"Lo pengen mati?" Nima menjawab sinis. Tak sekali pun terintimidasi dengan tatapan Galang.
Lelaki itu sedikit terkejut. Biasanya para perempuan dengan senang melemparkan diri padanya bahkan tanpa diminta. Namun, perempuan yang berstatus istrinya ini berbeda. Untuk pertama kalinya Galang ditolak. Mungkinkah itu karena perempuan itu lebih agamis?Galang tertantang. Dia tersenyum miring. Segala penatnya menghilang. Sepertinya memberi pelajaran pada perempuan yang tidak bisa bersikap baik padanya itu perlu.Nima melotot saat Galang melangkah maju, tapi terjeda. Dengan masih menatapnya, Galang mundur lantas menutup pintu. Menguncinya. Baru saat itulah Nima merasa dalam bahaya. Dia memang bisa melawan laki-laki, tapi tentunya tenaganya tak cukup kuat.Dia menggeleng. "Mundur! Jangan macam-macam!"Galang tersenyum miring. Dia seperti mendapat jackpot mengetahui kelemahan Nima. Hingga Nima sudah tersandar di tembok. Tidak ada lagi pilihan lain. Galang malah mendekat dan mengunci gerakannya.Wajahnya mendekat, Nima menggeleng. "Jangan macam-macam ya lo!" serunya. Napasnya memburu.Sedang Galang malah semakin mendekat. Nima menipiskan bibir, memejamkan mata takut pada kenyataan. Galang tinggal sejengkal lagi. Bahkan napasnya bisa dirasakan Nima telah menyapu pipinya. Aroma mentol menguar."Belum diapa-apain udah takut, ini belum seberapa," bisik Galang. Tujuan utamanya memang berbisik. Tidak ada niatan sama sekali untuk menyentuh Nima. Dia hanya suka melihatnya ketakutan. Seperti ada kepuasan tersendiri.Setelah itu Galang menjauh, dia tertawa.Nima mengerjapkan mata. Baru pulih dari situasi abnormal itu. Dilihatnya Galang malah tertawa seperti iblis.
"Lo! Bener-bener ya!" kesal Nima."Kenapa? Asal lo tahu ya, dengan jadi istri gue, lo berarti nyerahin diri buat jadi pembantu gue. Jadi gue berhak lakuin apa pun." Galang berbalik pergi.Nima masih tak percaya itu. Apa Galang pikir dia akan takut? Tidak sama sekali. "Eh, Galang, lo tahu nggak kalau lo laki-laki terkasar yang pernah gue temuin!"Galang berbalik. "Ucapan yang sama."Nima semakin geram.
Galang malah menatapnya seperti merendahkan. "Jangan lo pikir gue tertarik sama lo. Nyentuh aja jijik. Gue cuma mau mainin lo. Ntar kalau udah bosan baru gue cerai."Sampai pintu itu tertutup Nima mendadak tak bicara. Dia biarkan Galang pergi dengan gurat kemenangan. Nima malah terduduk begitu saja di lantai. Lututnya melemas. Jantungnya berpacu, tapi dalam arti was-was, takut.Teringat kalimat Galang yang terakhir. Jadi Galang hanya mempermainkan pernikahan ini? Bahkan akan menceraikannya?Tanpa sadar Nima menitikkan air mata. Kenangan buruk masa lalu kini menyeruak dalam ingatan. Saat mamanya menceraikan papanya. Saat itulah takdir merenggut bahagianya. Nima paling benci dengan perceraian.Memang dia tidak mencintai Galang, tapi bukan berarti dia mau bercerai. Gara-gara masa lalu yang buruk itu hidup Nima terombang-ambing bahkan dia terpaksa tinggal di rumah sepupunya.Dia benar-benar merasa terpuruk. Galang memang tidak bisa berkata yang baik. Nima terisak. Takut nasibnya akan sama seperti mamanya. Dikucilkan dalam masyarakat. Dipandang rendah. Lantas karena tak tahan mamanya memilih pergi. Meninggalkannya bahkan tanpa salam perpisahan.Makanya bagi Nima lebih baik menikah tanpa cinta. Itu juga salah satu alasan dia menerima Galang. Dia tak suka saling menyakiti. Hanya saja mendengar rencana cerai di umur pernikahan yang baru beberapa jam, Nima merasa itu terlalu fantastis.
Sakit sekali. Nima tersedu-sedu.Tak berapa lama notifikasi dari ponsel terdengar. Ada panggilan masuk. Ternyata dari Sena. Nima buru-buru menghapus air mata dan meminum air di atas nakas agar suaranya tidak terdengar baru menangis."Assalamualaikum, Na, kamu di mana?" tanya Nima. Dia tak tahu sepupunya melarikan diri ke mana."Wa'alaikumussalam. Aku udah di rumah. Kenapa kamu malah nikah sama si brengs*k itu?" Suara Sena terdengar marah-marah."Nggak ada pilihan lain, Na," jawab Nima."Ada! Lagian mama dan papaku nggak bakal maksa kamu." Sena berusaha menahan kesal di seberang sana."Mungkin udah takdir," sahut Nima.Sena berdecak. "Ya ampun, Nim! Kamu tahu nggak alasan aku lari? Selain karena aku masih cinta sama pacarku, aku tahu kalau Galang itu laki-laki brengs*k. Suka mainin perempuan. Aku nggak mau jadi salah satu koleksinya. Tapi kamu? Astaga, kamu ngelakuin hal yang nggak perlu, Nim!"Nima tidak kaget lagi. Cowok sekelas Galang yang merupakan pria kaya dan tampan mustahil tidak playboy. Mungkin ada di luar sana, tapi Galang bukan termasuk salah satunya. Bahkan ucapan laki-laki itu tadi menyiratkan betapa brengs*knya dia. Namun, bagaimana lagi? Nasi sudah menjadi bubur."Kayaknya emang karena berjodoh." Suara Nima mengecil.Ada hening. Nima kira panggilan terputus. Dia menengok ponselnya, masih tersambung. Di seberang sana mulai terdengar suara isakan."Hei, Na, kamu nangis? Kenapa?" Nima mengubah posisi duduknya. Dia bingung.
"Maafin aku, Nim. Kenapa kamu yang harus berkorban?" Sena menangis setelah marah-marah. Dia tak ada niat sama sekali membuat situasi menjadi seperti ini. Dia sengaja lari agar pernikahan itu batal total. Untuk sementara dia bersembunyi di indekos temannya.
Namun, ketika malam dia memustuskan untuk pulang, betapa kagetnya dia mendengar apa yang disampaikan orang tuanya."Kamu nggak salah, Na. Serius. Udah nggak usah sedih. Lagian kamu tahu, kan, kalau aku tu suka sama cowok kaya?" Nima mencoba meyakinkan."Tapi nggak modelan kayak dia, Nim. Aku aja pernah lihat dia gandengan sama cewek di mal. Bakan H-1 pernikahan, tepatnya kemarin, aku ngeliat dia mesra-mesraan sama perempuan lain. Paling fantastisnya dia ngeliat aku, tapi malah kayak nggak ada sesuatu yang wow. Sesantai itu dia, Nim. Bayangin," kesal Sena."Udah, Na. Nggak usah dibahas. Sekarang dia suami aku. Okay?" kata Nima dengan suara pelan."Nim, maaf." Sena masih terisak.Malam itu dua sepupu itu saling curhat. Untuk pertama kalinya mereka tidur saling berbagi keluh kesah, tapi tidak di tempat yang berbeda.
***Nima bangun terlalu pagi. Menjalankan kewajibannya sebagai hamba lantas segera ke dapur. Membantu memasak seperti yang dia sering lakukan di rumah om dan tantenya.Para pembantu kaget. Melarangnya meski hanya sekadar bantu-bantu. Namun, Nima keukeh. Kebiasaan itu sudah mendarah daging baginya. "Nggak papa. Aku cuma pengen bantu dikit."Sementara pembantu merasa canggung dan tidak enak. Bahaya kalau sampai tuannya tahu. Sedang Galang baru saja turun dari tangga. Dia memang sering bangun pagi untuk joging. Namun, dia melihat sesuatu yang unik pagi ini di dapur."Lagi apa si cewek keras kepala itu?" gumamnya. Sedetik kemudian dia tersenyum miring. Ide bagus mendadak terlintas.
Dia menepuk tangan tiga kali. Bergegas para pembantunya langsung berkumpul dan menunduk di depannya. Nima terkejut melihat itu. Dia menghampiri. "Kenapa dikumpulin gini?"Galang menatapnya sebentar lantas kembali menatap para bawahannya. "Mulai hari ini kalian semua diliburkan. Untuk pekerjaan rumah semuanya akan diurus istri kesayanganku." Galang menekankan dua kata terakhirnya. Nima melotot kaget."Tenang saja, kalian tetap akan digaji. Ini hanya berlaku sebulan. Mulai hari ini nggak perlu kerja. Masuk sebulan lagi," kata Galang lagi."Baik, Tuan," koor mereka lantas membubarkan diri.Nima benar-benar kesal. "Lo-""Siapin sarapan. Gue mau joging dulu." Galang langsung pergi. Nima mengentakkan kaki. Laki-laki itu benar-benar cari mati!Nima benar-benar tidak menyangka Galang akan melakukan ini padanya. Meliburkan para pekerja dan menimpakan seluruh pekerjaan rumah padanya. Sebenarnya Nima tidak masalah, hanya saja melihat betapa besarnya rumah ini, itu seperti mustahil bisa dibersihkan seorang diri. "Gila ya tu orang!" kesalnya. Apa selama sebulan dia hanya akan membuat tulangnya patah? Bukankah lucu kalau dia punya keluhan rematik di usia muda? Nima tak menyangka Galang akan setega itu. Dalam hatinya dia terus marah-marah sambil membuat sarapan. Sementara para pembantu sudah berkemas dan pergi. Rumah menjadi sepi. Nima merasa kosong. "Ini nih ciri khas rumah besar. Yang tinggal di dalamnya dikit. Sebenarnya definisi bahagia itu nggak tepat buat orang yang kalau punya rumah mewah, tapi terasa hampa," batin Nima.Setelahnya dia pun meletakkan sarapan di meja. Dilihatnya Galang baru saja datang. Tubuhnya berkeringat. Jangan harap Nima mau berbasa-basi. Mereka hanya saling menat
Pagi yang indah. Nima terbangun oleh terik mentari yang menerobos kisi-kisi jendela. Rasanya semalam dia tidur begitu nyenyak. Pelan-pelan kelopak matanya menyesuaikan dengan cahaya. Seketika matanya menyipit. Sejak kapan gorden di kamarnya berwarna hitam? Bukannya biru? Nima pun bangun, masih mengucek mata sambil mengedarkan pandangan. Hingga matanya terhenti pada seseorang yang duduk di sofa, mengangkat kaki sambil menghadapnya. "Galang?" beo Nima yang sedetik kemudian shock, langsung mengecek tubuhnya. Dia kaget bahkan sedikit terlonjak ke belakang. Untung saja dia masih mengenakan pakaian lengkap. Tidak kurang satu apa pun. Jantungnya berdebar was-was. Nima masih bingung, bukannya semalam dia tidur di rumah Sena? Atau itu hanya mimpi? Tidak mungkin. "Lo ngapain di sini?" sinis Nima setelah menetralkan kekagetannya. "Ini kamar gue," kata Galang.Nima mendesis. Pantas saja ruangan bernuansa monokrom ini tampak asing, ternyata
"Heh, ngapain lo ngikut?" tanya Galang.Langkah Nima terhenti tepat di pintu kamar Galang yang mencegatnya masuk. "Katanya ngungsi." "Keluarga gue nggak jadi nginap. Balik sana. Gue mau beresin jejak lo di kamar ini." Galang menatapnya datar.Brak! Jilbab Nima tertampar angin bekas bantingan pintu Galang. Laki-laki itu bahkan tak menunggu Nima untuk membalas sedikit ucapannya. Nima tertawa singkat. Tak habis pikir. Galang kira dia mau berdekatan dengannya? Big no! Lagipula kenapa Nima harus sepolos ini dan menurut segala maunya? Konyol! "Untung kamu sadar duluan, Nim," gumamnya lantas menendang pintu kamar Galang. Setelah itu bergegas ke bawah. Ingin makan sekaligus membersihkan meja yang penuh makanan. Tadi keluarga Galang memesan fast food karena di rumah tak ada persediaan. Terlebih tak ada pembantu. Nima hanya menut saja. Tadi dia hanya makan sedikit guna menjaga citranya. Alhasil sekarang merasa lapar. Untung masih ada sisa
"Jadi mama nggak bakal datang?"Galang menghampiri Nima dengan wajah sangarnya. Siapa juga yang tidak akan marah jika ada di posisinya? "Dasar anak manja. Pasti cewek yang lo kencanin ngakak liat lo lari-lari." Nima kembali terbahak. Rahang Galang mengeras, tangannya mengepal. Dia menyugar rambutnya dengan ekspresi kesal. Sangat. Tanpa ba-bi-bu dia bergegas ke depan, tapi langkahnya ditahan. "Nggak guna marahin supir lo karena gue yang nyuruh dia ngirim pesan itu. Lumayan, kita seri." Nima menaik-turunkan alisnya.Galang berkacak pinggang, menahan emosi yang hampir meledak. "Bener-bener ya lo!" Nima terus tertawa. Galang berdecih lantas mendekati meja makan. Melonggarkan dasinya dan meneguk segelas air. Tubuhnya sudah berkeringat. Tampilannya bahkan jauh dari kata rapi. "Nim, lo pikir yang lo lakuin tadi lucu apa?" kesalnya. Tawa Nima terhenti. Dia menatap balik. "Emang nggak lucu, ya?" Nima menatapnya polos lantas sedetik kemudi
Pukul sembilan Nima sudah selesai berberes rumah. Bahkan sekarang dia sudah rapi. Rencananya akan ke rumah Sena. Hari ini akad pernikahan sepupunya itu. Tak terasa sebulan telah berlalu.Dia meraih ponsel, mengirim pesan pada Galang. Well, sejak kejadian Galang pulang pagi mereka saling tak acuh. Nima masih kecewa dan Galang juga tampak tak peduli. Meski begitu Nima tetap menghargai Galang sebagai suaminya. [Assalamualaikum. Lang gue mau ke rumah Om Nadir. Pulangnya nanti malem.] Setelahnya Nima menghela napas. Segera keluar dari rumah besar itu. Nima memilih naik taksi, tak mau diantar. Sesampainya di rumah Sena, kesibukan mulai terlihat. Acaranya sore ini, jadi orang-orang sibuk mempersiapkan. Mendadak Nima teringat hari pernikahannya. "Konyol, ngapain ingat momen di mana gue cuma jadi pengganti?" gumam Nima tertawa mengejek pada dirinya. "Eh Nima? Kamu ini ditungguin dari kemarin malah datangnya hari ini." Sinta yang kebetulan meliha
Insiden itu membuat Nima trauma. Dia bahkan demam berhari-hari. Masih shock. Kadang masih terbayang-bayang ekspresi jahat si supir. Untungnya Galang memahami. Dia bahkan mendatangkan dokter ke rumah untuk memeriksa Nima. Kondisinya sudah agak lebih baik dari tiga hari sebelumnya. Meski begitu Nima masih belum bisa beraktivitas seperti biasa. "Ini obatnya, Nyonya," kata si pembantu meletakkan obat di nakas. Mereka sudah mulai bekerja karena sebulan telah berlalu."Makasih, ya." Nima tersenyum, masih menghabiskan makanannya sebelum minum obat. "Iya, Nyonya. Saya ke bawah dulu. Kalau Nyonya butuh sesuatu tolong panggil saya." Pembantu itu menunduk dan pergi setelah Nima menganggukkan kepala. Nima mengunyah pelan sembari menatap mentari dari celah gorden. Tak lama pintu berderit, terbuka. "Makanannya belum habis?" Galang bertanya sembari duduk di sofa. Nima menoleh sekilas. "Ini lagi dimakan," jawabnya. Mereka terdiam. Galan
Esoknya Nima sudah agak membaik. Dia sudah bisa beraktivitas seperti biasa meskipun dilarang keras oleh Galang. "Lo itu belum sembuh total," kata Galang saat Nima tak mau mendengarkan. "Gue udah sembuh, nggak percayaan banget sih." Galang menatap tajam Nima, dalam tatapannya meminta cewek di depannya untuk masuk ke kamar. "Lo boleh beraktivitas mulai besok. Hari ini no. Jangan coba-coba bandel." Nima mengentakkan kaki lantas membanting kuat pintu kamar. Padahal dia baru saja keluar kamar, sayangnya di waktu yang tidak tepat. Galang tersentak mendengar bunyi tamparan pintu, dia menahan emosi. Nima yang asli mulai kembali, beda dengan saat masih sakit yang sangat penurut. Tak lama ponsel berdering. Di layar terpampang nama mamanya. Galang mengernyit bingung, ada apa? "Kamu ini mau jadi anak durhaka, ya!" Galang menjauhkan ponsel dari telinga begitu suara cempreng itu menggelegar. Padahal dia baru saja mengangkat panggilan. Mamanya malah
Pernikahan yang hambar. Nima mulai merasakannya akhir-akhir ini. Ketika Galang kembali sibuk sendiri dengan bisnisnya. Membiarkannya sendiri di rumah, seolah-olah hanya sebagai istri pajangan. "Gue capek, Lang," keluh Nima bermonolog. Gadis berjilbab biru itu menatap sendu langit dari balkon. Kesehariannya lebih banyak dihabiskan di sana. Pekerjaan rumah telah dilakukan pembantu. Meski begitu dia tetap bagian memasak yang sayangnya tidak pernah disentuh atau bahkan dicicipi Galang. Pria berbibir tipis itu seperti menjadikan rumah hanya tempat singgah untuk istirahat. Tidak lebih dari itu."Udah gue duga kalau rumah ini sangkar emas. Luarnya doang yang cakep," ujar Nima lagi. Menghela napas. Teringat saat pagi tadi mengajak Galang sarapan yang malah tak mendapat respon berarti. Istri mana yang takkan sakit hati? Sekarang Nima sadar bahwa manusia memang tidak pernah puas. Selalu mengangungkan sesuatu yang tidak dia miliki, tapi setelah dimiliki malah mer