"Baik, Sus. Kalau gitu, saya permisi." Aku menganggukkan kepala, lalu berlalu dari hadapan perawat yang baru saja memberitahuku, jika Rayyan memang sudah pulang siang tadi. Jangan tanya perasaanku saat ini. Demi Tuhan, aku merasa tidak dianggap oleh Mama. Aku ini ibunya Rayyan, orang yang telah melahirkan dia ke dunia. Tapi, Mama seolah-olah pemilik Rayyan seutuhnya. "Apa salahnya ngasih tahu, sih? Kan, bisa kirim pesan," kataku, "kalau tahu sudah pulang, tidak akan repot-repot beli baju ganti segala."Seperti orang gila, aku bicara sendiri sambil berjalan keluar dari rumah sakit. Mulutku komat-kamit dengan langkah kaki lebar. Dan saat sampai di tempat parkir, aku berdiri melihat kendaraan milik orang. Sadar, jika tadi aku ke sini dengan taksi.Aku menyimpan bawaanku, kemudian mengeluarkan ponsel untuk memesan taksi online. Sekarang, aku seperti wanita menyedihkan. Duduk di pinggir jalan menunggu taksiku datang. Oh, ya ampun. Kenapa aku jadi benar-benar bodoh sekali? Kenapa tida
"Malam banget pulangnya, Mas?" kataku seraya membuka pintu kamar lebar-lebar, mempersilahkan pria berwajah istimewa itu masuk. "Banyak pekerjaan, Ra," katanya datar. Mas Raffi membuka kemejanya, lalu melemparkannya ke keranjang pakaian kotor.Mata ini masih memerhatikan dia yang mengganti celana panjangnya dengan celana piyama. Bokong kujatuhkan di ujung ranjang dengan tangan dilipat di perut."Enggak mandi?" tanyaku kemudian. Pasalnya, dia langsung naik ke atas ranjang dan membaringkan tubuh di sana. "Enggaklah, ini sudah malam banget. Besok aja aku mandinya. Kenapa? Kamu gak mau tidur sama aku karena gak mandi?" Aku menarik tubuh ke belakang dengan tatapan menyipit ke arahnya. "Aku enggak bilang gitu, loh. Kepikiran ke sana juga enggak," kataku. "Yasudah, sini tidur kalau enggak jijik sama aku." Mas Raffi kembali berucap dengan kata-kata yang membuatku tak habis pikir. Dia sensi sekali. Mungkin karena terlalu lelah bekerja, dan aku memaklumi itu. Aku tidak banyak lagi bicara
"Ibu ...." Aku menutup mulut menahan isak saat wajah Ibu nampak begitu pucat di seberang sana. Tahan. Sudah berusaha kutahan air mata untuk tidak jatuh, tapi nyatanya aku tak mampu. Buliran bening terus keluar membuatku tak bisa lagi mengendalikannya. "Jangan nangis, Ra .... Ibu, baik-baik saja, kok. Ibu hanya sakit biasa." Paham dengan reaksiku, Ibu langsung berucap dengan suara lemahnya. Namun, bukannya berhenti menangis, aku malah semakin tersedu dengan layar ponsel tetap di hadapanku. Setelah menunaikan salat subuh, Mimi mengirimkan pesan yang katanya Ibu sudah bangun dan mau ditelepon. Aku pun tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Aku langsung menghubungi Ibu lewat video call. "Gimana kabar kamu, Nak?" tanya Ibu lagi, semakin membuatku terluka. Bukan aku yang menanyakan kabar Ibu, malah sebaliknya. Dalam keadaan lemah tak berdaya saja, Ibu masih menanyakan keadaanku. Sedangkan aku, sangat jarang melakukan itu. "Aku baik, Bu. Ibu ... kenapa bisa seperti itu? Ibu gak makan?
Kaki kuayun pelan menapaki jalanan menuju restoran. Sengaja, aku turun dari mobil Pak Tarmin sedikit jauh dari tempatku bekerja, hanya demi menumpahkan rasa kecewa lewat air mata. Orang yang aku harapkan bisa membawaku bertemu Ibu, tidak sama sekali mau mendengarkan keluh kesahku. Mas Raffi. Dia berangkat ke tempat kerjanya sangat pagi, setelah Mas Daffa dan Mbak Syahida pergi mengantarkan Syakila ke pesantren. Bahkan, sebelum aku mengatakan kondisi Ibu di kampung. "Maafkan Raya, Bu ...." Aku bergumam seraya mengusap mata yang basah. Ingin rasanya pergi hari ini ke rumah Ibu tanpa izin dari suami, tapi itu tidak bisa aku lakukan. Aku tidak berani pergi begitu saja, aku takut malah menambah masalah dalam hidupku. "Sabar .... Sabar, Raya ...." Aku berhenti melangkah, mengusap dada seraya menepuk-nepuk dada yang masih terasa sesak. Restoran tempatku bekerja sudah di depan mata, tapi aku tak langsung masuk ke sana. Sengaja aku duduk terlebih dahulu di bangku panjang yang ada di depa
Aku memundurkan tubuh menempelkan punggung pada sandaran kursi. Udara kuhirup perlahan untuk memenuhi rongga dada yang terasa sesak. Sepenting itu pekerjaan untuk Mas Raffi, hingga dia menyuruh orang lain untuk pergi ke kampung halamanku? "Gimana, mau pergi sekarang?" Reyhan kembali bertanya. Aku menelan ludah dengan kasar, lalu menatap pria di depanku sekilas. "Aku pikir-pikir dulu, Rey.""Mikir apa lagi? Kalau ibumu kenapa-kenapa gimana? Nanti kamu nyesel, loh. Lagipula Raffi sudah memberikan izin juga." Hening. Aku diam seraya berpikir langkah apa yang harus aku ambil. Haruskah pergi bersama Reyhan? Akan tetapi .... Rasanya tidak pantas.Aku kembali melempar pandangan pada Reyhan yang menunggu jawaban. Tatapannya penuh harap. Dia ingin membantuku, tapi aku gamang. Seperti ada sesuatu yang melarangku pergi. Dan perasaan aneh membuatku berat menerima tawaran baik Reyhan. Benarkah Mas Raffi menyuruhnya mengantarku? Kenapa? Kenapa Mas Raffi percaya pada Reyhan, sedangkan aku
Hari ini kuputuskan pulang lebih awal. Niatku sudah bulat, aku akan pergi bersama Reyhan menengok Ibu yang sakit. Namun, aku harus bicara dahulu pada Mama, meminta pengertiannya untuk mengizinkan Rayyan ikut serta denganku. Ibu, neneknya juga. Dia pun menyayangi Rayyan dan pasti akan merindukan cucunya itu. Dalam perjalanan, ponselku berdenting. Nama Mas Raffi sebagai pengirim, membuatku cepat-cepat membuka untuk membaca pesan tersebut. Tumben sekali dia mengirim pesan di jam kerja. Tidak biasanya. [Sayang, maaf tadi pagi aku tidak mendengarkan apa yang ingin kamu sampaikan. Aku kira bukan tentang Ibu. Dan saat tadi aku menelpon Ibu untuk menanyakan kabarnya, ternyata Ibu sedang sakit. Besok kita ke ke Garut, ya, buat jenguk Ibu. Maaf untuk hari ini, Mas tidak bisa membatalkan meeting dengan klien. Tapi janji, besok kita pergi. Mas sudah atur ulang pertemuan dengan klien untuk beberapa hari ke depan.]Aku meraba dada merasakan butiran es yang menyejukkan hati setelah membaca pesa
Ibu terkekeh, lalu menyuruh Mimi menjauhkan ponsel dari wajahnya. Keinginan Ibu, sama seperti mauku. Aku ingin segera berangkat ke sana dan memijit kakinya seperti dahulu ketika ia sakit. Namun, kami harus sama-sama sabar untuk kebahagiaan di hari yang akan datang. "Aku seneng kamu akan datang, Ra. Kita lihat besok, ya, pasti rame ini rumah dikunjungi banyak orang. Bukan untuk menjenguk yang sakit, tapi melihat kamu," ujar Mimi setelah menjauhkan ponsel dari Ibu. Aku sengaja pergi ke kolam untuk bisa bicara empat mata dengan temanku itu. Apa yang Mimi sampaikan tentang saudara Ibu di kampung, tidak boleh didengar Mama. Bukan apa-apa, tapi aku malu saja memiliki kerabat yang tidak sebaik tetangga. Bisa dihitung jari yang peduli, dan selebihnya hanya manis di depan mata saja. "Biarin Mi, mungkin itu memang hiburan mereka," kataku seraya menempelkan bokong pada kursi kayu jati. "Biarin, sih biarin. Tapi aku suka kesel sama mereka yang sok paling dekat, sok paling peduli, sok palin
"Mas, makasih, ya sudah mau menyempatkan waktu buat pergi ke rumah Ibu. Aku pikir ....""Kamu pikir aku akan diam saja dan melarangmu pergi ke sana?" tanya Mas Raffi, memotong ucapanku yang menggantung. Aku mengangguk. Menaikan selimut hingga batas dada, menutup tubuh polos tanpa busana. "Mana mungkin aku setega itu, Ra. Selain sama kamu, aku juga harus bertanggung jawab akan kesehatan Ibu. Dia tinggal sendirian, karena kamu aku bawa ke sini. Dan ... aku harap, Ibu mau diboyong ke sini biar kita kumpul di sini. Dia juga bisa ketemu Rayyan tiap hari.""Mana mau, Ibu tinggal di sini, Mas.""Enggak di sini juga, Sayang ...." Mas Raffi menyanggah ucapanku, kemudian ia beringsut duduk. Aku pun mengikutinya. Aku menyandarkan tubuh di dadanya setelah Mas Raffi menarik bahuku. "Aku akan sisakan satu rumah untuk Ibu. Khusus untuk Ibu," ujarnya kemudian. Aku mendongak. Melihat wajah Mas Raffi yang barusan berucap dengan jelas. "Mas, yakin?" tanyaku memastikan. "Yakin, Sayang. Asal Ibunya