Prangg!!
Suara benda jatuh terdengar nyaring di telingaku, seketika itu jantungku berdetak kencang tak karuan, pasalnya aku adalah orang yang tak sengaja menyenggol benda itu.Dari lantai dua, terdengar suara cempreng khas ibu mertua yang berteriak ke arahku, hingga bisa didengar oleh seluruh orang yang ada di rumah ini.Mbok Yem, dan beberapa pembantu yang sedang masak-masak di dapur sampai lari tergopoh-gopoh menghampiri."Ya Tuhan! perempuan pembawa sial!" Ibu mertua berjalan dengan penuh amarah ke arahku.Tentu aku sangat panik kali ini. Aku menggigit bibirku cemas, dan mundur beberapa langkah ketika sosok wanita paruh baya dengan wajah penuh amarahnya semakin mendekatiku.Plakk!Satu tamparan keras melayang tepat di pipi kiriku, hingga tubuhku goyah dan jatuh tersungkur ke lantai.Semua pembantu yang melihat kejadian itu, menganga dan bergidik ngeri menatapku dengan iba, tapi tentu saja tak ada yang berani untuk membela ataupun menolongku."Dasar! wanita tidak tau diri! kamu tau tidak? hah?! harga guci antik yang kamu pecahkan itu harganya sangat mahal! lebih mahal dari harga dirimu!" maki wanita berwajah garang itu.Hatiku terasa tersayat! harga diriku yang seorang manusia ini, dinilainya lebih rendah dibandingkan sebuah benda.Aku yang miskin ini memang tak mengerti nilai benda-benda mahal, tapi apakah serendah itu harga diriku di mata ibu mertuaku sendiri?"Ma-maaf, maaf Buk! Marya ga sengaja," ucapku gemetaran, hingga aku meneteskan air mata, entah karena rasa takut telah menjatuhkan benda mahal itu atau karena sakit hati dengan perkataan ibu mertuaku, Akh ... perasaanku campur aduk sekarang."Sudah numpang, malah ngelunjak!" sarkasnya, ia menatap aku yang tengah tersungkur di lantai, aku seperti sedang bersujud di hadapannya. Senyuman terulas di sudut bibir wanita paruh baya itu.Kejadian ini juga disaksikan oleh kakak ipar pertamaku, Mbak Jeni. Tentu ia terlihat senang bukan main, dan malah ikutan membuat panas ibu mertuaku."Haduh! itu kan guci antik kesayangan Ibuk! pasti perempuan ini sengaja! secara dia itu kan ... ndak suka sama Ibuk," hasut wanita berambut pirang itu.Seketika mataku melebar, apa maksud Mbak Jeni dengan mengatakan hal seperti itu? itu fitnah!Mendengar perkataan anak pertamanya, ibu mertuaku tanpa memfilter atau mendengarkan penjelasan dariku, ia langsung menjambak rambutku kuat-kuat."Akhh .... " teriakku kencang, rambutku seperti akan lepas dari kulitnya, benar-benar sakit!"Hoo ... berani kamu ya? baru satu hari di rumah ini, kamu berani menentang saya?!" ucap Bu Wasida dengan penuh penekanan padaku.Aku menggelengkan kepala kuat-kuat, berharap beliau akan mendengarkan penjelasan dariku terlebih dahulu, tapi tidak! ia menjambak rambutku dan menariknya ke atas, membuat aku berdiri dengan paksa.Rasanya sungguh sakit! meski aku miskin sekalipun, tak pernah aku diperlakukan sampai sekejam ini! bahkan jika itu adalah kakekku sendiri.Aku terus menangis, dan merengek meminta pengampunan. Wanita dengan wajah judes dan bersanggul itu tak memperdulikan apapun ucapan yang keluar dari mulutku.Ia menggeret tubuhku dengan cara menjambak rambutku dengan kasar, berjalan menuju ke sebuah kamar mandi, entah apa yang hendak ia lakukan padaku.Aku bisa melihat raut wajah penuh kemenangan dari Mbak Jeni saat melintas di depannya. Ya Allah, apalagi ini?Belum puas menampar wajahku, dan menjambak rambutku. Aku dibawa paksa Bu Wasida ke kamar mandi, ia mencelupkan wajahku ke dalam bak mandi. Tak hanya sekali, tapi berkali-kali dan secara brutal tanpa jeda.Napas ku mulai sesak, hidungku sampai terasa perih karena banyak air yang masuk kedalam hidungku. Sekuat tenaga aku melawan, tapi entah kenapa tenaga wanita tua ini seperti tak ada habisnya.Sedangkan aku yang memang belum makan apa-apa dari kemarin malam, tentu aku tak bisa menyeimbangi tenaga wanita paruh baya yang bringas ini.Di saat itu, aku pasrah. Kepalaku pusing, jika aku mati pun rasanya mungkin akan jauh lebih baik daripada merasakan semua hal ini."Ini agar kamu berfikir ribuan kali untuk berurusan dengan saya, Marya!" pekik wanita tua itu.Aku sudah tak peduli ia mengatakan apa, suara makiannya pun sudah terdengar samar-samar di telingaku.Mataku terasa berat, buram, dan ... gelap.****"Mar, bangun! Sebentar lagi magrib," titah seseorang bersuara berat, sepertinya aku mengenali suara itu. Yah ... itu adalah suara Mas Rey.Pelan-pelan aku membuka mata, ada suamiku yang kini tengah duduk di samping kasur, menemaniku dan mengelus wajahku lembut.Eh? kupikir aku sudah tiada."Adek sakit apa?" tanyanya, membuat aku bingung."Maksudnya?" ucapku, dengan wajah bingung. Aku mengubah posisiku yang awalnya tidur menjadi duduk menyandar pada sandaran kasur."Kata Ibu sama Mbak Jeni, Adek seharian ini di kamar saja. Mas pikir, Adek sakit," jelasnya.Sakit? Hah?! aku di aniaya sama Ibu kamu sendiri Mas! aku diperlakukan bak seorang pembantu dengan mengerjakan semua pekerjaan rumah tanpa diberi keringanan sedikit pun!Setelahnya, aku diperlakukan seperti binatang oleh orang yang kau sebut seorang Ibu itu! ia tanpa ampun membuatku merasa sakit secara fisik maupun mental!Rasanya, ingin sekali aku mengadu di hadapan Mas Rey, semuanya! semua yang telah ibu dan kakak ipar lakukan terhadap diriku.Tapi aku sadar, memangnya siapa aku? hanya seorang menantu yang baru sehari di rumah ini, memangnya akan dipercaya oleh lelaki di depanku ini?Memangnya ia akan membelaku di depan ibu yang telah bersusah payah melahirkan dan membesarkan dia? hak apa yang aku punya? aku bukan siapa-siapa.Aku jujur tak sepenuhnya mengenal sosok pria di depanku ini, aku hanya tau jika dia adalah pria yang baik, bertanggung jawab, dan menyayangi keluarganya. Tentu aku adalah sebagian dari keluarganya, tapi baru sehari kan?"I-iya Mas, aku agaknya kurang enak badan," dustaku pada Mas Rey."Mau Mas bawa ke dokter?" tawarnya, ia menunjukkan wajah cemasnya padaku.Aku menggelengkan kepala untuk menolak, "ga perlu Mas, aku ndak papa kok," ucapku.Pria di depanku ini tampak menghela nafas pelan."Ini ... Mas bawakan sepiring nasi. Kata Mbok Yem, Adek belom makan dari pagi." Pria itu mengambil sepiring nasi beserta lauk pauknya yang entah sejak kapan sudah berada di atas nakas samping tempat tidur.Ia menyuapiku dengan telaten, sesekali menyeka sisa makanan yang menempel di sudut bibirku. Di saat seperti inilah, aku merasa masih kuat untuk mempertahankan pernikahan ini.Tapi aku tak tahu sampai kapan kewarasan aku ini akan tetap terjaga jika harus terus satu atap dengan ibu mertua dan iparku."Kalo masih sakit, Adek di kamar saja nanti saat acara tahlilan, Mas udah bilang ke Ibu," tawarnya dengan penuh perhatian.Jujur sekujur tubuhku memang terasa sakit, jadi aku mengiyakan tawaran Mas Rey."Mas? apa kita ... ndak bisa pindah dari rumah ini?"Aku tak tau keberanian ini datang dari mana, terlintas begitu saja di pikiranku dan terucap begitu saja di bibirku."Mas? apa kita, ndak bisa pindah dari rumah ini?"Raut wajah Mas Rey tampak berubah, yang awalnya tersenyum manis menjadi dingin, entah apa yang ada di benaknya saat ini. Apa aku mengatakan hal yang salah?"Untuk?" jawabnya singkat, entah kenapa suaranya menjadi dingin, tak sehangat seperti sebelumnya. Aku menelan saliva, rasa takut jika pria di depanku ini mengamuk padaku, tak bisa aku bayangkan bagaimana cara Mas Rey marah.Jujur aku belum pernah sekalipun melihat sisi amarah lelaki ini selama aku mengenalnya bertahun-tahun, mungkin hanya sosok tegasnya saja."A-aku merasa, kita harus bisa mandiri dalam menjalani pernikahan ini Mas, seatap dengan ibu dan kakak ipar membuat kita akan selalu bergantung pada mereka, dan malah akan merepotkan mereka. Mas? boleh ya?" tuturku,Dengan semaksimal mungkin aku membuat ekspresi penuh harap di hadapan pria ini.Ia menatapku denga
Pagi hari ini cerah, usai aku menyiapkan pakaian kerja untuk suami, dan memasak untuk sarapan dan juga bekal, kami menyempatkan untuk berbincang-bincang di kamar sebelum suamiku pergi bekerja.Ia meminta maaf padaku karena belum bisa mengajak berlibur bulan madu usai pernikahan, di samping masih masa berduka, ada perusahaan yang masih dalam keadaan sulit untuk ditinggal oleh suamiku.Aku memaklumi hal itu, menjadi pemimpin perusahaan besar tidaklah mudah, aku juga tidak menuntut Mas Rey untuk hal-hal seperti itu. Cukup ia percaya dan menyayangi diriku saja sudah sangat berarti untukku, aku harap bisa memiliki rumah kecil sederhana bersama Mas Rey, dan hanya ada kami berdua bersama calon buah hati kecil kami nantinya.Sungguh luar biasa nikmatnya jika hal ini terwujud, tapi aku juga tau jika ini adalah hal yang tidaklah mudah, terlebih lagi jika meminta izin dari Ibu Wasida, mertuaku.Tak ingin aku dicap sebagai menantu kurang ajar yang mencoba memisahkan anak dari ibunya. Tidak ada n
"Maksud kamu, putri sulung saya ini pembohong?" Ibu Wasida berdiri untuk menatapku dengan penuh kebencian.Seharusnya aku tak perlu cemas karena merasa jika apa yang dituduhkan oleh Mbak Jeni adalah fitnah, tapi jika yang aku hadapi adalah ibu mertuaku ... maka tak peduli apapun faktanya, aku lah tokoh antagonis di matanya."Sa-saya beneran ga ngelakuin semua tuduhan Mbak Jeni Bu! percaya sama Marya ...." meski tau kalimat ini sia-sia, aku tetap mencoba membela diri di hadapan ibu mertuaku. "Mbok! bawa Jeni ke kamar, obati luka di kakinya!" titah tegas wanita bersanggul di depanku ini dengan terus menatap tajam ke arahku."I-iya Nya" Mbok Yem tergopoh-gopoh membantu Kakak Iparku untuk berdiri dan membawanya ke kamar. Mbak Jeni terus meringis kesakitan dan membuat ibu mertua semakin terprovokasi dibuatnya. Aku tau itu pasti hanya akal-akalan kakak iparku agar aku semakin terpojok oleh ibu mertua.Ya Allah apalagi ini? baru dua hari aku tinggal di rumah ini, tapi tak ada yang membiark
Kini aku berada di kamar, berdua dengan suamiku. Aku menatapnya lekat, berusaha tetap tegar dan tenang meski rasanya ingin sekali menggebu-gebu membela diri, tapi aku tahan itu semua."Mas ... ga percaya sama aku?" Aku memulai pembicaraan duluan."Percaya," jawabnya singkat, aku menghembuskan napas lega akan jawabannya."Tapi saya juga percaya dengan keluarga saya." Hanya tatapan dingin yang aku lihat di mata pria di depanku saat ini, hening ... aku masih mencerna baik-baik kalimat yang dilontarkan Mas Rey padaku."Jadi ... Mas tak menganggap aku sebagai bagian keluarga Mas Rey?" tanyaku, tak mampu lagi untuk aku tidak meneteskan air mata.Aku pikir suamiku akan percaya padaku tanpa keraguan, tidak bisakah ia melihat kejujuran di mataku?Lelaki di depanku ini nampak terkejut dengan pertanyaan yang aku beri, nampaknya ia merasa bersalah akan kata-katanya barusan."Bukan begitu maksudnya Dek, tapi-""Tapi apa Mas? hanya segini rasa percayamu?" Diriku sangat emosional kali ini, tak bisa
Tok ... tok ... tok"Marya?" suara khas seorang wanita yang sangat kukenal memanggil namaku dibalik pintu, aku sedikit berlari menuju pintu untuk membukakan pintu masuk."Ani?" Aku memasang raut wajah terkejut, tetapi juga senang dengan kedatangannya. Dia adalah Ani, satu-satunya sahabat yang aku punya. Aku menengok kanan dan kiri, kemudian menarik tangan Ani untuk masuk kedalam rumahku."Ayo masuk!" ajakku, Ani menurut saja mengikuti langkahku."Kamu udah sarapan An? makan bareng yuk!" "Lah kebetulan! aku kesini bawain kamu makanan, Emak masak rendang jengkol loh Mar," tutur Ani, membuatku sumringah bahagia, rendang jengkol buatan Emak Ani memang rasanya paling enak."Wuaah ... makasih An, repot-repot segala," ucapku berbasa-basi sok malu-malu menerima makanan dari Ani."Halah, Ndak usah sok imut Mar, inget umur!" gurau Ani padaku diiringi dengan gelak tawa."Enak aja! umurku masih 20 tahun loh, umurmu kan juga sama aja!" protesku terhadap candaan Ani.Kami akhirnya makan berdua de
Pagi hari ini begitu cerah, suasana desa yang asri dan sejuk di pagi hari membuatku semangat untuk beraktivitas. Baru meninggalkan tempat ini beberapa hari, rasanya sudah seperti bernostalgia lama saja saat kembali kesini.Pagi-pagi aku sudah memasak nasi goreng satu porsi untuk diriku sendiri, kembali lagi seperti keseharian sebelum aku menikah beberapa hari yang lalu.Kalau dengan sendirian saja aku bisa hidup setenang ini, kenapa aku harus menikah sih? padahal hidup sendiri sebatang kara tidak seburuk itu, lebih buruk lagi jika tetap meneruskan satu atap dengan mertua."Mar! ayo kita main ke sungai!" seru Ani tiba-tiba, membuatku sedikit terkejut dengan kehadirannya."Salam dulu gitu loh kalo masuk rumah orang." Aku menggelengkan kepala, membuat Ani salah tingkah dan nyengir bagai kuda."Hehe ... ya maaf Mar, habisnya aku semangat banget nih!" ucap Ani dengan antusias."Bukannya ini ndak kepagian?""Justru kalo pagi kaya gini tuh, ga panas Mar." Aku mengangguk mengiyakan ajakan sah
"Wah ... dijemput suaminya ya Mar? kirain sudah ditalak," celetuk salah seorang ibu-ibu yang merupakan tetanggaku.Aku hanya diam tanpa menjawab sepatah katapun. Rasanya benar-benar tak nyaman, di tambah ada Mas Rey di sampingku saat ini."Marya ini adalah istri yang paling saya cintai, tak akan mungkin saya lepaskan istri sebaik dan secantik dia, Bu." Mas Rey membelaku di depan ibu-ibu tetangga yang mencibirku, membuat ibu-ibu itu melengos pergi dengan kesal.Kini aku berjalan menuju rumahku, aku berjalan pulang dengan berdampingan dengan seorang pria, siapa lagi kalau bukan Mas Rey?Beberapa kali kami berdua berpapasan dengan beberapa ibu-ibu yang super kepo akan kehidupanku, membuat aku sedikit risih dan muak. Yang dapat menjawab dan menyapa balik para tetangga dengan ramah malah Mas Rey."Kamu tau dari mana aku ada di sungai?" tanyaku memecah kecanggungan kami berdua."Tadi aku udah ke rumah, tapi kamu ga ada. Jadi aku iseng pergi ke sungai," jelas suamiku, dan aku hanya ber oh ri
Ketika kami berdua tengah menikmati makan malam dengan nikmat, tiba-tiba suamiku malah mengucapkan kalimat pertanyaan yang membuat aku terlonjak kaget mendengarnya."Pulang ya, Dek?" bujuk Mas Rey, membuat aktifitas makan yang tengah aku lakukan ini terhenti, aku tatap wajah pria yang ada di hadapanku saat ini."Pulang? ke rumah itu lagi?" tanyaku, kini suasana yang tadinya hangat seketika menjadi dingin.Berat hati ini jika harus kembali ke rumah itu, baru dua hari saja batinku sudah menyerah. Kembali lagi untuk apa? penghuninya juga tak menyukai keberadaan diriku."Mas ... apa kita ga bisa pindah saja?" tanyaku dengan penuh harap.Terlihat Mas Rey tengah membuang napasnya kasar, mungkin baginya meninggalkan rumah adalah keputusan yang berat.Aku tatap wajah tampannya yang kini tengah muram, apakah permintaanku terlalu berat untukmu Mas? bukankah wajar jika pasangan suami istri memutuskan untuk tinggal sendiri dibandingkan bersama orang tua?"Dek ... rumah itu adalah rumah utama kelua