Brak!
Bantal yang dipegang Nima berhasil mendarat di wajah Galang. Sontak Galang memegangi wajahnya akibat timpukan itu. Dia meringis.
"Lo kenapa sih!" ketusnya.
Nima tadinya merasa bersalah, dia menggigit bibir dan cemas setelah memberi jarak dari Galang. Namun, dia berlagak seperti tak melakukan kesalahan. "Ya abisnya lo sok-sokan megang bahu gue. Kata siapa lo bisa megang-megang gue?"
Galang berdecak. Padahal dia hanya iseng ingin mengusili, tapi mood-nya berubah. Dia kemudian pindah posisi. Beranjak menuju ranjang di sisi kanan.
"Lang ... maaf gue nggak sengaja," cicit Nima saat Galang malah tak melakukan perlawanan.
"Gue capek, Nim. Sana tidur. Anyway gue butuh tidur di ranjang, badan gue pegel. Jadi jangan ada adegan nyuruh gue tidur di sofa dan lo juga nggak boleh tidur di sofa. Ranjang ini luas, gue jamin seratus persen nggak bakal nyentuh lo," kata Galang lantas merapatkan selimutnya. Mulai menutu
Di parkiran mal sebuah mobil merah baru saja berhenti. Dari dalam turunlah perempuan berhijab dengan wajah sumringah. Dari pintu kanan turun seorang pria yang baru saja menyematkan kacamata hitamnya. "Lo mau ke mal juga?" tanya pria itu atau sebut saja Galang. Wajahnya selalu saja sama di tiap kondisi, selalu tampan dan Nima tak bisa memungkiri itu. "Iyalah," jawab Nima merasa Aneh. Pertama, dia ke sini karena diajak Galang jalan-jalan. Kedua, seharusnya tak perlu ada pertanyaan konyol macam itu. Mereka pun bergegas ke dalam. Meski tidak bergandengan, Nima sudah merasa bersyukur. Galang adalah tipe laki-laki yang kadang hangat kadang dingin. Kadang begitu romantis, kadang malah terasa kasar. Jadi Nima setidaknya berterima kasih karena hari ini Galang menjadi orang baik. Mungkin efek "dipingit" jadinya dia bosan dan mendadak seperti suami baik yang mengajak jalan istrinya. "Lang, tungguin." Nima protes karena Galang berjalan lebih cepat di depannya. Galang malah tak repot-repot men
Malam ini masih sama, Nima tidur memunggungi Galang. Begitupun sebaliknya. Keduanya seperti orang asing yang tak sengaja terjebak di suatu ruangan. Padahal keduanya sudah suami istri. "Lang, lo emang punya pacar berapa sih?" Nima bertanya tanpa mengubah posisi. Dia yakin Galang belum tidur. Mereka belum lama makan malam bersama keluarga. Nima masih terbayang-bayang wanita cantik di mal tadi. Bisa-bisanya Galang mengajak wanita lain. Nima berpura-pura kuat, Galang tak tahu bahwa itu hanya kulit luar. Biar bagaimanapun Nima juga punya hati. Ah lelaki ini memang tak peka. "Nggak ada," jawab Galang enteng. "Terus yang di mal tadi apa? Nggak usah bohong lo. Lagian Sena kabur di hari pernikahan kalian karena dia ngeliat lo berduaan sama cewek lain." "Cuma mutualan. Nggak lebih. Lagian nggak semuanya tentang sex." "Gue penasaran, lo bakal tobat nggak sih?" Tak ada jawaban. Galang bahkan sering menanyakan itu pada diri sendiri. Seharusnya dia bisa tidur nyenyak, tapi pertanyaan Nima m
"Wah, Kak Nima cantik banget!" seru Gea takjub melihat kakak iparnya malam ini. Di ruang pengantin itu Nima tersipu malu. Dalam balutan gaun putih, dia merasa menjadi seperti ratu yang paling cantik. Sena yang juga ada di sana ikut mengangguk. "Gila sih ini. Untung aku udah minta nomor tukang make up-nya. Anyway, kamu emang udah cantik dari lahir sih, Nim." Dipuji Sena tambah membuat Nima tersipu. Dia yakin dia tak secantik itu, tapi manusia mana sih yang tidak kesulitan mengendalikan hati saat terlalu dipuji? Meski begitu Nima berusaha tetap down to the earth atau rendah hati. "Ihh abang nggak kalah ganteng! Omg ayo foto dulu! Ayo Kak Sena, kita foto mereka sebelum difotoin forografer!" Gea begitu girang melihat Galang yang datang memperbaiki dasinya yang sedikit miring. Gea menyeret Galang mendekat ke samping Nima. Galang tak banyak menolak. Meski wajahnya mengeluh karena disuruh pose ini-itu, dia tampak pasrah. Semalam keduanya diberi wejangan oleh nenek untuk menurut saja demi
Sepekan berlibur di Raja Ampat sangat berdampak pada hubungan Nima dan Galang. Keduanya begitu dekat hingga untuk kontak fisik pun tak lagi canggung dan Nima juga tak menolak seperti di awal-awal. Mereka hanya mencoba menikmati hari-hari sebagai pasangan. "Aku tahu bahagia ini nggak akan selamanya. Tapi, Lang, jujur aku takut kehilangan kamu." batin Nima saat menatap Galang yang sedang asyik menunggu pancingannya bergetar. Waktu itu mereka sedang di sampan. Nima ikut bersama Galang. Selama sepekan mereka selalu dipaksa melakukan apa pun berdua. Di mana ada Galang, di situ ada Nima. Ini merupakan ide Gia yang tentu didukung penuh oleh semua. Mereka senang hubungan Nima dan Galang menjadi dekat. Saat malam hari, Nima selalu berusaha meredam tangisnya agar tidak terdengar. Rasanya campur aduk. Dia bahagia tapi juga takut ke depannya akan seperti apa. Dia juga merasa bersalah telah berpura-pura akur dengan Galang. Mereka pikir ketika Galang dan dia selalu masuk ke cottege lebih awal ad
Rutinitas baru Nima yang sering ke panti membuatnya pulang ke rumah membawa sejuta penat. Bahkan sampai membuatnya lupa pada kebiasaan menunggui Galang. Lagipula pria itu sudah jarang sekali di rumah.Mbak Rini pernah bilang bahwa akhir-akhir ini Galang tampak stress. Sebagai art yang sudah bekerja lama, tentu Mbak Rini bisa mengidentifikasi itu dari gelagat Galang yang bahkan tidak akan bicara satu kata pun dan meminta siapapun untuk tidak bicara padanya"Pantes pesan-pesan gue nggak ada satupun yang dibales," batin Nima. Sebenarnya stress atau tidaknya Galang, membalas pesan adalah hal yang tidak pernah dia lakukan.Meski dalam hatinya khawatir, Nima juga merasa tidak bisa melakukan apa pun karena suaminya yang super duper sibuk itu bahkan tak memberinya celah untuk membantu.Jadilah Nima tetap melakukan rutinitasnya hingga suatu sore dia mendapat telepon dari mama mertuanya."Halo, Nim, Galang udah pulang ke rumah?""Ini Nima
Ramai adalah kata yang tepat untuk mendeskripsikan suasana di kediaman keluarga Nuraga. Para tamu mulai berdatangan dengan senyum di wajah. Dekorasi di rumah yang bergaya perumahan itu tampak indah. Nuansanya hijau dan putih. Para panitia pernikahan sedang sibuk wara-wiri demi memastikan acaranya berjalan lancar tanpa kurang apa pun. Itu semua membuat Nima tersenyum. Dia sedang mengamati. Gadis berkebaya putih dengan jilbab berwarna senada itu begitu gembira. Bagaimana tidak, hari ini sepupunya--Sena--akan menikah. Manalagi Sena akan menikahi pria kaya yang tentu saja akan membuat kehidupannya terjamin. Nima tersenyum. Meski begitu ada rasa sedih karena tak lama lagi dia dan Sena akan berpisah. Tak ada lagi teman sebaya yang akan saling mencurahkan hati dengannya. Terlebih Sena anak tunggal yang otomatis kepergiannya akan membuat rumah sepi. Mereka berasal dari keluarga sederhana. Nima anak broken home yang sejak SMA tinggal di rumah Sena. Papa mereka
Nima terdiam. Dia berpikir. Jika menolak tawaran itu, maka bisnis keluarga Nuraga akan disita. Dia tidak bisa diam saja. Lagipula om dan tantenya selama ini selalu baik, jadi dia harus membantu mereka sekarang. "Tapi masa depan lo taruhannya, Nim. Lo mau bernasib sama kayak mama papa yang cerai?" ujar batinnya. Lama Nima terdiam, bergelut dengan diri sendiri. Dia harus memilih keputusan yang mana? Dia sampai memilin kuat kebayanya, dilema. "Nggak bisa. Nima itu bukan anak kandung saya, jadi dia tidak bisa seenaknya diajak masuk dalam urusan ini," kata Papa Sena. Dia menolak keras. Meskipun dia sudah menganggap Nima sebagai anak sendiri, tapi dalam kasus ini dia terpaksa mengatakan kalimat itu. Demi menyelamatkan keponakannya. Nima menggigit bibir. Dia mengerti maksud om-nya itu. Lihatlah, bahkan sampai detik ini mereka tetap melindunginya. Nima jadi terharu. Dari situlah dia memantapkan keputusan. Jika keluarga Sena mampu melakukan segala hal demi dia
Setelah menikah, Nima dibawa ke rumah Galang. Mereka tidak semobil, Galang sudah pergi terlebih dahulu. Entah ke mana, Nima tak tahu dan tak mau tahu. Dia sedari tadi menatap tajam supir yang berkacamata hitam. Gayanya benar-benar mengintimidasi. Nima tidak takut dengannya, dia hanya was-was dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. Takutnya orang berekspresi datar itu akan menculiknya. Sejak kecil dia sudah diajarkan untuk tidak percaya pada orang asing. Makanya saat si supir ini datang saat sore di rumah, Nima tidak bisa percaya begitu saja bahwa dia adalah orang suruhan Galang. Namun, karena tidak enak pada om dan tantenya, Nima berusaha percaya. Katanya supir ini akan membawanya ke rumah Galang. Berbicara mengenai lelaki itu, Nima benar-benar kesal dengannya. Setelah mereka bertengkar di kamar, Galang pergi bahkan tak memberi tahu hendak ke mana. Tidak juga berpamitan pada om dan tante. Memang Nima tahu dia laki-laki yang kasar, tapi setidaknya menghormat