"Bicara, dong, Ra. Perasaan sejak berangkat tadi, kamu diam terus."Aku melirik Mas Raffi, lalu tersenyum simpul. Masih dengan tanpa suara. Apa yang harus aku bicarakan? Tentang apa? Kami? Aku sedang tidak ingin membahas apa pun. Aku tengah menikmati perjalanan yang sunyi ini. Apalagi, hujan turun ringan, membuat suasana semakin terasa syahdu. "Bicara, Sayang .... Sepi banget." Mas Raffi kembali memancingku. "Bicara apa, sih, Mas? Gak ada yang harus dibicarakan," kataku seraya memperbaiki duduk. "Apa sajalah. Aku jadi ngantuk kalau kamu diam saja seperti itu."Hening kembali. Aku benar-benar tidak ada hasrat untuk membahas sesuatu dengan Mas Raffi. Aku hanya ingin merenung, membayangkan kenangan-kenangan indah yang pernah aku lalui bersama Ibu. Apakah saat ini aku sedang berada dalam fase penyesalan? Mungkin iya. Aku menyesali waktu, kenapa tidak menghubungi Ibu setiap hari ketika ia masih hidup. Tidak menanyakan kabarnya, sehat atau sakitnya dia saat itu. Sekarang, baru ak
"Raffi tadi mau ke mana, Ra? Keliatannya buru-buru banget?" tanya Mama, saat aku turun ke lantai bawah. "Mau ke RRC, Mah. Katanya ada masalah di sana. Tapi ... enggak bilang masalah apa.""Padahal baru saja pulang, belum juga istirahat, sudah pergi lagi."Aku tidak menanggapi Mama yang menggerutu. Perut yang keroncongan, membuatku meninggalkan Mama di ruang tengah, untuk pergi ke ruang makan. Kusimpan gelas bekas teh manis yang kubawa dari kamar di wastafel, lalu mencuci tangan, kemudian mengambil nasi.Sepi. Aku makan sendirian dengan perasaan tak menentu. Lagi-lagi bayangan Ibu datang mengusik kalbu. "Huft ...." Aku mengembuskan napas kasar seraya menggeser piring yang masih berisikan makanan. Tak enak. Rasanya makanan yang aku masukan ke dalam mulut, hambar. Aku tidak berselera makan. "Kenapa tidak dihabiskan, Mbak? Masakan Bibi enggak enak?" tanya Bi Marni."Enak, Bi. Masakan Bibi selalu enak, tapi lidah sayanya yang sedang tidak baik-baik saja." "Bibi paham perasaan Mbak Ra
"Mah, aku titip Raya, ya? Beberapa hari ini dia melamun terus. Mungkin selalu ingat Ibu."Aku berhenti melangkah saat mendengar Mas Raffi berbicara pada Mama. Kueratkan pegangan tangan pada railing tangga demi menekan rasa gugup yang tiba-tiba menerpa. Entah ada apa denganku, alhir-akhir ini selalu merasa khawatir yang berlebihan. Kadang rasa sedih datang dengan tiba-tiba membuatku menangis tanpa alasan yang jelas. "Iya, Fi. Kamu kerja yang fokus saja, soal Raya, Mama bisa atasi.""Jangan biarkan dia sendiri, ya, Mah. Sebisa mungkin, terus diajak ngobrol," ujar Mas Raffi lagi. "Iya, Fi ...."Niat hati ingin ke bawah untuk mengantarkan Mas Raffi yang akan berangkat bekerja, tapi urung aku lakukan. Aku malah kembali ke kamar dan mengurung diri enggan melakukan apa-apa. Meninggalnya Ibu sudah dua pekan, tapi sakitnya masih terasa hingga saat ini. Sepulangnya dari kampung halaman, aku belum pernah sekalipun keluar dari rumah. Jangankan untuk bekerja di restoran, untuk pergi ke waru
"Rey, ada apa?" Seorang wanita memanggil pria yang baru saja menolongku. Iya, dia Reyhan. Dia ada di sini dan menjadi pahlawan bagiku yang hampir jadi pusat perhatian. "Ini, Mah. Barusan Raya hampir jatuh, untunglah enggak kenapa-kenapa," tutur Reyhan, menjawab pertanyaan ibunya. Aku mengangguk hormat seraya memberikan senyum marah pada Tante Miranda, ibu dari Reyhan. "Oh. Kamunya gak apa-apa, kan?" "Enggak, Mah. Aman." "Yasudah, ayo masuk," titahnya Tante Miranda pada putranya. Napas kuembuskan kasar setelah ibu dan anak itu masuk terlebih dahulu ke dalam mall. Melihat Tante Miranda, mengingatkanku pada pertemuan pertama kami dulu. Dengan terang-terangan, bahkan di depan wajahku dia menyebutku menantu kampung. Tante Miranda juga pernah melarang Reyhan untuk tidak dekat-dekat denganku, karena tidak ingin putranya tertular punya istri dari kampung. Setelah lama tak jumpa, aku kira dia sudah berubah baik hati seperti ibu peri. Namun, ternyata sama saja. Tante Miranda masih men
"Main sama Rayyan, Mah." Reyhan menjawab dengan gugup pertanyaan ibunya. Tante Miranda mendelik tajam. Dia memegang bahu putranya seraya menatapku tak suka. "Ayo, kita pulang. Ngapain juga, sih kamu jagain anak orang? Buang-buang waktu saja," tutur Tante Miranda. Mendengar ucapan Tante Miranda, hatiku jadi tak enak. Iya, memang tidak seharusnya Reyhan menemani putraku bermain. Namun, aku juga tidak salah di sini. Bahkan tadi aku sudah menolak Reyhan, tapi pria itu kekeh ingin menemani Rayyan. "Mama, kok bicaranya gitu, sih? Aku seneng, kok main sana Rayyan. Lagipula, ini, tuh pelajaran, Mah." Reyhan menjawab ucapan ibunya seraya melirikku yang diam saja. "Pelajaran? Apa maksudmu dengan pelajaran?" "Iyalah, aku sedang belajar jadi ayah.""Alaaah, omong kosong," ujar Tante Miranda sinis. "Ini bukan saatnya belajar jadi ayah, tapi bagaimana caranya kamu segera menikah!"Reyhan nyengir seraya menggaruk tengkuknya. Masih sama. Aku masih diam tidak mau mengeluarkan kata. Apa yang h
"Sayang ... main sama Bunda, ya? Yuk, kita keluar.""Tak au!" jerit Rayyan. "Au Oma!" Aku mengembuskan napas kasar seraya membiarkan putraku yang mengamuk mencari neneknya. Sepuluh menit yang lalu, dia bangun dan mencari keberadaan Mama. Sudah aku katakan seperti yang Mama perintahkan, tapi tetap saja Rayyan menangis ingin Mama datang. Dan aku tidak bisa menenangkannya."Rayyan mau sama Oma?" Aku kembali bicara. "Oke, kita ke Oma, tapi Rayyan-nya diam, ya? Nangisnya berhenti, ya, Nak?" bujukku. "Oma, Nda ...! Oma ....""Iya, kita pergi susul Oma, ya? Ayo, Rayyan-nya sini. Bunda gendong, ya?" Putraku merangkak menghampiri. Kuusap pipinya yang basah oleh air mata, lalu mengecupnya singkat. "Oma ...," ucapnya lagi dengan bibir ditarik ke bawah. Aku menggendong putraku, membawanya keluar dari kamar. Sekarang aku kebingungan. Ke mana harus membawa Rayyan agar dia tidak menangis dan menanyakan Mama? Makanan apa yang harus aku berikan agar dia lupa pada neneknya? Ya Allah ... aku te
Aku loncat ke kolam renang dengan membawa serta Rayyan. Putraku langsung diam ketika tubuhnya masuk ke dalam air beserta dengan diriku yang memeluknya.Cepat aku berdiri, menyeimbangkan diri agar Rayyan tidak tenggelam. Untunglah, kolam renang ini tak terlalu dalam. Hanya sebatas dada saja. "Yah ... basah. Kita main air, ya?" kataku, mencoba tenang agar Rayyan tidak panik. Putraku menatap lekat seraya tangan mengusap wajahnya yang basah. Kepala dia anggukan, lalu aku menurunkan tubuh putraku perlahan, kemudian menarik tangannya pelan hingga ia mengapung. Demi Tuhan, aku sangat terkejut dan menyesal dengan tindakanku barusan. Entah setan dari mana yang telah membuatku senekad itu, hingga berani loncat tanpa berpikir keselamatan Rayyan. "Ya Allah ... saya kira Mbak Raya jatuhin Rayyan ke kolam. Bibi sampai kaget, denger suara air seperti kejatuhan sesuatu." Bi Marni datang dengan wajah panik, lalu berdiri di pinggir kolam.Aku tersenyum kecil. "Mana mungkin, Bi. Saya bukan orang gil
"Mah, jaga bicara." Papa menarik lengan Mama yang menatapku tajam. Masih di tempat semula, aku bergeming dengan mata tak beralih pada Mama. "Maksud Mama, apa?" tanyaku, lalu meneguk ludah dengan kasar. "Bi Marni bilang, tadi kamu ajak Rayyan berenang. Tengah hari!" Mama melotot ke arahku. "Raya, kamu ini ... ah, Mama nggak ngerti dengan jalan pikiranmu! Lihat, akibat ulahmu Rayyan sakit. Demamnya tinggi, sampai tiga puluh sembilan derajat.""Mama berhenti. Tolong diam, Papa lagi meriksa Rayyan." "Mama gak bisa diam kalau menyangkut Rayyan, Papa. Mama—""Keluar. Kalian semua, keluar!" Pelan, tapi menekan. Papa menggiring Mama, Bi Marni dan juga aku keluar dari kamar Rayyan. Ayah mertua menutup pintu rapat-rapat setelah sebelumnya mengambil plester kompres dan obat penurun panas dari tanganku. Bi Marni pergi ke belakang tanpa pamit. Dan sekarang, tinggallah aku bersama Mama yang dengan kemarahannya padaku. "Mah, aku minta maaf. Tadi—""Sudahlah, Mama tidak ingin bicara denganmu.