Aku loncat ke kolam renang dengan membawa serta Rayyan. Putraku langsung diam ketika tubuhnya masuk ke dalam air beserta dengan diriku yang memeluknya.Cepat aku berdiri, menyeimbangkan diri agar Rayyan tidak tenggelam. Untunglah, kolam renang ini tak terlalu dalam. Hanya sebatas dada saja. "Yah ... basah. Kita main air, ya?" kataku, mencoba tenang agar Rayyan tidak panik. Putraku menatap lekat seraya tangan mengusap wajahnya yang basah. Kepala dia anggukan, lalu aku menurunkan tubuh putraku perlahan, kemudian menarik tangannya pelan hingga ia mengapung. Demi Tuhan, aku sangat terkejut dan menyesal dengan tindakanku barusan. Entah setan dari mana yang telah membuatku senekad itu, hingga berani loncat tanpa berpikir keselamatan Rayyan. "Ya Allah ... saya kira Mbak Raya jatuhin Rayyan ke kolam. Bibi sampai kaget, denger suara air seperti kejatuhan sesuatu." Bi Marni datang dengan wajah panik, lalu berdiri di pinggir kolam.Aku tersenyum kecil. "Mana mungkin, Bi. Saya bukan orang gil
"Mah, jaga bicara." Papa menarik lengan Mama yang menatapku tajam. Masih di tempat semula, aku bergeming dengan mata tak beralih pada Mama. "Maksud Mama, apa?" tanyaku, lalu meneguk ludah dengan kasar. "Bi Marni bilang, tadi kamu ajak Rayyan berenang. Tengah hari!" Mama melotot ke arahku. "Raya, kamu ini ... ah, Mama nggak ngerti dengan jalan pikiranmu! Lihat, akibat ulahmu Rayyan sakit. Demamnya tinggi, sampai tiga puluh sembilan derajat.""Mama berhenti. Tolong diam, Papa lagi meriksa Rayyan." "Mama gak bisa diam kalau menyangkut Rayyan, Papa. Mama—""Keluar. Kalian semua, keluar!" Pelan, tapi menekan. Papa menggiring Mama, Bi Marni dan juga aku keluar dari kamar Rayyan. Ayah mertua menutup pintu rapat-rapat setelah sebelumnya mengambil plester kompres dan obat penurun panas dari tanganku. Bi Marni pergi ke belakang tanpa pamit. Dan sekarang, tinggallah aku bersama Mama yang dengan kemarahannya padaku. "Mah, aku minta maaf. Tadi—""Sudahlah, Mama tidak ingin bicara denganmu.
[Rayyan sakit. Itu yang jadi pikiranku.][Sakit apa? Aduh, jangan-jangan gara-gara kelelahan bermain denganku, Ra? Maaf, ya. Aku jadi merasa bersalah, nih.]Aku tersenyum kecut membaca pesan yang dikirim Reyhan padaku. Segera aku membalas pesannya agar dia tidak salah paham dan menyalahkan dirinya. [Bukan, Rey. Ini salahku, kok. Murni hanya salahku.] Reyhan tidak lagi membalas pesanku, tapi getar ponsel menandakan ada panggilan masuk. Dan itu dari Reyhan.Aku tidak mengangkatnya. Membiarkan panggilan Reyhan mati dengan sendirinya. Lagipula, aku tidak butuh ucapan kesedihan Reyhan saat ini. Yang aku inginkan, melihat keadaan Rayyan. Suara pintu kamar yang terbuka membuatku langsung mengalihkan pandangan. Papa, ia keluar dari kamar Rayyan seraya memperbaiki letak kacamatanya. "Pah, gimana Rayyan?" tanyaku, langsung berdiri dan menghampiri. "Kamu belum tidur? Papa balik bertanya. "Mana mungkin aku bisa tidur, jika belum melihat keadaan Rayyan, Pah. Iya, aku salah. Aku mengakui kebo
"Oma, ana, Oma?" Mata Rayyan berkedip cepat seraya menatap Mama yang tengah berhias. Putraku yang pintar sudah mengerti, jika neneknya berdandan maka akan pergi. Makanya dia terus berceloteh menanyakan ke mana Mama hari ini. Mama mengalihkan pandangan dari cermin, lalu melihat Rayyan yang berdiri di samping meja rias. Dan aku hanya duduk di ujung ranjang besar Mama seraya memperhatikan putraku."Oma mah ke rumah Kak Citra dulu, Rayyan enggak boleh ikut, ya? Kalau ikut, nanti pipinya dicium Kakak, dicubitin Kakak. Rayyan di rumah saja sama Bunda dan Papa, ya?" ujar Mama seraya memegang kedua pundak putraku. "Itut, Oma .... Iyan, itut ah ...," ucap Rayyan seraya memainkan mobil-mobilan kecil di pinggir meja rias. "Mau ikut? Emang gak takut, pipinya dicium Kak Citra?"Rayyan diam seraya menatap Mama. "Atut, Oma. Atit.""Kalau takut sakit, Rayyan diam di rumah aja sama Bunda, ya? Nanti kalau Oma pulang, bawain mainan yang banyak. Rayyan mau apa? Mobil-mobilan, atau kereta api?" "Mbim
"Wah ... bagus, ya gelangnya?" Rayyan tertawa seraya mengangkat kedua tangan. Ia menatap satu per satu gelang yang tersemat di tangannya dengan wajah yang ceria. Rasanya senang sekali melihat putraku seperti itu. Tidak rewel dan tidak menanyakan keberadaan Mama. Aku telah berhasil mengalihkan perhatian Rayyan dari neneknya yang sudah pergi beberapa saat yang lalu."Agi, Nda. Wat kaki," ucap Rayyan, menunjuk kakinya. "Oh, Rayyan mau buat gelang kaki?" "Iya." Aku pun membuatkan apa yang Rayyan inginkan. Seperti maunya, dua gelang kaki kini sudah melingkar, dan membuat putraku tertawa seraya berjinjit. Matanya tak lepas dari kedua kaki yang dihiasi manik-manik berwarna-warni. "Rayyan, suka?" tanyaku. "Cuka, Nda.""Kalau gitu, sekarang kita makan, yuk! Rayyan belum makan, loh. Kan harus minum vitamin."Putraku mengangguk. Dia sama sekali tidak menolak ajakanku. Gegas aku membereskan bekas membuat gelang barusan, dan pergi ke lantai satu untuk mengisi perut. Memberikan makan pada
"Akhirnya ... bayiku tidur juga." Aku menautkan jari-jari tangan, lalu mengangkatnya ke atas meregangkan otot yang kaku. Rasanya lega sekali melihat Rayyan yang sudah terlelap setelah melewati drama panjang. Demi agar dia tidak mencari Mama, aku sampai rela menggendongnya seraya berjalan ke sana kemari mengalihkan perhatian anak itu.Sekarang usahaku sudah berhasil. Rayyan tidur dengan tenang, dan membuat hatiku senang. "Dek Rayyan sudah bobok, Bu?" Bi Marni yang tengah membereskan mainan putraku, langsung bertanya saat aku keluar dari kamar Rayyan. "Alhamdulillah, sudah. Ah .... Aku boleh malas-malasan dulu kali, ya, Bi?" ujarku, lalu merebahkan diri di sofa."Boleh atuh, Mbak. Kalau ada kesempatan untuk tidur, ya ikut tidur juga. Ngumpulin tenaga buat nanti kalau dedek bangun. Pasti dia akan nyari Ibu lagi, kayak kemarin."Rasa lega dan tenang yang sempat singgah, kini enyah entah ke mana setelah Bi Marni mengingatkan aku akan kejadian kemarin. Aku meneguk ludah, mengerjapkan
Aku menggeleng-gelengkkan kepala saat ibu dari anak itu menarik paksa putranya masuk ke dalam rumah.Salah apa aku pada Mbak Lani, sehingga dia sangat membenciku? Padahal, aku ingin berteman. "Nda ...." Rayyan mulai merengek lagi. Kembali aku mengalihkan perhatiannya pada bunga-bunga yang ada di depan rumah, tapi Rayyan tidak sedikit pun tertarik. Dia memintaku masuk ke rumah, tapi tidak aku hiraukan. Kini kakiku berjalan ke samping rumah, memperlihatkan pohon mangga yang masih tidak berbuah. Sudah mau empat tahun aku tinggal di rumah ini, tapi belum sekalipun melihat pohon mangga itu berbuah. Entahlah apa yang salah. Mungkin memang belum saatnya saja. "Nda, Oma ...."Lagi-lagi dia ingat neneknya. Jika saja aku bisa mencuci otak orang lain, akan aku hilangkan Mama dalam ingatan Rayyan. Namun, sayangnya khayalanku terlalu jauh. Tidak akan bisa melakukan apa yang aku inginkan. Hanya bisa membujuk, mencari objek untuk mengalihkan perhatian. Semakin lama, rengekan Rayyan beruba
"Apa kata Raffi? Dia sudah nunggu di RRC?" tanya Reyhan, setelah aku mengakhiri panggilan bersama Mas Raffi. "Kita gak jadi ke RRC.""Loh, kok gak jadi?" "Mas Raffi sedang di proyek kos-kosannya. Dia juga ngelarang aku ke rental karena banyak polusi katanya, bakalan banyak mobil yang datang." Aku menjelaskan apa yang tadi dikatakan Mas Raffi padaku. Reyhan manggut-manggut seraya masih fokus pada jalanan yang lengang. Jam siang Jakarta lumayan lancar, tidak seperti pagi dan sore hari. "Terus, sekarang kita akan ke mana? Pulang?" Reyhan kembali bertanya. Aku diam memikirkan ke mana kami akan pergi. "Enggak tahu, Rey. Kalau pulang, nanti anakku rewel lagi. Dia akan ingat lagi sama keinginannya. Tapi, kalau tidak pulang, mau ke mana? Aku tidak punya tujuan," kataku. "Kalau gitu, ikut aku aja. Aku akan bawa kalian ke tempat yang menyenangkan. Aku jamin, Rayyan suka, dan kamu tidak akan capek menghadapi amukan putramu lagi."Aku melihat pada Reyhan, bersamaan dengan dia yang juga men
"Raihanum." Aku menyebut nama dari bayi perempuan yang sedang menggeliat di tempat tidurnya. Bibirku tersenyum manis menatap sepasang mata yang mulai melihat dunia. "Selamat pagi, Sayang ...." Aku mengusap pelan pipinya dengan jari telunjukku. Dia menggoyangkan kepalanya seolah merasa terganggu dengan sentuhan lembutku. Bibirnya bergerak seperti mengemut sesuatu. Dan aku semakin gemas melihat itu. "Hey, princess Papa sudah bangun ternyata?" Aku menoleh pada Mas Raffi yang baru saja datang, dan langsung menghampiriku. Bukan. Bukan aku yang dia datangi, melainkan putri kecilnya. "Sepertinya dia haus, Sayang," ujarnya lagi. "Iya. Dia cari sesuatu.""Kasihlah. Kasihan dia."Aku pun mengambil bayi perempuan berusia empat puluh hari itu. Kini, dia menggeliat dalam gendongan, lalu kepalanya ke kanan dan kiri mencari sarapan paginya. Aku membuka kancing piyamaku, kemudian memberikan asupan gizi untuk putriku tercinta. "Persiapan di bawah gimana, Mas?" Aku melihat pada Mas Raffi. "
"Sayang ... udah belum?" "Belum!" Aku berteriak menjawab pertanyaan Mas Raffi. Saat ini aku tengah mondar-mandir di kamar mandi seraya memegang testpack. Sudah lima belas menit aku di dalam sini, tapi benda kecil itu belum menyentuh urinku. Rasanya campur aduk antara takut tidak sesuai dengan ekspektasi, juga penasaran yang luar biasa. "Sayang, ayo, dong! Masa dari tadi belum terus!" Mas Raffi kembali berujar. "Iya, bentar, Mas!"Dengan tangan yang bergetar, aku memasukkan testpack ke dalam urin yang sudah aku tampung dalam wadah. Setelah beberapa detik menunggu, aku mengangkatnya dengan mata terpejam. Sebelah mata aku buka sedikit, mencari garis yang menjadi penentu aku hamil atau tidaknya. Samar-samar aku melihat garis itu, hingga akhirnya mata kubuka lebar-lebar untuk memastikan penglihatanku tidaklah salah. "Dua?" gumamku, kemudian bibir tersenyum. Aku menutup mulut dengan mata yang berkaca-kaca. Ini memang bukan kehamilan pertama, tapi rasanya masih sama seperti waktu tah
"Pagi, Sayang ...."Sepasang tangan melingkar di pinggang, disusul dengan kecupan kecil di pipi. Aku yang tengah berkutat dengan alat masak, membalas sapaan Mas Raffi dengan usapan pelan di lengannya. Hal seperti ini bukan terjadi sekarang, tapi setiap pagi datang. Sikap Mas Raffi selalu hangat dan tambah romantis sejak kami tinggal di rumah ini. Itu mengapa, aku memperkejakan asisten rumah tangga yang pulang pergi. Aku tidak ingin melewatkan keromantisan ini karena ada orang lain di istana kami. "Sudah aku siapkan teh di atas meja. Mas duduk, sebentar lagi gorengan yang aku buat akan matang," ujarku. "Emh ... enggak mau. Aku mau tetap meluk kamu sampai gorengan itu pindah ke meja makan." Mas Raffi berucap manja. "Nanti kamu kecipratan minyak, Mas.""Biarin. Jangankan minyak, percikan api asmara dari luar pun bisa aku padamkan demi kamu.""Hah, gimana-gimana?" Aku menoleh, mencari wajah Mas Raffi yang menyusup di tengkuk leherku. Dia tidak berani mengangkat kepala. Malah semaki
"Gini aja, deh, Fi. Daripada kamu jual perhiasan Raya, mendingan kamu pinjem uang aja dari Mama." Aku yang tadi sudah berpikiran buruk, merasa lebih tenang saat mendengar suara Mama. Ternyata yang masuk tadi bukan Reyhan, melainkan Mama dan Mas Raffi yang membahas perhiasan. Oh, ya ampun. Mas Raffi ketahuan Mama akan menjual perhiasan? Aku berjalan mendekati mereka yang berada di ruang tamu. Pandanganku mengarah pada Mas Raffi yang memberikan isyarat dengan menempelkan jari telunjuk di bibirnya. Aku mengangguk kecil, lalu meraih tangan Mama dan menciumnya. "Rayyan mana, Ra?" tanya Mama tanpa melepaskan tanganku. "Lagi main di ruang tengah, Mah.""Kalau gitu, kamu duduk di sini, Mama mau bicara dengan kalian."Aku dan Mas Raffi saling pandang, lalu aku pun duduk di samping Mama. Begitu pun Mas Raffi. Kami mengapit Mama yang berada di tengah-tengah. "Fi, Ra, kalian ini masih punya orang tua. Ada Mama dan Papa, yang masih bisa bantu kalian. Bukan Mama mau sombong, soal uang, insya
"Semalam aku kaget banget, loh saat Mas Bayu membekap mulutku. Aku kira itu Reyhan."Aku menyeruput jus alpukat seraya memperhatikan Rayyan yang bermain. "Tadi malam, saat aku menyuruh kamu tidur, emang sudah merasakan ketidakberesan di rumah kita. Yang kata aku melihat kucing di kosan, itu sebenarnya yang aku lihat emang manusia.""Kok, gak bilang ke aku?" tanyaku. Saat ini, aku dan Mas Raffi masih membahas kejadian semalam yang membuat tubuh ini bergetar ketakutan. Kami duduk lesehan di teras depan seraya mengasuh Rayyan yang bermain di halaman. "Aku tidak mau kamu takut, Ra. Makanya aku menyuruh kamu tidur cepat. Dan setelah kami tidur, aku langsung menelepon polisi untuk datang secara diam-diam. Dan Bayu juga.""Terus, saat aku bangun dan ke lantai bawah, kamu kan tidak ada. Itu ke mana?" Aku masih bertanya karena penasaran. "Aku di luar. Secara tidak langsung, aku menggiring Reyhan masuk ke kamar tamu lewat jendela. Dan Bayu, saat itu sudah ada di dalam rumah ini. Dia aku su
"Mas Bayu ngapain di sini?" tanyaku, saat dia melepaskan tangannya dari bibirku. "Aku diminta Raffi datang ke sini. Dan kamu tahu, yang ada di kamar itu siapa? Si Reyhan. Dia nyusup masuk ke rumahmu lewat jendela kamar yang tidak dikunci.""Apa?" Rasa terkejutku bertambah berkali lipat. Jika saja tadi aku masuk ke sana, habislah riwayatku. Reyhan pasti akan dengan mudah melakukan perbuatan jahatnya padaku. Suara gagang pintu yang diputar dari dalam kamar tamu, membuatku dan Bayu menoleh. Semakin lama, suara di sana semakin keras. Karena mungkin Reyhan sudah menyadari jika dia masuk perangkap. "Mas Raffi, mana?" tanyaku, karena tak kulihat keberadaan suamiku. "Dia di luar.""Sendirian?" tanyaku lagi. "Temenin, Mas. Aku takut Reyhan menyerang Mas Raffi. Dia belum pulih." Aku panik. Bayu hendak melangkah menjauh dariku, tapi dia urungkan saat ada bayangan yang berjalan mendekat ke arah kami. Tidak lama kemudian, lampu pun menyala membuat ruangan yang gelap menjadi terang. Aku lan
"Mas, kenapa liatin aku terus?" Mama dan Papa, serta semua kakak Mas Raffi sudah pergi beberapa menit yang lalu. Sekarang, tinggallah kami berdua, dan Rayyan yang sudah tidur. Hari memang sudah malam. Perabot pemberian kakak-kakak Mas Raffi pun, sudah disimpan ke tempat yang semestinya. Dibantu kakak dan kakak iparku tentunya. Saat ini, aku dan Mas Raffi tengah duduk berdua di lantai dua rumah kami. Aku dan dia sedang menikmati malam, melihat bintang dan bulan yang bersinar bersamaan. Gorden kaca sengaja dibuka agar langit terlihat jelas. Di depan kami, dua cangkir teh menjadi pelengkap kebersamaanku dengan Mas Raffi. "Malu, ih diliatin terus," kataku lagi, memalingkan wajah ke arah lampu hias berbentuk hati yang berada di sudut ruangan. Mas Raffi menyentuh daguku. Menariknya sangat pelan, agar tatapanku kembali padanya. "Karena aku kagum pada kecantikan istriku ini. Makanya, aku pandang terus.""Ih, gombal, deh," ujarku. Padahal dalam hati, aku bahagia mendapatkan pujian dari
"Saat di hotel waktu itu, sebenarnya Mbak percaya jika kamu tidak melakukan apa-apa dengan Reyhan. Kalau kamu selingkuh dengan Reyhan, untuk apa kamu meminta Mbak datang? Iya, kan?"Aku mengangguk saat Mbak Kinara menjeda ucapannya. Saat ini, hanya ada aku dan dia. Kami duduk berhadapan di meja makan, setelah tadi Mbak Nara memintaku bicara berdua. "Saat kamu pergi dari hotel itu, sebenarnya Mbak masih ada di sana. Mbak menemui Reyhan setelah melihatmu benar-benar keluar dan pergi. Aku meminta Reyhan mengatakan apa yang terjadi antara kami dengannya, versi dia. Meskipun aku tidak percaya pada Reyhan, tapi aku tetap mendengarkan dan merekam pengakuannya. Kamu tahu kenapa?" Mbak Kinara melempar tanya. Aku menggelengkan kepala. Aku tidak mau menduga-duga dan mengatakan yang tidak ada dalam pikiran."Aku cemburu padamu, Ra. Aku iri melihat kedekatan kamu dengan Mama, juga perhatian Mama pada Rayyan.""Ya Allah, Mbak ...." Aku menatap sendu pada Mbak Kinara yang menunduk. "Maafkan Mbak
"Ini untuk kami, Mah?" tanyaku pada Mama, yang tengah membereskan sayuran serta buah segar ke dalam kulkas. Tidak hanya itu, Mama juga membeli bermacam bumbu dapur, juga perlengkapan lainnya. "Iya, Ra. Kalau untuk Mama, tidak mungkin dikeluarkan dari mobil. Ini semua untuk kalian. Mama juga beli vitamin penambah nafsu makan untuk kamu. Tapi, Raffi enggak boleh minum vitamin ini, ya? Dia punya vitamin sendiri dari dokternya," ujar Mama. Aku mengiyakan. Meskipun malu karena keluar dari kamar dalam keadaan rambut yang basah, aku tetap menemui ibu mertua yang tengah berbenah di dapur. Sedangkan Mas Raffi, dia masih di kamar. Sedang berpakaian setelah pada akhir tadi kami mandi bersama. Untunglah, kedua mertuaku paham situasi. Dari mereka tidak ada yang mengetuk pintu kamar sejak kedatangannya. Keduanya kompak membawa bermain Rayyan agar tidak mencari keberadaan orang tuanya. Ck, malu ... aku malu. Tapi, mau gimana lagi? Semuanya gara-gara ... ah, masa iya aku harus menyalahkan Mas