Hari ini, merupakan resepsi pernikahanku. Akan tetapi, justru berubah menjadi proses pemakaman. Meninggalnya bapak mertuaku secara tiba-tiba, jujur saja membuatku benar-benar terpukul. Karena di keluarga ini, hanya beliaulah satu-satunya orang yang menerimaku dengan baik. Aah ... Pak, mengapa Bapak meninggalkan kami begitu cepat ...?"Ibu ndak akan setuju! Jika kamu menikahi perempuan yang hanya lulusan SMP ini!" Teringat penolakan ibu mertua waktu itu. Beliau sangat keras menolak kehadiranku. Namun, berbanding terbalik dengan tanggapan bapak. Ia dengan tangan terbuka menerima dan menyemangati Mas Rey —suamiku—untuk melanjutkan pernikahan. Jika bukan karena beliau, mungkin pernikahan ini tidak akan pernah terjadi.Apa hendak dikata, bapak malah meninggal di hari bahagia kami. Aku merasa sangat kehilangan.Ramai kerabat suamiku dan tetangga berdatangan. Mereka memberikan ucapan belasungkawa dan turut berduka atas kepergian mendiang bapak mertua. Aku yang sadar diri akan posisi seba
"Berapa banyak sih? uang yang kamu butuhkan untuk berpisah dengan adik saya?" tanya Mbak Jeni dengan raut wajah menghina padaku."Ma-maksud Mbak, apa ya?" Mbak Jeni memutar bola matanya malas. "Kamu itu bodoh, atau sok polos sih? saya tanya, berapa banyak uang yang kamu mau untuk meninggalkan Rey?" ucap ulang wanita berambut pirang itu lagi padaku."Saya ga akan meninggalkan Mas Rey Mbak! dia adalah suami saya," ucap ku dengan penuh penekanan."Halah! bilang aja kamu mau ngeruk harta adik saya, saya tau betul wanita-wanita modelan sepertimu Mar," hinanya padaku, membuat hatiku bak tertusuk oleh jarum."Astagfirullah, Mbak! ga ada aku niat sedikit pun untuk berpikiran seperti itu!" ujar ku dengan nada bergetar, tak kuasa aku membendung air mata di depan kakak iparku ini.Bisa-bisanya Mbak Jeni mengatai aku seperti demikian, bahkan aku tak pernah memiliki pemikiran seperti itu sekalipun!Tak peduli dengan pembelaan yang aku ucapkan, Mbak Jeni melenggang pergi dengan tatapan sinisnya pa
Prangg!! Suara benda jatuh terdengar nyaring di telingaku, seketika itu jantungku berdetak kencang tak karuan, pasalnya aku adalah orang yang tak sengaja menyenggol benda itu.Dari lantai dua, terdengar suara cempreng khas ibu mertua yang berteriak ke arahku, hingga bisa didengar oleh seluruh orang yang ada di rumah ini.Mbok Yem, dan beberapa pembantu yang sedang masak-masak di dapur sampai lari tergopoh-gopoh menghampiri."Ya Tuhan! perempuan pembawa sial!" Ibu mertua berjalan dengan penuh amarah ke arahku. Tentu aku sangat panik kali ini. Aku menggigit bibirku cemas, dan mundur beberapa langkah ketika sosok wanita paruh baya dengan wajah penuh amarahnya semakin mendekatiku.Plakk!Satu tamparan keras melayang tepat di pipi kiriku, hingga tubuhku goyah dan jatuh tersungkur ke lantai.Semua pembantu yang melihat kejadian itu, menganga dan bergidik ngeri menatapku dengan iba, tapi tentu saja tak ada yang berani untuk membela ataupun menolongku."Dasar! wanita tidak tau diri! kamu ta
Aku tak tau keberanian ini datang dari mana, terlintas begitu saja di pikiranku dan terucap begitu saja di bibirku."Mas? apa kita, ndak bisa pindah dari rumah ini?"Raut wajah Mas Rey tampak berubah, yang awalnya tersenyum manis menjadi dingin, entah apa yang ada di benaknya saat ini. Apa aku mengatakan hal yang salah?"Untuk?" jawabnya singkat, entah kenapa suaranya menjadi dingin, tak sehangat seperti sebelumnya. Aku menelan saliva, rasa takut jika pria di depanku ini mengamuk padaku, tak bisa aku bayangkan bagaimana cara Mas Rey marah.Jujur aku belum pernah sekalipun melihat sisi amarah lelaki ini selama aku mengenalnya bertahun-tahun, mungkin hanya sosok tegasnya saja."A-aku merasa, kita harus bisa mandiri dalam menjalani pernikahan ini Mas, seatap dengan ibu dan kakak ipar membuat kita akan selalu bergantung pada mereka, dan malah akan merepotkan mereka. Mas? boleh ya?" tuturku,Dengan semaksimal mungkin aku membuat ekspresi penuh harap di hadapan pria ini.Ia menatapku denga
Pagi hari ini cerah, usai aku menyiapkan pakaian kerja untuk suami, dan memasak untuk sarapan dan juga bekal, kami menyempatkan untuk berbincang-bincang di kamar sebelum suamiku pergi bekerja.Ia meminta maaf padaku karena belum bisa mengajak berlibur bulan madu usai pernikahan, di samping masih masa berduka, ada perusahaan yang masih dalam keadaan sulit untuk ditinggal oleh suamiku.Aku memaklumi hal itu, menjadi pemimpin perusahaan besar tidaklah mudah, aku juga tidak menuntut Mas Rey untuk hal-hal seperti itu. Cukup ia percaya dan menyayangi diriku saja sudah sangat berarti untukku, aku harap bisa memiliki rumah kecil sederhana bersama Mas Rey, dan hanya ada kami berdua bersama calon buah hati kecil kami nantinya.Sungguh luar biasa nikmatnya jika hal ini terwujud, tapi aku juga tau jika ini adalah hal yang tidaklah mudah, terlebih lagi jika meminta izin dari Ibu Wasida, mertuaku.Tak ingin aku dicap sebagai menantu kurang ajar yang mencoba memisahkan anak dari ibunya. Tidak ada n
"Maksud kamu, putri sulung saya ini pembohong?" Ibu Wasida berdiri untuk menatapku dengan penuh kebencian.Seharusnya aku tak perlu cemas karena merasa jika apa yang dituduhkan oleh Mbak Jeni adalah fitnah, tapi jika yang aku hadapi adalah ibu mertuaku ... maka tak peduli apapun faktanya, aku lah tokoh antagonis di matanya."Sa-saya beneran ga ngelakuin semua tuduhan Mbak Jeni Bu! percaya sama Marya ...." meski tau kalimat ini sia-sia, aku tetap mencoba membela diri di hadapan ibu mertuaku. "Mbok! bawa Jeni ke kamar, obati luka di kakinya!" titah tegas wanita bersanggul di depanku ini dengan terus menatap tajam ke arahku."I-iya Nya" Mbok Yem tergopoh-gopoh membantu Kakak Iparku untuk berdiri dan membawanya ke kamar. Mbak Jeni terus meringis kesakitan dan membuat ibu mertua semakin terprovokasi dibuatnya. Aku tau itu pasti hanya akal-akalan kakak iparku agar aku semakin terpojok oleh ibu mertua.Ya Allah apalagi ini? baru dua hari aku tinggal di rumah ini, tapi tak ada yang membiark
Kini aku berada di kamar, berdua dengan suamiku. Aku menatapnya lekat, berusaha tetap tegar dan tenang meski rasanya ingin sekali menggebu-gebu membela diri, tapi aku tahan itu semua."Mas ... ga percaya sama aku?" Aku memulai pembicaraan duluan."Percaya," jawabnya singkat, aku menghembuskan napas lega akan jawabannya."Tapi saya juga percaya dengan keluarga saya." Hanya tatapan dingin yang aku lihat di mata pria di depanku saat ini, hening ... aku masih mencerna baik-baik kalimat yang dilontarkan Mas Rey padaku."Jadi ... Mas tak menganggap aku sebagai bagian keluarga Mas Rey?" tanyaku, tak mampu lagi untuk aku tidak meneteskan air mata.Aku pikir suamiku akan percaya padaku tanpa keraguan, tidak bisakah ia melihat kejujuran di mataku?Lelaki di depanku ini nampak terkejut dengan pertanyaan yang aku beri, nampaknya ia merasa bersalah akan kata-katanya barusan."Bukan begitu maksudnya Dek, tapi-""Tapi apa Mas? hanya segini rasa percayamu?" Diriku sangat emosional kali ini, tak bisa
Tok ... tok ... tok"Marya?" suara khas seorang wanita yang sangat kukenal memanggil namaku dibalik pintu, aku sedikit berlari menuju pintu untuk membukakan pintu masuk."Ani?" Aku memasang raut wajah terkejut, tetapi juga senang dengan kedatangannya. Dia adalah Ani, satu-satunya sahabat yang aku punya. Aku menengok kanan dan kiri, kemudian menarik tangan Ani untuk masuk kedalam rumahku."Ayo masuk!" ajakku, Ani menurut saja mengikuti langkahku."Kamu udah sarapan An? makan bareng yuk!" "Lah kebetulan! aku kesini bawain kamu makanan, Emak masak rendang jengkol loh Mar," tutur Ani, membuatku sumringah bahagia, rendang jengkol buatan Emak Ani memang rasanya paling enak."Wuaah ... makasih An, repot-repot segala," ucapku berbasa-basi sok malu-malu menerima makanan dari Ani."Halah, Ndak usah sok imut Mar, inget umur!" gurau Ani padaku diiringi dengan gelak tawa."Enak aja! umurku masih 20 tahun loh, umurmu kan juga sama aja!" protesku terhadap candaan Ani.Kami akhirnya makan berdua de