"Wah, Kak Nima cantik banget!" seru Gea takjub melihat kakak iparnya malam ini. Di ruang pengantin itu Nima tersipu malu. Dalam balutan gaun putih, dia merasa menjadi seperti ratu yang paling cantik. Sena yang juga ada di sana ikut mengangguk. "Gila sih ini. Untung aku udah minta nomor tukang make up-nya. Anyway, kamu emang udah cantik dari lahir sih, Nim." Dipuji Sena tambah membuat Nima tersipu. Dia yakin dia tak secantik itu, tapi manusia mana sih yang tidak kesulitan mengendalikan hati saat terlalu dipuji? Meski begitu Nima berusaha tetap down to the earth atau rendah hati. "Ihh abang nggak kalah ganteng! Omg ayo foto dulu! Ayo Kak Sena, kita foto mereka sebelum difotoin forografer!" Gea begitu girang melihat Galang yang datang memperbaiki dasinya yang sedikit miring. Gea menyeret Galang mendekat ke samping Nima. Galang tak banyak menolak. Meski wajahnya mengeluh karena disuruh pose ini-itu, dia tampak pasrah. Semalam keduanya diberi wejangan oleh nenek untuk menurut saja demi
Sepekan berlibur di Raja Ampat sangat berdampak pada hubungan Nima dan Galang. Keduanya begitu dekat hingga untuk kontak fisik pun tak lagi canggung dan Nima juga tak menolak seperti di awal-awal. Mereka hanya mencoba menikmati hari-hari sebagai pasangan. "Aku tahu bahagia ini nggak akan selamanya. Tapi, Lang, jujur aku takut kehilangan kamu." batin Nima saat menatap Galang yang sedang asyik menunggu pancingannya bergetar. Waktu itu mereka sedang di sampan. Nima ikut bersama Galang. Selama sepekan mereka selalu dipaksa melakukan apa pun berdua. Di mana ada Galang, di situ ada Nima. Ini merupakan ide Gia yang tentu didukung penuh oleh semua. Mereka senang hubungan Nima dan Galang menjadi dekat. Saat malam hari, Nima selalu berusaha meredam tangisnya agar tidak terdengar. Rasanya campur aduk. Dia bahagia tapi juga takut ke depannya akan seperti apa. Dia juga merasa bersalah telah berpura-pura akur dengan Galang. Mereka pikir ketika Galang dan dia selalu masuk ke cottege lebih awal ad
Rutinitas baru Nima yang sering ke panti membuatnya pulang ke rumah membawa sejuta penat. Bahkan sampai membuatnya lupa pada kebiasaan menunggui Galang. Lagipula pria itu sudah jarang sekali di rumah.Mbak Rini pernah bilang bahwa akhir-akhir ini Galang tampak stress. Sebagai art yang sudah bekerja lama, tentu Mbak Rini bisa mengidentifikasi itu dari gelagat Galang yang bahkan tidak akan bicara satu kata pun dan meminta siapapun untuk tidak bicara padanya"Pantes pesan-pesan gue nggak ada satupun yang dibales," batin Nima. Sebenarnya stress atau tidaknya Galang, membalas pesan adalah hal yang tidak pernah dia lakukan.Meski dalam hatinya khawatir, Nima juga merasa tidak bisa melakukan apa pun karena suaminya yang super duper sibuk itu bahkan tak memberinya celah untuk membantu.Jadilah Nima tetap melakukan rutinitasnya hingga suatu sore dia mendapat telepon dari mama mertuanya."Halo, Nim, Galang udah pulang ke rumah?""Ini Nima
Ramai adalah kata yang tepat untuk mendeskripsikan suasana di kediaman keluarga Nuraga. Para tamu mulai berdatangan dengan senyum di wajah. Dekorasi di rumah yang bergaya perumahan itu tampak indah. Nuansanya hijau dan putih. Para panitia pernikahan sedang sibuk wara-wiri demi memastikan acaranya berjalan lancar tanpa kurang apa pun. Itu semua membuat Nima tersenyum. Dia sedang mengamati. Gadis berkebaya putih dengan jilbab berwarna senada itu begitu gembira. Bagaimana tidak, hari ini sepupunya--Sena--akan menikah. Manalagi Sena akan menikahi pria kaya yang tentu saja akan membuat kehidupannya terjamin. Nima tersenyum. Meski begitu ada rasa sedih karena tak lama lagi dia dan Sena akan berpisah. Tak ada lagi teman sebaya yang akan saling mencurahkan hati dengannya. Terlebih Sena anak tunggal yang otomatis kepergiannya akan membuat rumah sepi. Mereka berasal dari keluarga sederhana. Nima anak broken home yang sejak SMA tinggal di rumah Sena. Papa mereka
Nima terdiam. Dia berpikir. Jika menolak tawaran itu, maka bisnis keluarga Nuraga akan disita. Dia tidak bisa diam saja. Lagipula om dan tantenya selama ini selalu baik, jadi dia harus membantu mereka sekarang. "Tapi masa depan lo taruhannya, Nim. Lo mau bernasib sama kayak mama papa yang cerai?" ujar batinnya. Lama Nima terdiam, bergelut dengan diri sendiri. Dia harus memilih keputusan yang mana? Dia sampai memilin kuat kebayanya, dilema. "Nggak bisa. Nima itu bukan anak kandung saya, jadi dia tidak bisa seenaknya diajak masuk dalam urusan ini," kata Papa Sena. Dia menolak keras. Meskipun dia sudah menganggap Nima sebagai anak sendiri, tapi dalam kasus ini dia terpaksa mengatakan kalimat itu. Demi menyelamatkan keponakannya. Nima menggigit bibir. Dia mengerti maksud om-nya itu. Lihatlah, bahkan sampai detik ini mereka tetap melindunginya. Nima jadi terharu. Dari situlah dia memantapkan keputusan. Jika keluarga Sena mampu melakukan segala hal demi dia
Setelah menikah, Nima dibawa ke rumah Galang. Mereka tidak semobil, Galang sudah pergi terlebih dahulu. Entah ke mana, Nima tak tahu dan tak mau tahu. Dia sedari tadi menatap tajam supir yang berkacamata hitam. Gayanya benar-benar mengintimidasi. Nima tidak takut dengannya, dia hanya was-was dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. Takutnya orang berekspresi datar itu akan menculiknya. Sejak kecil dia sudah diajarkan untuk tidak percaya pada orang asing. Makanya saat si supir ini datang saat sore di rumah, Nima tidak bisa percaya begitu saja bahwa dia adalah orang suruhan Galang. Namun, karena tidak enak pada om dan tantenya, Nima berusaha percaya. Katanya supir ini akan membawanya ke rumah Galang. Berbicara mengenai lelaki itu, Nima benar-benar kesal dengannya. Setelah mereka bertengkar di kamar, Galang pergi bahkan tak memberi tahu hendak ke mana. Tidak juga berpamitan pada om dan tante. Memang Nima tahu dia laki-laki yang kasar, tapi setidaknya menghormat
"Lo pengen mati?" Nima menjawab sinis. Tak sekali pun terintimidasi dengan tatapan Galang. Lelaki itu sedikit terkejut. Biasanya para perempuan dengan senang melemparkan diri padanya bahkan tanpa diminta. Namun, perempuan yang berstatus istrinya ini berbeda. Untuk pertama kalinya Galang ditolak. Mungkinkah itu karena perempuan itu lebih agamis? Galang tertantang. Dia tersenyum miring. Segala penatnya menghilang. Sepertinya memberi pelajaran pada perempuan yang tidak bisa bersikap baik padanya itu perlu. Nima melotot saat Galang melangkah maju, tapi terjeda. Dengan masih menatapnya, Galang mundur lantas menutup pintu. Menguncinya. Baru saat itulah Nima merasa dalam bahaya. Dia memang bisa melawan laki-laki, tapi tentunya tenaganya tak cukup kuat. Dia menggeleng. "Mundur! Jangan macam-macam!" Galang tersenyum miring. Dia seperti mendapat jackpot mengetahui kelemahan Nima. Hingga Nima sudah tersandar di tembok. Tidak ada lagi pilihan lain. Galang
Nima benar-benar tidak menyangka Galang akan melakukan ini padanya. Meliburkan para pekerja dan menimpakan seluruh pekerjaan rumah padanya. Sebenarnya Nima tidak masalah, hanya saja melihat betapa besarnya rumah ini, itu seperti mustahil bisa dibersihkan seorang diri. "Gila ya tu orang!" kesalnya. Apa selama sebulan dia hanya akan membuat tulangnya patah? Bukankah lucu kalau dia punya keluhan rematik di usia muda? Nima tak menyangka Galang akan setega itu. Dalam hatinya dia terus marah-marah sambil membuat sarapan. Sementara para pembantu sudah berkemas dan pergi. Rumah menjadi sepi. Nima merasa kosong. "Ini nih ciri khas rumah besar. Yang tinggal di dalamnya dikit. Sebenarnya definisi bahagia itu nggak tepat buat orang yang kalau punya rumah mewah, tapi terasa hampa," batin Nima.Setelahnya dia pun meletakkan sarapan di meja. Dilihatnya Galang baru saja datang. Tubuhnya berkeringat. Jangan harap Nima mau berbasa-basi. Mereka hanya saling menat