku.

Aku mengangguk seraya menahan air mata yang sudah menggenang. Pertahankanku jebol, saat Ibu menciumi wajahku.

Rasanya aku belum puas membahagiakan Ibu. Bahkan belum bisa memberikan yang terbaik untuknya. Namun, besok aku harus pergi untuk mengabdikan diri pada keluarga suamiku. Meninggalkan Ibu, dalam kesendirian.

"Sudah, jangan menangis. Pergi ke kamarmu sekarang. Suamimu pasti sedang menunggumu," suruh Ibu seraya mengusap air mata yang membasahi pipiku.

"Boleh, aku tidur bersama Ibu, malam ini?"

"Tidak boleh, kamu sudah punya suami. Maka, tidurlah dengannya. Jangan manja," ucapnya lagi.

Aku mengerucutkan bibir. Ibu memang wanita hebat. Di belakangku, ia menangis hingga matanya memerah. Tapi, di depanku, tidak satu tetes air mata pun yang jatuh dari matanya.

Aku semakin kagum dan sayang pada wanitaku ini. Wanita paling tangguh yang aku punya.

"Sebentar." Ibu berdiri dan mengambil sesuatu dari laci meja.

"Ini, bawalah bersamamu."

"Tapi, Bu ...."

"Bawa, Rin. Untuk jaga-jaga sekiranya nanti suamimu sakit dan tidak bisa bekerja, ini akan membantumu."

Sebuah cincin dengan ukiran pita di bagian atasnya itu, Ibu berikan padaku.

"Bu ...."

Ibu mengangguk, sebagai kode agar aku tidak menolak keinginannya.

Meski berat, aku pun mengambil cincin itu dan memakainya. Kebesaran di jariku, tapi nanti akan aku simpan jika sudah sampai di kamar.

*

"Ingat-ingat, sekiranya apa yang ketinggalan," ujar Ibu pada suamiku yang tengah membereskan barang ke dalam mobil, yang akan kami bawa ke Jakarta.

Sedangkan aku, berdiri dengan memeluk tubuh Ibu. Meskipun menyakitkan, tapi perpisahan ini tidak bisa dibatalkan. Aku akan pergi, meninggalkan Ibu seorang diri.

"Sudah, semuanya sudah beres," ucap Mas Raffi.

"Yasudah, berangkat sana. Jangan nangis." Ibu melepaskan tubuhku yang sedari tadi menempel padanya.

Aku dan Mas Raffi menyalami tangan Ibu bergantian. Bukan hanya Ibu, tapi semua saudaraku ikut menyaksikan perpisahan ini. Kecuali, Naima saudara si pahit lidah.

Berbagai nasihat mereka berikan padaku yang intinya harus menjadi istri yang baik. Bagaimanapun kondisi suamiku, sehat atau sakit, aku harus tetap mendampingi.

"Assalamualaikum!" ucapku dan Mas Raffi bersamaan.

Mobil yang dikemudikan Mas Raffi semakin menjauh dari halaman rumah. Dadaku semakin sesak melihat Ibu yang berhenti melambaikan tangan, lalu mengusap wajahnya. Aku tahu, jika Ibu pun sedih berpisah dariku, tapi dia tidak mau menangis di depanku.

"Jangan khawatir, nanti kita akan sering tengok Ibu. Doakan, agar nanti, kita dikasih rejeki banyak, biar Ibu bisa ikut dan tinggal bersama kita," ujar Mas Raffi memberikan selembar tisu.

"Mana bisa, Ibu tidak akan mau meninggalkan rumah peninggalan Bapak."

"Begitukah? Kenapa?"

"Karena Ibu, sangat mencintai Bapak. Bahkan, ia tidak mau menikah lagi dengan alasan ingin bersatu kembali bersama Bapak, di surga nanti." Meski terisak, tapi aku tetep menjelaskan pada Mas Raffi.

"Oh ... cinta sejati. Mudah-mudahan kesetiaan Ibu, menular pada putrinya."

"Emangnya wajahku ada tampang tukang selingkuh?" tanyaku kesal.

"Tidak, tapi tukang palak."

"Palak?"

"Palakor!"

Bugh!

Aku memukul lengan Raffi. Dia justru tertawa mendapatkan serangan dariku.

Comments (19)
goodnovel comment avatar
Walida Rahman Idha
cerita bgus
goodnovel comment avatar
Anita
cerita x menarik dan bagus sekali untuk dibaca
goodnovel comment avatar
Mamatz Nazzo
gimna kelanjutannya kok gak bisa
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status