Pagi yang indah. Nima terbangun oleh terik mentari yang menerobos kisi-kisi jendela. Rasanya semalam dia tidur begitu nyenyak. Pelan-pelan kelopak matanya menyesuaikan dengan cahaya.
Seketika matanya menyipit. Sejak kapan gorden di kamarnya berwarna hitam? Bukannya biru?Nima pun bangun, masih mengucek mata sambil mengedarkan pandangan. Hingga matanya terhenti pada seseorang yang duduk di sofa, mengangkat kaki sambil menghadapnya."Galang?" beo Nima yang sedetik kemudian shock, langsung mengecek tubuhnya. Dia kaget bahkan sedikit terlonjak ke belakang. Untung saja dia masih mengenakan pakaian lengkap. Tidak kurang satu apa pun. Jantungnya berdebar was-was.Nima masih bingung, bukannya semalam dia tidur di rumah Sena? Atau itu hanya mimpi? Tidak mungkin."Lo ngapain di sini?" sinis Nima setelah menetralkan kekagetannya.
"Ini kamar gue," kata Galang.Nima mendesis. Pantas saja ruangan bernuansa monokrom ini tampak asing, ternyata kamar Galang. "Lo yang mindahin gue semalam?""Kenapa? Marah?" Galang malah balik bertanya.Lihatlah ekspresi tenang itu. Ingin sekali Nima mencekiknya. Seolah-olah tidak ada sesuatu yang salah, pria itu malah tampak anteng.
"Kenapa mindahin ke sini? Gue punya kamar," protes Nima."Terserah gue," kata Galang."Oh atau jangan-jangan lo nyari kesempatan? Lo manfaatin ketidaksadaran gue biar bisa tidur di samping gue? Iya, kan?" Nima bergidik ngeri. Tak bisa membayangkan."Jangan aneh-aneh, lo bukan tipe gue." Galang menggeleng tak percaya atas tuduhan itu."Berarti kita nggak tidur di ranjang yang sama, kan?" Nima butuh kepastian.Galang mengangguk, Nima merasa lega. Syukurlah. Setidaknya pria itu tidak berbuat macam-macam. "Eh tapi lo tahu dari mana gue di rumah Om Nadir?""Nggak penting. Gue cuma mau ngasih tahu sesuatu. Jangan nginap di tempat lain tanpa izin gue," kata Galang."Heh, itu bukan tempat lain. Itu juga tempat tinggal gue. Seenaknya ngomong," bela Nima."Pokoknya ingat itu. Atau nggak lo bakal tahu akibatnya." Galang segera beranjak.Nima melemparinya dengan bantal. Serangan itu terkena tepat di punggung Galang yang langsung berbalik menatap Nima. "Lo bisa nggak sih pagi-pagi nggak usah ribut? Sejak semalam gue udah repot jemput lo dari rumah itu bahkan sampai gendong lo. Satu hal yang harus lo sadari, lo itu berat.""Enak aja! Kurus gini dibilang berat. Tenaga lo aja yang nggak kuat. Lagian gue nggak minta digendong. Amit-amit. Kayaknya gue harus mandi tujuh rupa." Nima berlagak mengusap kasar tubuhnya dengan wajah ilfeel."Nim, gue nggak mau ribut." Galang berkata dengan suara pelan.Nima tertawa, turun dari king size milik Galang. "Wow! Sejak kapan seorang Galang kalem? Yang ada lo yang selalu nyari masalah. Ah gue tahu. Sebenarnya lo kesel jemput gue di rumah Om Nadir karena di sana ada Sena, kan? Lo ketemu Sena? Dia bakal nikah sama pacarnya."Alis Galang menukik. "Terus?"
"Ya, lo pasti cemburu, kan? Lo kan jatuh cinta sama dia." Nima mengejek.Galang tertawa singkat. "Jatuh cinta? Gue cuma suka sama body-nya yang bagus. Selebihnya nggak sama sekali."Mendengar itu Nima emosi. Sena memang bertubuh ideal dengan wajah rupawan, tapi ucapan Galang tadi terasa merendahkan sepupunya. Juga terdengar bahwa Galang ini benar-benar mata keranjang. "Lo bener-bener playboy, ya. Gue laporin ke Sena lo! Terus kenapa lo nikahin gue?""Pagi ini lo terlalu banyak nanya. Buruan mandi. Ingat, sementara waktu lo ngungsi di kamar gue. Nggak ada bantahan." Galang segera pergi. Nima masih mencerna bingung. Ketika hendak protes, dia segera menyusul Galang. Untunglah Galang masih sedang menuruni anak tangga."Lang jelasin yang tadi! Maksudnya apa?" seru Nima dari atas.Galang menatapnya seperti ingin membunuh. Nima masih menunggu jawaban tanpa tahu maksud Galang sebenarnya."Hei kalian kenapa?" Suara asing terdengar.Eh? Nima menoleh ke arah lain. Di sofa sana sedang berkumpul beberapa orang yang salah satunya wanita berambut hitam. Sedang melambaikan tangan. Apa mereka adalah keluarga Galang?Nima segera menatap Galang yang sekarang tengah memijat pelipis. Tak lama kemudian Galang segera beranjak mendekatinya. "Bentar ya, Ma," ucap Galang pada orang di bawah sana. Nima ikut menyengir canggung. Galang segera menariknya.Begitu sampai di depan pintu kamar, Nima langsung melepaskan rangkulan Galang. Dia memukul bahunya. "Itu keluarga lo? Kenapa nggak ngomong dari tadi?" protes Nima.Galang berdecak. Tak menjawab. Langsung membalikkan tubuh Nima dan mendorongnya masuk lantas menutup pintu. "Mandi abis itu turun ke bawah."Nima tak bisa berkata-kata lagi. Dia panik. Dia tak tahu keluarga Galang akan datang. Tadi dia malah berseru dengan modelnya yang baru bangun. Astaga, memalukan!Segera Nima bergegas mandi. Meski begitu dia masih terus saja berpikir. Pantas saja Galang menjemputnya lantas menidurkannya di kamar ini. Ternyata karena keluarganya akan datang. Bahkan pagi ini Galang berbeda. Lebih kalem. Nima awalnya mengira pria itu kesurupan, tapi ternyata tidak.Astaga. Seharusnya tadi Galang memberi tahu agar dia juga bisa menampilkan citra yang baik. Nima benar-benar malu.Tiga puluh menit kemudian dia sudah siap. Turun ke bawah dengan canggung. Begitu dia sudah di ujung tangga Galang mendekatinya. Menggenggam tangan dan mengajaknya bergabung.Ada mama, papa, adik, oma, serta beberapa anak kecil. Nima canggung sekali."Kenalin, namanya Nima," kata Galang. Nima tersenyum lantas menyalami mereka.Mama Galang tersenyum. "Ayunya mantuku. Nah gini dong nyari istri yang bener."Nima terkekeh. Ternyata keluarga Galang begitu ramah. Bahkan memuji-mujinya. Sementara Galang lebih banyak diam. Nima bisa menyimpulkan bahwa Galang dikenal sebagai lelaki cuek dan penurut di keluarga. Mereka tidak tahu sikap kasarnya itu."Iya, Tante," kata Nima saat Gia, Mama Galang, bertanya apakah dia suka memasak."Wah bagus! Kapan-kapan kita masak bareng, ya. Oh ya, jangan panggil Tante. Panggil aja Mama. Oke?" Gia menepuk pelan tangan Nima.Eh? Pandangan Nima terangkat. Menatap Gia penuh rasa haru. Sudah lama dia merindukan panggilan itu. Lama rasanya dia tak memiliki seorang mama di sampingnya."Ma-Mama," kata Nima agak tergagap.Gia berseru senang. Selanjutnya mereka mulai membahas ngalor-ngidul. Beberapa anak kecil yang ternyata anak dari sepupu Galang juga ikut mengobrol dengan Nima. Mereka dekat dengan Gea, adik Galang yang merasa kesepian di rumah. Nenek juga sesekali bertanya. Bahkan menasihati Nima agar bisa mengurus Galang dengan baik.Sementara Galang dan papanya sibuk membicarakan perkembangan bisnis. Nima sesekali meliriknya."Oh ya, ini kenapa rumah tumben sepi? Ke mana pembantu?" Gia mengedarkan pandangan. Suasananya agak ganjil, tak seperti biasanya.
"Diliburkan Galang, Ma," jawab Nima."Lho, kenapa?" Gia menatap Galang."Supaya abang sama kakak ipar bisa berduaan, Ma," timpal Gea yang mengundang tatapan godaan dari keluarga pada Nima dan Galang.Nima merutuk. Padahal dia baru akan menjawab bahwa Galang menyuruhnya menjadi pembantu. Mengingat lelaki itu penurut di hadapan keluarga, bukankah Nima bisa mengambil kesempatan? Namun, itu hanya jadi wacana.Meski begitu pertemuan keluarga itu berlangsung hangat. Nima juga tak berani menceritakan tingkah kasar Galang pada keluarganya. Memilih menyimpan rapat-rapat. Hingga berakhirlah obrolan itu. Mereka akan segera pulang. Nima dan Galang mengantarkan sampai ke depan."Nima, kamu perempuan yang baik. Nenek senang kamulah yang dipilih Galang. Sebelumnya kami sekeluarga sudah khawatir dia akan salah milih. Syukurlah nggak. Jaga baik-baik Galang, ya. Dia mungkin akan sedikit keras, tapi orangnya baik," bisik Nenek lalu terkekeh.
Nima memilih mengangguk. Melambaikan tangan ketika mobil hitam itu pergi bersama keluarga Galang.Sedetik kemudian dia dan Galang saling menatap."Ngapain lo liat-liat!" seru Galang lantas berbalik pergi.
Nima mencibir. Baru saja tadi terlihat kalem. Sekarang sudah bar-bar."Heh, ngapain lo ngikut?" tanya Galang.Langkah Nima terhenti tepat di pintu kamar Galang yang mencegatnya masuk. "Katanya ngungsi." "Keluarga gue nggak jadi nginap. Balik sana. Gue mau beresin jejak lo di kamar ini." Galang menatapnya datar.Brak! Jilbab Nima tertampar angin bekas bantingan pintu Galang. Laki-laki itu bahkan tak menunggu Nima untuk membalas sedikit ucapannya. Nima tertawa singkat. Tak habis pikir. Galang kira dia mau berdekatan dengannya? Big no! Lagipula kenapa Nima harus sepolos ini dan menurut segala maunya? Konyol! "Untung kamu sadar duluan, Nim," gumamnya lantas menendang pintu kamar Galang. Setelah itu bergegas ke bawah. Ingin makan sekaligus membersihkan meja yang penuh makanan. Tadi keluarga Galang memesan fast food karena di rumah tak ada persediaan. Terlebih tak ada pembantu. Nima hanya menut saja. Tadi dia hanya makan sedikit guna menjaga citranya. Alhasil sekarang merasa lapar. Untung masih ada sisa
"Jadi mama nggak bakal datang?"Galang menghampiri Nima dengan wajah sangarnya. Siapa juga yang tidak akan marah jika ada di posisinya? "Dasar anak manja. Pasti cewek yang lo kencanin ngakak liat lo lari-lari." Nima kembali terbahak. Rahang Galang mengeras, tangannya mengepal. Dia menyugar rambutnya dengan ekspresi kesal. Sangat. Tanpa ba-bi-bu dia bergegas ke depan, tapi langkahnya ditahan. "Nggak guna marahin supir lo karena gue yang nyuruh dia ngirim pesan itu. Lumayan, kita seri." Nima menaik-turunkan alisnya.Galang berkacak pinggang, menahan emosi yang hampir meledak. "Bener-bener ya lo!" Nima terus tertawa. Galang berdecih lantas mendekati meja makan. Melonggarkan dasinya dan meneguk segelas air. Tubuhnya sudah berkeringat. Tampilannya bahkan jauh dari kata rapi. "Nim, lo pikir yang lo lakuin tadi lucu apa?" kesalnya. Tawa Nima terhenti. Dia menatap balik. "Emang nggak lucu, ya?" Nima menatapnya polos lantas sedetik kemudi
Pukul sembilan Nima sudah selesai berberes rumah. Bahkan sekarang dia sudah rapi. Rencananya akan ke rumah Sena. Hari ini akad pernikahan sepupunya itu. Tak terasa sebulan telah berlalu.Dia meraih ponsel, mengirim pesan pada Galang. Well, sejak kejadian Galang pulang pagi mereka saling tak acuh. Nima masih kecewa dan Galang juga tampak tak peduli. Meski begitu Nima tetap menghargai Galang sebagai suaminya. [Assalamualaikum. Lang gue mau ke rumah Om Nadir. Pulangnya nanti malem.] Setelahnya Nima menghela napas. Segera keluar dari rumah besar itu. Nima memilih naik taksi, tak mau diantar. Sesampainya di rumah Sena, kesibukan mulai terlihat. Acaranya sore ini, jadi orang-orang sibuk mempersiapkan. Mendadak Nima teringat hari pernikahannya. "Konyol, ngapain ingat momen di mana gue cuma jadi pengganti?" gumam Nima tertawa mengejek pada dirinya. "Eh Nima? Kamu ini ditungguin dari kemarin malah datangnya hari ini." Sinta yang kebetulan meliha
Insiden itu membuat Nima trauma. Dia bahkan demam berhari-hari. Masih shock. Kadang masih terbayang-bayang ekspresi jahat si supir. Untungnya Galang memahami. Dia bahkan mendatangkan dokter ke rumah untuk memeriksa Nima. Kondisinya sudah agak lebih baik dari tiga hari sebelumnya. Meski begitu Nima masih belum bisa beraktivitas seperti biasa. "Ini obatnya, Nyonya," kata si pembantu meletakkan obat di nakas. Mereka sudah mulai bekerja karena sebulan telah berlalu."Makasih, ya." Nima tersenyum, masih menghabiskan makanannya sebelum minum obat. "Iya, Nyonya. Saya ke bawah dulu. Kalau Nyonya butuh sesuatu tolong panggil saya." Pembantu itu menunduk dan pergi setelah Nima menganggukkan kepala. Nima mengunyah pelan sembari menatap mentari dari celah gorden. Tak lama pintu berderit, terbuka. "Makanannya belum habis?" Galang bertanya sembari duduk di sofa. Nima menoleh sekilas. "Ini lagi dimakan," jawabnya. Mereka terdiam. Galan
Esoknya Nima sudah agak membaik. Dia sudah bisa beraktivitas seperti biasa meskipun dilarang keras oleh Galang. "Lo itu belum sembuh total," kata Galang saat Nima tak mau mendengarkan. "Gue udah sembuh, nggak percayaan banget sih." Galang menatap tajam Nima, dalam tatapannya meminta cewek di depannya untuk masuk ke kamar. "Lo boleh beraktivitas mulai besok. Hari ini no. Jangan coba-coba bandel." Nima mengentakkan kaki lantas membanting kuat pintu kamar. Padahal dia baru saja keluar kamar, sayangnya di waktu yang tidak tepat. Galang tersentak mendengar bunyi tamparan pintu, dia menahan emosi. Nima yang asli mulai kembali, beda dengan saat masih sakit yang sangat penurut. Tak lama ponsel berdering. Di layar terpampang nama mamanya. Galang mengernyit bingung, ada apa? "Kamu ini mau jadi anak durhaka, ya!" Galang menjauhkan ponsel dari telinga begitu suara cempreng itu menggelegar. Padahal dia baru saja mengangkat panggilan. Mamanya malah
Pernikahan yang hambar. Nima mulai merasakannya akhir-akhir ini. Ketika Galang kembali sibuk sendiri dengan bisnisnya. Membiarkannya sendiri di rumah, seolah-olah hanya sebagai istri pajangan. "Gue capek, Lang," keluh Nima bermonolog. Gadis berjilbab biru itu menatap sendu langit dari balkon. Kesehariannya lebih banyak dihabiskan di sana. Pekerjaan rumah telah dilakukan pembantu. Meski begitu dia tetap bagian memasak yang sayangnya tidak pernah disentuh atau bahkan dicicipi Galang. Pria berbibir tipis itu seperti menjadikan rumah hanya tempat singgah untuk istirahat. Tidak lebih dari itu."Udah gue duga kalau rumah ini sangkar emas. Luarnya doang yang cakep," ujar Nima lagi. Menghela napas. Teringat saat pagi tadi mengajak Galang sarapan yang malah tak mendapat respon berarti. Istri mana yang takkan sakit hati? Sekarang Nima sadar bahwa manusia memang tidak pernah puas. Selalu mengangungkan sesuatu yang tidak dia miliki, tapi setelah dimiliki malah mer
"Lo kapan pulang, sih, Lang?" beo Nima termangu di balkon seorang diri. Lagi dan lagi, ada rindu yang membuncah yang tak bisa dia sampaikan. Wajahnya menatap kecut ponsel yang tergeletak di atas meja. Zaman sudah canggih, tapi Galang bahkan tak tahu cara mengiriminya pesan. Atau memang tak berniat? Bahkan dua pesan terakhir Nima tak mendapat balasan. "Jadi cewek gampang baper, sih. Udah tahu dia nggak pake hati, kenapa lo sok-sokan baper." Nima merutuki diri sendiri. "Abisnya dia nunjukin sisi lainnya. Gue kan paling cepet respect sama orang. Terus bisa cepet paham kepribadian orang. Apalagi dia baik banget sama gue." Tak lama Nima tertawa. Dia yang berbicara, dia pula yang menyahut. Sudah seperti orang gila yang berbicara sendiri. Galang baik, tapi pada momen dan orang tertentu. Nima harusnya paham betul bahwa kata pernikahan cuma status itu memang senyata ucapan Galang. Dia sama sekali tak ingin Nima terlibat dalam urusan pribadinya. Kopi t
"Aaa Kak Nima ... Gea kangen banget!" Gadis berambut sebahu buru-buru memeluk Nima begitu Nima baru saja tiba di kediaman mereka.Nima menyambut hangat pelukan itu. Well, hubungannya dengan Galang memang masih stuck di kata musuh, tapi hubungannya dengan keluarganya sangat harmonis. Galang beruntung lahir dan besar di keluarga yang hangat dan Nima bersyukur bisa ikut merasakan keberuntungan itu. Bisa dibilang pernikahan mereka juga membawa berkah."Mama mana, Ge?" tanya Nima. Mereka berjalan menuju sofa.Gea menunjuk dapur. "Ada di dapur, Kak. Katanya mau masak makanan spesial karena abang sama Kakak bakal dateng."Nima terkekeh, sebegitu antusias mertuanya menyambut kedatangan mereka."Eh tapi abang mana, Kak? Kirain Kakak dateng bareng sama Abang. Kok orangnya nggak muncul-muncul?"Nima ikut memandangi arah pintu, agak sedih, tapi bergegas dia samarkan. Galang bahkan semalam tak pulang, bagaimana bisa dia menyampaikan