Nima benar-benar tidak menyangka Galang akan melakukan ini padanya. Meliburkan para pekerja dan menimpakan seluruh pekerjaan rumah padanya. Sebenarnya Nima tidak masalah, hanya saja melihat betapa besarnya rumah ini, itu seperti mustahil bisa dibersihkan seorang diri.
"Gila ya tu orang!" kesalnya.
Apa selama sebulan dia hanya akan membuat tulangnya patah? Bukankah lucu kalau dia punya keluhan rematik di usia muda? Nima tak menyangka Galang akan setega itu.
Dalam hatinya dia terus marah-marah sambil membuat sarapan. Sementara para pembantu sudah berkemas dan pergi. Rumah menjadi sepi. Nima merasa kosong."Ini nih ciri khas rumah besar. Yang tinggal di dalamnya dikit. Sebenarnya definisi bahagia itu nggak tepat buat orang yang kalau punya rumah mewah, tapi terasa hampa," batin Nima.
Setelahnya dia pun meletakkan sarapan di meja. Dilihatnya Galang baru saja datang. Tubuhnya berkeringat. Jangan harap Nima mau berbasa-basi. Mereka hanya saling menatap sebentar lantas memalingkan pandangan. Tak ada interaksi yang berarti.Nima memilih duduk di meja makan ketika Galang sudah beranjak ke atas. Menunggu Galang turun untuk sarapan. Namun, dia sudah makan terlebih dahulu. Peduli amat kalau Galang itu suaminya. Lelaki itu telah bersikap kasar, jadi dia tak pantas diperlakukan dengan baik-baik.Saat nasi goreng hampir tandas, terdengar langkah kaki menuruni undakan tangga. Nima menengok ke arah sana. Ada Galang yang sibuk membenarkan dasi. Sama sekali tak meliriknya, berlalu begitu saja."Galang, sarapan!" seru Nima."Gue udah sarapan di luar." Galang dengan entengnya berekspresi seperti tak melakukan kesalahan apa pun.Nima menggebrak meja. "Terus kenapa lo minta gue buatin sarapan? Hah?""Emang gue bilang kalau gue mau makan masakan buatan lo?" Kening Galang terangkat.Dia pergi setelah membuat hati Nima mendidih. Nima mengusap dada, mencoba menenangkan diri. Belum genap sehari di rumah itu tapi dia sudah seperti nenek sihir yang sering marah-marah. Dia rasa tensinya mulai naik."Sabar, Nima, sabar," gumamnya.Nima memilih membereskan segala pekerjaan rumah. Tak lama supir yang mengantarkannya kemarin datang. Memintanya untuk ikut pergi tanpa penjelasan. Nima protes, tapi lagi-lagi itu perintah Galang. Cowok brengs*k itu terlalu berkuasa.Nima sudah berpikir bahwa dia akan dibuang di tebing yang curam. Atau dibuang di tengah lautan. Nyatanya tidak. Ternyata mereka hanya melengkapi proses pengurusan dokumen pernikahan.Dalam hati Nima tertawa. "Buat apa gue repot-repot ngurus kalau akhirnya juga bakal cerai? Mending nggak ada bukti dokumen apa pun. Kertas-kertas bertanda tangan itu cuma bikin gue muak."Terlebih dia bertemu dengan Galang di sana. Semakin membuat Nima jengkel. Mereka menandatangi semua dokumen bahkan buku kecil berwarna berbeda. Buku nikah.
Jika orang lain merasa lega setelah mendapatkan benda itu, Nima malah sebaliknya. Merasa datar saja. Apalagi Galang malah melemparkan dokumen itu padanya saat mereka sudah di mobil."Gue nggak butuh ini," katanya."Kalau nggak butuh ngapain diurus? Gue juga nggak butuh!" Nima meledak-ledak. Mereka duduk di deretan kedua dengan jarak yang begitu jauh."Lo mau dicap jadi istri siri?" Ucapan itu membungkam Nima. Dia meremas kuat blazernya. Mencoba meredam segala emosi."Lagian lo harusnya bersyukur. Dari sekian banyak perempuan cuma lo yang akhirnya gue nikahin." Galang berkata tanpa menatapnya.
Nima tertawa. Galang menoleh bingung. "Gue nggak pernah ngarep bisa dinikahin sama lo. Jangan geer. Harusnya lo yang bersyukur karena gue mau nikah sama lo. Di dunia ini nggak ada cewek baik-baik yang mau nerima lo selain gue."
Galang mengepalkan tangan. Nima menatapnya dengan tatapan merendahkan. Membuat emosinya hampir meledak."Stop! Turunin dia di sini!" titah Galang. Mobil pun berhenti di dekat bahu jalan. Nima langsung menatap protes. "Nggak! Gue nggak mau. Enak aja lo!"
"Turun," titah Galang sekali lagi seraya menatap lurus ke depan.
Nima hampir saja ingin menghajar wajah arrogant itu. Meski tidak mau, dia akhirnya memilih turun. Membanting pintu mobil dengan keras lantas segera berjalan.
Segera mobil melaju membuat Nima mengentakkan kaki. Galang benar-benar meninggalkannya. Nima tahu posisinya sekarang di mana, dan jalan menuju rumah Galang itu masih sangat jauh. Manalagi dia tak membawa dompet. Kebetulan juga dia tak punya uang, di kartu kreditnya saldo sedang kosong.
Tak ada pilihan lain selain berjalan kaki. Nima mencoba menegarkan diri sendiri. Dia memutuskan berjalan kaki.
Tak terasa sudah ratusan meter lebih dia berjalan. Ada rasa lapar mendera. Sering tergoda dengan jajanan atau bahkan warung makan yang dia lewati. Namun, dia tak punya uang sepenser pun.
Nima pun memutuskan duduk di taman sejenak. Dia benar-benar lelah. Betisnya terasa kram. Belum lagi perutnya terus berbunyi keroncongan."Nima?"Mendengar seseorang memanggil namanya, Nima menoleh ke belakang. Didapatinya seorang gadis berambut pirang. "Sena? Ya ampun beruntung banget kita ketemu."Keduanya pun saling berpelukan. Agak lama bahkan sampai tak sadar saling meneteskan air mata."Kamu baik-baik aja apa disiksa sama tu orang, Nim?" tanya Sena setelah pelukan terurai.Nima menggeleng. "Baik-baik aja. Lagian baru sehari nikah, masa udah aneh-aneh, sih. Oh ya, kamu bawa uang nggak? Pinjem dulu, boleh? Dompetku ketinggalan.""Ya ampun, kebiasaan banget kamu, Nim. Dompet sering ditinggal. Ya udah aku traktir makan. Kita ke rumah makan depan sana." Sena menunjuk salah satu bangunan sederhana.Keduanya pun beranjak. Belum lama berpisah, tapi rasanya sudah banyak cerita yang belum mereka saling ceritakan."Eh, tapi kamu dari mana mau ke mana?" tanya Sena.Nima kebingungan menjawab. Mana bisa dia jujur. Seburuk apa pun Galang, laki-laki itu tetap suaminya. Cukup dia dan mungkin pekerja di rumah yang tahu kelakuan Galang. Dia tidak ingin menyebar keburukannya."Abis ngurus dokumen nikah. Ini mau pulang. Tapi aku lupa nomer supir dan nggak tahu nomornya Galang. Jadi ginilah aku." Nima mengangkat bahu."Astaga, jadi dari tadi kamu jalan kaki? Nim, nggak segitunya juga tahu. Kamu bisa nyewa taksi nanti tagihannya masukin ke rekening suamimu." Sena benar-benar terkejut.Nima baru terpikir itu. Namun, memilih mengabaikan. Sudah fokus menikmati nasi dan lalapan serta es teh. Perutnya akhirnya tertolong.Setelahnya Sena berniat mengantarkan Nima, tapi gadis itu memilih ke rumah om dan tantenya. "Aku mau istirahat dulu di rumah, Na. Nggak usah anter ke rumah Galang.""Okelah."
Mereka pun sampai di rumah. Kebetulan Papa Sena atau akrab disapa Om Nadir sedang di luar rumah, mengurus bisnis. Hanya ada Sinta di sana."Gimana pernikahanmu, Nim?" tanya Sinta.Buruk."Baik, Tan," jawab Nima berkebalikan dengan isi hatinya."Galang nggak nyiksa kamu, kan?" tanya Sinta lagi.Pelan-pelan Nima mengangguk. Lantas berusaha mengubah topik. Mulai membicarakan perkembangan bisnis keluarga dan rencana pernikahan Sena. Ternyata Sena berencana menikah sebulan lagi. Pacarnya akan datang esok dan melamarnya.Nima senang. Setidaknya Sena bisa bahagia. Obrolan itu terhenti saat siang hari. Mereka memilih istirahat. Nima kembali ke kamarnya. Mengabsen setiap sudut ruang yang sederhana itu. Ada kerinduan mendalam. Tak seperti di rumah Galang, mewah, tapi tak terasa menentramkan.Nima kemudian meraih ponselnya dari saku. Dia mengambil salah satu kertas di antara dokumen yang dibawanya, menyalin nomor Galang dari sana.[Ini Nima. Gue nggak pulang malam ini. Pengen have fun bareng seseorang.]
Sedetik kemudian dia tertawa kecil begitu pesan itu terkirim. Nima lantas menidurkan diri di ranjang kesayangannya.Pagi yang indah. Nima terbangun oleh terik mentari yang menerobos kisi-kisi jendela. Rasanya semalam dia tidur begitu nyenyak. Pelan-pelan kelopak matanya menyesuaikan dengan cahaya. Seketika matanya menyipit. Sejak kapan gorden di kamarnya berwarna hitam? Bukannya biru? Nima pun bangun, masih mengucek mata sambil mengedarkan pandangan. Hingga matanya terhenti pada seseorang yang duduk di sofa, mengangkat kaki sambil menghadapnya. "Galang?" beo Nima yang sedetik kemudian shock, langsung mengecek tubuhnya. Dia kaget bahkan sedikit terlonjak ke belakang. Untung saja dia masih mengenakan pakaian lengkap. Tidak kurang satu apa pun. Jantungnya berdebar was-was. Nima masih bingung, bukannya semalam dia tidur di rumah Sena? Atau itu hanya mimpi? Tidak mungkin. "Lo ngapain di sini?" sinis Nima setelah menetralkan kekagetannya. "Ini kamar gue," kata Galang.Nima mendesis. Pantas saja ruangan bernuansa monokrom ini tampak asing, ternyata
"Heh, ngapain lo ngikut?" tanya Galang.Langkah Nima terhenti tepat di pintu kamar Galang yang mencegatnya masuk. "Katanya ngungsi." "Keluarga gue nggak jadi nginap. Balik sana. Gue mau beresin jejak lo di kamar ini." Galang menatapnya datar.Brak! Jilbab Nima tertampar angin bekas bantingan pintu Galang. Laki-laki itu bahkan tak menunggu Nima untuk membalas sedikit ucapannya. Nima tertawa singkat. Tak habis pikir. Galang kira dia mau berdekatan dengannya? Big no! Lagipula kenapa Nima harus sepolos ini dan menurut segala maunya? Konyol! "Untung kamu sadar duluan, Nim," gumamnya lantas menendang pintu kamar Galang. Setelah itu bergegas ke bawah. Ingin makan sekaligus membersihkan meja yang penuh makanan. Tadi keluarga Galang memesan fast food karena di rumah tak ada persediaan. Terlebih tak ada pembantu. Nima hanya menut saja. Tadi dia hanya makan sedikit guna menjaga citranya. Alhasil sekarang merasa lapar. Untung masih ada sisa
"Jadi mama nggak bakal datang?"Galang menghampiri Nima dengan wajah sangarnya. Siapa juga yang tidak akan marah jika ada di posisinya? "Dasar anak manja. Pasti cewek yang lo kencanin ngakak liat lo lari-lari." Nima kembali terbahak. Rahang Galang mengeras, tangannya mengepal. Dia menyugar rambutnya dengan ekspresi kesal. Sangat. Tanpa ba-bi-bu dia bergegas ke depan, tapi langkahnya ditahan. "Nggak guna marahin supir lo karena gue yang nyuruh dia ngirim pesan itu. Lumayan, kita seri." Nima menaik-turunkan alisnya.Galang berkacak pinggang, menahan emosi yang hampir meledak. "Bener-bener ya lo!" Nima terus tertawa. Galang berdecih lantas mendekati meja makan. Melonggarkan dasinya dan meneguk segelas air. Tubuhnya sudah berkeringat. Tampilannya bahkan jauh dari kata rapi. "Nim, lo pikir yang lo lakuin tadi lucu apa?" kesalnya. Tawa Nima terhenti. Dia menatap balik. "Emang nggak lucu, ya?" Nima menatapnya polos lantas sedetik kemudi
Pukul sembilan Nima sudah selesai berberes rumah. Bahkan sekarang dia sudah rapi. Rencananya akan ke rumah Sena. Hari ini akad pernikahan sepupunya itu. Tak terasa sebulan telah berlalu.Dia meraih ponsel, mengirim pesan pada Galang. Well, sejak kejadian Galang pulang pagi mereka saling tak acuh. Nima masih kecewa dan Galang juga tampak tak peduli. Meski begitu Nima tetap menghargai Galang sebagai suaminya. [Assalamualaikum. Lang gue mau ke rumah Om Nadir. Pulangnya nanti malem.] Setelahnya Nima menghela napas. Segera keluar dari rumah besar itu. Nima memilih naik taksi, tak mau diantar. Sesampainya di rumah Sena, kesibukan mulai terlihat. Acaranya sore ini, jadi orang-orang sibuk mempersiapkan. Mendadak Nima teringat hari pernikahannya. "Konyol, ngapain ingat momen di mana gue cuma jadi pengganti?" gumam Nima tertawa mengejek pada dirinya. "Eh Nima? Kamu ini ditungguin dari kemarin malah datangnya hari ini." Sinta yang kebetulan meliha
Insiden itu membuat Nima trauma. Dia bahkan demam berhari-hari. Masih shock. Kadang masih terbayang-bayang ekspresi jahat si supir. Untungnya Galang memahami. Dia bahkan mendatangkan dokter ke rumah untuk memeriksa Nima. Kondisinya sudah agak lebih baik dari tiga hari sebelumnya. Meski begitu Nima masih belum bisa beraktivitas seperti biasa. "Ini obatnya, Nyonya," kata si pembantu meletakkan obat di nakas. Mereka sudah mulai bekerja karena sebulan telah berlalu."Makasih, ya." Nima tersenyum, masih menghabiskan makanannya sebelum minum obat. "Iya, Nyonya. Saya ke bawah dulu. Kalau Nyonya butuh sesuatu tolong panggil saya." Pembantu itu menunduk dan pergi setelah Nima menganggukkan kepala. Nima mengunyah pelan sembari menatap mentari dari celah gorden. Tak lama pintu berderit, terbuka. "Makanannya belum habis?" Galang bertanya sembari duduk di sofa. Nima menoleh sekilas. "Ini lagi dimakan," jawabnya. Mereka terdiam. Galan
Esoknya Nima sudah agak membaik. Dia sudah bisa beraktivitas seperti biasa meskipun dilarang keras oleh Galang. "Lo itu belum sembuh total," kata Galang saat Nima tak mau mendengarkan. "Gue udah sembuh, nggak percayaan banget sih." Galang menatap tajam Nima, dalam tatapannya meminta cewek di depannya untuk masuk ke kamar. "Lo boleh beraktivitas mulai besok. Hari ini no. Jangan coba-coba bandel." Nima mengentakkan kaki lantas membanting kuat pintu kamar. Padahal dia baru saja keluar kamar, sayangnya di waktu yang tidak tepat. Galang tersentak mendengar bunyi tamparan pintu, dia menahan emosi. Nima yang asli mulai kembali, beda dengan saat masih sakit yang sangat penurut. Tak lama ponsel berdering. Di layar terpampang nama mamanya. Galang mengernyit bingung, ada apa? "Kamu ini mau jadi anak durhaka, ya!" Galang menjauhkan ponsel dari telinga begitu suara cempreng itu menggelegar. Padahal dia baru saja mengangkat panggilan. Mamanya malah
Pernikahan yang hambar. Nima mulai merasakannya akhir-akhir ini. Ketika Galang kembali sibuk sendiri dengan bisnisnya. Membiarkannya sendiri di rumah, seolah-olah hanya sebagai istri pajangan. "Gue capek, Lang," keluh Nima bermonolog. Gadis berjilbab biru itu menatap sendu langit dari balkon. Kesehariannya lebih banyak dihabiskan di sana. Pekerjaan rumah telah dilakukan pembantu. Meski begitu dia tetap bagian memasak yang sayangnya tidak pernah disentuh atau bahkan dicicipi Galang. Pria berbibir tipis itu seperti menjadikan rumah hanya tempat singgah untuk istirahat. Tidak lebih dari itu."Udah gue duga kalau rumah ini sangkar emas. Luarnya doang yang cakep," ujar Nima lagi. Menghela napas. Teringat saat pagi tadi mengajak Galang sarapan yang malah tak mendapat respon berarti. Istri mana yang takkan sakit hati? Sekarang Nima sadar bahwa manusia memang tidak pernah puas. Selalu mengangungkan sesuatu yang tidak dia miliki, tapi setelah dimiliki malah mer
"Lo kapan pulang, sih, Lang?" beo Nima termangu di balkon seorang diri. Lagi dan lagi, ada rindu yang membuncah yang tak bisa dia sampaikan. Wajahnya menatap kecut ponsel yang tergeletak di atas meja. Zaman sudah canggih, tapi Galang bahkan tak tahu cara mengiriminya pesan. Atau memang tak berniat? Bahkan dua pesan terakhir Nima tak mendapat balasan. "Jadi cewek gampang baper, sih. Udah tahu dia nggak pake hati, kenapa lo sok-sokan baper." Nima merutuki diri sendiri. "Abisnya dia nunjukin sisi lainnya. Gue kan paling cepet respect sama orang. Terus bisa cepet paham kepribadian orang. Apalagi dia baik banget sama gue." Tak lama Nima tertawa. Dia yang berbicara, dia pula yang menyahut. Sudah seperti orang gila yang berbicara sendiri. Galang baik, tapi pada momen dan orang tertentu. Nima harusnya paham betul bahwa kata pernikahan cuma status itu memang senyata ucapan Galang. Dia sama sekali tak ingin Nima terlibat dalam urusan pribadinya. Kopi t