Share

BAB 3 Seatap dengan Mertua

Prangg!!

Suara benda jatuh terdengar nyaring di telingaku, seketika itu jantungku berdetak kencang tak karuan, pasalnya aku adalah orang yang tak sengaja menyenggol benda itu.

Dari lantai dua, terdengar suara cempreng khas ibu mertua yang berteriak ke arahku, hingga bisa didengar oleh seluruh orang yang ada di rumah ini.

Mbok Yem, dan beberapa pembantu yang sedang masak-masak di dapur sampai lari tergopoh-gopoh menghampiri.

"Ya Tuhan! perempuan pembawa sial!" Ibu mertua berjalan dengan penuh amarah ke arahku.

Tentu aku sangat panik kali ini. Aku menggigit bibirku cemas, dan mundur beberapa langkah ketika sosok wanita paruh baya dengan wajah penuh amarahnya semakin mendekatiku.

Plakk!

Satu tamparan keras melayang tepat di pipi kiriku, hingga tubuhku goyah dan jatuh tersungkur ke lantai.

Semua pembantu yang melihat kejadian itu, menganga dan bergidik ngeri menatapku dengan iba, tapi tentu saja tak ada yang berani untuk membela ataupun menolongku.

"Dasar! wanita tidak tau diri! kamu tau tidak? hah?! harga guci antik yang kamu pecahkan itu harganya sangat mahal! lebih mahal dari harga dirimu!" maki wanita berwajah garang itu.

Hatiku terasa tersayat! harga diriku yang seorang manusia ini, dinilainya lebih rendah dibandingkan sebuah benda.

Aku yang miskin ini memang tak mengerti nilai benda-benda mahal, tapi apakah serendah itu harga diriku di mata ibu mertuaku sendiri?

"Ma-maaf, maaf Buk! Marya ga sengaja," ucapku gemetaran, hingga aku meneteskan air mata, entah karena rasa takut telah menjatuhkan benda mahal itu atau karena sakit hati dengan perkataan ibu mertuaku, Akh ... perasaanku campur aduk sekarang.

"Sudah numpang, malah ngelunjak!" sarkasnya, ia menatap aku yang tengah tersungkur di lantai, aku seperti sedang bersujud di hadapannya. Senyuman terulas di sudut bibir wanita paruh baya itu.

Kejadian ini juga disaksikan oleh kakak ipar pertamaku, Mbak Jeni. Tentu ia terlihat senang bukan main, dan malah ikutan membuat panas ibu mertuaku.

"Haduh! itu kan guci antik kesayangan Ibuk! pasti perempuan ini sengaja! secara dia itu kan ... ndak suka sama Ibuk," hasut wanita berambut pirang itu.

Seketika mataku melebar, apa maksud Mbak Jeni dengan mengatakan hal seperti itu? itu fitnah!

Mendengar perkataan anak pertamanya, ibu mertuaku tanpa memfilter atau mendengarkan penjelasan dariku, ia langsung menjambak rambutku kuat-kuat.

"Akhh .... " teriakku kencang, rambutku seperti akan lepas dari kulitnya, benar-benar sakit!

"Hoo ... berani kamu ya? baru satu hari di rumah ini, kamu berani menentang saya?!" ucap Bu Wasida dengan penuh penekanan padaku.

Aku menggelengkan kepala kuat-kuat, berharap beliau akan mendengarkan penjelasan dariku terlebih dahulu, tapi tidak! ia menjambak rambutku dan menariknya ke atas, membuat aku berdiri dengan paksa.

Rasanya sungguh sakit! meski aku miskin sekalipun, tak pernah aku diperlakukan sampai sekejam ini! bahkan jika itu adalah kakekku sendiri.

Aku terus menangis, dan merengek meminta pengampunan. Wanita dengan wajah judes dan bersanggul itu tak memperdulikan apapun ucapan yang keluar dari mulutku.

Ia menggeret tubuhku dengan cara menjambak rambutku dengan kasar, berjalan menuju ke sebuah kamar mandi, entah apa yang hendak ia lakukan padaku.

Aku bisa melihat raut wajah penuh kemenangan dari Mbak Jeni saat melintas di depannya. Ya Allah, apalagi ini?

Belum puas menampar wajahku, dan menjambak rambutku. Aku dibawa paksa Bu Wasida ke kamar mandi, ia mencelupkan wajahku ke dalam bak mandi. Tak hanya sekali, tapi berkali-kali dan secara brutal tanpa jeda.

Napas ku mulai sesak, hidungku sampai terasa perih karena banyak air yang masuk kedalam hidungku. Sekuat tenaga aku melawan, tapi entah kenapa tenaga wanita tua ini seperti tak ada habisnya.

Sedangkan aku yang memang belum makan apa-apa dari kemarin malam, tentu aku tak bisa menyeimbangi tenaga wanita paruh baya yang bringas ini.

Di saat itu, aku pasrah. Kepalaku pusing, jika aku mati pun rasanya mungkin akan jauh lebih baik daripada merasakan semua hal ini.

"Ini agar kamu berfikir ribuan kali untuk berurusan dengan saya, Marya!" pekik wanita tua itu.

Aku sudah tak peduli ia mengatakan apa, suara makiannya pun sudah terdengar samar-samar di telingaku.

Mataku terasa berat, buram, dan ... gelap.

****

"Mar, bangun! Sebentar lagi magrib," titah seseorang bersuara berat, sepertinya aku mengenali suara itu. Yah ... itu adalah suara Mas Rey.

Pelan-pelan aku membuka mata, ada suamiku yang kini tengah duduk di samping kasur, menemaniku dan mengelus wajahku lembut.

Eh? kupikir aku sudah tiada.

"Adek sakit apa?" tanyanya, membuat aku bingung.

"Maksudnya?" ucapku, dengan wajah bingung. Aku mengubah posisiku yang awalnya tidur menjadi duduk menyandar pada sandaran kasur.

"Kata Ibu sama Mbak Jeni, Adek seharian ini di kamar saja. Mas pikir, Adek sakit," jelasnya.

Sakit? Hah?! aku di aniaya sama Ibu kamu sendiri Mas! aku diperlakukan bak seorang pembantu dengan mengerjakan semua pekerjaan rumah tanpa diberi keringanan sedikit pun!

Setelahnya, aku diperlakukan seperti binatang oleh orang yang kau sebut seorang Ibu itu! ia tanpa ampun membuatku merasa sakit secara fisik maupun mental!

Rasanya, ingin sekali aku mengadu di hadapan Mas Rey, semuanya! semua yang telah ibu dan kakak ipar lakukan terhadap diriku.

Tapi aku sadar, memangnya siapa aku? hanya seorang menantu yang baru sehari di rumah ini, memangnya akan dipercaya oleh lelaki di depanku ini?

Memangnya ia akan membelaku di depan ibu yang telah bersusah payah melahirkan dan membesarkan dia? hak apa yang aku punya? aku bukan siapa-siapa.

Aku jujur tak sepenuhnya mengenal sosok pria di depanku ini, aku hanya tau jika dia adalah pria yang baik, bertanggung jawab, dan menyayangi keluarganya. Tentu aku adalah sebagian dari keluarganya, tapi baru sehari kan?

"I-iya Mas, aku agaknya kurang enak badan," dustaku pada Mas Rey.

"Mau Mas bawa ke dokter?" tawarnya, ia menunjukkan wajah cemasnya padaku.

Aku menggelengkan kepala untuk menolak, "ga perlu Mas, aku ndak papa kok," ucapku.

Pria di depanku ini tampak menghela nafas pelan.

"Ini ... Mas bawakan sepiring nasi. Kata Mbok Yem, Adek belom makan dari pagi." Pria itu mengambil sepiring nasi beserta lauk pauknya yang entah sejak kapan sudah berada di atas nakas samping tempat tidur.

Ia menyuapiku dengan telaten, sesekali menyeka sisa makanan yang menempel di sudut bibirku. Di saat seperti inilah, aku merasa masih kuat untuk mempertahankan pernikahan ini.

Tapi aku tak tahu sampai kapan kewarasan aku ini akan tetap terjaga jika harus terus satu atap dengan ibu mertua dan iparku.

"Kalo masih sakit, Adek di kamar saja nanti saat acara tahlilan, Mas udah bilang ke Ibu," tawarnya dengan penuh perhatian.

Jujur sekujur tubuhku memang terasa sakit, jadi aku mengiyakan tawaran Mas Rey.

"Mas? apa kita ... ndak bisa pindah dari rumah ini?"

Related chapter

Latest chapter

DMCA.com Protection Status