"Mah, jaga bicara." Papa menarik lengan Mama yang menatapku tajam. Masih di tempat semula, aku bergeming dengan mata tak beralih pada Mama. "Maksud Mama, apa?" tanyaku, lalu meneguk ludah dengan kasar. "Bi Marni bilang, tadi kamu ajak Rayyan berenang. Tengah hari!" Mama melotot ke arahku. "Raya, kamu ini ... ah, Mama nggak ngerti dengan jalan pikiranmu! Lihat, akibat ulahmu Rayyan sakit. Demamnya tinggi, sampai tiga puluh sembilan derajat.""Mama berhenti. Tolong diam, Papa lagi meriksa Rayyan." "Mama gak bisa diam kalau menyangkut Rayyan, Papa. Mama—""Keluar. Kalian semua, keluar!" Pelan, tapi menekan. Papa menggiring Mama, Bi Marni dan juga aku keluar dari kamar Rayyan. Ayah mertua menutup pintu rapat-rapat setelah sebelumnya mengambil plester kompres dan obat penurun panas dari tanganku. Bi Marni pergi ke belakang tanpa pamit. Dan sekarang, tinggallah aku bersama Mama yang dengan kemarahannya padaku. "Mah, aku minta maaf. Tadi—""Sudahlah, Mama tidak ingin bicara denganmu.
[Rayyan sakit. Itu yang jadi pikiranku.][Sakit apa? Aduh, jangan-jangan gara-gara kelelahan bermain denganku, Ra? Maaf, ya. Aku jadi merasa bersalah, nih.]Aku tersenyum kecut membaca pesan yang dikirim Reyhan padaku. Segera aku membalas pesannya agar dia tidak salah paham dan menyalahkan dirinya. [Bukan, Rey. Ini salahku, kok. Murni hanya salahku.] Reyhan tidak lagi membalas pesanku, tapi getar ponsel menandakan ada panggilan masuk. Dan itu dari Reyhan.Aku tidak mengangkatnya. Membiarkan panggilan Reyhan mati dengan sendirinya. Lagipula, aku tidak butuh ucapan kesedihan Reyhan saat ini. Yang aku inginkan, melihat keadaan Rayyan. Suara pintu kamar yang terbuka membuatku langsung mengalihkan pandangan. Papa, ia keluar dari kamar Rayyan seraya memperbaiki letak kacamatanya. "Pah, gimana Rayyan?" tanyaku, langsung berdiri dan menghampiri. "Kamu belum tidur? Papa balik bertanya. "Mana mungkin aku bisa tidur, jika belum melihat keadaan Rayyan, Pah. Iya, aku salah. Aku mengakui kebo
"Oma, ana, Oma?" Mata Rayyan berkedip cepat seraya menatap Mama yang tengah berhias. Putraku yang pintar sudah mengerti, jika neneknya berdandan maka akan pergi. Makanya dia terus berceloteh menanyakan ke mana Mama hari ini. Mama mengalihkan pandangan dari cermin, lalu melihat Rayyan yang berdiri di samping meja rias. Dan aku hanya duduk di ujung ranjang besar Mama seraya memperhatikan putraku."Oma mah ke rumah Kak Citra dulu, Rayyan enggak boleh ikut, ya? Kalau ikut, nanti pipinya dicium Kakak, dicubitin Kakak. Rayyan di rumah saja sama Bunda dan Papa, ya?" ujar Mama seraya memegang kedua pundak putraku. "Itut, Oma .... Iyan, itut ah ...," ucap Rayyan seraya memainkan mobil-mobilan kecil di pinggir meja rias. "Mau ikut? Emang gak takut, pipinya dicium Kak Citra?"Rayyan diam seraya menatap Mama. "Atut, Oma. Atit.""Kalau takut sakit, Rayyan diam di rumah aja sama Bunda, ya? Nanti kalau Oma pulang, bawain mainan yang banyak. Rayyan mau apa? Mobil-mobilan, atau kereta api?" "Mbim
"Wah ... bagus, ya gelangnya?" Rayyan tertawa seraya mengangkat kedua tangan. Ia menatap satu per satu gelang yang tersemat di tangannya dengan wajah yang ceria. Rasanya senang sekali melihat putraku seperti itu. Tidak rewel dan tidak menanyakan keberadaan Mama. Aku telah berhasil mengalihkan perhatian Rayyan dari neneknya yang sudah pergi beberapa saat yang lalu."Agi, Nda. Wat kaki," ucap Rayyan, menunjuk kakinya. "Oh, Rayyan mau buat gelang kaki?" "Iya." Aku pun membuatkan apa yang Rayyan inginkan. Seperti maunya, dua gelang kaki kini sudah melingkar, dan membuat putraku tertawa seraya berjinjit. Matanya tak lepas dari kedua kaki yang dihiasi manik-manik berwarna-warni. "Rayyan, suka?" tanyaku. "Cuka, Nda.""Kalau gitu, sekarang kita makan, yuk! Rayyan belum makan, loh. Kan harus minum vitamin."Putraku mengangguk. Dia sama sekali tidak menolak ajakanku. Gegas aku membereskan bekas membuat gelang barusan, dan pergi ke lantai satu untuk mengisi perut. Memberikan makan pada
"Akhirnya ... bayiku tidur juga." Aku menautkan jari-jari tangan, lalu mengangkatnya ke atas meregangkan otot yang kaku. Rasanya lega sekali melihat Rayyan yang sudah terlelap setelah melewati drama panjang. Demi agar dia tidak mencari Mama, aku sampai rela menggendongnya seraya berjalan ke sana kemari mengalihkan perhatian anak itu.Sekarang usahaku sudah berhasil. Rayyan tidur dengan tenang, dan membuat hatiku senang. "Dek Rayyan sudah bobok, Bu?" Bi Marni yang tengah membereskan mainan putraku, langsung bertanya saat aku keluar dari kamar Rayyan. "Alhamdulillah, sudah. Ah .... Aku boleh malas-malasan dulu kali, ya, Bi?" ujarku, lalu merebahkan diri di sofa."Boleh atuh, Mbak. Kalau ada kesempatan untuk tidur, ya ikut tidur juga. Ngumpulin tenaga buat nanti kalau dedek bangun. Pasti dia akan nyari Ibu lagi, kayak kemarin."Rasa lega dan tenang yang sempat singgah, kini enyah entah ke mana setelah Bi Marni mengingatkan aku akan kejadian kemarin. Aku meneguk ludah, mengerjapkan
Aku menggeleng-gelengkkan kepala saat ibu dari anak itu menarik paksa putranya masuk ke dalam rumah.Salah apa aku pada Mbak Lani, sehingga dia sangat membenciku? Padahal, aku ingin berteman. "Nda ...." Rayyan mulai merengek lagi. Kembali aku mengalihkan perhatiannya pada bunga-bunga yang ada di depan rumah, tapi Rayyan tidak sedikit pun tertarik. Dia memintaku masuk ke rumah, tapi tidak aku hiraukan. Kini kakiku berjalan ke samping rumah, memperlihatkan pohon mangga yang masih tidak berbuah. Sudah mau empat tahun aku tinggal di rumah ini, tapi belum sekalipun melihat pohon mangga itu berbuah. Entahlah apa yang salah. Mungkin memang belum saatnya saja. "Nda, Oma ...."Lagi-lagi dia ingat neneknya. Jika saja aku bisa mencuci otak orang lain, akan aku hilangkan Mama dalam ingatan Rayyan. Namun, sayangnya khayalanku terlalu jauh. Tidak akan bisa melakukan apa yang aku inginkan. Hanya bisa membujuk, mencari objek untuk mengalihkan perhatian. Semakin lama, rengekan Rayyan beruba
"Apa kata Raffi? Dia sudah nunggu di RRC?" tanya Reyhan, setelah aku mengakhiri panggilan bersama Mas Raffi. "Kita gak jadi ke RRC.""Loh, kok gak jadi?" "Mas Raffi sedang di proyek kos-kosannya. Dia juga ngelarang aku ke rental karena banyak polusi katanya, bakalan banyak mobil yang datang." Aku menjelaskan apa yang tadi dikatakan Mas Raffi padaku. Reyhan manggut-manggut seraya masih fokus pada jalanan yang lengang. Jam siang Jakarta lumayan lancar, tidak seperti pagi dan sore hari. "Terus, sekarang kita akan ke mana? Pulang?" Reyhan kembali bertanya. Aku diam memikirkan ke mana kami akan pergi. "Enggak tahu, Rey. Kalau pulang, nanti anakku rewel lagi. Dia akan ingat lagi sama keinginannya. Tapi, kalau tidak pulang, mau ke mana? Aku tidak punya tujuan," kataku. "Kalau gitu, ikut aku aja. Aku akan bawa kalian ke tempat yang menyenangkan. Aku jamin, Rayyan suka, dan kamu tidak akan capek menghadapi amukan putramu lagi."Aku melihat pada Reyhan, bersamaan dengan dia yang juga men
"Ya ... kita semua. Kamu, aku, Rayyan, dan orang-orang yang ada di sini. Serius banget, Bu mukanya. Saya becanda, Bu Raihana Kamaya."Aku mengerlingkan mata seraya memalingkan wajah ke arah lain. Ini salah tidak, sih? Masa, aku pergi bersama pria lain? Padahal aku punya suami, dan dia pun ada di kota ini. Hanya saja ... sibuk. Mengingat Mas Raffi, aku jadi ingat larangan dia tadi. Sepertinya ada sesuatu yang dia sembunyikan dariku. Kenapa harus seserius itu melarang aku datang ke RRC? Padahal, sewaktu Rayyan kecil, aku sering datang ke sana dan dia tidak pernah mengatakan banyak polusi. Kenapa sekarang saat Rayyan sudah mulai besar, dia baru memikirkan itu? "Jangan diambil hati ucapanku, Ra. Maaf, aku bencana doang, kok." Reyhan kembali berucap. "Tahu, Rey. Aku diam bukan memikirkan tentang itu.""Lalu?"Aku menggelengkan kepala, tidak ingin bercerita dengan dia. "Raffi?" Reyhan mengucap satu nama yang tengah berada dalam benakku saat ini. Aku menulikan telinga. Berpura-pura t