Hari ini, merupakan resepsi pernikahanku. Akan tetapi, justru berubah menjadi proses pemakaman. Meninggalnya bapak mertuaku secara tiba-tiba, jujur saja membuatku benar-benar terpukul.
Karena di keluarga ini, hanya beliaulah satu-satunya orang yang menerimaku dengan baik. Aah ... Pak, mengapa Bapak meninggalkan kami begitu cepat ...?"Ibu ndak akan setuju! Jika kamu menikahi perempuan yang hanya lulusan SMP ini!"Teringat penolakan ibu mertua waktu itu. Beliau sangat keras menolak kehadiranku.Namun, berbanding terbalik dengan tanggapan bapak. Ia dengan tangan terbuka menerima dan menyemangati Mas Rey —suamiku—untuk melanjutkan pernikahan. Jika bukan karena beliau, mungkin pernikahan ini tidak akan pernah terjadi.Apa hendak dikata, bapak malah meninggal di hari bahagia kami. Aku merasa sangat kehilangan.Ramai kerabat suamiku dan tetangga berdatangan. Mereka memberikan ucapan belasungkawa dan turut berduka atas kepergian mendiang bapak mertua.Aku yang sadar diri akan posisi sebagai menantu di keluarga ini, ikut menyumbang tenaga menjamu tamu yang berdatangan terus menerus. Dari mulai membuatkan minum, membawakan kue, dan mencuci piring. Semua aku lakukan, karena merasa memiliki tanggung jawab atas hal ini.Setelah jenazah bapak mertuaku dimandikan, dikafani, lalu disolatkan, jenazahnya kemudian dimasukan ke dalam keranda untuk dibawa ke tempat pemakaman.Saat itu sudah jam 19:30, cuacanya juga gerimis. Akan tetapi, itu tak membuat proses pemakamannya terhambat, karena mau bagaimanapun, menunda proses pemakaman adalah hal yang tidak baik."Mas ... aku mau ikut ke tempat pemakaman," tuturku, membuat suamiku membuang napasnya kasar."Marya, ini sudah malam dan cuaca juga tidak bagus, ibu dan perempuan lainnya juga tidak ikut karena gerimisnya semakin deras. Mengertilah, ya?" bujuk Mas Rey.Aku akhirnya memilih untuk menuruti perkataan suamiku, dia mengantar diriku untuk masuk ke dalam kamar miliknya, kamar yang luas dan nyaman."Mar, ini kamarku. Kamu istirahat saja di sini, ya?" ucap Mas Rey.Aku mengangguk setuju, jujur tubuhku juga sudah sangat lelah karena sedari tadi ikut membantu menjamu tamu yang terus berdatangan.Setelahnya, suamiku pergi untuk ikut mengantarkan jenazah ke tempat pemakaman. Aku mengedarkan pandangan melihat sekeliling ruangan yang besar, nyaman, dan rapih. Berbeda sekali dengan kamarku yang dindingnya saja terbuat dari papan.Atensiku tertuju pada sebuah foto di atas nakas dekat tempat tidur, aku berjalan mendekati foto itu, sebuah foto masa kecilku dengan Mas Rey.Aku tak pernah menyangka bisa disukai oleh lelaki tampan, pintar, dan baik seperti suamiku ini.Aku mengembangkan senyuman tipis saat melihat foto kami berdua, lalu aku mendaratkan tubuhku di atas kasur yang nyaman dan empuk.Seketika rasa kantuk yang luar biasa menjalar ke seluruh tubuh, dan pada akhirnya aku terlelap tidur bersama cuaca yang juga gerimis membuat suasana tidurku menjadi sangat nyaman.Sesaat, aku terbangun dari tidur. Membuka mata perlahan dan menatap langit-langit kamar, spontan aku mengambil ponselku, dan saat aku melihat jam, ternyata aku tertidur selama 25 menit.Suamiku belum pulang, karena memang lokasi pemakamannya lumayan jauh dari rumah ini. Tenggorokanku terasa kering, aku hendak keluar kamar untuk mengambil segelas air ke dapur.Tapi, saat aku masih memegang gagang pintu, samar-samar terdengar obrolan dari luar kamar yang terdengar oleh telingaku."Nasibku benar-benar buruk! punya menantu yang tidak berguna. Lihatlah! di saat keluarga suaminya berduka saja dia malah enak-enakan mengurung diri di dalam kamar," ucap seorang wanita yang aku kenali suaranya. Itu adalah suara Ibu Mertuaku."Bukannya ini memang sudah suatu pertanda buruk ya? di hari pertama wanita itu datang sebagai menantu keluargamu, malah musibah yang terjadi," balas seorang ibu-ibu yang tak kukenal suara dan namanya.Niatku untuk membuka pintu pun urung, tanpa sadar air mata menetes begitu saja. Rasa haus dan laparku seketika lenyap, berganti dengan rasa sakit di hati.Sejak awal aku tau resikonya, tetapi aku tetap nekat menikah dengan Mas Rey hanya karena dilandaskan cinta dan keyakinan.Keyakinan kalau aku bisa merebut hati keluarga dari lelaki yang kucintai, tapi sepertinya tak ada celah bagiku untuk diterima dengan baik oleh keluarga Prawijaya ini.Akankah aku harus seumur hidup mendapatkan perlakuan seperti ini di keluarga suamiku sendiri?Aku kembali naik ke atas kasur, memeluk diriku sendiri untuk menenangkan diri. Sebenarnya perutku ini sedari tadi sudah berbunyi, dari awal acara pernikahan hingga malam ini, aku belum menyentuh makanan apapun.Tubuhku lemas tak bertenaga, hingga akhirnya aku memutuskan menutup mataku perlahan untuk tidur lagi.****Pagi sekitar jam 04:55 aku terbangun, di sampingku ada pria dengan memakai kaos putih sedang tertidur lelap.Tampan dan berkarisma, rasanya seperti mimpi bisa dicintai oleh pria sesempurna Mas Rey."Mas ...." Aku membangunkan suamiku, karena ini sudah masuk waktu untuk sholat subuh."Sholat subuh dulu, yuk?"Pria tampan itu membuka matanya perlahan, menatapku dengan hangat sambil tersenyum."Iya Dek, Mas bangun.""Ha?" aku sedikit bingung, pertama kalinya Mas Rey memanggilku dengan sebutan 'Dek', rasanya aneh saja ditelingaku.Melihat ekspresi wajahku, suamiku terkekeh pelan."Kan kamu memanggilku dengan sebutan 'Mas', jadi biar serasi aku akan panggil kamu 'Dek' mulai sekarang," ucapnya, sambil mengelus lembut pipi kananku.Rasanya seperti ada kupu-kupu di perutku, jujur aku tak terbiasa mendengar ucapan manis seperti ini dari sosok pria di depanku saat ini.Mas Rey yang aku kenal itu cuek, dingin, dan hemat bicara. Aku tak tau jika ia punya sisi yang semanis ini.Aku dan suamiku beranjak dari kasur untuk bersiap sholat subuh bersama, kami berwudhu di kamar mandi yang memang terletak di dalam kamar Mas Rey.Untuk pertama kalinya, aku menjadi makmum untuk lelaki yang kucintai ini. Lantunan surat Al-fatihah terdengar merdu dari suaranya, membuat jiwaku tenang.Kami melaksanakan sholat dengan khusyuk, MasyaAllah ... beruntungnya aku memiliki imam seperti Mas Rey.Setelah selesai salat dan berdoa, aku mencium punggung tangan suamiku dan dibalas dengan kecupan singkat di keningku."Dek, tolong buatkan teh ya," ujar lelaki itu padaku. Aku mengangguk mengiyakan permintaannya.Kemudian aku keluar dari kamar untuk menuju dapur, ruangan tampak sunyi. Sepertinya tetangga dan para kerabat tak sampai menginap dan langsung pulang ke tempat mereka masing-masing.Di dapur aku melihat Mbok Yem sedang mencuci piring-piring dan gelas yang cukup banyak, ia adalah salah seorang pembantu di rumah ini."Mbok, mau Marya bantu?" ucapku, menawarkan bantuan."Halah, ndak usah Non. Bentar lagi selesai kok," balasnya sambil tersenyum ke arahku.Aku mengangguk, dan segera mengambil gelas kosong dan merebus air."Mbok, tehnya ditaruh di mana ya?" tanyaku pada Mbok Yem.Mbok Yem menoleh ke arahku, dan menunjuk sebuah lemari penyimpanan di dekatku. "Itu di sana Non, rak paling atas," ujarnya."Oh iya, makasih Mbok," ucapku, dibalas dengan senyuman oleh Mbok Yem."Haduh, pagi-pagi sudah liat yang bikin enek aja!" ketus Mbak Jeni, kakak ipar ku yang pertama."Pagi Non," sapa Mbok Yem, kemudian ia keluar dari dapur. Meninggalkan aku berdua dengan Mbak Jeni.Jujur, aku merasa tak nyaman. Dimana Mbak Jeni terus menatapku dengan judesnya. Entah kenapa airnya tak kunjung mendidih, membuatku gregetan sendiri."Kenapa wajahmu seperti tak suka melihatku? gak sopan! Padahal cuma numpang!" ucapnya menghinaku, membuatku tak berani menatap wajahnya.Dadaku terasa sesak rasanya."Berapa banyak sih, uang yang kamu butuhkan untuk berpisah dengan Adikku?"Deg!Jantungku seakan berhenti sejenak mendengar ucapan kakak iparku itu. Maksudnya apa bicara seperti itu?"Berapa banyak sih? uang yang kamu butuhkan untuk berpisah dengan adik saya?" tanya Mbak Jeni dengan raut wajah menghina padaku."Ma-maksud Mbak, apa ya?" Mbak Jeni memutar bola matanya malas. "Kamu itu bodoh, atau sok polos sih? saya tanya, berapa banyak uang yang kamu mau untuk meninggalkan Rey?" ucap ulang wanita berambut pirang itu lagi padaku."Saya ga akan meninggalkan Mas Rey Mbak! dia adalah suami saya," ucap ku dengan penuh penekanan."Halah! bilang aja kamu mau ngeruk harta adik saya, saya tau betul wanita-wanita modelan sepertimu Mar," hinanya padaku, membuat hatiku bak tertusuk oleh jarum."Astagfirullah, Mbak! ga ada aku niat sedikit pun untuk berpikiran seperti itu!" ujar ku dengan nada bergetar, tak kuasa aku membendung air mata di depan kakak iparku ini.Bisa-bisanya Mbak Jeni mengatai aku seperti demikian, bahkan aku tak pernah memiliki pemikiran seperti itu sekalipun!Tak peduli dengan pembelaan yang aku ucapkan, Mbak Jeni melenggang pergi dengan tatapan sinisnya pa
Prangg!! Suara benda jatuh terdengar nyaring di telingaku, seketika itu jantungku berdetak kencang tak karuan, pasalnya aku adalah orang yang tak sengaja menyenggol benda itu.Dari lantai dua, terdengar suara cempreng khas ibu mertua yang berteriak ke arahku, hingga bisa didengar oleh seluruh orang yang ada di rumah ini.Mbok Yem, dan beberapa pembantu yang sedang masak-masak di dapur sampai lari tergopoh-gopoh menghampiri."Ya Tuhan! perempuan pembawa sial!" Ibu mertua berjalan dengan penuh amarah ke arahku. Tentu aku sangat panik kali ini. Aku menggigit bibirku cemas, dan mundur beberapa langkah ketika sosok wanita paruh baya dengan wajah penuh amarahnya semakin mendekatiku.Plakk!Satu tamparan keras melayang tepat di pipi kiriku, hingga tubuhku goyah dan jatuh tersungkur ke lantai.Semua pembantu yang melihat kejadian itu, menganga dan bergidik ngeri menatapku dengan iba, tapi tentu saja tak ada yang berani untuk membela ataupun menolongku."Dasar! wanita tidak tau diri! kamu ta
Aku tak tau keberanian ini datang dari mana, terlintas begitu saja di pikiranku dan terucap begitu saja di bibirku."Mas? apa kita, ndak bisa pindah dari rumah ini?"Raut wajah Mas Rey tampak berubah, yang awalnya tersenyum manis menjadi dingin, entah apa yang ada di benaknya saat ini. Apa aku mengatakan hal yang salah?"Untuk?" jawabnya singkat, entah kenapa suaranya menjadi dingin, tak sehangat seperti sebelumnya. Aku menelan saliva, rasa takut jika pria di depanku ini mengamuk padaku, tak bisa aku bayangkan bagaimana cara Mas Rey marah.Jujur aku belum pernah sekalipun melihat sisi amarah lelaki ini selama aku mengenalnya bertahun-tahun, mungkin hanya sosok tegasnya saja."A-aku merasa, kita harus bisa mandiri dalam menjalani pernikahan ini Mas, seatap dengan ibu dan kakak ipar membuat kita akan selalu bergantung pada mereka, dan malah akan merepotkan mereka. Mas? boleh ya?" tuturku,Dengan semaksimal mungkin aku membuat ekspresi penuh harap di hadapan pria ini.Ia menatapku denga
Pagi hari ini cerah, usai aku menyiapkan pakaian kerja untuk suami, dan memasak untuk sarapan dan juga bekal, kami menyempatkan untuk berbincang-bincang di kamar sebelum suamiku pergi bekerja.Ia meminta maaf padaku karena belum bisa mengajak berlibur bulan madu usai pernikahan, di samping masih masa berduka, ada perusahaan yang masih dalam keadaan sulit untuk ditinggal oleh suamiku.Aku memaklumi hal itu, menjadi pemimpin perusahaan besar tidaklah mudah, aku juga tidak menuntut Mas Rey untuk hal-hal seperti itu. Cukup ia percaya dan menyayangi diriku saja sudah sangat berarti untukku, aku harap bisa memiliki rumah kecil sederhana bersama Mas Rey, dan hanya ada kami berdua bersama calon buah hati kecil kami nantinya.Sungguh luar biasa nikmatnya jika hal ini terwujud, tapi aku juga tau jika ini adalah hal yang tidaklah mudah, terlebih lagi jika meminta izin dari Ibu Wasida, mertuaku.Tak ingin aku dicap sebagai menantu kurang ajar yang mencoba memisahkan anak dari ibunya. Tidak ada n
"Maksud kamu, putri sulung saya ini pembohong?" Ibu Wasida berdiri untuk menatapku dengan penuh kebencian.Seharusnya aku tak perlu cemas karena merasa jika apa yang dituduhkan oleh Mbak Jeni adalah fitnah, tapi jika yang aku hadapi adalah ibu mertuaku ... maka tak peduli apapun faktanya, aku lah tokoh antagonis di matanya."Sa-saya beneran ga ngelakuin semua tuduhan Mbak Jeni Bu! percaya sama Marya ...." meski tau kalimat ini sia-sia, aku tetap mencoba membela diri di hadapan ibu mertuaku. "Mbok! bawa Jeni ke kamar, obati luka di kakinya!" titah tegas wanita bersanggul di depanku ini dengan terus menatap tajam ke arahku."I-iya Nya" Mbok Yem tergopoh-gopoh membantu Kakak Iparku untuk berdiri dan membawanya ke kamar. Mbak Jeni terus meringis kesakitan dan membuat ibu mertua semakin terprovokasi dibuatnya. Aku tau itu pasti hanya akal-akalan kakak iparku agar aku semakin terpojok oleh ibu mertua.Ya Allah apalagi ini? baru dua hari aku tinggal di rumah ini, tapi tak ada yang membiark
Kini aku berada di kamar, berdua dengan suamiku. Aku menatapnya lekat, berusaha tetap tegar dan tenang meski rasanya ingin sekali menggebu-gebu membela diri, tapi aku tahan itu semua."Mas ... ga percaya sama aku?" Aku memulai pembicaraan duluan."Percaya," jawabnya singkat, aku menghembuskan napas lega akan jawabannya."Tapi saya juga percaya dengan keluarga saya." Hanya tatapan dingin yang aku lihat di mata pria di depanku saat ini, hening ... aku masih mencerna baik-baik kalimat yang dilontarkan Mas Rey padaku."Jadi ... Mas tak menganggap aku sebagai bagian keluarga Mas Rey?" tanyaku, tak mampu lagi untuk aku tidak meneteskan air mata.Aku pikir suamiku akan percaya padaku tanpa keraguan, tidak bisakah ia melihat kejujuran di mataku?Lelaki di depanku ini nampak terkejut dengan pertanyaan yang aku beri, nampaknya ia merasa bersalah akan kata-katanya barusan."Bukan begitu maksudnya Dek, tapi-""Tapi apa Mas? hanya segini rasa percayamu?" Diriku sangat emosional kali ini, tak bisa
Tok ... tok ... tok"Marya?" suara khas seorang wanita yang sangat kukenal memanggil namaku dibalik pintu, aku sedikit berlari menuju pintu untuk membukakan pintu masuk."Ani?" Aku memasang raut wajah terkejut, tetapi juga senang dengan kedatangannya. Dia adalah Ani, satu-satunya sahabat yang aku punya. Aku menengok kanan dan kiri, kemudian menarik tangan Ani untuk masuk kedalam rumahku."Ayo masuk!" ajakku, Ani menurut saja mengikuti langkahku."Kamu udah sarapan An? makan bareng yuk!" "Lah kebetulan! aku kesini bawain kamu makanan, Emak masak rendang jengkol loh Mar," tutur Ani, membuatku sumringah bahagia, rendang jengkol buatan Emak Ani memang rasanya paling enak."Wuaah ... makasih An, repot-repot segala," ucapku berbasa-basi sok malu-malu menerima makanan dari Ani."Halah, Ndak usah sok imut Mar, inget umur!" gurau Ani padaku diiringi dengan gelak tawa."Enak aja! umurku masih 20 tahun loh, umurmu kan juga sama aja!" protesku terhadap candaan Ani.Kami akhirnya makan berdua de
Pagi hari ini begitu cerah, suasana desa yang asri dan sejuk di pagi hari membuatku semangat untuk beraktivitas. Baru meninggalkan tempat ini beberapa hari, rasanya sudah seperti bernostalgia lama saja saat kembali kesini.Pagi-pagi aku sudah memasak nasi goreng satu porsi untuk diriku sendiri, kembali lagi seperti keseharian sebelum aku menikah beberapa hari yang lalu.Kalau dengan sendirian saja aku bisa hidup setenang ini, kenapa aku harus menikah sih? padahal hidup sendiri sebatang kara tidak seburuk itu, lebih buruk lagi jika tetap meneruskan satu atap dengan mertua."Mar! ayo kita main ke sungai!" seru Ani tiba-tiba, membuatku sedikit terkejut dengan kehadirannya."Salam dulu gitu loh kalo masuk rumah orang." Aku menggelengkan kepala, membuat Ani salah tingkah dan nyengir bagai kuda."Hehe ... ya maaf Mar, habisnya aku semangat banget nih!" ucap Ani dengan antusias."Bukannya ini ndak kepagian?""Justru kalo pagi kaya gini tuh, ga panas Mar." Aku mengangguk mengiyakan ajakan sah