"Kita harus buat Rey kembali lagi ke rumah ini, Ibu butuh dia untuk menjalankan perusahaan keluarga," ucap Wasida.
"Iya, tapi bagaimana caranya? Dia saja kudengar cukup sukses dengan usahanya bersama si wanita sialan itu, mana mau dia pulang ke rumah ini?""Kita buat saja usahanya hancur, Mbak, Buk. Dengan begitu, Rey pasti akan menyerah dan datang kepada kalian," usul Lia memberikan sebuah ide."Hancur? Bagaimana caranya, Li? Apa kamu tahu?" Wasida masih bingung dengan usulan yang diberikan oleh Lia, bagaimana caranya membuat usaha Rey hancur? Sementara ia sendiri tidak bisa lagi membuat Rey percaya dengannya."Buat bisnis mereka bangkrut, apa pun caranya. Misalnya suruh orang fitnah usaha mereka, dan buat nama bisnis mereka jelek. Dengan begitu, semua orang pasti tidak mau lagi belanja di sana," jelas Lia."Nah! Itu sepertinya cara yang paling mudah, kita bisa bayar orang untuk melakukan hal itu," sahut Jeni, ia sangat setuju dengan us"Ada apa ini ribut-ribut?!" tanya Rey dengan panik, pasalnya ia baru datang dari rumahnya bersama Andi untuk mengambil persediaan bahan-bahan. Tapi betapa terkejutnya mereka berdua ketika melihat ruko milik mereka telah dikerumuni oleh banyak massa."Marya! Ada apa?!" Rey lebih panik lagi ketika mendapati istrinya yang sudah menangis pilu di antara kerumunan itu."Ini loh, Mas. Ibu-ibu itu tiba-tiba datang, trus nuduh kalo gara-gara gorengan dan nasi uduk buatan kita itu mengandung racun atau apalah itu," jelas Ani."Racun? Racun apa?" tanya Rey dengan heran, ia sudah berjualan selama beberapa bulan, dan tidak pernah mendapati protes seperti itu dari para konsumennya."Halah, kalian semua itu jago sekali aktingnya. Liat nih, gara-gara makanan yang kalian jual itu, anak saya sampai masuk rumah sakit!""Bentar-bentar! Ibu-ibu ini memangnya punya bukti kalau semua itu karena makan makanan yang kami jual? Kalau tidak, kalian bisa saya tuntut atas hal pencemaran nama baik!" ucap Rey dengan
"Assalamualaikum.""Wa'alaikumussalam," sahut Rey dari dalam rumah, ia membuka pintu depan dengan terburu-buru."Kamu ternyata, Ndi. Sama Ani juga? Ayo masuk," ujar Rey, ia mempersilakan kedua orang itu untuk masuk ke dalam. Marya pun keluar dari kamarnya untuk menyambut Ani dan Andi."Iya, Pak. Ini sebenarnya cuma mau ngasih kunci ruko ke Pak Rey." Andi mengulurkan tangannya dan memberikan sebuah kunci kepada Rey. "Oh, iya. Terima kasih kalian sudah mau menutup rukonya," ucap Rey.Kini Marya datang dengan sebuah nampan yang terdapat dua gelas teh hangat di atasnya. "Minum tehnya dulu, ya.""Iya, makasih Mar. Kamu ndak kenapa-napa toh? Aku takut kamu kepikiran sama kejadian tadi," ucap Ani.Andi pun menyenggol bahu Ani. "Justru karena Mbak ungkit jadi inget, Mbak!" lirih Andi."Oh, iya juga, ya." Ani meringis ketika mendapati teguran dari Andi.Marya tersenyum simpul menanggapi hal itu. "Gapapa, An. Cuma heran aja, kok bisa ada yang fitnah sampai seperti itu," sahut Marya."Ada yang
"Semenjak kejadian kemarin, warung kita jadi sepi gini, Mar. Apa orang-orang pada terhasut sama fitnah ibu-ibu itu, ya?" tanya Ani menduga-duga.Marya menghembuskan napasnya dengan kasar. "Mungkin," sahut Marya dengan senyum getirnya.Pasalnya seminggu dari kejadian heboh waktu itu sudah berlalu, namun warung Marya nampak sepi pembeli. Seakan semua orang sudah tidak percaya lagi dengan makanan yang Marya jual.Bahkan hampir semua pesanan ketering dalam jumlah banyak pun dibatalkan secara sepihak oleh langganan Marya."Lebih baik kita tutup saja, An. Ini juga sudah sore dan mendung," celetuk Marya, kini ia berdiri dan mulai membereskan sedikit demi sedikit barang dagangannya."Loh? Gak buka sampe malem lagi, Mar?" Marya menggelengkan kepalanya. "Sepertinya ga perlu.""Masih utuh semua loh dagangan kita, mau dikemanakan?""Kita bungkus saja, kita bagi-bagi ke pondok pesantren yang dekat sini. Pasti semuanya akan
"Tapi kita buka setiap hari loh, Pak! Yah ... meski ga ada satu pun yang beli sih," ucap Rey.Mereka semua terdiam tak bergeming, sampai akhirnya Pak Bakri membuka suara. "Walah, saya ndak tahu kalo itu. Saya tiap hari lewat ruko sampean dari mulai pagi sampe sore, tutup terus kok," ujar Pak Bakri, ia semakin membuat Marya dan yang lainnya bingung."Eh ... ya sudah, saya mau ngarit dulu buat kambing-kambing saya, Assalamualaikum," timpal Pak Bakri lagi."Wa'alaikumussalam." Pak Bakri melangkah pergi meninggalkan Marya dan lainnya. Kini empat orang itu terheran-heran di dalam batinnya dengan ucapan Pak Bakri barusan."Ya sudah, kita pulang dulu. Mau magrib. Andi, anter Ani ke rumahnya, ya?" ucap Rey memecah lamunan Marya, Andi, dan juga Ani."Eh, iya Pak. Saya pamit duluan.""Ndi, bukannya ini masalah serius, ya? Jangan-jangan bener dugaanku, ada pedagang lain yang iri sama usaha Marya dan Rey," ujar Ani menerka-nerka."Kemungkinan besar sih, begitu," sahut Andi."Duh, ada aja cobaan s
"Ini disebut sebagai santet penghilang rezeki, ilmu hitam ini menyasar pada kelancaran rezeki seseorang, pemilik ilmu sihir akan menutup energi positif tempat ini agar penghasilan korbannya bisa turun, bahkan bangkrut," jelas Ustadz Yusuf."Astagfirullah, siapa orang yang tega ngelakuin hal seperti ini?" lirih Marya. Ia tak menyangka jika ada seseorang yang seniat itu untuk membuat usahanya hancur."Lalu, apa yang harus kita lakukan agar sihir hitam ini hilang, Ustadz?" tanya Rey."Kita akan melakukan pembersihan dengan meruqyah tempat ini, sementara Ustadzah Asa dan kalian akan mencari benda sihir yang ditanamkan di tempat ini," jawab Ustadz Yusuf. Semua orang mengangguk setuju.Semuanya berpencar, Ustadzah Asa, Ani, dan Andi mencari di sekitar luar ruko, sementara Marya dan Rey mencari di dalam ruko. Ketika semua orang sibuk mencari, Ustadz Yusuf melantunkan ayat-ayat pembatal sihir dengan memegang sebuah botol air di tangannya."Ini, ini adalah benda yang ditanam oleh seseorang seb
"Sepertinya mereka meminta bantuan kepada orang lain yang memang ahli dalam menangkal sihir yang saya tanamkan di sana.""Gak! Ga bisa gitu dong, Mbah! Saya sudah bayar untuk ini, kenapa masih bisa gagal?!" pekik Lia yang masih tak terima."Mau bagaimana lagi? Sepertinya kamu memang tengah berurusan dengan orang yang salah," sahut Mbah Jayeng."Bahkan mereka belum benar-benar bangkrut, Mbah! Masa udah ketahuan?!"Lia begitu frustasi kali ini, rencananya untuk menghancurkan Rey dan Marya selalu berantakan dan gagal. "Saran saya, lebih baik kamu berhenti mengharapkan lelaki itu. Keteguhan iman dan rasa cinta lelaki itu terhadap istrinya yang sekarang, tidak bisa saya tembus dan saya hancurkan."Mendengar kalimat nasehat dari Mbah Jayeng, ternyata tidak dapat membuat keinginan Lia memudar dan menyerah begitu saja. "Cukup, Mbah! Ga usah omong kosong lagi, Mbah saja yang ilmunya tidak mumpuni," sahut Lia dengan emosi.Lia pergi meninggalkan gubuk tua itu dengan perasaan dongkol dan kecewa.
"Ke—Kenapa, Mas? Ruko kita kenapa?" Melihat wajah Rey yang tiba-tiba pucat pasi setelah menerima telepon, membuat Marya ikut khawatir."Kita diusir dari ruko, Dek. Kita tidak boleh berjualan di sana lagi," jawab Rey, ia menggenggam erat ponsel di tangannya."Hah?! Bukannya kita sudah bayar sewanya selama beberapa bulan ke depan, Mas?!" tanya Marya yang masih tak mengerti dengan perkataan sang suami.Kenapa tiba-tiba pemilik ruko tidak mengizinkan Marya dan Rey berjualan? Pasangan suami istri itu tidak pernah menunggak pembayaran ataupun sulit ditagih soal membayar uang sewa. Bahkan Rey selalu membayarkan langsung untuk satu atau dua bulan ke depan."Mas juga ga paham, ayo kita kesana dan bicara langsung dengan Pak Jaki." Marya mengangguk setuju dan mereka langsung bergegas menuju lokasi ruko mereka.Alangkah terkejutnya mereka berdua ketika telah sampai di depan ruko, semua barang-barang dagangan mereka sudah dipindahkan ke teras. Seakan mereka diusir secara paksa oleh pemilik ruko."M
Hari ini, merupakan resepsi pernikahanku. Akan tetapi, justru berubah menjadi proses pemakaman. Meninggalnya bapak mertuaku secara tiba-tiba, jujur saja membuatku benar-benar terpukul. Karena di keluarga ini, hanya beliaulah satu-satunya orang yang menerimaku dengan baik. Aah ... Pak, mengapa Bapak meninggalkan kami begitu cepat ...?"Ibu ndak akan setuju! Jika kamu menikahi perempuan yang hanya lulusan SMP ini!" Teringat penolakan ibu mertua waktu itu. Beliau sangat keras menolak kehadiranku. Namun, berbanding terbalik dengan tanggapan bapak. Ia dengan tangan terbuka menerima dan menyemangati Mas Rey —suamiku—untuk melanjutkan pernikahan. Jika bukan karena beliau, mungkin pernikahan ini tidak akan pernah terjadi.Apa hendak dikata, bapak malah meninggal di hari bahagia kami. Aku merasa sangat kehilangan.Ramai kerabat suamiku dan tetangga berdatangan. Mereka memberikan ucapan belasungkawa dan turut berduka atas kepergian mendiang bapak mertua. Aku yang sadar diri akan posisi seba