Nima, seorang perempuan yang hidup sederhana bercita-cita menikahi pria kaya. Kesempatan itu datang saat Sena--sepupunya--lari di hari pernikahannya dengan Galang. Demi menjaga nama baik keluarga, Nima akhirnya mau menjadi pengantin pengganti. Terlebih Galang adalah pria kaya sesuai tipenya. Dia tahu Galang tidak mencintainya, tapi baginya menikah tanpa cinta itu lebih baik. Seiring berjalannya waktu, tanpa disangka Nima mulai jatuh hati. Namun, mereka sudah sepakat bahwa mereka akan bercerai. Bisakah Nima melepaskan semua perasaannya?
Lihat lebih banyakRutinitas baru Nima yang sering ke panti membuatnya pulang ke rumah membawa sejuta penat. Bahkan sampai membuatnya lupa pada kebiasaan menunggui Galang. Lagipula pria itu sudah jarang sekali di rumah.Mbak Rini pernah bilang bahwa akhir-akhir ini Galang tampak stress. Sebagai art yang sudah bekerja lama, tentu Mbak Rini bisa mengidentifikasi itu dari gelagat Galang yang bahkan tidak akan bicara satu kata pun dan meminta siapapun untuk tidak bicara padanya"Pantes pesan-pesan gue nggak ada satupun yang dibales," batin Nima. Sebenarnya stress atau tidaknya Galang, membalas pesan adalah hal yang tidak pernah dia lakukan.Meski dalam hatinya khawatir, Nima juga merasa tidak bisa melakukan apa pun karena suaminya yang super duper sibuk itu bahkan tak memberinya celah untuk membantu.Jadilah Nima tetap melakukan rutinitasnya hingga suatu sore dia mendapat telepon dari mama mertuanya."Halo, Nim, Galang udah pulang ke rumah?""Ini Nima
Sepekan berlibur di Raja Ampat sangat berdampak pada hubungan Nima dan Galang. Keduanya begitu dekat hingga untuk kontak fisik pun tak lagi canggung dan Nima juga tak menolak seperti di awal-awal. Mereka hanya mencoba menikmati hari-hari sebagai pasangan. "Aku tahu bahagia ini nggak akan selamanya. Tapi, Lang, jujur aku takut kehilangan kamu." batin Nima saat menatap Galang yang sedang asyik menunggu pancingannya bergetar. Waktu itu mereka sedang di sampan. Nima ikut bersama Galang. Selama sepekan mereka selalu dipaksa melakukan apa pun berdua. Di mana ada Galang, di situ ada Nima. Ini merupakan ide Gia yang tentu didukung penuh oleh semua. Mereka senang hubungan Nima dan Galang menjadi dekat. Saat malam hari, Nima selalu berusaha meredam tangisnya agar tidak terdengar. Rasanya campur aduk. Dia bahagia tapi juga takut ke depannya akan seperti apa. Dia juga merasa bersalah telah berpura-pura akur dengan Galang. Mereka pikir ketika Galang dan dia selalu masuk ke cottege lebih awal ad
"Wah, Kak Nima cantik banget!" seru Gea takjub melihat kakak iparnya malam ini. Di ruang pengantin itu Nima tersipu malu. Dalam balutan gaun putih, dia merasa menjadi seperti ratu yang paling cantik. Sena yang juga ada di sana ikut mengangguk. "Gila sih ini. Untung aku udah minta nomor tukang make up-nya. Anyway, kamu emang udah cantik dari lahir sih, Nim." Dipuji Sena tambah membuat Nima tersipu. Dia yakin dia tak secantik itu, tapi manusia mana sih yang tidak kesulitan mengendalikan hati saat terlalu dipuji? Meski begitu Nima berusaha tetap down to the earth atau rendah hati. "Ihh abang nggak kalah ganteng! Omg ayo foto dulu! Ayo Kak Sena, kita foto mereka sebelum difotoin forografer!" Gea begitu girang melihat Galang yang datang memperbaiki dasinya yang sedikit miring. Gea menyeret Galang mendekat ke samping Nima. Galang tak banyak menolak. Meski wajahnya mengeluh karena disuruh pose ini-itu, dia tampak pasrah. Semalam keduanya diberi wejangan oleh nenek untuk menurut saja demi
Malam ini masih sama, Nima tidur memunggungi Galang. Begitupun sebaliknya. Keduanya seperti orang asing yang tak sengaja terjebak di suatu ruangan. Padahal keduanya sudah suami istri. "Lang, lo emang punya pacar berapa sih?" Nima bertanya tanpa mengubah posisi. Dia yakin Galang belum tidur. Mereka belum lama makan malam bersama keluarga. Nima masih terbayang-bayang wanita cantik di mal tadi. Bisa-bisanya Galang mengajak wanita lain. Nima berpura-pura kuat, Galang tak tahu bahwa itu hanya kulit luar. Biar bagaimanapun Nima juga punya hati. Ah lelaki ini memang tak peka. "Nggak ada," jawab Galang enteng. "Terus yang di mal tadi apa? Nggak usah bohong lo. Lagian Sena kabur di hari pernikahan kalian karena dia ngeliat lo berduaan sama cewek lain." "Cuma mutualan. Nggak lebih. Lagian nggak semuanya tentang sex." "Gue penasaran, lo bakal tobat nggak sih?" Tak ada jawaban. Galang bahkan sering menanyakan itu pada diri sendiri. Seharusnya dia bisa tidur nyenyak, tapi pertanyaan Nima m
Di parkiran mal sebuah mobil merah baru saja berhenti. Dari dalam turunlah perempuan berhijab dengan wajah sumringah. Dari pintu kanan turun seorang pria yang baru saja menyematkan kacamata hitamnya. "Lo mau ke mal juga?" tanya pria itu atau sebut saja Galang. Wajahnya selalu saja sama di tiap kondisi, selalu tampan dan Nima tak bisa memungkiri itu. "Iyalah," jawab Nima merasa Aneh. Pertama, dia ke sini karena diajak Galang jalan-jalan. Kedua, seharusnya tak perlu ada pertanyaan konyol macam itu. Mereka pun bergegas ke dalam. Meski tidak bergandengan, Nima sudah merasa bersyukur. Galang adalah tipe laki-laki yang kadang hangat kadang dingin. Kadang begitu romantis, kadang malah terasa kasar. Jadi Nima setidaknya berterima kasih karena hari ini Galang menjadi orang baik. Mungkin efek "dipingit" jadinya dia bosan dan mendadak seperti suami baik yang mengajak jalan istrinya. "Lang, tungguin." Nima protes karena Galang berjalan lebih cepat di depannya. Galang malah tak repot-repot men
Brak!Bantal yang dipegang Nima berhasil mendarat di wajah Galang. Sontak Galang memegangi wajahnya akibat timpukan itu. Dia meringis."Lo kenapa sih!" ketusnya.Nima tadinya merasa bersalah, dia menggigit bibir dan cemas setelah memberi jarak dari Galang. Namun, dia berlagak seperti tak melakukan kesalahan. "Ya abisnya lo sok-sokan megang bahu gue. Kata siapa lo bisa megang-megang gue?"Galang berdecak. Padahal dia hanya iseng ingin mengusili, tapi mood-nya berubah. Dia kemudian pindah posisi. Beranjak menuju ranjang di sisi kanan."Lang ... maaf gue nggak sengaja," cicit Nima saat Galang malah tak melakukan perlawanan."Gue capek, Nim. Sana tidur. Anyway gue butuh tidur di ranjang, badan gue pegel. Jadi jangan ada adegan nyuruh gue tidur di sofa dan lo juga nggak boleh tidur di sofa. Ranjang ini luas, gue jamin seratus persen nggak bakal nyentuh lo," kata Galang lantas merapatkan selimutnya. Mulai menutu
"Aaa Kak Nima ... Gea kangen banget!" Gadis berambut sebahu buru-buru memeluk Nima begitu Nima baru saja tiba di kediaman mereka.Nima menyambut hangat pelukan itu. Well, hubungannya dengan Galang memang masih stuck di kata musuh, tapi hubungannya dengan keluarganya sangat harmonis. Galang beruntung lahir dan besar di keluarga yang hangat dan Nima bersyukur bisa ikut merasakan keberuntungan itu. Bisa dibilang pernikahan mereka juga membawa berkah."Mama mana, Ge?" tanya Nima. Mereka berjalan menuju sofa.Gea menunjuk dapur. "Ada di dapur, Kak. Katanya mau masak makanan spesial karena abang sama Kakak bakal dateng."Nima terkekeh, sebegitu antusias mertuanya menyambut kedatangan mereka."Eh tapi abang mana, Kak? Kirain Kakak dateng bareng sama Abang. Kok orangnya nggak muncul-muncul?"Nima ikut memandangi arah pintu, agak sedih, tapi bergegas dia samarkan. Galang bahkan semalam tak pulang, bagaimana bisa dia menyampaikan
"Lo kapan pulang, sih, Lang?" beo Nima termangu di balkon seorang diri. Lagi dan lagi, ada rindu yang membuncah yang tak bisa dia sampaikan. Wajahnya menatap kecut ponsel yang tergeletak di atas meja. Zaman sudah canggih, tapi Galang bahkan tak tahu cara mengiriminya pesan. Atau memang tak berniat? Bahkan dua pesan terakhir Nima tak mendapat balasan. "Jadi cewek gampang baper, sih. Udah tahu dia nggak pake hati, kenapa lo sok-sokan baper." Nima merutuki diri sendiri. "Abisnya dia nunjukin sisi lainnya. Gue kan paling cepet respect sama orang. Terus bisa cepet paham kepribadian orang. Apalagi dia baik banget sama gue." Tak lama Nima tertawa. Dia yang berbicara, dia pula yang menyahut. Sudah seperti orang gila yang berbicara sendiri. Galang baik, tapi pada momen dan orang tertentu. Nima harusnya paham betul bahwa kata pernikahan cuma status itu memang senyata ucapan Galang. Dia sama sekali tak ingin Nima terlibat dalam urusan pribadinya. Kopi t
Pernikahan yang hambar. Nima mulai merasakannya akhir-akhir ini. Ketika Galang kembali sibuk sendiri dengan bisnisnya. Membiarkannya sendiri di rumah, seolah-olah hanya sebagai istri pajangan. "Gue capek, Lang," keluh Nima bermonolog. Gadis berjilbab biru itu menatap sendu langit dari balkon. Kesehariannya lebih banyak dihabiskan di sana. Pekerjaan rumah telah dilakukan pembantu. Meski begitu dia tetap bagian memasak yang sayangnya tidak pernah disentuh atau bahkan dicicipi Galang. Pria berbibir tipis itu seperti menjadikan rumah hanya tempat singgah untuk istirahat. Tidak lebih dari itu."Udah gue duga kalau rumah ini sangkar emas. Luarnya doang yang cakep," ujar Nima lagi. Menghela napas. Teringat saat pagi tadi mengajak Galang sarapan yang malah tak mendapat respon berarti. Istri mana yang takkan sakit hati? Sekarang Nima sadar bahwa manusia memang tidak pernah puas. Selalu mengangungkan sesuatu yang tidak dia miliki, tapi setelah dimiliki malah mer
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen