Kini aku berada di kamar, berdua dengan suamiku. Aku menatapnya lekat, berusaha tetap tegar dan tenang meski rasanya ingin sekali menggebu-gebu membela diri, tapi aku tahan itu semua.
"Mas ... ga percaya sama aku?" Aku memulai pembicaraan duluan."Percaya," jawabnya singkat, aku menghembuskan napas lega akan jawabannya."Tapi saya juga percaya dengan keluarga saya." Hanya tatapan dingin yang aku lihat di mata pria di depanku saat ini, hening ... aku masih mencerna baik-baik kalimat yang dilontarkan Mas Rey padaku."Jadi ... Mas tak menganggap aku sebagai bagian keluarga Mas Rey?" tanyaku, tak mampu lagi untuk aku tidak meneteskan air mata.Aku pikir suamiku akan percaya padaku tanpa keraguan, tidak bisakah ia melihat kejujuran di mataku?Lelaki di depanku ini nampak terkejut dengan pertanyaan yang aku beri, nampaknya ia merasa bersalah akan kata-katanya barusan."Bukan begitu maksudnya Dek, tapi-""Tapi apa Mas? hanya segini rasa percayamu?" Diriku sangat emosional kali ini, tak bisa aku mengendalikan ucapan dan pikiranku saat ini.Lebih menjengkelkan lagi saat lelaki di depanku ini hanya terdiam tanpa menjawab, sepertinya memang benar pikiranku tentang Mas Rey adalah lelaki yang sangat mencintai keluarganya, yah ... 'keluarganya' bukan 'keluarga luar' sepertiku.Aku meneguk saliva, mempertimbangkan sebuah keputusan yang entah benar atau salah untuk aku ambil."Aku akan pulang kerumahku." Aku berdiri kemudian mengambil koperku dan memindahkan semua pakaianku yang ada di lemari kedalam koper berukuran sedang milikku."Jangan gegabah Dek ... kita cari penyelesaiannya bareng-bareng, ya?" ujar pria itu, ia menatapku sendu, tampak ada penyesalan di matanya. Tapi hal itu sudah tak aku pedulikan lagi saat ini, aku sudah cukup kecewa kali ini."Udah selesai Mas! semuanya udah selesai, tak ada kepercayaanmu padaku, lantas apa yang mau dijelaskan lagi?!"Emosiku meledak tak terkendali, aku tau menentang suami adalah hal yang salah, tapi untuk kali ini aku ingin egois sekali saja, demi kewarasanku."Kumohon biarkan aku tenang untuk sementara waktu ini, Mas."Mendengar itu Mas Rey nampak mengendurkan genggamannya padaku, aku menepis kasar tangannya.Aku beranjak membuka pintu kamar dan melangkahkan kaki keluar ruangan. Nampak ada Mbok Yem yang menatap sendu padaku, aku hanya membalasnya dengan senyuman getir."Mau kemana Non?" Mbok Yem melirik ke arah koper yang aku bawa di tangan kananku."Mencari ketenangan Mbok, Marya pamit ya?" Ucapan itu dibalas dengan anggukan lemah Mbok Yem, ia tak banyak bertanya lagi, dan sepertinya Mbok Yem lebih mengerti perasaanku dibandingkan dengan suamiku sendiri.Aku melanjutkan langkah untuk keluar, sesaat aku menghentikan langkahku ketika mendapati Ibu Wasida dan Mbak Jeni tengah duduk santai di ruang tamu.Aku menoleh ke arah mereka sebentar, mereka terlihat tersenyum penuh kemenangan. Luar biasa drama keluarga ini, ternyata memang hal inilah yang mereka nantikan sejak kemarin.Meski emosiku sedang meluap dan dipenuhi amarah saat ini, aku menurunkan egoku untuk tetap berpamitan pada mereka. "Saya pamit Buk, Mbak, saya mau pulang ke rumah saya untuk sementara waktu.""Lah? ga selamanya aja Mar? masih ada muka kamu balik lagi kesini?"kakak iparku mengatakan kalimat itu dengan senyuman sinisnya, aku mengabaikan perkataannya dan tak menjawab sepatah katapun selain salam pamit."Assalamualaikum," ucapku, kemudian bergegas pergi dari rumah mewah nan megah bagai istana ini, tetapi bagaikan neraka untukku.Aku kembali pulang ke rumah tua milik mendiang kakek dan nenek, untungnya ada angkot yang memang melewati jalan ke arah rumahku.Jaraknya tidak terlalu jauh, masih satu wilayah desa tetapi berbeda RT. Rumah peninggalan dari kakek dan nenek ini sangat sederhana, masih berdinding papan kayu tua dengan cat warna putih yang sudah hampir pudar, rumah petak berukuran kecil.Mungkin bagi sebagian orang rumah ini sangat sesak, sempit, dan tak layak huni. Tapi bagiku ini adalah rumah ternyaman bagiku, aku jadi mengingat kehangatan keluargaku saat ibu, kakek, dan nenek masih hidup dan sehat. Mereka selalu memanjakan diriku saat itu, meski bukan dalam bentuk materi tentunya.Sempat aku berpapasan dengan beberapa tetanggaku, mereka menanyakan ini dan itu, kenapa aku pulang sendirian dan lain-lain.Tapi semuanya tak ada yang aku jawab, biarlah mereka berspekulasi macam-macam, sudah cukup lelah batinku dengan berpura-pura baik-baik saja.Aku mengistirahatkan tubuhku di kasur kapuk yang adalah tempat tidurku, aku meringkuk dan memeluk diriku sendiri seperti orang yang kedinginan dan kesepian.Di sini aku menumpahkan segala emosiku, menangis tersengal-sengal tanpa henti, di saat ini aku berfikir apakah aku harus mengakhiri hubungan ini? baru dua hari saja batinku sudah menggila, apalagi setahun? dua tahun? selamanya?****Aku membuka mata perlahan, kulihat langit-langit yang berasal dari anyaman bambu itu. Sepertinya aku ketiduran hingga fajar, sesaat aku mengambil benda pipih yang terdapat di atas nakas tua samping tempat tidur, huftt ... ternyata sudah waktunya sholat subuh.Kakiku melangkah menuju belakang rumah, menghidupkan keran air untuk berwudhu hingga akhirnya menunaikan sholat subuh.Perasaanku mulai membaik dan tenang, sungguh luar biasa memang jika ada masalah dan mengobatinya dengan mendekatkan diri pada-Nya. Kedua tanganku terangkat ke atas untuk memanjatkan doa."Ya Allah ... maafkan hamba yang selalu tak luput dari segala dosa duniawi, maafkan hamba juga yang malah lari dari masalah tanpa mencoba untuk berjuang membela diri, maaf ... hanya kepada Engkaulah, hamba berserah diri."Air mata mengalir begitu saja di setiap kalimat doa yang terucap di bibirku, apa aku salah dengan meninggalkan Mas Rey begitu saja tanpa memberikan penjelasan?Tapi bagaimana mau kucoba jelaskan, jika sudah ada keraguan atas diriku ini di mata lelaki yang selama ini aku percaya?Kini aku beranjak dari kamar menuju halaman belakang rumah, meski lahannya tak begitu luas, tetapi di halaman belakang ini terdapat beberapa tanaman yang memang sengaja mendiang kakek dan nenek tanam, sejak sepeninggal mereka akulah yang merawat tanaman yang ada di sini.Ada tanaman singkong, ubi ungu, tomat, cabai, terong, dan beberapa rempah bumbu dapur yang biasanya sering digunakan untuk memasak.Biasanya jika keluarga kami sedang krisis ekonomi, tanaman inilah yang menyelamatkan kami sekeluarga dari rasa lapar. Aku tersenyum lebar ketika melihat tanamannya tumbuh dengan segar, sepertinya aku akan panen kali ini.Meski lumayan banyak yang bisa dipanen, tapi aku hanya mengambilnya sesuai kebutuhan saja. Jika nanti kurang, bisa ambil lagi sesuka hati.Aku merebus singkong yang telah aku kupas dan bersihkan, kemudian beralih untuk membuat sambal terong pedas kesukaanku.Luar biasa nikmatnya makananku kali ini, berbeda sekali jika berada di rumah Mas Rey. Meski banyak lauk daging dan makanan mahal, rasanya malah kurang nikmat!Saat aku masih menikmati sarapan pagi ku dengan lahap, tiba-tiba ada suara ketukan pintu membuat kegiatan makan yang aku lakukan terhenti.Tok ... tok ... tok"Marya?""Loh? suara itu kan?"Tok ... tok ... tok"Marya?" suara khas seorang wanita yang sangat kukenal memanggil namaku dibalik pintu, aku sedikit berlari menuju pintu untuk membukakan pintu masuk."Ani?" Aku memasang raut wajah terkejut, tetapi juga senang dengan kedatangannya. Dia adalah Ani, satu-satunya sahabat yang aku punya. Aku menengok kanan dan kiri, kemudian menarik tangan Ani untuk masuk kedalam rumahku."Ayo masuk!" ajakku, Ani menurut saja mengikuti langkahku."Kamu udah sarapan An? makan bareng yuk!" "Lah kebetulan! aku kesini bawain kamu makanan, Emak masak rendang jengkol loh Mar," tutur Ani, membuatku sumringah bahagia, rendang jengkol buatan Emak Ani memang rasanya paling enak."Wuaah ... makasih An, repot-repot segala," ucapku berbasa-basi sok malu-malu menerima makanan dari Ani."Halah, Ndak usah sok imut Mar, inget umur!" gurau Ani padaku diiringi dengan gelak tawa."Enak aja! umurku masih 20 tahun loh, umurmu kan juga sama aja!" protesku terhadap candaan Ani.Kami akhirnya makan berdua de
Pagi hari ini begitu cerah, suasana desa yang asri dan sejuk di pagi hari membuatku semangat untuk beraktivitas. Baru meninggalkan tempat ini beberapa hari, rasanya sudah seperti bernostalgia lama saja saat kembali kesini.Pagi-pagi aku sudah memasak nasi goreng satu porsi untuk diriku sendiri, kembali lagi seperti keseharian sebelum aku menikah beberapa hari yang lalu.Kalau dengan sendirian saja aku bisa hidup setenang ini, kenapa aku harus menikah sih? padahal hidup sendiri sebatang kara tidak seburuk itu, lebih buruk lagi jika tetap meneruskan satu atap dengan mertua."Mar! ayo kita main ke sungai!" seru Ani tiba-tiba, membuatku sedikit terkejut dengan kehadirannya."Salam dulu gitu loh kalo masuk rumah orang." Aku menggelengkan kepala, membuat Ani salah tingkah dan nyengir bagai kuda."Hehe ... ya maaf Mar, habisnya aku semangat banget nih!" ucap Ani dengan antusias."Bukannya ini ndak kepagian?""Justru kalo pagi kaya gini tuh, ga panas Mar." Aku mengangguk mengiyakan ajakan sah
"Wah ... dijemput suaminya ya Mar? kirain sudah ditalak," celetuk salah seorang ibu-ibu yang merupakan tetanggaku.Aku hanya diam tanpa menjawab sepatah katapun. Rasanya benar-benar tak nyaman, di tambah ada Mas Rey di sampingku saat ini."Marya ini adalah istri yang paling saya cintai, tak akan mungkin saya lepaskan istri sebaik dan secantik dia, Bu." Mas Rey membelaku di depan ibu-ibu tetangga yang mencibirku, membuat ibu-ibu itu melengos pergi dengan kesal.Kini aku berjalan menuju rumahku, aku berjalan pulang dengan berdampingan dengan seorang pria, siapa lagi kalau bukan Mas Rey?Beberapa kali kami berdua berpapasan dengan beberapa ibu-ibu yang super kepo akan kehidupanku, membuat aku sedikit risih dan muak. Yang dapat menjawab dan menyapa balik para tetangga dengan ramah malah Mas Rey."Kamu tau dari mana aku ada di sungai?" tanyaku memecah kecanggungan kami berdua."Tadi aku udah ke rumah, tapi kamu ga ada. Jadi aku iseng pergi ke sungai," jelas suamiku, dan aku hanya ber oh ri
Ketika kami berdua tengah menikmati makan malam dengan nikmat, tiba-tiba suamiku malah mengucapkan kalimat pertanyaan yang membuat aku terlonjak kaget mendengarnya."Pulang ya, Dek?" bujuk Mas Rey, membuat aktifitas makan yang tengah aku lakukan ini terhenti, aku tatap wajah pria yang ada di hadapanku saat ini."Pulang? ke rumah itu lagi?" tanyaku, kini suasana yang tadinya hangat seketika menjadi dingin.Berat hati ini jika harus kembali ke rumah itu, baru dua hari saja batinku sudah menyerah. Kembali lagi untuk apa? penghuninya juga tak menyukai keberadaan diriku."Mas ... apa kita ga bisa pindah saja?" tanyaku dengan penuh harap.Terlihat Mas Rey tengah membuang napasnya kasar, mungkin baginya meninggalkan rumah adalah keputusan yang berat.Aku tatap wajah tampannya yang kini tengah muram, apakah permintaanku terlalu berat untukmu Mas? bukankah wajar jika pasangan suami istri memutuskan untuk tinggal sendiri dibandingkan bersama orang tua?"Dek ... rumah itu adalah rumah utama kelua
Rey dan Marya masuk ke dalam rumah dengan bergandengan tangan, baru satu langkah masuk kedalam rumah, kedua pasangan itu disambut oleh Bu Wasida yang tengah duduk santai di sofa ruang tamu."Lah? masih punya muka kamu Mar? ternyata memang wanita yang gak punya malu!" celetuk wanita paruh baya dengan sanggul anggunnya."Buk! jangan begitu sama Marya, dia istriku,"ucap Rey membela sang istri, perasaan ngilu di hati Marya berubah menjadi haru karena mendengar pembelaan suaminya."Halah Rey ... Rey, kamu itu pasti udah dicuci otaknya sama si perempuan sialan itu!" tuduh Bu Wasida sambil menunjuk ke arah Marya, bahkan matanya sampai memancarkan kebencian yang mendalam.Marya menggenggam semakin erat tangan Rey, tertanda jika ia sedang takut dan gelisah. Seharusnya ia memang tidak perlu datang lagi ke rumah ini.Rey yang tahu perasaan takut sang istri, mencoba menenangkannya dengan menatap lekat Marya dengan hangat, matanya seperti memberikan i
Krieeeeet ....Perlahan Marya membuka pintu kamarnya, netranya langsung terpusat pada sosok Bu Wasida yang kini tepat berada di hadapannya.Wajah merah padam menahan amarah terlihat jelas pada wajah wanita paruh baya itu, tatapan nyalang Wasida dibalas dengan tundukan kepala Marya.Ia tak sanggup menatap wajah ibu mertuanya, raganya kini tengah ketar-ketir berhadapan dengan sosok wanita bersanggul itu.Sementara itu, Mbok Yem terpaku di ambang pintu dapur. Dari kejauhan ia menyaksikan semuanya, batinnya pun ikut ketar-ketir, bertanya-tanya apa yang akan dilakukan Bu Wasida pada Marya?"Ya Allah, apa lagi cobaan Nduk Marya iki," lirih Mbok Yem."Kamu pasti guna-guna anak saya! iya kan? ngaku kamu!" tuduh Bu Wasida dengan menggebu.Sepertinya sedari tadi saat ada Rey, ia sangat memendam semua kesalnya pada Marya, hingga akhirnya sekarang wanita tua itu bisa meluapkan kebencian saat putra bungsunya telah pergi."As
Sepasang suami istri terlihat tengah menikmati sepiring nasi goreng di meja mereka, Rey memutuskan untuk memboyong istrinya makan di luar, mengingat suasana tak kondusif yang terjadi di rumah.Kini Marya dapat menelan makanan dengan nyaman, ia makan dengan lahap karena memang sudah kelaparan sejak tadi. Namun beberapa saat kemudian, ia melirik ke arah suaminya.Terlihat Rey seperti sedang hanyut dalam lamunannya, ia bahkan tak menyuapkan sesendok nasi pun ke dalam mulutnya. Dahi Marya mengernyit, batinnya bertanya-tanya tentang apa yang kini tengah suaminya pikirkan."Mas?" "Hmm?" Rey mulai menata fokus, ia telah sadar jika istrinya kini menatapnya penuh tanda tanya."Kenapa? kok sampai melamun gitu," ucap Marya penuh selidik.Tampak lelaki tampan itu mengembuskan napasnya kasar, menimang-nimang untuk mengucapkan sebuah jawaban."Dek ... Mas boleh minta sesuatu?" tanya Rey ragu-ragu."Tentu, apa itu?" Marya sem
Tertohok Wasida mendengar ucapan pedas Marya, berani-beraninya menantu udik itu melontarkan kalimat pedas padanya.Kini yang awalnya wanita paruh baya itu ada di belakang Nara, dengan gemuruh amarah ia menerobos mendekati wanita berhijab coklat itu, membuat Marya mundur beberapa langkah untuk menjauh.Meski ketar-ketir nyali Marya saat ini, tapi hati kecilnya tak terima jika ibunya dijelekkan oleh orang lain, meski itu adalah ibu mertuanya sendiri."Apa kamu bilang tadi? berani kamu sama saya?" Wasida menjambak rambut menantunya yang ada di balik hijab, ia mencengkram gunungan rambut itu kuat-kuat.Yang biasanya Marya akan berteriak kesakitan dan memohon pengampunan, ia malah diam saja tanpa memohon pada Wasida, membuat wanita paruh baya dengan sanggulnya itu semakin geram hingga menampakkan urat-urat kekesalan di wajah tuanya."Saya ga papa Buk, jika hanya saya yang Ibuk hina, tapi jangan bawa-bawa nama ibu saya! ibu saya wanita yang baik." Marya meneteskan bulir air matanya, namun ha