Aku tak tau keberanian ini datang dari mana, terlintas begitu saja di pikiranku dan terucap begitu saja di bibirku.
"Mas? apa kita, ndak bisa pindah dari rumah ini?"Raut wajah Mas Rey tampak berubah, yang awalnya tersenyum manis menjadi dingin, entah apa yang ada di benaknya saat ini. Apa aku mengatakan hal yang salah?"Untuk?" jawabnya singkat, entah kenapa suaranya menjadi dingin, tak sehangat seperti sebelumnya.Aku menelan saliva, rasa takut jika pria di depanku ini mengamuk padaku, tak bisa aku bayangkan bagaimana cara Mas Rey marah.Jujur aku belum pernah sekalipun melihat sisi amarah lelaki ini selama aku mengenalnya bertahun-tahun, mungkin hanya sosok tegasnya saja."A-aku merasa, kita harus bisa mandiri dalam menjalani pernikahan ini Mas, seatap dengan ibu dan kakak ipar membuat kita akan selalu bergantung pada mereka, dan malah akan merepotkan mereka. Mas? boleh ya?" tuturku,Dengan semaksimal mungkin aku membuat ekspresi penuh harap di hadapan pria ini.Ia menatapku dengan lekat, diam beberapa saat, sempat aku pupus harapan untuk disetujui olehnya. "Iya," ucapnya singkat.Mataku terbuka lebar dan berbinar. "Iya?" Aku mengulangi lagi perkataannya, untuk memastikan."Iya, kita akan bicarakan hal ini lagi kapan-kapan Dek, makam mendiang ayah Mas masih basah. Harusnya kamu tak membicarakan hal ini dulu," tuturnya, lalu lelaki itu berdiri dan melenggang pergi masuk ke kamar mandi.Ah iya! bagaimana aku bisa lupa? malam ini adalah malam pertama acara tahlilan mendiang ayah suamiku, bisa-bisanya aku membicarakan hal semacam ini tanpa tau situasi dan kondisi!Sumpah demi apapun aku tak bermaksud untuk melukai perasaan Mas Rey! jujur, aku benar-benar lupa, yang ada dipikiran ku saat ini hanya bagaimana caranya agar aku tidak seatap dengan mertua dan iparku lagi. Tapi aku malah melakukan hal itu tanpa memikirkan perasaan suamiku sendiri. Saat Mas Rey keluar dari kamar mandi, aku berbicara padanya lagi untuk meminta maaf."Maaf Mas, aku ndak bermaksud sengaja meminta hal itu disaat Mas sedang berduka," ucapku penuh penyesalan.Lelaki itu mengelus pucuk kepala milikku, tatapannya menjadi hangat kembali, membuat perasaanku lega.Aku memang harus hati-hati membicarakan hal ini, karena berpisah atap dari orang tua yang telah membesarkan dan merawat dengan susah payah adalah hal yang tidak mudah, aku tau itu.Terlebih lagi, Mas Rey adalah anak terakhir dan juga seorang pengurus penting perusahaan keluarganya.Acara tahlilan malam ini, aku hanya berada di kamar, sesuai dengan penawaran suamiku untuk tetap beristirahat. Meski begitu, aku tetap melantunkan doa untuk mendiang ayah Mas Rey di kamar.Tentu, hal itu akan menjadi kesempatan ibu mertua untuk mencibir diriku di hadapan teman-temannya, ahh ... sudahlah, aku tak peduli, tubuhku remuk karena dirinya.Hidungku bahkan masih terasa sakit karena ia mencelupkan kepalaku secara brutal di bak kamar mandi, sungguh sadis!Malam ini berlalu, esoknya aku membantu Mbok Yem dan para pembantu lainnya untuk menyiapkan acara tahlilan nanti malam, di tempat kami sudah menjadi tradisi untuk mengadakan acara tahlilan itu satu minggu penuh jika ada yang meninggal.Tapi jika tidak mampu juga tak apa, karena keluarga Prawijaya adalah salah satu keluarga kaya dan terpandang di tempat ini, maka acaranya akan diadakan selama seminggu penuh dan dengan sajian yang bisa aku bilang, ini sangat mewah."Non, maaf ya, Mbok ga bisa bantu kamu waktu itu," ucap Mbok Yem tiba-tiba, aku yang tengah khusyuk mengiris sayuran merubah atensiku padanya."Ndak papa Mbok, malahan aku gak mau kalo Mbok sampe ikut campur dan malah kena omel sama IMG" ucapku, membuat Mbok Yem menautkan alisnya bingung."IMG apa Non?," ucap Mbok Yem penasaran.aku mendekatkan diri ke telinga Mbok Yem, "Ibu Mertua Galak!" ucapku, sambil tertawa jail, diikuti oleh Mbok Yem yang juga ikut tertawa."Non Marya bisa saja." Mbok Yem menepuk pundakku pelan sambil tertawa geli.Aku bersyukur sekali, masih ada orang di rumah ini yang mau berbicara denganku dan dekat denganku, walau bukan anggota keluarga dari Mas Rey.Tapi justru malah orang lain yang tidak ada hubungannya di keluarga ini yang mau menerimaku dengan baik, sedangkan aku di perlakukan tidak adil oleh keluarga suami sendiri.Setelah membantu seperlunya di dapur dan suamiku pergi bekerja, aku kembali mencuci pakaian seperti kemarin. Seluruh pakaian kotor anggota keluarga sepertinya sudah diserahkan kepadaku.Dan tentu saja aku mencuci semuanya dengan cara manual, padahal di tempat cuci ini terdapat dua mesin cuci dengan merek yang mahal berjejer di sudut ruangan. Dan aku yakin betul, jika mesin cuci itu masih berfungsi dengan sangat baik.Entah sehari pakai baju ganti berapa kali orang-orang dirumah ini, bahkan sepertinya lebih banyak dari kemarin jumlahnya. Di rumah besar dan mewah ini, ditempati oleh Ibu Mertuaku, Kakak Ipar pertama yakni Mbak Jeni dengan suaminya bernama Mas Surya yang sudah menikah dua tahun.sedangkan Kakak Ipar kedua yaitu Mas Zain dengan istrinya yang bernama Mbak Nara, mereka sudah menikah sekitar satu tahun ini seingat ku.Jujur aku belum pernah bertemu dengan suami Mbak Jeni karena aku dengar suaminya bekerja di luar kota.Sedangkan istri Mas Zain, aku hanya bertemu saat bapak mertua meninggal di hari pertama itu, selebihnya aku tak pernah melihat lagi.Kata Mas Rey, mbak iparnya itu adalah seorang pramugari yang cukup sibuk, maka dari itu memang jarang memiliki waktu.Meski demikian, kedua menantu yang hampir tidak pernah meluangkan waktunya itu, selalu disayang dan dibangga-banggakan oleh Bu Wasida.Sedangkan aku yang mencuci bajunya, membersihkan rumahnya setiap hari ini malah seenaknya di anggap seperti pembantu.Aku bukannya iri dengan Mas Surya ataupun Mbak Nara, aku hanya ingin setidaknya meski hanya sedikit, anggaplah aku sebagai menantu di keluarga ini.Aku hanya takut, jika sewaktu-waktu aku memiliki anak dari Mas Rey, dan anakku merasakan dihina oleh keluarga ayahnya sendiri, aku ga mau sampai seperti itu!Ayo Marya! aku kuat, aku sabar, dan aku pasti bisa melewati cobaan ini! hanya perlu keluar dari rumah keluarga Prawijaya, maka penderitaan akan usai.Tak apa jika tidak lagi tinggal di rumah megah nan mewah ini lagi, dibandingkan harus menderita batin terus-menerus."Marya! apa-apaan ini? kamu apakan baju-baju mahal saya?!"Pagi hari ini cerah, usai aku menyiapkan pakaian kerja untuk suami, dan memasak untuk sarapan dan juga bekal, kami menyempatkan untuk berbincang-bincang di kamar sebelum suamiku pergi bekerja.Ia meminta maaf padaku karena belum bisa mengajak berlibur bulan madu usai pernikahan, di samping masih masa berduka, ada perusahaan yang masih dalam keadaan sulit untuk ditinggal oleh suamiku.Aku memaklumi hal itu, menjadi pemimpin perusahaan besar tidaklah mudah, aku juga tidak menuntut Mas Rey untuk hal-hal seperti itu. Cukup ia percaya dan menyayangi diriku saja sudah sangat berarti untukku, aku harap bisa memiliki rumah kecil sederhana bersama Mas Rey, dan hanya ada kami berdua bersama calon buah hati kecil kami nantinya.Sungguh luar biasa nikmatnya jika hal ini terwujud, tapi aku juga tau jika ini adalah hal yang tidaklah mudah, terlebih lagi jika meminta izin dari Ibu Wasida, mertuaku.Tak ingin aku dicap sebagai menantu kurang ajar yang mencoba memisahkan anak dari ibunya. Tidak ada n
"Maksud kamu, putri sulung saya ini pembohong?" Ibu Wasida berdiri untuk menatapku dengan penuh kebencian.Seharusnya aku tak perlu cemas karena merasa jika apa yang dituduhkan oleh Mbak Jeni adalah fitnah, tapi jika yang aku hadapi adalah ibu mertuaku ... maka tak peduli apapun faktanya, aku lah tokoh antagonis di matanya."Sa-saya beneran ga ngelakuin semua tuduhan Mbak Jeni Bu! percaya sama Marya ...." meski tau kalimat ini sia-sia, aku tetap mencoba membela diri di hadapan ibu mertuaku. "Mbok! bawa Jeni ke kamar, obati luka di kakinya!" titah tegas wanita bersanggul di depanku ini dengan terus menatap tajam ke arahku."I-iya Nya" Mbok Yem tergopoh-gopoh membantu Kakak Iparku untuk berdiri dan membawanya ke kamar. Mbak Jeni terus meringis kesakitan dan membuat ibu mertua semakin terprovokasi dibuatnya. Aku tau itu pasti hanya akal-akalan kakak iparku agar aku semakin terpojok oleh ibu mertua.Ya Allah apalagi ini? baru dua hari aku tinggal di rumah ini, tapi tak ada yang membiark
Kini aku berada di kamar, berdua dengan suamiku. Aku menatapnya lekat, berusaha tetap tegar dan tenang meski rasanya ingin sekali menggebu-gebu membela diri, tapi aku tahan itu semua."Mas ... ga percaya sama aku?" Aku memulai pembicaraan duluan."Percaya," jawabnya singkat, aku menghembuskan napas lega akan jawabannya."Tapi saya juga percaya dengan keluarga saya." Hanya tatapan dingin yang aku lihat di mata pria di depanku saat ini, hening ... aku masih mencerna baik-baik kalimat yang dilontarkan Mas Rey padaku."Jadi ... Mas tak menganggap aku sebagai bagian keluarga Mas Rey?" tanyaku, tak mampu lagi untuk aku tidak meneteskan air mata.Aku pikir suamiku akan percaya padaku tanpa keraguan, tidak bisakah ia melihat kejujuran di mataku?Lelaki di depanku ini nampak terkejut dengan pertanyaan yang aku beri, nampaknya ia merasa bersalah akan kata-katanya barusan."Bukan begitu maksudnya Dek, tapi-""Tapi apa Mas? hanya segini rasa percayamu?" Diriku sangat emosional kali ini, tak bisa
Tok ... tok ... tok"Marya?" suara khas seorang wanita yang sangat kukenal memanggil namaku dibalik pintu, aku sedikit berlari menuju pintu untuk membukakan pintu masuk."Ani?" Aku memasang raut wajah terkejut, tetapi juga senang dengan kedatangannya. Dia adalah Ani, satu-satunya sahabat yang aku punya. Aku menengok kanan dan kiri, kemudian menarik tangan Ani untuk masuk kedalam rumahku."Ayo masuk!" ajakku, Ani menurut saja mengikuti langkahku."Kamu udah sarapan An? makan bareng yuk!" "Lah kebetulan! aku kesini bawain kamu makanan, Emak masak rendang jengkol loh Mar," tutur Ani, membuatku sumringah bahagia, rendang jengkol buatan Emak Ani memang rasanya paling enak."Wuaah ... makasih An, repot-repot segala," ucapku berbasa-basi sok malu-malu menerima makanan dari Ani."Halah, Ndak usah sok imut Mar, inget umur!" gurau Ani padaku diiringi dengan gelak tawa."Enak aja! umurku masih 20 tahun loh, umurmu kan juga sama aja!" protesku terhadap candaan Ani.Kami akhirnya makan berdua de
Pagi hari ini begitu cerah, suasana desa yang asri dan sejuk di pagi hari membuatku semangat untuk beraktivitas. Baru meninggalkan tempat ini beberapa hari, rasanya sudah seperti bernostalgia lama saja saat kembali kesini.Pagi-pagi aku sudah memasak nasi goreng satu porsi untuk diriku sendiri, kembali lagi seperti keseharian sebelum aku menikah beberapa hari yang lalu.Kalau dengan sendirian saja aku bisa hidup setenang ini, kenapa aku harus menikah sih? padahal hidup sendiri sebatang kara tidak seburuk itu, lebih buruk lagi jika tetap meneruskan satu atap dengan mertua."Mar! ayo kita main ke sungai!" seru Ani tiba-tiba, membuatku sedikit terkejut dengan kehadirannya."Salam dulu gitu loh kalo masuk rumah orang." Aku menggelengkan kepala, membuat Ani salah tingkah dan nyengir bagai kuda."Hehe ... ya maaf Mar, habisnya aku semangat banget nih!" ucap Ani dengan antusias."Bukannya ini ndak kepagian?""Justru kalo pagi kaya gini tuh, ga panas Mar." Aku mengangguk mengiyakan ajakan sah
"Wah ... dijemput suaminya ya Mar? kirain sudah ditalak," celetuk salah seorang ibu-ibu yang merupakan tetanggaku.Aku hanya diam tanpa menjawab sepatah katapun. Rasanya benar-benar tak nyaman, di tambah ada Mas Rey di sampingku saat ini."Marya ini adalah istri yang paling saya cintai, tak akan mungkin saya lepaskan istri sebaik dan secantik dia, Bu." Mas Rey membelaku di depan ibu-ibu tetangga yang mencibirku, membuat ibu-ibu itu melengos pergi dengan kesal.Kini aku berjalan menuju rumahku, aku berjalan pulang dengan berdampingan dengan seorang pria, siapa lagi kalau bukan Mas Rey?Beberapa kali kami berdua berpapasan dengan beberapa ibu-ibu yang super kepo akan kehidupanku, membuat aku sedikit risih dan muak. Yang dapat menjawab dan menyapa balik para tetangga dengan ramah malah Mas Rey."Kamu tau dari mana aku ada di sungai?" tanyaku memecah kecanggungan kami berdua."Tadi aku udah ke rumah, tapi kamu ga ada. Jadi aku iseng pergi ke sungai," jelas suamiku, dan aku hanya ber oh ri
Ketika kami berdua tengah menikmati makan malam dengan nikmat, tiba-tiba suamiku malah mengucapkan kalimat pertanyaan yang membuat aku terlonjak kaget mendengarnya."Pulang ya, Dek?" bujuk Mas Rey, membuat aktifitas makan yang tengah aku lakukan ini terhenti, aku tatap wajah pria yang ada di hadapanku saat ini."Pulang? ke rumah itu lagi?" tanyaku, kini suasana yang tadinya hangat seketika menjadi dingin.Berat hati ini jika harus kembali ke rumah itu, baru dua hari saja batinku sudah menyerah. Kembali lagi untuk apa? penghuninya juga tak menyukai keberadaan diriku."Mas ... apa kita ga bisa pindah saja?" tanyaku dengan penuh harap.Terlihat Mas Rey tengah membuang napasnya kasar, mungkin baginya meninggalkan rumah adalah keputusan yang berat.Aku tatap wajah tampannya yang kini tengah muram, apakah permintaanku terlalu berat untukmu Mas? bukankah wajar jika pasangan suami istri memutuskan untuk tinggal sendiri dibandingkan bersama orang tua?"Dek ... rumah itu adalah rumah utama kelua
Rey dan Marya masuk ke dalam rumah dengan bergandengan tangan, baru satu langkah masuk kedalam rumah, kedua pasangan itu disambut oleh Bu Wasida yang tengah duduk santai di sofa ruang tamu."Lah? masih punya muka kamu Mar? ternyata memang wanita yang gak punya malu!" celetuk wanita paruh baya dengan sanggul anggunnya."Buk! jangan begitu sama Marya, dia istriku,"ucap Rey membela sang istri, perasaan ngilu di hati Marya berubah menjadi haru karena mendengar pembelaan suaminya."Halah Rey ... Rey, kamu itu pasti udah dicuci otaknya sama si perempuan sialan itu!" tuduh Bu Wasida sambil menunjuk ke arah Marya, bahkan matanya sampai memancarkan kebencian yang mendalam.Marya menggenggam semakin erat tangan Rey, tertanda jika ia sedang takut dan gelisah. Seharusnya ia memang tidak perlu datang lagi ke rumah ini.Rey yang tahu perasaan takut sang istri, mencoba menenangkannya dengan menatap lekat Marya dengan hangat, matanya seperti memberikan i