Ramai adalah kata yang tepat untuk mendeskripsikan suasana di kediaman keluarga Nuraga. Para tamu mulai berdatangan dengan senyum di wajah.
Dekorasi di rumah yang bergaya perumahan itu tampak indah. Nuansanya hijau dan putih. Para panitia pernikahan sedang sibuk wara-wiri demi memastikan acaranya berjalan lancar tanpa kurang apa pun.Itu semua membuat Nima tersenyum. Dia sedang mengamati. Gadis berkebaya putih dengan jilbab berwarna senada itu begitu gembira. Bagaimana tidak, hari ini sepupunya--Sena--akan menikah. Manalagi Sena akan menikahi pria kaya yang tentu saja akan membuat kehidupannya terjamin.Nima tersenyum. Meski begitu ada rasa sedih karena tak lama lagi dia dan Sena akan berpisah. Tak ada lagi teman sebaya yang akan saling mencurahkan hati dengannya. Terlebih Sena anak tunggal yang otomatis kepergiannya akan membuat rumah sepi.Mereka berasal dari keluarga sederhana. Nima anak broken home yang sejak SMA tinggal di rumah Sena. Papa mereka bersaudara kandung. Kalau saja papanya Nima masih hidup, mungkin dia tidak perlu menumpang di rumah Sena. Meski begitu, keluarga kecil Nuraga itu merawatnya dengan kasih sayang. Tidak pernah pilih kasih."Shtt, Nim!" Terdengar seseorang memanggil. Nima menoleh. Dilihatnya Sena memanggil dari balik pintu kamar. Wajahnya tampak cemas. Buru-buru Nima menghampiri dengan perasaan khawatir.Sena langsung menutup pintu begitu Nima masuk. Kalau saja Sena sedang tidak berekspresi panik, tentu saja Nima akan memuji penampilannya. Bersanggulkan konde dengan paduan kebaya yang melekat pas di badan. Terlebih Sena punya tubuh yang ideal, berbanding terbalik dengan Nima yang kurus dan pendek."Bentar lagi calonmu bakal nyampe, Na," ujar Nima dengan ekspresi bingung, "tapi kenapa kamu malah panik? Butuh sesuatu?"Sena menggeleng. Dia melirik pintu, berharap tidak akan ada orang yang membuka dan mendengar apa yang akan dia sampaikan. Dia pun berujar pelan. "Bantu aku lari, please. "Nima melotot kaget. Dia menggeleng kuat. "Nggak! Kamu gila, ya, Na?""Please, Nim, bantuin." Sena memohon dengan wajah kalut."Aku ulangin kalau kamu lupa, Na. Orang yang mau nikahin kamu itu laki-laki kaya. Dia orang yang baik-baik. Bahkan jatuh cinta pandang pertama sama kamu," tegas Nima."Tapi aku nggak mau," sela Sena."Dengar, kamu memang nikah karena terpaksa. Tapi coba pikirin lagi, hidup kamu bakal bahagia. Nggak tersiksa karena calon suamimu itu udah cinta sama kamu." Nima tetap berusaha meyakinkan.Sena masih menggeleng meski berulang kali diyakinkan oleh Nima. Dia tidak mencintai Galang, nama pria tersebut. Karena keadaan yang sulit, papanya terpaksa meminjam uang pada Galang demi menopang bisnis rumah makan keluarga yang hampir bangkrut. Namun, bisnis itu belum berkembang pesat sementara tenggat waktu pembayaran utang sudah dekat.Galang datang menagih, dan dia jatuh cinta pandang pertama pada Sena. Maka dia pun memberi solusi. Utang akan dianggap lunas jika Sena mau menikah dengannya. Terpaksa itu harus disetujui.Namun, sekarang Sena tak bisa lagi menahan rasa muaknya. Dia tidak menyukai Galang. Jadi dia ingin melarikan diri.Sena menggeleng kuat, "Aku nggak bisa, Nim. Sekalipun dia kaya dan cinta, itu bukan jaminan aku bisa bahagia. Aku nggak ada rasa, udah cinta ke orang lain."Nima memejamkan mata, mendadak merasa pening. Apalagi wajah Sena begitu menyedihkan. Air matanya sudah membanjiri. Beberapa riasan sudah acak-kadut."Nim, dengar. Kamu tega ngeliat aku nikah nggak bahagia? Please!" desak Sena memohon.Nima kacau. Dia menggigit jari. Mondar-mandir di kamar tidak tahu harus berbuat apa. Dia pun menatap sepupunya itu. "Bentar, Na. Aku panggilin tante, ya. Kita diskusi dulu."Tanpa mau dicegah Nima segera keluar kamar. Masalahnya dia tak bisa mengambil keputusan sepihak. Dia pun mendatangi mama dan papa Sena yang sedang mengobrol dengan tamu."Tan, Sena nggak pengen nikah," bisik Nima.Sontak Mama Sena terkejut. Dia melotot. Nima tak menjelaskan lebih, malah langsung mengajak ke kamar. Papa Sena yang tak tahu apa yang terjadi mengikuti dari belakang.Naasnya begitu sampai di kamar mereka tak mendapati Sena. Nima langsung panik dan mencari ke segala sisi ruang, tapi tak ditemukan. Dia sudah panik, lututnya gemetar. Bahkan jantungnya sudah berdebar kencang."Ini ada apa? Sena mana?" tanya Papa Sena.Nima berhenti mencari. Dia menggigit jari. Menatap om dan tantenya itu dengan rasa cemas."Tadi Sena bilang dia nggak pengen nikah, Om, Tan. Terus katanya mau lari. Udah aku cegah. Aku berniat ngajak Om dan Tante supaya Sena bisa bicara baik-baik. Tapi kok ini kamarnya kosong? Itu jendelanya kebuka. Kayaknya Sena udah lari," jujur Nima begitu gugup."Apa!" Om dan Tante terkejut. Sontak mengecek jendela. Di bawah sana ada high heelsnya Sena. Hanya sebelah kiri, sepertinya tertinggal saat dia buru-buru lari. Di lain sisi Nima melihat secarik kertas di meja rias. Dia membacanya.[Ma, Pa, Nim, maaf aku milih pergi. Aku nggak akan bahagia dengan pernikahan ini. Mohon maklumi keputusanku. Tolong untuk sementara waktu jangan kejar aku. Kalau sampai tetap dipaksa menikah, aku lebih baik mati.]Nima langsung beristighfar. Tangannya gemetaran. Langsung memperlihatkan secarik kertas itu pada om dan tantenya.Papa Sena langsung menjambak rambut klimisnya. Sebenarnya dia juga tidak ingin memaksa anaknya menikah. Namun, itu jalan satu-satunya demi menyelamatkan bisnis keluarga yang akan disita jika utang tidak dibayarkan.Mama Sena perlahan mundur dan terduduk di ranjang. Menangis yang berusaha diredam dengan menutup tangan di mulut. Nima mencoba menenangkan. Jangan sampai kekacauan itu diketahui orang lain.Begitu pengantin laki-laki tiba, semua bersuka cita menyambut. Papa Sena benar-benar tidak tenang. Dia terpaksa tersenyum, dalam pikiran bingung apa yang akan dia utarakan pada Galang.Akhirnya dia pun mengajak Galang ke kamar pengantin. Di sana ada Mama Sena yang masih berusaha ditenangkan oleh Nima."Ada apa ini?" heran Galang saat mendapati orang menangis, "di mana mempelaiku?"Papa Sena kesulitan mengatur kalimat. Galang menatap tajam. Melihat gelagat itu dia sudah bisa menebak keadaan. "Jangan bilang dia lari?"Suara tangisan Mama Sena makin mengeras mendengarnya. Papa Sena berusaha menjelaskan. Sementara Galang langsung marah. Dia merupakan pria berdarah panas. Tempramental."Tak berguna! Kenapa malah lari! Keluarga kalian ingin mempermalukanku?" Nada suaranya membentak. Beberapa urat di wajahnya muncul.Nima langsung melirik. Dia tak suka saat om-nya dibentak seperti itu. Dia pun menghampiri. "Heh, jaga omongan lo! Lo lagi ngomong sama orang tua. Seenaknya aja nuduh."
Galang tersenyum miring. "Lo pikir lo siapa berani-beraninya ngomong gitu?""Emang kenapa? Gue nggak suka ya lo bentak om gue. Gue bener-bener bersyukur Sena lari. Seenggaknya dia nggak nikah sama cowok brengs*k macam lo!" seru Nima dengan wajah tak kalah tegas. Kali ini Nima terpancing. Dia bukan perempuan yang lemah dan bisa ditindas seenaknya. Dia akan melawan. Sementara itu Papa Sena berusaha menenangkannya. "Udah, Nim. Ini urusan Om.""Nggak bisa gitu, Om. Laki-laki kasar ini harus dikasih pelajaran biar nggak ngomong seenaknya." Nima bersikeras.Papa Sena memijit pelipis lantas menyuruh istrinya mengajak Nima keluar kamar. Kebetulan istrinya sudah terdiam karena menyaksikan hal tersebut.Papa Sena berusaha memikirkan solusi. Sementara Nima sudah di ambang pintu. Mereka tidak jadi keluar karena tiba-tiba Galang bersuara."Buatlah gadis kurang ajar itu sebagai pengganti mempelainya," kata Galang menatap Papa Sena. Dia mengeluarkan smirk-nya.Nima terdiam. Dia berpikir. Jika menolak tawaran itu, maka bisnis keluarga Nuraga akan disita. Dia tidak bisa diam saja. Lagipula om dan tantenya selama ini selalu baik, jadi dia harus membantu mereka sekarang. "Tapi masa depan lo taruhannya, Nim. Lo mau bernasib sama kayak mama papa yang cerai?" ujar batinnya. Lama Nima terdiam, bergelut dengan diri sendiri. Dia harus memilih keputusan yang mana? Dia sampai memilin kuat kebayanya, dilema. "Nggak bisa. Nima itu bukan anak kandung saya, jadi dia tidak bisa seenaknya diajak masuk dalam urusan ini," kata Papa Sena. Dia menolak keras. Meskipun dia sudah menganggap Nima sebagai anak sendiri, tapi dalam kasus ini dia terpaksa mengatakan kalimat itu. Demi menyelamatkan keponakannya. Nima menggigit bibir. Dia mengerti maksud om-nya itu. Lihatlah, bahkan sampai detik ini mereka tetap melindunginya. Nima jadi terharu. Dari situlah dia memantapkan keputusan. Jika keluarga Sena mampu melakukan segala hal demi dia
Setelah menikah, Nima dibawa ke rumah Galang. Mereka tidak semobil, Galang sudah pergi terlebih dahulu. Entah ke mana, Nima tak tahu dan tak mau tahu. Dia sedari tadi menatap tajam supir yang berkacamata hitam. Gayanya benar-benar mengintimidasi. Nima tidak takut dengannya, dia hanya was-was dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. Takutnya orang berekspresi datar itu akan menculiknya. Sejak kecil dia sudah diajarkan untuk tidak percaya pada orang asing. Makanya saat si supir ini datang saat sore di rumah, Nima tidak bisa percaya begitu saja bahwa dia adalah orang suruhan Galang. Namun, karena tidak enak pada om dan tantenya, Nima berusaha percaya. Katanya supir ini akan membawanya ke rumah Galang. Berbicara mengenai lelaki itu, Nima benar-benar kesal dengannya. Setelah mereka bertengkar di kamar, Galang pergi bahkan tak memberi tahu hendak ke mana. Tidak juga berpamitan pada om dan tante. Memang Nima tahu dia laki-laki yang kasar, tapi setidaknya menghormat
"Lo pengen mati?" Nima menjawab sinis. Tak sekali pun terintimidasi dengan tatapan Galang. Lelaki itu sedikit terkejut. Biasanya para perempuan dengan senang melemparkan diri padanya bahkan tanpa diminta. Namun, perempuan yang berstatus istrinya ini berbeda. Untuk pertama kalinya Galang ditolak. Mungkinkah itu karena perempuan itu lebih agamis? Galang tertantang. Dia tersenyum miring. Segala penatnya menghilang. Sepertinya memberi pelajaran pada perempuan yang tidak bisa bersikap baik padanya itu perlu. Nima melotot saat Galang melangkah maju, tapi terjeda. Dengan masih menatapnya, Galang mundur lantas menutup pintu. Menguncinya. Baru saat itulah Nima merasa dalam bahaya. Dia memang bisa melawan laki-laki, tapi tentunya tenaganya tak cukup kuat. Dia menggeleng. "Mundur! Jangan macam-macam!" Galang tersenyum miring. Dia seperti mendapat jackpot mengetahui kelemahan Nima. Hingga Nima sudah tersandar di tembok. Tidak ada lagi pilihan lain. Galang
Nima benar-benar tidak menyangka Galang akan melakukan ini padanya. Meliburkan para pekerja dan menimpakan seluruh pekerjaan rumah padanya. Sebenarnya Nima tidak masalah, hanya saja melihat betapa besarnya rumah ini, itu seperti mustahil bisa dibersihkan seorang diri. "Gila ya tu orang!" kesalnya. Apa selama sebulan dia hanya akan membuat tulangnya patah? Bukankah lucu kalau dia punya keluhan rematik di usia muda? Nima tak menyangka Galang akan setega itu. Dalam hatinya dia terus marah-marah sambil membuat sarapan. Sementara para pembantu sudah berkemas dan pergi. Rumah menjadi sepi. Nima merasa kosong. "Ini nih ciri khas rumah besar. Yang tinggal di dalamnya dikit. Sebenarnya definisi bahagia itu nggak tepat buat orang yang kalau punya rumah mewah, tapi terasa hampa," batin Nima.Setelahnya dia pun meletakkan sarapan di meja. Dilihatnya Galang baru saja datang. Tubuhnya berkeringat. Jangan harap Nima mau berbasa-basi. Mereka hanya saling menat
Pagi yang indah. Nima terbangun oleh terik mentari yang menerobos kisi-kisi jendela. Rasanya semalam dia tidur begitu nyenyak. Pelan-pelan kelopak matanya menyesuaikan dengan cahaya. Seketika matanya menyipit. Sejak kapan gorden di kamarnya berwarna hitam? Bukannya biru? Nima pun bangun, masih mengucek mata sambil mengedarkan pandangan. Hingga matanya terhenti pada seseorang yang duduk di sofa, mengangkat kaki sambil menghadapnya. "Galang?" beo Nima yang sedetik kemudian shock, langsung mengecek tubuhnya. Dia kaget bahkan sedikit terlonjak ke belakang. Untung saja dia masih mengenakan pakaian lengkap. Tidak kurang satu apa pun. Jantungnya berdebar was-was. Nima masih bingung, bukannya semalam dia tidur di rumah Sena? Atau itu hanya mimpi? Tidak mungkin. "Lo ngapain di sini?" sinis Nima setelah menetralkan kekagetannya. "Ini kamar gue," kata Galang.Nima mendesis. Pantas saja ruangan bernuansa monokrom ini tampak asing, ternyata
"Heh, ngapain lo ngikut?" tanya Galang.Langkah Nima terhenti tepat di pintu kamar Galang yang mencegatnya masuk. "Katanya ngungsi." "Keluarga gue nggak jadi nginap. Balik sana. Gue mau beresin jejak lo di kamar ini." Galang menatapnya datar.Brak! Jilbab Nima tertampar angin bekas bantingan pintu Galang. Laki-laki itu bahkan tak menunggu Nima untuk membalas sedikit ucapannya. Nima tertawa singkat. Tak habis pikir. Galang kira dia mau berdekatan dengannya? Big no! Lagipula kenapa Nima harus sepolos ini dan menurut segala maunya? Konyol! "Untung kamu sadar duluan, Nim," gumamnya lantas menendang pintu kamar Galang. Setelah itu bergegas ke bawah. Ingin makan sekaligus membersihkan meja yang penuh makanan. Tadi keluarga Galang memesan fast food karena di rumah tak ada persediaan. Terlebih tak ada pembantu. Nima hanya menut saja. Tadi dia hanya makan sedikit guna menjaga citranya. Alhasil sekarang merasa lapar. Untung masih ada sisa
"Jadi mama nggak bakal datang?"Galang menghampiri Nima dengan wajah sangarnya. Siapa juga yang tidak akan marah jika ada di posisinya? "Dasar anak manja. Pasti cewek yang lo kencanin ngakak liat lo lari-lari." Nima kembali terbahak. Rahang Galang mengeras, tangannya mengepal. Dia menyugar rambutnya dengan ekspresi kesal. Sangat. Tanpa ba-bi-bu dia bergegas ke depan, tapi langkahnya ditahan. "Nggak guna marahin supir lo karena gue yang nyuruh dia ngirim pesan itu. Lumayan, kita seri." Nima menaik-turunkan alisnya.Galang berkacak pinggang, menahan emosi yang hampir meledak. "Bener-bener ya lo!" Nima terus tertawa. Galang berdecih lantas mendekati meja makan. Melonggarkan dasinya dan meneguk segelas air. Tubuhnya sudah berkeringat. Tampilannya bahkan jauh dari kata rapi. "Nim, lo pikir yang lo lakuin tadi lucu apa?" kesalnya. Tawa Nima terhenti. Dia menatap balik. "Emang nggak lucu, ya?" Nima menatapnya polos lantas sedetik kemudi
Pukul sembilan Nima sudah selesai berberes rumah. Bahkan sekarang dia sudah rapi. Rencananya akan ke rumah Sena. Hari ini akad pernikahan sepupunya itu. Tak terasa sebulan telah berlalu.Dia meraih ponsel, mengirim pesan pada Galang. Well, sejak kejadian Galang pulang pagi mereka saling tak acuh. Nima masih kecewa dan Galang juga tampak tak peduli. Meski begitu Nima tetap menghargai Galang sebagai suaminya. [Assalamualaikum. Lang gue mau ke rumah Om Nadir. Pulangnya nanti malem.] Setelahnya Nima menghela napas. Segera keluar dari rumah besar itu. Nima memilih naik taksi, tak mau diantar. Sesampainya di rumah Sena, kesibukan mulai terlihat. Acaranya sore ini, jadi orang-orang sibuk mempersiapkan. Mendadak Nima teringat hari pernikahannya. "Konyol, ngapain ingat momen di mana gue cuma jadi pengganti?" gumam Nima tertawa mengejek pada dirinya. "Eh Nima? Kamu ini ditungguin dari kemarin malah datangnya hari ini." Sinta yang kebetulan meliha