Setelah menikah, Nima dibawa ke rumah Galang. Mereka tidak semobil, Galang sudah pergi terlebih dahulu. Entah ke mana, Nima tak tahu dan tak mau tahu.
Dia sedari tadi menatap tajam supir yang berkacamata hitam. Gayanya benar-benar mengintimidasi. Nima tidak takut dengannya, dia hanya was-was dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. Takutnya orang berekspresi datar itu akan menculiknya.
Sejak kecil dia sudah diajarkan untuk tidak percaya pada orang asing. Makanya saat si supir ini datang saat sore di rumah, Nima tidak bisa percaya begitu saja bahwa dia adalah orang suruhan Galang. Namun, karena tidak enak pada om dan tantenya, Nima berusaha percaya. Katanya supir ini akan membawanya ke rumah Galang.
Berbicara mengenai lelaki itu, Nima benar-benar kesal dengannya. Setelah mereka bertengkar di kamar, Galang pergi bahkan tak memberi tahu hendak ke mana. Tidak juga berpamitan pada om dan tante. Memang Nima tahu dia laki-laki yang kasar, tapi setidaknya menghormati orang tua. Lagipula om dan tantenya sudah dianggap mama dan papanya. Jadi seharusnya Galang sopan sedikit.
"Ckk, ganteng doang nggak cukup," gumam Nima.Lima belas menit kemudian mobil memasuki perumahan elit. Di situ Nima mulai lega. Berarti memang orang ini suruhan Galang. Dia bisa lebih rileks.Mobil pun berhenti di depan gerbang yang berpagar tinggi. Nima sedikit bergidik. Rasanya rumah ini seperti sangkar karena pagarnya terlalu tinggi, seperti mengurung manusia. Tak lama gerbang terbuka sendiri. Mobil BMW itu pun masuk dan berbelok di kolam bundar yang di tengahnya ada air mancur. Berhenti tepat di depan pintu rumah.
Meski tahu Galang adalah pria kaya, tetap saja Nima terkesima dengan rumah itu. Sangat. Megah dengan polesan warna putih. Tiang-tiang penyangganya tinggi dan besar. Tak ada apa-apanya dengan tubuh manusia. Nima menyimpan kekagumannya itu dalam hati."Silakan turun, Nyonya," kata si supir. Nima terkejut. Lamunannya buyar. Dia baru sadar bahwa si supir sudah turun bahkan membukakan pintu untuknya. Meski tidak ada senyum ramah.Nima mengangguk, segera turun. "Terima kasih."Saat ini Nima sudah berpakaian kasual. Tak lagi mengenakan kebaya. Dia sudah cukup risi dengan riasan pengantin. Kebetulan dia orang yang suka berpakaian dengan warna bernuansa kalem, tidak nyentrik. Dia juga tidak suka terlalu banyak aksesoris dan riasan."Ini pintu rumah atau pintu istana?" batin Nima saat berada di depan pintu yang dibuka dari dalam. Orang-orang berpakaian seperti asisten rumah tangga menyambutnya dengan senyum. Nima membalasnya dengan senyum simpul.Beberapa orang berbisik yang masih bisa dia dengar. Bertanya apa benar dia adalah istri Galang mengingat tampilannya yang biasa saja."Ekhm! Galang mana?" tanya Nima.Semua orang seketika menunduk. Beberapa orang tampak malu karena telah membicarakannya. Mereka baru yakin bahwa dia istrinya karena selama ini tidak ada yang pernah memanggil Galang tanpa sebutan "tuan". Hanya keluarga saja pengecualiannya."Tuan Galang belum pulang, Nyonya-" kata pembantu yang kebingungan karena tak tahu nama Nima."Namaku Nima," jelasnya."Ah ya, Nyonya Nima." Pembantu itu bernapas lega. Mayoritas mereka gugup karena Nima beraura kuat. Mirip Galang yang gampang mengintimidasi. Sepertinya tuan mereka berselera dengan orang yang sama-sama memiliki aura kekuasaan seperti dirinya."Nggak usah kaku, panggil saja Nima." Sebenarnya Nima kurang nyaman dipanggil seperti itu. Terlalu formal dan telinganya agak asing.Semua pembantu yang berjumlah sepuluh orang itu terkejut. Mereka yang berbaris memanjang saling memandang. Sedang Nima menatap bingung tindakan itu."Kenapa?" bingung Nima."Tidak, Nyonya. Kami hanya terkejut. Kami harus tetap memanggil dengan sebutan nyonya agar tidak dimarahi Tuan," kata salah satu pembantu.Nima kesal mendengarnya. Galang sepertinya terlalu otoriter. "Sekarang di mana laki-laki menyebalkan itu?"Para pembantu hampir tertawa. Baru kali ini ada yang berani menyebut tuan mereka dengan sebutan kasar tanpa takut"Tuan masih ada urusan, Nyonya," jelas pembantu."Oke." Nima mengangguk."Mari saya antar ke kamar, Nyonya," ajak pembantu.
"Ke kamar siapa?" tanya Nima.Beberapa pembantu kembali saling berpandangan. "Ke kamar Tuan Galang.""Nggak, aku nggak mau. Tolong antarin aja ke kamar yang lain asal jangan kamarnya. Anggap aja ini balas dendam." Buru-buru Nima memperjelas agar mereka tidak curiga dengan pernikahannya.Pembantu yang dari tadi bercakap dengannya langsung mengantarkan Nima. Sepertinya wanita yang ditaksir Nima berumur kepala empat itu adalah kepala pembantu. Nima belum terlalu fokus di sana. Dia menikmati arsitektur rumah berlantai dua yang megah itu. Banyak pajangan di dinding yang pastinya berharga mahal. Belum lagi perabotan rumah yang tampak mewah. Galang benar-benar seorang pria kaya raya. Dia banyak nilai plus, sayang attitude-nya nol persen. Andai dia beretika bagus, bahkan sekalipun dia miskin dan jelek, Nima akan dengan senang hati menikahinya. Keinginan menikahi pria kaya itu hanya iseng belaka baginya.Tak terasa Nima tiba di depan pintu. Kakinya terasa pegal menaiki undangan tangga yang begitu panjang."Ini kamarnya, Nyonya," kata si kepala pembantu."Tunggu dulu, ini sebelumnya kamar siapa?" Nima tampak hati-hati, takut salah kamar."Kamar ini biasanya kosong, tapi selalu dibersihkan," jelas pembantu tersebut."Lalu siapa pemilik kamar itu?" Nima menunjuk pintu kamar yang berhadapan langsung dengan pintu kamarnya."Milik Tuan Galang, Nyonya." Perkataan itu membuat Nima menghela napas. Dia pun sedikit protes, "Ckk, aku nggak mau di kamar ini kalau gitu."Pembantu tampak berpikir keras. Pasalnya dia tidak tahu akan menempatkan si nyonya baru itu di mana. Ruangan yang lain belum sempat disiapkan sebaik mungkin.Melihat gurat bingung dan cemas itu, Nima mengalah. Lagipula dia terlalu lelah untuk banyak berdebat. Dia butuh istirahat. "Okelah, ini kamarku. Makasih, ya."Pembantu itu tersenyum sumringah. "Iya, Nyonya."Nima tersenyum simpul. Segera masuk dan menutup pintu kamar. Takjub pada ruangan bernuansa pastel itu. Dekorasinya sederhana. Sesuai ruangan idamannya.Dia menyentuh kasur empuk, duduk di sana. "Orang kaya emang beda kasurnya. Ini bahkan lebih empuk daripada yang di hotel," gumam Nima. Dia pun berbaring. Terlelap di sana.***Galang baru tiba saat malam hari. Urusan tadi benar-benar membuatnya lelah. Dia sudah makan malam di luar, jadi mengabaikan saat pembantu berkata bahwa makanan sudah tersaji.Dia cukup lelah. Segera menuju ke atas."Tu-Tuan, sebentar," interupsi pembantu.Galang berdecak. Dia berhenti menaiki tangga. "Apalagi?" kesalnya."Nyonya sudah tidur," kata pembantu sambil menunduk takut."Nyonya? Siapa?"Pembantu itu mengernyit. Bukannya tuannya ini sudah menikah tadi? "Istri Tuan."Kebingungan Galang langsung terjawab. Dia baru ingat bahwa dia sudah menikah. Konyol memang, dia bahkan lupa bahwa pagi tadi dia telah mengucap ijab kabul.Dia tak menjawab, memilih bergegas menaiki tangga. Segera menuju kamarnya. Namun, tidak didapati seseorang pun. Bahkan di kamar mandi, walk in closet, atau bahkan balkon. Dia keluar kamar, hendak bertanya pada pembantu.Namun, urung saat mendengar nyanyian seseorang di kamar sebelah. Dia tersenyum miring. Bergegas membuka pintu kamar.Nima terkejut mendengar bunyi pintu dibuka. Dia bergegas meraih jilbab dan memakainya. Begitu murka saat tahu itu Galang. Tidakkah dia punya sedikit sopan santun?"Ngapain ke sini?" ketus Nima.Galang yang masih bersandar di pintu tersenyum miring. "Bukannya ini malam pertama kita?
"Lo pengen mati?" Nima menjawab sinis. Tak sekali pun terintimidasi dengan tatapan Galang. Lelaki itu sedikit terkejut. Biasanya para perempuan dengan senang melemparkan diri padanya bahkan tanpa diminta. Namun, perempuan yang berstatus istrinya ini berbeda. Untuk pertama kalinya Galang ditolak. Mungkinkah itu karena perempuan itu lebih agamis? Galang tertantang. Dia tersenyum miring. Segala penatnya menghilang. Sepertinya memberi pelajaran pada perempuan yang tidak bisa bersikap baik padanya itu perlu. Nima melotot saat Galang melangkah maju, tapi terjeda. Dengan masih menatapnya, Galang mundur lantas menutup pintu. Menguncinya. Baru saat itulah Nima merasa dalam bahaya. Dia memang bisa melawan laki-laki, tapi tentunya tenaganya tak cukup kuat. Dia menggeleng. "Mundur! Jangan macam-macam!" Galang tersenyum miring. Dia seperti mendapat jackpot mengetahui kelemahan Nima. Hingga Nima sudah tersandar di tembok. Tidak ada lagi pilihan lain. Galang
Nima benar-benar tidak menyangka Galang akan melakukan ini padanya. Meliburkan para pekerja dan menimpakan seluruh pekerjaan rumah padanya. Sebenarnya Nima tidak masalah, hanya saja melihat betapa besarnya rumah ini, itu seperti mustahil bisa dibersihkan seorang diri. "Gila ya tu orang!" kesalnya. Apa selama sebulan dia hanya akan membuat tulangnya patah? Bukankah lucu kalau dia punya keluhan rematik di usia muda? Nima tak menyangka Galang akan setega itu. Dalam hatinya dia terus marah-marah sambil membuat sarapan. Sementara para pembantu sudah berkemas dan pergi. Rumah menjadi sepi. Nima merasa kosong. "Ini nih ciri khas rumah besar. Yang tinggal di dalamnya dikit. Sebenarnya definisi bahagia itu nggak tepat buat orang yang kalau punya rumah mewah, tapi terasa hampa," batin Nima.Setelahnya dia pun meletakkan sarapan di meja. Dilihatnya Galang baru saja datang. Tubuhnya berkeringat. Jangan harap Nima mau berbasa-basi. Mereka hanya saling menat
Pagi yang indah. Nima terbangun oleh terik mentari yang menerobos kisi-kisi jendela. Rasanya semalam dia tidur begitu nyenyak. Pelan-pelan kelopak matanya menyesuaikan dengan cahaya. Seketika matanya menyipit. Sejak kapan gorden di kamarnya berwarna hitam? Bukannya biru? Nima pun bangun, masih mengucek mata sambil mengedarkan pandangan. Hingga matanya terhenti pada seseorang yang duduk di sofa, mengangkat kaki sambil menghadapnya. "Galang?" beo Nima yang sedetik kemudian shock, langsung mengecek tubuhnya. Dia kaget bahkan sedikit terlonjak ke belakang. Untung saja dia masih mengenakan pakaian lengkap. Tidak kurang satu apa pun. Jantungnya berdebar was-was. Nima masih bingung, bukannya semalam dia tidur di rumah Sena? Atau itu hanya mimpi? Tidak mungkin. "Lo ngapain di sini?" sinis Nima setelah menetralkan kekagetannya. "Ini kamar gue," kata Galang.Nima mendesis. Pantas saja ruangan bernuansa monokrom ini tampak asing, ternyata
"Heh, ngapain lo ngikut?" tanya Galang.Langkah Nima terhenti tepat di pintu kamar Galang yang mencegatnya masuk. "Katanya ngungsi." "Keluarga gue nggak jadi nginap. Balik sana. Gue mau beresin jejak lo di kamar ini." Galang menatapnya datar.Brak! Jilbab Nima tertampar angin bekas bantingan pintu Galang. Laki-laki itu bahkan tak menunggu Nima untuk membalas sedikit ucapannya. Nima tertawa singkat. Tak habis pikir. Galang kira dia mau berdekatan dengannya? Big no! Lagipula kenapa Nima harus sepolos ini dan menurut segala maunya? Konyol! "Untung kamu sadar duluan, Nim," gumamnya lantas menendang pintu kamar Galang. Setelah itu bergegas ke bawah. Ingin makan sekaligus membersihkan meja yang penuh makanan. Tadi keluarga Galang memesan fast food karena di rumah tak ada persediaan. Terlebih tak ada pembantu. Nima hanya menut saja. Tadi dia hanya makan sedikit guna menjaga citranya. Alhasil sekarang merasa lapar. Untung masih ada sisa
"Jadi mama nggak bakal datang?"Galang menghampiri Nima dengan wajah sangarnya. Siapa juga yang tidak akan marah jika ada di posisinya? "Dasar anak manja. Pasti cewek yang lo kencanin ngakak liat lo lari-lari." Nima kembali terbahak. Rahang Galang mengeras, tangannya mengepal. Dia menyugar rambutnya dengan ekspresi kesal. Sangat. Tanpa ba-bi-bu dia bergegas ke depan, tapi langkahnya ditahan. "Nggak guna marahin supir lo karena gue yang nyuruh dia ngirim pesan itu. Lumayan, kita seri." Nima menaik-turunkan alisnya.Galang berkacak pinggang, menahan emosi yang hampir meledak. "Bener-bener ya lo!" Nima terus tertawa. Galang berdecih lantas mendekati meja makan. Melonggarkan dasinya dan meneguk segelas air. Tubuhnya sudah berkeringat. Tampilannya bahkan jauh dari kata rapi. "Nim, lo pikir yang lo lakuin tadi lucu apa?" kesalnya. Tawa Nima terhenti. Dia menatap balik. "Emang nggak lucu, ya?" Nima menatapnya polos lantas sedetik kemudi
Pukul sembilan Nima sudah selesai berberes rumah. Bahkan sekarang dia sudah rapi. Rencananya akan ke rumah Sena. Hari ini akad pernikahan sepupunya itu. Tak terasa sebulan telah berlalu.Dia meraih ponsel, mengirim pesan pada Galang. Well, sejak kejadian Galang pulang pagi mereka saling tak acuh. Nima masih kecewa dan Galang juga tampak tak peduli. Meski begitu Nima tetap menghargai Galang sebagai suaminya. [Assalamualaikum. Lang gue mau ke rumah Om Nadir. Pulangnya nanti malem.] Setelahnya Nima menghela napas. Segera keluar dari rumah besar itu. Nima memilih naik taksi, tak mau diantar. Sesampainya di rumah Sena, kesibukan mulai terlihat. Acaranya sore ini, jadi orang-orang sibuk mempersiapkan. Mendadak Nima teringat hari pernikahannya. "Konyol, ngapain ingat momen di mana gue cuma jadi pengganti?" gumam Nima tertawa mengejek pada dirinya. "Eh Nima? Kamu ini ditungguin dari kemarin malah datangnya hari ini." Sinta yang kebetulan meliha
Insiden itu membuat Nima trauma. Dia bahkan demam berhari-hari. Masih shock. Kadang masih terbayang-bayang ekspresi jahat si supir. Untungnya Galang memahami. Dia bahkan mendatangkan dokter ke rumah untuk memeriksa Nima. Kondisinya sudah agak lebih baik dari tiga hari sebelumnya. Meski begitu Nima masih belum bisa beraktivitas seperti biasa. "Ini obatnya, Nyonya," kata si pembantu meletakkan obat di nakas. Mereka sudah mulai bekerja karena sebulan telah berlalu."Makasih, ya." Nima tersenyum, masih menghabiskan makanannya sebelum minum obat. "Iya, Nyonya. Saya ke bawah dulu. Kalau Nyonya butuh sesuatu tolong panggil saya." Pembantu itu menunduk dan pergi setelah Nima menganggukkan kepala. Nima mengunyah pelan sembari menatap mentari dari celah gorden. Tak lama pintu berderit, terbuka. "Makanannya belum habis?" Galang bertanya sembari duduk di sofa. Nima menoleh sekilas. "Ini lagi dimakan," jawabnya. Mereka terdiam. Galan
Esoknya Nima sudah agak membaik. Dia sudah bisa beraktivitas seperti biasa meskipun dilarang keras oleh Galang. "Lo itu belum sembuh total," kata Galang saat Nima tak mau mendengarkan. "Gue udah sembuh, nggak percayaan banget sih." Galang menatap tajam Nima, dalam tatapannya meminta cewek di depannya untuk masuk ke kamar. "Lo boleh beraktivitas mulai besok. Hari ini no. Jangan coba-coba bandel." Nima mengentakkan kaki lantas membanting kuat pintu kamar. Padahal dia baru saja keluar kamar, sayangnya di waktu yang tidak tepat. Galang tersentak mendengar bunyi tamparan pintu, dia menahan emosi. Nima yang asli mulai kembali, beda dengan saat masih sakit yang sangat penurut. Tak lama ponsel berdering. Di layar terpampang nama mamanya. Galang mengernyit bingung, ada apa? "Kamu ini mau jadi anak durhaka, ya!" Galang menjauhkan ponsel dari telinga begitu suara cempreng itu menggelegar. Padahal dia baru saja mengangkat panggilan. Mamanya malah