Nima terdiam. Dia berpikir. Jika menolak tawaran itu, maka bisnis keluarga Nuraga akan disita. Dia tidak bisa diam saja. Lagipula om dan tantenya selama ini selalu baik, jadi dia harus membantu mereka sekarang.
"Tapi masa depan lo taruhannya, Nim. Lo mau bernasib sama kayak mama papa yang cerai?" ujar batinnya.
Lama Nima terdiam, bergelut dengan diri sendiri. Dia harus memilih keputusan yang mana? Dia sampai memilin kuat kebayanya, dilema.
"Nggak bisa. Nima itu bukan anak kandung saya, jadi dia tidak bisa seenaknya diajak masuk dalam urusan ini," kata Papa Sena. Dia menolak keras. Meskipun dia sudah menganggap Nima sebagai anak sendiri, tapi dalam kasus ini dia terpaksa mengatakan kalimat itu. Demi menyelamatkan keponakannya.
Nima menggigit bibir. Dia mengerti maksud om-nya itu. Lihatlah, bahkan sampai detik ini mereka tetap melindunginya. Nima jadi terharu. Dari situlah dia memantapkan keputusan. Jika keluarga Sena mampu melakukan segala hal demi dia, maka dia pun akan melakukan hal yang sama.
"Oke, gue mau," kata Nima pada Galang membuat pandangan Om, Tante, dan Galang terpaku padanya. "Gue siap jadi pengganti Sena."
Om dan tante tidak setuju. Mereka tidak mau Nima mengorbankan dirinya yang tanpa pikir panjang langsung menerima. Namun, keputusan Nima sudah bulat.Mama Sena yang bernama Sinta langsung mengajak Nima keluar kamar. Ingin mendiskusikannya."Jangan sembarang ngambil keputusan, Nim. Kamu itu tanggung jawab Tante. Jangan mengorbankan diri sendiri." Sinta memegang kedua bahu keponakannya itu.
Nima menggeleng. Mengusap bahu Sinta, mencoba menenangkan. "Tenang aja, Tan. Aku ngelakuin semua ini demi diri aku sendiri, kok. Tante tahu kan dia orang kaya? Aku pengen nikah sama orang kaya."Sebenarnya itu hanya alasan kesekian. Yang paling utama adalah agar keluarga Nuraga aman, bisnisnya tidak disita. Lagipula jika pernikahan ini batal, nama baik keluarga akan hancur. Nima perempuan tangguh, menghadapi orang seperti Galang dia mampu. Jadi biarlah dia membalas sedikit kebaikan keluarga Sena dengan menjadi pengantin pengganti."Nim ...." Sinta menatap berkaca-kaca. Nima terus meyakinkan dengan senyuman. Mereka kemudian berpelukan. Nima merasa aman."Doain dan dukung keputusanku, Tan. Semoga ini keputusan yang terbaik," bisiknya.
"Makasih, ya. Kamu buat Tante jadi sedih. Setelah menikah kamu bisa kabur dari rumahnya. Jangan diam saja kalau dia memperlakukanmu seenaknya." Sinta mengusap air matanya yang merembes.Nima mengangguk, pelukan mereka terurai. Lagipula dia tidak akan membiarkan Galang menyentuh seinci tubuhnya. Atau laki-laki menjengkelkan itu akan menerima akibatnya.
Tak berapa lama seseorang datang dan memberi tahu bahwa pernikahan harus segera dilaksanakan. Penghulu sudah agak lama menunggu.Akhirnya Galang keluar dari kamar setelah berbicara pada Nadir. Marah karena tindakan Sena seperti melempari kotoran sapi padanya, hampir membuatnya malu. Galang menatap penuh ejekan pada Nima. Setelahnya bergegas pergi keluar.Sementara Sinta dan suaminya, Nadir harus mengurus perubahan pengantin. Mereka bergegas memberi tahu pak penghulu.
Penghulu agak terkejut, untungnya buku nikah belum disiapkan. Pernikahan itu terlalu mendadak jadi tidak banyak waktu mengurus dokumen.Setelahnya ijab kabul akhirnya berhasil diucapkan Galang. Para saksi langsung berteriak kata "sah". Sementara di luar terdengar bisik-bisik.
"Lho, bukannya Sena? Kenapa malah nyebut nama Nima?" tanya wanita yang memegang kipas."Iya, kok malah sepupunya Sena yang nikah, ya?" timpal wanita di sampingnya."Padahal di undangan tertulis nama Sena. Kenapa ya?" celetuk wanita berkebaya ungu pudar.
Bisik para ibu-ibu mulai ramai."Mungkin salah cetak undangan kali," kata perempuan berkebaya warna kuning. Hal itu langsung dibenarkan Sinta yang kebetulan mendengarnya. Ini demi nama baik.Sementara itu Nima keluar dengan jalan yang pelan dan tertunduk. Dia tersenyum. Bukan untuk Galang atau pernikahan ini, melainkan untuk para tamu serta om dan tantenya. Agar mereka tidak berpikiran yang macam-macam. Nima memang cukup ahli bermain peran.Sementara Galang menatapnya penuh ejekan. Dalam hati berdecih. "Cewek kasar ini masih bisa senyum, tapi selanjutnya dia pasti akan menangis-nangis," batinnya.Nima pun akhirnya duduk di samping Galang. Mengikuti instruksi penghulu. Nima hanya menyalami tangan Galang dengan ogah-ogahaan. Sementara Galang tetap mencium keningnya. Membuat Nima jijik, tangannya bahkan sudah mengepal. "Ini terakhir kalinya lo nyentuh gue," batinnya.Pernikahan itu pun selesai. Ada sesi berfoto. Ingin sekali Nima berekspresi dongkol, tapi masih ada tamu. Jadi dia memamerkan senyum yang dikira Galang adalah senyum bahagia.Setelah prosesi selesai, Nima bergegas ke kamar. Dia ingin mengeluarkan riasan ala pengantin di kepala. Cukup berat dan itu membuatnya risi.Namun, kegiatannya itu terjeda saat pintu kamar terbuka. Muncul seseorang yang tidak dia harapkan, Galang. Sontak keinginan Nima yang akan membuka jilbabnya batal. Dari cermin mereka saling menatap bagai musuh."Cewek kasar kayak lo bisa senyum juga ya," sindir Galang.
"Heh, lo pikir gue bahagia apa? Jangan senang dulu, senyum itu cuma buat keluarga gue sama para tamu. Lo pikir gue seneng nikah sama lo?" Nima balik menyindir.Galang emosi. Belum lama kenal--bahkan dia hanya tahu nama gadis itu--tapi dia merasa marah dengan kelakuan Nima. Harusnya dia yang mengucap kalimat itu. Kenapa malah sebaliknya? "Sombong banget ya lo."
"Emang kenapa? Lagian gue mau jadi pengganti cuma karena lo kaya. Lebih dari itu? Ogah! Nilai plus-nya lo itu cuma di harta."Galang mendekat, dia hampir saja akan menghajar Nima. Cewek itu tahu cara menyentil egonya. Namun, itu tidak terjadi. Galang masih ingat bahwa Nima itu perempuan dan dia tidak suka main tangan dengan kaum hawa.Nima yang melihat tangan Galang terhenti di udara malah menantang. Bahkan dia berdiri dari kursi, berbalik dan menatap Galang penuh tantangan."Coba aja kalo berani." Nima menyodorkan pipinya.Galang semakin murka melihat kesombongan Nima. Rahangnya mengeras. Tangannya kembali diturunkan, menunjuk Nima dengan kesal. "Lo, bener-bener ya!"Nima balas menunjuk. "Berani sama cewek berarti lo banci."Galang berdecih. Berani sekali gadis itu. Untuk pertama kalinya ada orang yang berani melawannya. Padahal selama ini bahkan lelaki sekalipun, tidak ada yang berani melakukan seperti apa yang dilakukan Nima."Gue kasih tahu sesuatu, ya. Gue bukan tipe cewek yang bakal nunduk di bawah ketek lo! Gue bukan cewek yang milih nangis daripada ngelawan kalau ada yang berani ngusik gue. Harusnya bukan gue yang hati-hati, tapi lo yang harus hati-hati." Nima tersenyum mengejek.Galang semakin emosi. Dia lantas memukul tiang penyangga kasur. Begitu kuat hingga patah. Nima tidak kaget, dia malah geleng-geleng kepala.
Sementara di luar sana Sinta dan Nadir terkejut. Bunyi dari kamar terdengar. Mereka segera mengetuk pintu. Takut terjadi apa-apa dengan keponakannya."Aman, Om, Tante. Nggak usah khawatir," seru Nima dari dalam. Sinta dan Nadir saling berpandangan. Akhirnya mereka menjauh. Lagipula nada suara Nima terdengar baik-baik saja.Sementara Galang sudah berdiri di dekat jendela. Tadi ponselnya berbunyi dan dia harus mengangkatnya."Apa!" Dia berseru marah di ponsel. Dia masih dalam mood yang buruk, tapi ajudannya di seberang sana malah memberi kabar buruk. "Tangkap orang itu! Jangan biarkan dia lari! Kalaupun dia ingin mati, setidaknya setelah bertemu denganku."Nima sebenarnya tidak mau ambil pusing, tapi percakapan Galang membuatnya emosi. Apa Galang sedang ingin bermain dengan nyawa orang?
Dia mendekat, tapi Galang kembali berseru di telepon. Kini mereka berhadapan. "Perintah itu mutlak. Siapa pun yang membangkang, beri dia hukuman yang setimpal," kata Galang menatap tajam cewek di depannya.Galang sengaja menekankan setiap perkataannya agar Nima tahu dia sedang berurusan dengan siapa. Setelah itu dia mematikan sambungan telepon. Menatap Nima dengan senyum miring. "Gue nggak lupa sama kekasaran lo sejak tadi. Siap-siap aja nerima hukuman."
Galang berlalu keluar kamar. Membanting pintu dengan keras. Sementara Nima terkekeh. "Lo pikir gue takut?"Setelah menikah, Nima dibawa ke rumah Galang. Mereka tidak semobil, Galang sudah pergi terlebih dahulu. Entah ke mana, Nima tak tahu dan tak mau tahu. Dia sedari tadi menatap tajam supir yang berkacamata hitam. Gayanya benar-benar mengintimidasi. Nima tidak takut dengannya, dia hanya was-was dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. Takutnya orang berekspresi datar itu akan menculiknya. Sejak kecil dia sudah diajarkan untuk tidak percaya pada orang asing. Makanya saat si supir ini datang saat sore di rumah, Nima tidak bisa percaya begitu saja bahwa dia adalah orang suruhan Galang. Namun, karena tidak enak pada om dan tantenya, Nima berusaha percaya. Katanya supir ini akan membawanya ke rumah Galang. Berbicara mengenai lelaki itu, Nima benar-benar kesal dengannya. Setelah mereka bertengkar di kamar, Galang pergi bahkan tak memberi tahu hendak ke mana. Tidak juga berpamitan pada om dan tante. Memang Nima tahu dia laki-laki yang kasar, tapi setidaknya menghormat
"Lo pengen mati?" Nima menjawab sinis. Tak sekali pun terintimidasi dengan tatapan Galang. Lelaki itu sedikit terkejut. Biasanya para perempuan dengan senang melemparkan diri padanya bahkan tanpa diminta. Namun, perempuan yang berstatus istrinya ini berbeda. Untuk pertama kalinya Galang ditolak. Mungkinkah itu karena perempuan itu lebih agamis? Galang tertantang. Dia tersenyum miring. Segala penatnya menghilang. Sepertinya memberi pelajaran pada perempuan yang tidak bisa bersikap baik padanya itu perlu. Nima melotot saat Galang melangkah maju, tapi terjeda. Dengan masih menatapnya, Galang mundur lantas menutup pintu. Menguncinya. Baru saat itulah Nima merasa dalam bahaya. Dia memang bisa melawan laki-laki, tapi tentunya tenaganya tak cukup kuat. Dia menggeleng. "Mundur! Jangan macam-macam!" Galang tersenyum miring. Dia seperti mendapat jackpot mengetahui kelemahan Nima. Hingga Nima sudah tersandar di tembok. Tidak ada lagi pilihan lain. Galang
Nima benar-benar tidak menyangka Galang akan melakukan ini padanya. Meliburkan para pekerja dan menimpakan seluruh pekerjaan rumah padanya. Sebenarnya Nima tidak masalah, hanya saja melihat betapa besarnya rumah ini, itu seperti mustahil bisa dibersihkan seorang diri. "Gila ya tu orang!" kesalnya. Apa selama sebulan dia hanya akan membuat tulangnya patah? Bukankah lucu kalau dia punya keluhan rematik di usia muda? Nima tak menyangka Galang akan setega itu. Dalam hatinya dia terus marah-marah sambil membuat sarapan. Sementara para pembantu sudah berkemas dan pergi. Rumah menjadi sepi. Nima merasa kosong. "Ini nih ciri khas rumah besar. Yang tinggal di dalamnya dikit. Sebenarnya definisi bahagia itu nggak tepat buat orang yang kalau punya rumah mewah, tapi terasa hampa," batin Nima.Setelahnya dia pun meletakkan sarapan di meja. Dilihatnya Galang baru saja datang. Tubuhnya berkeringat. Jangan harap Nima mau berbasa-basi. Mereka hanya saling menat
Pagi yang indah. Nima terbangun oleh terik mentari yang menerobos kisi-kisi jendela. Rasanya semalam dia tidur begitu nyenyak. Pelan-pelan kelopak matanya menyesuaikan dengan cahaya. Seketika matanya menyipit. Sejak kapan gorden di kamarnya berwarna hitam? Bukannya biru? Nima pun bangun, masih mengucek mata sambil mengedarkan pandangan. Hingga matanya terhenti pada seseorang yang duduk di sofa, mengangkat kaki sambil menghadapnya. "Galang?" beo Nima yang sedetik kemudian shock, langsung mengecek tubuhnya. Dia kaget bahkan sedikit terlonjak ke belakang. Untung saja dia masih mengenakan pakaian lengkap. Tidak kurang satu apa pun. Jantungnya berdebar was-was. Nima masih bingung, bukannya semalam dia tidur di rumah Sena? Atau itu hanya mimpi? Tidak mungkin. "Lo ngapain di sini?" sinis Nima setelah menetralkan kekagetannya. "Ini kamar gue," kata Galang.Nima mendesis. Pantas saja ruangan bernuansa monokrom ini tampak asing, ternyata
"Heh, ngapain lo ngikut?" tanya Galang.Langkah Nima terhenti tepat di pintu kamar Galang yang mencegatnya masuk. "Katanya ngungsi." "Keluarga gue nggak jadi nginap. Balik sana. Gue mau beresin jejak lo di kamar ini." Galang menatapnya datar.Brak! Jilbab Nima tertampar angin bekas bantingan pintu Galang. Laki-laki itu bahkan tak menunggu Nima untuk membalas sedikit ucapannya. Nima tertawa singkat. Tak habis pikir. Galang kira dia mau berdekatan dengannya? Big no! Lagipula kenapa Nima harus sepolos ini dan menurut segala maunya? Konyol! "Untung kamu sadar duluan, Nim," gumamnya lantas menendang pintu kamar Galang. Setelah itu bergegas ke bawah. Ingin makan sekaligus membersihkan meja yang penuh makanan. Tadi keluarga Galang memesan fast food karena di rumah tak ada persediaan. Terlebih tak ada pembantu. Nima hanya menut saja. Tadi dia hanya makan sedikit guna menjaga citranya. Alhasil sekarang merasa lapar. Untung masih ada sisa
"Jadi mama nggak bakal datang?"Galang menghampiri Nima dengan wajah sangarnya. Siapa juga yang tidak akan marah jika ada di posisinya? "Dasar anak manja. Pasti cewek yang lo kencanin ngakak liat lo lari-lari." Nima kembali terbahak. Rahang Galang mengeras, tangannya mengepal. Dia menyugar rambutnya dengan ekspresi kesal. Sangat. Tanpa ba-bi-bu dia bergegas ke depan, tapi langkahnya ditahan. "Nggak guna marahin supir lo karena gue yang nyuruh dia ngirim pesan itu. Lumayan, kita seri." Nima menaik-turunkan alisnya.Galang berkacak pinggang, menahan emosi yang hampir meledak. "Bener-bener ya lo!" Nima terus tertawa. Galang berdecih lantas mendekati meja makan. Melonggarkan dasinya dan meneguk segelas air. Tubuhnya sudah berkeringat. Tampilannya bahkan jauh dari kata rapi. "Nim, lo pikir yang lo lakuin tadi lucu apa?" kesalnya. Tawa Nima terhenti. Dia menatap balik. "Emang nggak lucu, ya?" Nima menatapnya polos lantas sedetik kemudi
Pukul sembilan Nima sudah selesai berberes rumah. Bahkan sekarang dia sudah rapi. Rencananya akan ke rumah Sena. Hari ini akad pernikahan sepupunya itu. Tak terasa sebulan telah berlalu.Dia meraih ponsel, mengirim pesan pada Galang. Well, sejak kejadian Galang pulang pagi mereka saling tak acuh. Nima masih kecewa dan Galang juga tampak tak peduli. Meski begitu Nima tetap menghargai Galang sebagai suaminya. [Assalamualaikum. Lang gue mau ke rumah Om Nadir. Pulangnya nanti malem.] Setelahnya Nima menghela napas. Segera keluar dari rumah besar itu. Nima memilih naik taksi, tak mau diantar. Sesampainya di rumah Sena, kesibukan mulai terlihat. Acaranya sore ini, jadi orang-orang sibuk mempersiapkan. Mendadak Nima teringat hari pernikahannya. "Konyol, ngapain ingat momen di mana gue cuma jadi pengganti?" gumam Nima tertawa mengejek pada dirinya. "Eh Nima? Kamu ini ditungguin dari kemarin malah datangnya hari ini." Sinta yang kebetulan meliha
Insiden itu membuat Nima trauma. Dia bahkan demam berhari-hari. Masih shock. Kadang masih terbayang-bayang ekspresi jahat si supir. Untungnya Galang memahami. Dia bahkan mendatangkan dokter ke rumah untuk memeriksa Nima. Kondisinya sudah agak lebih baik dari tiga hari sebelumnya. Meski begitu Nima masih belum bisa beraktivitas seperti biasa. "Ini obatnya, Nyonya," kata si pembantu meletakkan obat di nakas. Mereka sudah mulai bekerja karena sebulan telah berlalu."Makasih, ya." Nima tersenyum, masih menghabiskan makanannya sebelum minum obat. "Iya, Nyonya. Saya ke bawah dulu. Kalau Nyonya butuh sesuatu tolong panggil saya." Pembantu itu menunduk dan pergi setelah Nima menganggukkan kepala. Nima mengunyah pelan sembari menatap mentari dari celah gorden. Tak lama pintu berderit, terbuka. "Makanannya belum habis?" Galang bertanya sembari duduk di sofa. Nima menoleh sekilas. "Ini lagi dimakan," jawabnya. Mereka terdiam. Galan