Pagi hari ini begitu cerah, suasana desa yang asri dan sejuk di pagi hari membuatku semangat untuk beraktivitas. Baru meninggalkan tempat ini beberapa hari, rasanya sudah seperti bernostalgia lama saja saat kembali kesini.Pagi-pagi aku sudah memasak nasi goreng satu porsi untuk diriku sendiri, kembali lagi seperti keseharian sebelum aku menikah beberapa hari yang lalu.Kalau dengan sendirian saja aku bisa hidup setenang ini, kenapa aku harus menikah sih? padahal hidup sendiri sebatang kara tidak seburuk itu, lebih buruk lagi jika tetap meneruskan satu atap dengan mertua."Mar! ayo kita main ke sungai!" seru Ani tiba-tiba, membuatku sedikit terkejut dengan kehadirannya."Salam dulu gitu loh kalo masuk rumah orang." Aku menggelengkan kepala, membuat Ani salah tingkah dan nyengir bagai kuda."Hehe ... ya maaf Mar, habisnya aku semangat banget nih!" ucap Ani dengan antusias."Bukannya ini ndak kepagian?""Justru kalo pagi kaya gini tuh, ga panas Mar." Aku mengangguk mengiyakan ajakan sah
"Wah ... dijemput suaminya ya Mar? kirain sudah ditalak," celetuk salah seorang ibu-ibu yang merupakan tetanggaku.Aku hanya diam tanpa menjawab sepatah katapun. Rasanya benar-benar tak nyaman, di tambah ada Mas Rey di sampingku saat ini."Marya ini adalah istri yang paling saya cintai, tak akan mungkin saya lepaskan istri sebaik dan secantik dia, Bu." Mas Rey membelaku di depan ibu-ibu tetangga yang mencibirku, membuat ibu-ibu itu melengos pergi dengan kesal.Kini aku berjalan menuju rumahku, aku berjalan pulang dengan berdampingan dengan seorang pria, siapa lagi kalau bukan Mas Rey?Beberapa kali kami berdua berpapasan dengan beberapa ibu-ibu yang super kepo akan kehidupanku, membuat aku sedikit risih dan muak. Yang dapat menjawab dan menyapa balik para tetangga dengan ramah malah Mas Rey."Kamu tau dari mana aku ada di sungai?" tanyaku memecah kecanggungan kami berdua."Tadi aku udah ke rumah, tapi kamu ga ada. Jadi aku iseng pergi ke sungai," jelas suamiku, dan aku hanya ber oh ri
Ketika kami berdua tengah menikmati makan malam dengan nikmat, tiba-tiba suamiku malah mengucapkan kalimat pertanyaan yang membuat aku terlonjak kaget mendengarnya."Pulang ya, Dek?" bujuk Mas Rey, membuat aktifitas makan yang tengah aku lakukan ini terhenti, aku tatap wajah pria yang ada di hadapanku saat ini."Pulang? ke rumah itu lagi?" tanyaku, kini suasana yang tadinya hangat seketika menjadi dingin.Berat hati ini jika harus kembali ke rumah itu, baru dua hari saja batinku sudah menyerah. Kembali lagi untuk apa? penghuninya juga tak menyukai keberadaan diriku."Mas ... apa kita ga bisa pindah saja?" tanyaku dengan penuh harap.Terlihat Mas Rey tengah membuang napasnya kasar, mungkin baginya meninggalkan rumah adalah keputusan yang berat.Aku tatap wajah tampannya yang kini tengah muram, apakah permintaanku terlalu berat untukmu Mas? bukankah wajar jika pasangan suami istri memutuskan untuk tinggal sendiri dibandingkan bersama orang tua?"Dek ... rumah itu adalah rumah utama kelua
Rey dan Marya masuk ke dalam rumah dengan bergandengan tangan, baru satu langkah masuk kedalam rumah, kedua pasangan itu disambut oleh Bu Wasida yang tengah duduk santai di sofa ruang tamu."Lah? masih punya muka kamu Mar? ternyata memang wanita yang gak punya malu!" celetuk wanita paruh baya dengan sanggul anggunnya."Buk! jangan begitu sama Marya, dia istriku,"ucap Rey membela sang istri, perasaan ngilu di hati Marya berubah menjadi haru karena mendengar pembelaan suaminya."Halah Rey ... Rey, kamu itu pasti udah dicuci otaknya sama si perempuan sialan itu!" tuduh Bu Wasida sambil menunjuk ke arah Marya, bahkan matanya sampai memancarkan kebencian yang mendalam.Marya menggenggam semakin erat tangan Rey, tertanda jika ia sedang takut dan gelisah. Seharusnya ia memang tidak perlu datang lagi ke rumah ini.Rey yang tahu perasaan takut sang istri, mencoba menenangkannya dengan menatap lekat Marya dengan hangat, matanya seperti memberikan i
Krieeeeet ....Perlahan Marya membuka pintu kamarnya, netranya langsung terpusat pada sosok Bu Wasida yang kini tepat berada di hadapannya.Wajah merah padam menahan amarah terlihat jelas pada wajah wanita paruh baya itu, tatapan nyalang Wasida dibalas dengan tundukan kepala Marya.Ia tak sanggup menatap wajah ibu mertuanya, raganya kini tengah ketar-ketir berhadapan dengan sosok wanita bersanggul itu.Sementara itu, Mbok Yem terpaku di ambang pintu dapur. Dari kejauhan ia menyaksikan semuanya, batinnya pun ikut ketar-ketir, bertanya-tanya apa yang akan dilakukan Bu Wasida pada Marya?"Ya Allah, apa lagi cobaan Nduk Marya iki," lirih Mbok Yem."Kamu pasti guna-guna anak saya! iya kan? ngaku kamu!" tuduh Bu Wasida dengan menggebu.Sepertinya sedari tadi saat ada Rey, ia sangat memendam semua kesalnya pada Marya, hingga akhirnya sekarang wanita tua itu bisa meluapkan kebencian saat putra bungsunya telah pergi."As
Sepasang suami istri terlihat tengah menikmati sepiring nasi goreng di meja mereka, Rey memutuskan untuk memboyong istrinya makan di luar, mengingat suasana tak kondusif yang terjadi di rumah.Kini Marya dapat menelan makanan dengan nyaman, ia makan dengan lahap karena memang sudah kelaparan sejak tadi. Namun beberapa saat kemudian, ia melirik ke arah suaminya.Terlihat Rey seperti sedang hanyut dalam lamunannya, ia bahkan tak menyuapkan sesendok nasi pun ke dalam mulutnya. Dahi Marya mengernyit, batinnya bertanya-tanya tentang apa yang kini tengah suaminya pikirkan."Mas?" "Hmm?" Rey mulai menata fokus, ia telah sadar jika istrinya kini menatapnya penuh tanda tanya."Kenapa? kok sampai melamun gitu," ucap Marya penuh selidik.Tampak lelaki tampan itu mengembuskan napasnya kasar, menimang-nimang untuk mengucapkan sebuah jawaban."Dek ... Mas boleh minta sesuatu?" tanya Rey ragu-ragu."Tentu, apa itu?" Marya sem
Tertohok Wasida mendengar ucapan pedas Marya, berani-beraninya menantu udik itu melontarkan kalimat pedas padanya.Kini yang awalnya wanita paruh baya itu ada di belakang Nara, dengan gemuruh amarah ia menerobos mendekati wanita berhijab coklat itu, membuat Marya mundur beberapa langkah untuk menjauh.Meski ketar-ketir nyali Marya saat ini, tapi hati kecilnya tak terima jika ibunya dijelekkan oleh orang lain, meski itu adalah ibu mertuanya sendiri."Apa kamu bilang tadi? berani kamu sama saya?" Wasida menjambak rambut menantunya yang ada di balik hijab, ia mencengkram gunungan rambut itu kuat-kuat.Yang biasanya Marya akan berteriak kesakitan dan memohon pengampunan, ia malah diam saja tanpa memohon pada Wasida, membuat wanita paruh baya dengan sanggulnya itu semakin geram hingga menampakkan urat-urat kekesalan di wajah tuanya."Saya ga papa Buk, jika hanya saya yang Ibuk hina, tapi jangan bawa-bawa nama ibu saya! ibu saya wanita yang baik." Marya meneteskan bulir air matanya, namun ha
Marya tertegun ketika melihat sepiring nasi dengan hanya taburan garam kasar di atasnya, tak ada lauk pauk lain yang disuguhkan selain sepiring nasi garam itu."Hanya sepiring nasi garam ini lah yang cocok untuk kamu di rumah saya," ucap Wasida, kini tampak senyuman licik di wajah tuanya ketika menatap rendah sang menantu terakhir itu.Bagaikan tersayat sampai ke uluh hati saat ini perasaan Marya, bukan karena ia tak bisa makan nasi dengan garam. Dulu dia juga berasal dari keluarga yang serba kekurangan dalam hal materi, bahkan ketika tak sanggup membeli beras, ia sehari-hari hanya makan dengan singkong rebus saja.Tapi ini berbeda, ia harus makan nasi dengan garam bukan karena masalah ekonomi. Melainkan karena ibu mertua yang memang membencinya, ada rasa ngilu di dadanya.Padahal rumah ini pun tak kekurangan bahan makanan, semuanya serba ada dan mewah. Tapi untuk dirinya yang seorang menantu di rumah ini, hanyalah diberikan sepiring nasi dan gara