Marya tertegun ketika melihat sepiring nasi dengan hanya taburan garam kasar di atasnya, tak ada lauk pauk lain yang disuguhkan selain sepiring nasi garam itu.
"Hanya sepiring nasi garam ini lah yang cocok untuk kamu di rumah saya," ucap Wasida, kini tampak senyuman licik di wajah tuanya ketika menatap rendah sang menantu terakhir itu.Bagaikan tersayat sampai ke uluh hati saat ini perasaan Marya, bukan karena ia tak bisa makan nasi dengan garam. Dulu dia juga berasal dari keluarga yang serba kekurangan dalam hal materi, bahkan ketika tak sanggup membeli beras, ia sehari-hari hanya makan dengan singkong rebus saja.Tapi ini berbeda, ia harus makan nasi dengan garam bukan karena masalah ekonomi. Melainkan karena ibu mertua yang memang membencinya, ada rasa ngilu di dadanya.Padahal rumah ini pun tak kekurangan bahan makanan, semuanya serba ada dan mewah. Tapi untuk dirinya yang seorang menantu di rumah ini, hanyalah diberikan sepiring nasi dan gara"Apa maksud Mbak Nara?" Marya masih memasang wajah bingungnya, tak mengerti apa maksud dari perkataan istri kakak iparnya itu.Sejak kapan Rey mau menikah dengan wanita lain? padahal jelas-jelas Rey telah meminta Marya untuk menunggu pinangannya sedari dulu."Maksud gue, Lia ini adalah wanita yang pernah hampir menjadi istri Rey, tapi karena guna-guna dari lo itu, Rey jadi buta dan malah ninggalin wanita secantik Lia," ujar Nara, tentu saja semua hal itu adalah bualan semata.Dari awal ia mencoba menjodohkan Rey dan Lia, Rey tak pernah menanggapi dan terkesan acuh. Hingga akhirnya Nara menyerah setelah Rey telah memiliki calon pilihannya sendiri.Tetapi sayang sekali, pilihan Rey sangatlah buruk di mata Nara. Sehingga kini ia kembali menghadirkan sosok Lia, karena ia merasa Lia masih memiliki kesempatan dan harapan untuk merebut Rey dari Marya."Mbak, kok Rey seleranya kaya gini sih? bahkan ga pantes banget buat bersaing sama aku," cicit
Kini Marya nampak sibuk menyiapkan makan malam untuk ibu mertua, Nara, dan juga tamu yang mengaku pernah hampir dinikahi oleh suaminya itu.Setelah selesai memasak semua hidangan, ia mulai menata makanan itu di atas meja makan. Dirinya hanya melakukan semua itu seorang diri, sesuai dengan pintaan Wasida."Haduh ... lama banget cuma nata makanan doang," protes Wasida melihat cara kerja Marya yang menurutnya sangat lambat."Maaf Buk, ini sudah siap semua," ucap Marya memberi tahu, ucapan itu sama sekali tak dihiraukan oleh Wasida."Ayo makan yang banyak Lia, jangan malu-malu di rumah ibuk, anggap saja rumah sendiri," tutur Wasida, jujur perkataannya membuat hati kecil Marya merasa iri."Iya Buk," jawab Lia dengan senyuman."Ngapain kamu masih berdiri di sini? sana ke dapur atau kemana gitu, mual saya liat kamu," seru Wasida, hal itu membuat Marya semakin tak memiliki harga diri di hadapan Nara maupun Lia.Wanita malang itu
Mbok Yem terlihat gelisah kesana kemari, wanita paruh baya bertubuh gemuk itu tengah mencari keberadaan Marya. Awalnya ia mau memberikan makan malam untuk Marya di kamarnya, namun Mbok Yem tak melihat sosok wanita yang ia cari di kamar sang empu."Ada apa toh Yem? kok panik gitu," tanya Yanti, yang juga seorang pembantu di rumah ini."Nyariin Non Marya, Yan," jawab Mbok Yem."Kamu ada liat ndak sih? di kamarnya ndak ada," timpal Mbok Yem lagi.Yanti menggelengkan kepalanya tanda tak tahu apa-apa."Aku kan juga masuk ke rumah ini bareng kamu tadi Yem, jadi aku gak tau apa-apa," jawab Yanti.Mbok Yem semakin cemas, entah kenapa ia merasa sangat khawatir dengan keadaan Marya."Oh ... Mia kan udah di sini dari tadi Yem, coba kamu tanya dia, orangnya ada di dapur," ucap Yanti memberikan usul.Mia juga merupakan salah seorang pembantu di rumah ini, dan Mia juga memanglah sudah duluan datang ke rumah ini sebe
Malam ini begitu panjang dan dingin, entah kenapa tak berlalu dengan cepat seperti biasanya. Saat ini, di sebuah ruangan gelap tanpa penerangan dan lembab. Banyak debu dan kotoran di ruangan gelap ini, terlihat sekali jika ruangan ini tidak pernah di rawat.Pemandangan yang tak seperti biasanya, terdapat sesosok wanita di tempat ini, lemah tak berdaya, tubuhnya terdapat bekas memar biru dan goresan hingga mengeluarkan darah yang sudah mulai mengering. Tak bergerak, tubuhnya sudah tidak bergerak.Sepertinya wanita yang bernama Marya ini tengah pingsan, detak jantungnya masih ada namun pelan. Saat ini, wanita itu telah sekarat. Mungkin mati adalah jalan terbaik dibandingkan harus hidup dengan kondisi seperti ini."Ukhh ... akh ...." Marya merintih kesakitan, seluruh tubuhnya terasa linu dan perih. Tubuhnya terbaring lemah tak berdaya, untuk menggerakkan jari tangannya saja ia tak kuasa.'Apa lebih baik aku mati di sini?' lirih Marya di dalam batinny
Pagi-pagi sekali, Wasida, Nara, dan Lia bergegas pergi ke rumah sakit untuk melihat keadaan Rey. Menurut informasi dari rekan kerjanya, ketika dalam perjalanan pulang, Rey mengalami kecelakaan mobil.Awalnya Rey ingin pulang lebih awal karena tiba-tiba merasa khawatir pada Marya, namun na'asnya ia malah mengalami kecelakaan mobil yang cukup parah, hingga ia pun harus menjalani operasi.Kecelakaan mobil ini terjadi karena dalam perjalanan melewati hutan-hutan, terdapat kabut putih yang cukup tebal hingga membuat Rey tak bisa melihat dengan jelas jalanan di depannya.Tiba-tiba di arah yang berlawanan, terdapat mobil truk yang melaju dengan sangat cepat. Jalanan aspal yang memang tak terlalu lebar dan penuh lubang itu membuat kedua mobil yang akan saling bertemu tak dapat menghindar satu sama lain.Hingga Rey membanting setirnya ke kiri dan malah menabrak pepohonan di hutan itu, mobil mewah miliknya bahkan sampai hancur dan remuk.Semalam op
'Apa aku harus jujur dengan Non Marya? tapi tidak ada gunanya juga untuk berbohong' Mbok Yem awalnya bimbang ingin mengatakan keadaan Rey yang sebenarnya atau tidak pada Marya.Namun pada akhirnya ia memilih untuk mengatakan yang sebenarnya, karena mau bagaimanapun Marya harus tau keadaan suaminya yang sekarang."Non ...." lirih Mbok Yem dengan mata berkaca-kaca.Marya mengernyit bingung. "Ya?" "Tuan Rey ... kecelakaan," ungkap Mbok Yem.Kalimat singkat Mbok Yem berhasil membuat wanita berhijab itu seperti tengah kehilangan napasnya, jantungnya seakan terasa berhenti berdetak."Mbok ... bercanda kan? iya kan?" Batinnya ingin mencoba yakin jika apa yang dikatakan oleh Mbok Yem adalah salah, namun melihat wajah serius Mbok Yem membuat kekuatan batinnya runtuh dan hancur lebur. Ada kejujuran di wajah wanita paruh baya itu."Mbok ... A—aku harus kesana!" Marya berdiri dan berjalan gontai untuk keluar dari ruangan
"Kenapa Ibu memilih untuk pulang?" tanya Nara.Pasalnya baru beberapa jam bertemu dengan Rey, Wasida malah ingin kembali pulang ke rumah dengan alasan kurang enak badan. Padahal Wasida terlihat baik-baik saja.Wanita paruh baya itu tersenyum mendengar pertanyaan dari menantunya itu, ia menoleh ke arah Nara yang sedang fokus menyetir mobilnya."Ibu mau bersenang-senang dengan dia," jawab Wasida.Meski tak menyebutkan Wasida tak menyebutkan nama, Nara tahu betul siapa yang dimaksud oleh Wasida. Wanita cantik nan anggun itu pun menjadi semakin bersemangat untuk menyetir mobilnya."Hooo ... kalau gitu, kita harus sampai lebih cepat," ucap Nara.Tak sabar ia melihat wanita malang itu disiksa oleh Wasida, menurutnya siksaan Wasida yang kemarin sangatlah amat kurang. Harusnya wanita itu bisa lebih menderita lagi dari kemarin.Setelah menempuh perjalanan kurang lebih satu setengah jam dari rumah sakit ke kediaman Prawijaya, kini
"Ukhhh ...." Sedari tadi tak henti-hentinya Marya merintih kesakitan, sekujur tubuhnya sangat amat terasa perih. Entah perasaannya saja atau bagaimana, ibu mertuanya kali ini seperti lebih kejam dari biasanya.Kemarin memang Marya juga mendapatkan cambukan, tapi tak sekuat dan segila seperti ini. Bu Wasida seolah tengah kerasukan setan. Tak hanya luka goresan atau memar, bekas lukanya pun sampai mengeluarkan darah segar.'Ya Allah, ada apa dengan ibu mertuaku?' lirih Marya di dalam batinnya, tak lagi hanya sekedar melampiaskan amarah dan benci. Tapi Wasida seperti hendak menyiksa dan membunuh Marya secara perlahan.Untungnya Wasida sudah mengakhiri siksaan itu, kini Marya seorang diri di gudang gelap dan lembab ini. Wanita berhijab dengan penuh luka itu merangkak mendekati sebuah kardus. Di dalamnya terdapat beberapa bungkus roti dan air di dalam botol yang sudah Mbok Yem siapkan untuk Marya, setidaknya ia tak akan kelaparan dan kehausan kali ini.
"Ke—Kenapa, Mas? Ruko kita kenapa?" Melihat wajah Rey yang tiba-tiba pucat pasi setelah menerima telepon, membuat Marya ikut khawatir."Kita diusir dari ruko, Dek. Kita tidak boleh berjualan di sana lagi," jawab Rey, ia menggenggam erat ponsel di tangannya."Hah?! Bukannya kita sudah bayar sewanya selama beberapa bulan ke depan, Mas?!" tanya Marya yang masih tak mengerti dengan perkataan sang suami.Kenapa tiba-tiba pemilik ruko tidak mengizinkan Marya dan Rey berjualan? Pasangan suami istri itu tidak pernah menunggak pembayaran ataupun sulit ditagih soal membayar uang sewa. Bahkan Rey selalu membayarkan langsung untuk satu atau dua bulan ke depan."Mas juga ga paham, ayo kita kesana dan bicara langsung dengan Pak Jaki." Marya mengangguk setuju dan mereka langsung bergegas menuju lokasi ruko mereka.Alangkah terkejutnya mereka berdua ketika telah sampai di depan ruko, semua barang-barang dagangan mereka sudah dipindahkan ke teras. Seakan mereka diusir secara paksa oleh pemilik ruko."M
"Sepertinya mereka meminta bantuan kepada orang lain yang memang ahli dalam menangkal sihir yang saya tanamkan di sana.""Gak! Ga bisa gitu dong, Mbah! Saya sudah bayar untuk ini, kenapa masih bisa gagal?!" pekik Lia yang masih tak terima."Mau bagaimana lagi? Sepertinya kamu memang tengah berurusan dengan orang yang salah," sahut Mbah Jayeng."Bahkan mereka belum benar-benar bangkrut, Mbah! Masa udah ketahuan?!"Lia begitu frustasi kali ini, rencananya untuk menghancurkan Rey dan Marya selalu berantakan dan gagal. "Saran saya, lebih baik kamu berhenti mengharapkan lelaki itu. Keteguhan iman dan rasa cinta lelaki itu terhadap istrinya yang sekarang, tidak bisa saya tembus dan saya hancurkan."Mendengar kalimat nasehat dari Mbah Jayeng, ternyata tidak dapat membuat keinginan Lia memudar dan menyerah begitu saja. "Cukup, Mbah! Ga usah omong kosong lagi, Mbah saja yang ilmunya tidak mumpuni," sahut Lia dengan emosi.Lia pergi meninggalkan gubuk tua itu dengan perasaan dongkol dan kecewa.
"Ini disebut sebagai santet penghilang rezeki, ilmu hitam ini menyasar pada kelancaran rezeki seseorang, pemilik ilmu sihir akan menutup energi positif tempat ini agar penghasilan korbannya bisa turun, bahkan bangkrut," jelas Ustadz Yusuf."Astagfirullah, siapa orang yang tega ngelakuin hal seperti ini?" lirih Marya. Ia tak menyangka jika ada seseorang yang seniat itu untuk membuat usahanya hancur."Lalu, apa yang harus kita lakukan agar sihir hitam ini hilang, Ustadz?" tanya Rey."Kita akan melakukan pembersihan dengan meruqyah tempat ini, sementara Ustadzah Asa dan kalian akan mencari benda sihir yang ditanamkan di tempat ini," jawab Ustadz Yusuf. Semua orang mengangguk setuju.Semuanya berpencar, Ustadzah Asa, Ani, dan Andi mencari di sekitar luar ruko, sementara Marya dan Rey mencari di dalam ruko. Ketika semua orang sibuk mencari, Ustadz Yusuf melantunkan ayat-ayat pembatal sihir dengan memegang sebuah botol air di tangannya."Ini, ini adalah benda yang ditanam oleh seseorang seb
"Tapi kita buka setiap hari loh, Pak! Yah ... meski ga ada satu pun yang beli sih," ucap Rey.Mereka semua terdiam tak bergeming, sampai akhirnya Pak Bakri membuka suara. "Walah, saya ndak tahu kalo itu. Saya tiap hari lewat ruko sampean dari mulai pagi sampe sore, tutup terus kok," ujar Pak Bakri, ia semakin membuat Marya dan yang lainnya bingung."Eh ... ya sudah, saya mau ngarit dulu buat kambing-kambing saya, Assalamualaikum," timpal Pak Bakri lagi."Wa'alaikumussalam." Pak Bakri melangkah pergi meninggalkan Marya dan lainnya. Kini empat orang itu terheran-heran di dalam batinnya dengan ucapan Pak Bakri barusan."Ya sudah, kita pulang dulu. Mau magrib. Andi, anter Ani ke rumahnya, ya?" ucap Rey memecah lamunan Marya, Andi, dan juga Ani."Eh, iya Pak. Saya pamit duluan.""Ndi, bukannya ini masalah serius, ya? Jangan-jangan bener dugaanku, ada pedagang lain yang iri sama usaha Marya dan Rey," ujar Ani menerka-nerka."Kemungkinan besar sih, begitu," sahut Andi."Duh, ada aja cobaan s
"Semenjak kejadian kemarin, warung kita jadi sepi gini, Mar. Apa orang-orang pada terhasut sama fitnah ibu-ibu itu, ya?" tanya Ani menduga-duga.Marya menghembuskan napasnya dengan kasar. "Mungkin," sahut Marya dengan senyum getirnya.Pasalnya seminggu dari kejadian heboh waktu itu sudah berlalu, namun warung Marya nampak sepi pembeli. Seakan semua orang sudah tidak percaya lagi dengan makanan yang Marya jual.Bahkan hampir semua pesanan ketering dalam jumlah banyak pun dibatalkan secara sepihak oleh langganan Marya."Lebih baik kita tutup saja, An. Ini juga sudah sore dan mendung," celetuk Marya, kini ia berdiri dan mulai membereskan sedikit demi sedikit barang dagangannya."Loh? Gak buka sampe malem lagi, Mar?" Marya menggelengkan kepalanya. "Sepertinya ga perlu.""Masih utuh semua loh dagangan kita, mau dikemanakan?""Kita bungkus saja, kita bagi-bagi ke pondok pesantren yang dekat sini. Pasti semuanya akan
"Assalamualaikum.""Wa'alaikumussalam," sahut Rey dari dalam rumah, ia membuka pintu depan dengan terburu-buru."Kamu ternyata, Ndi. Sama Ani juga? Ayo masuk," ujar Rey, ia mempersilakan kedua orang itu untuk masuk ke dalam. Marya pun keluar dari kamarnya untuk menyambut Ani dan Andi."Iya, Pak. Ini sebenarnya cuma mau ngasih kunci ruko ke Pak Rey." Andi mengulurkan tangannya dan memberikan sebuah kunci kepada Rey. "Oh, iya. Terima kasih kalian sudah mau menutup rukonya," ucap Rey.Kini Marya datang dengan sebuah nampan yang terdapat dua gelas teh hangat di atasnya. "Minum tehnya dulu, ya.""Iya, makasih Mar. Kamu ndak kenapa-napa toh? Aku takut kamu kepikiran sama kejadian tadi," ucap Ani.Andi pun menyenggol bahu Ani. "Justru karena Mbak ungkit jadi inget, Mbak!" lirih Andi."Oh, iya juga, ya." Ani meringis ketika mendapati teguran dari Andi.Marya tersenyum simpul menanggapi hal itu. "Gapapa, An. Cuma heran aja, kok bisa ada yang fitnah sampai seperti itu," sahut Marya."Ada yang
"Ada apa ini ribut-ribut?!" tanya Rey dengan panik, pasalnya ia baru datang dari rumahnya bersama Andi untuk mengambil persediaan bahan-bahan. Tapi betapa terkejutnya mereka berdua ketika melihat ruko milik mereka telah dikerumuni oleh banyak massa."Marya! Ada apa?!" Rey lebih panik lagi ketika mendapati istrinya yang sudah menangis pilu di antara kerumunan itu."Ini loh, Mas. Ibu-ibu itu tiba-tiba datang, trus nuduh kalo gara-gara gorengan dan nasi uduk buatan kita itu mengandung racun atau apalah itu," jelas Ani."Racun? Racun apa?" tanya Rey dengan heran, ia sudah berjualan selama beberapa bulan, dan tidak pernah mendapati protes seperti itu dari para konsumennya."Halah, kalian semua itu jago sekali aktingnya. Liat nih, gara-gara makanan yang kalian jual itu, anak saya sampai masuk rumah sakit!""Bentar-bentar! Ibu-ibu ini memangnya punya bukti kalau semua itu karena makan makanan yang kami jual? Kalau tidak, kalian bisa saya tuntut atas hal pencemaran nama baik!" ucap Rey dengan
"Kita harus buat Rey kembali lagi ke rumah ini, Ibu butuh dia untuk menjalankan perusahaan keluarga," ucap Wasida."Iya, tapi bagaimana caranya? Dia saja kudengar cukup sukses dengan usahanya bersama si wanita sialan itu, mana mau dia pulang ke rumah ini?" "Kita buat saja usahanya hancur, Mbak, Buk. Dengan begitu, Rey pasti akan menyerah dan datang kepada kalian," usul Lia memberikan sebuah ide."Hancur? Bagaimana caranya, Li? Apa kamu tahu?" Wasida masih bingung dengan usulan yang diberikan oleh Lia, bagaimana caranya membuat usaha Rey hancur? Sementara ia sendiri tidak bisa lagi membuat Rey percaya dengannya."Buat bisnis mereka bangkrut, apa pun caranya. Misalnya suruh orang fitnah usaha mereka, dan buat nama bisnis mereka jelek. Dengan begitu, semua orang pasti tidak mau lagi belanja di sana," jelas Lia."Nah! Itu sepertinya cara yang paling mudah, kita bisa bayar orang untuk melakukan hal itu," sahut Jeni, ia sangat setuju dengan us
"Pak! Buk! Sini-sini, nasi uduk sama gorengan ini enak loh rasanya." Pak Akmal melambaikan tangannya, sontak saja orang-orang yang berada di sekitar tempat jualan Rey dan Marya langsung berdatangan karena penasaran."Kebetulan saya juga belum sarapan, nasi uduknya satu, ya." "Siap, Buk. Tunggu sebentar, ya."Hari pertama Marya berjualan benar-benar di luar ekspektasi, Marya pikir tidak akan seramai ini. Ternyata tempat ia berjualan memang begitu strategis, ditambah rasa makanan yang ia buat juga mendukung."Mas, tolong jualin gorengannya, ya." "I—iya, ini 5 ribu dapet berapa, Dek?" "Dapet 8 Mas." Marya dengan cekatan membuat pesanan demi pesanan, dari mulai nasi uduk dan lontong sayur. Sedangkan Rey yang bertugas untuk mengurusi pesanan gorengan tengah keteteran."Mas, jangan tahu semua dong isinya, dicampur," protes seorang ibu-ibu yang melihat Rey sedang memasukan gorengan ke dalam plastik, tapi yang Rey ambil sedari tadi hanya satu macam saja."Eh? maaf-maaf Mbak." Rey kembali me