"Berapa banyak sih? uang yang kamu butuhkan untuk berpisah dengan adik saya?" tanya Mbak Jeni dengan raut wajah menghina padaku.
"Ma-maksud Mbak, apa ya?"Mbak Jeni memutar bola matanya malas. "Kamu itu bodoh, atau sok polos sih? saya tanya, berapa banyak uang yang kamu mau untuk meninggalkan Rey?" ucap ulang wanita berambut pirang itu lagi padaku."Saya ga akan meninggalkan Mas Rey Mbak! dia adalah suami saya," ucap ku dengan penuh penekanan."Halah! bilang aja kamu mau ngeruk harta adik saya, saya tau betul wanita-wanita modelan sepertimu Mar," hinanya padaku, membuat hatiku bak tertusuk oleh jarum."Astagfirullah, Mbak! ga ada aku niat sedikit pun untuk berpikiran seperti itu!" ujar ku dengan nada bergetar, tak kuasa aku membendung air mata di depan kakak iparku ini.Bisa-bisanya Mbak Jeni mengatai aku seperti demikian, bahkan aku tak pernah memiliki pemikiran seperti itu sekalipun!Tak peduli dengan pembelaan yang aku ucapkan, Mbak Jeni melenggang pergi dengan tatapan sinisnya padaku.Aku mengusap air mata di pipi ku, kemudian mematikan kompor, air yang aku rebus telah mendidih sedari tadi.Aku tuang air panas itu perlahan, menambahkan gula dan mengaduknya hati-hati. Setelahnya aku antar segelas teh itu kepada suamiku yang tengah duduk di ruang keluarga."Mas, ini tehnya." Aku meletakkan segelas teh itu dengan mengembangkan senyuman di hadapan Mas Rey."Makasih, Dek," ucapnya, dan aku balas dengan anggukan.Lelaki itu melihat wajahku dengan tatapan yang sulit diartikan."Ada apa, Mas?""Adek ... habis nangis?" Suamiku memegang pipiku perlahan.Aku menggelengkan kepala. "Ndak Mas, aku gak nangis kok!" ucapku berdusta, tak mungkin aku mengadu dan membuat hubungan antara kakak dan adik renggang bukan?"Ga bohong, kan?" tanyanya sekali lagi, seperti kurang percaya padaku.Aku meneguk saliva, rasanya tertekan sekali jika harus berdusta berulang kali di hadapan suamiku."Iya Mas, beneran!" ucapku, menyakinkan Mas Rey.Akhirnya lelaki di depanku ini mengangguk percaya, aku menghela napas lega. Kami sedikit mengobrol dengan santai, hingga akhirnya suamiku pamit untuk berangkat bekerja.Mas Rey bekerja sebagai CEO di perusahaan milik keluarganya, lebih tepatnya milik mendiang ayahnya.Sebenarnya aku tak heran jika kakak ipar menuduhku menikah dengan suamiku ini karena ingin meraup hartanya, karena memang benar jika Mas Rey itu lelaki idaman, tak hanya tampan, ia juga seseorang yang mapan.Tapi bukan itu yang membuat aku menerima suamiku, tapi memang karena perasaan kagum dan cinta ini telah ada sejak dulu.Dari mulai cara ia berbicara, sifatnya yang perhatian dan tutur kata yang sopan, meski dari keluarga berada, ia tak pernah menyombongkan dirinya.Perasaan ini awalnya hanya sebatas kagum semata, tak pernah sekalipun aku berpikiran bisa berjodoh dengan lelaki sebaik Mas Rey.Tapi suatu keajaiban terjadi, lelaki yang aku kagumi itu malah menyatakan perasaannya duluan terhadapku.Jujur aku bahagia bukan main, tapi tak aku sangka cobaan pernikahan kami ada pada keluarga suamiku sendiri. Tapi nasi sudah menjadi bubur, tak mungkin aku melepas hubungan ini begitu saja.Satu-satunya milikku hanya Mas Rey, kakek dan nenek telah tiada satu tahun yang lalu. Kini aku hanyalah seorang sebatang kara, yang beruntung mendapatkan cinta dari lelaki sebaik suamiku, tak akan aku sia-siakan keluarga baru yang berharga ini.Saat melihat mobil yang dikendarai suamiku telah menjauh dari rumah, aku bergegas untuk membereskan pakaian kotor kami yang ada di kamar.Begitu aku hendak memasukkan baju kotor ke dalam mesin cuci, ibu mertua datang menghampiri dengan raut wajah tak suka padaku."Mau apa kamu?" tanyanya dengan menatapku sinis."Marya mau mencuci baju kotor ini, Bu," jawabku dengan sopan.Dengan cepat ia berbalik meninggalkan aku, entah apa yang ibu mertua hendak lakukan. Dalam hitungan menit, ia kembali membawa sekeranjang tumpukan baju kotor yang aku kenali siapa pemiliknya, itu adalah baju-baju ibu mertua dan kakak-kakak iparku.ibu mertua menyodorkan keranjang berisi tumpukan baju kotor itu ke arahku."Cuci semua baju-baju ini!" titahnya padaku.Aku mengangguk pelan, dan baru saja aku hendak memasukkan baju-bajunya ke dalam mesin cuci. Ibu mertua menepis tanganku dengan kasar, rasanya lumayan sakit."Siapa yang suruh kamu pake mesin cuci?! kamu kan punya kedua tangan yang masih berfungsi, gunakanlah biar ada manfaatnya sedikit!" titahnya dengan angkuh padaku.Aku terlonjak kaget, bukan karena tak bisa mencuci menggunakan tangan atau tak mau melakukannya! tapi karena jumlah baju-baju ini sangatlah banyak, satu keranjang besar yang penuh sampai menumpuk seperti gunung.Aku mencoba untuk mengajukan protes padanya."Tapi Buk-" ucapan ku terputus olehnya."Di dunia ini ga ada yang gratis! kamu numpang di sini juga harus tau diri Mar, sumbangkan tenaga kamu itu di rumah ini, meski tidak seberapa," tuturnya dengan penuh penekanan."Mbok!" panggil Ibu mertua dengan sedikit berteriak.Mbok Yem yang sedang sibuk di dapur menyiapkan acara tahlil nanti malam untuk mendiang bapak mertua, berlari tergopoh-gopoh menghampiri sumber suara yang memanggilnya."Iya Nya, ada apa ya?" ujarnya."Mbok, saya peringatkan sama Mbok Yem, dan semua pembantu yang ada di rumah ini, jangan ada yang membantu wanita satu ini untuk mengerjakan tugas yang saya beri, ngerti?!" titah wanita paruh baya yang berwajah angkuh tersebut.Atensi Mbok Yem tertuju padaku, dari ekspresi yang aku tangkap, sepertinya Mbok Yem terkejut dan juga prihatin terhadapku, tapi tentu ia tak akan berani melawan perintah sang majikan yang lebih berkuasa di rumah ini."I-iya Nya," jawab Mbok Yem terbata-bata. Hingga akhirnya ibu mertuaku, wanita tua dengan sanggul di kepalanya itu melenggang pergi begitu saja.Mbok Yem mendekatiku dan ikut berjongkok, "maaf ya Non, mbok ga bisa bantu," ucapnya, sembari mengelus pundakku perlahan.Aku tersenyum sambil mengangguk padanya, "Ndak papa Mbok, bukan salahnya Mbok juga," balasku."Mbok ke dapur dulu ya? masih banyak kerjaan untuk nanti malam," ujarnya, kemudian melangkah pergi menuju dapur.Sudahlah tak apa, memang benar apa yang dikatakan ibu mertuaku, tak ada hidup yang gratis di dunia ini. Setidaknya aku mendapat tempat yang layak untuk aku berteduh.Setelah lebih dua jam aku berkutat di tempat cucian akhirnya selesai juga, tanganku sudah sangat keriput dan memerah karena terlalu lama terkena air.Padahal di tempat cuci ini terdapat dua mesin cuci yang berjejer rapih dan masih berfungsi, teganya ibu mertua menyuruhku mencuci ini semua sendirian secara manual.Mau mengeluhkannya pun memangnya mau mengeluh dengan siapa? Mas Rey? bisa-bisa aku semakin dibenci oleh keluarganya dan tak akan diberikan ketenangan lebih dari ini.Usai menjemur pakaian, aku lanjut menyapu dan mengepel lantai sesuai dengan perintah ibu mertuaku, saat hendak mengepel lantai tak sengaja tanganku menyenggol sesuatu.Prangg!!"Ya Tuhan! perempuan pembawa sial!"Prangg!! Suara benda jatuh terdengar nyaring di telingaku, seketika itu jantungku berdetak kencang tak karuan, pasalnya aku adalah orang yang tak sengaja menyenggol benda itu.Dari lantai dua, terdengar suara cempreng khas ibu mertua yang berteriak ke arahku, hingga bisa didengar oleh seluruh orang yang ada di rumah ini.Mbok Yem, dan beberapa pembantu yang sedang masak-masak di dapur sampai lari tergopoh-gopoh menghampiri."Ya Tuhan! perempuan pembawa sial!" Ibu mertua berjalan dengan penuh amarah ke arahku. Tentu aku sangat panik kali ini. Aku menggigit bibirku cemas, dan mundur beberapa langkah ketika sosok wanita paruh baya dengan wajah penuh amarahnya semakin mendekatiku.Plakk!Satu tamparan keras melayang tepat di pipi kiriku, hingga tubuhku goyah dan jatuh tersungkur ke lantai.Semua pembantu yang melihat kejadian itu, menganga dan bergidik ngeri menatapku dengan iba, tapi tentu saja tak ada yang berani untuk membela ataupun menolongku."Dasar! wanita tidak tau diri! kamu ta
Aku tak tau keberanian ini datang dari mana, terlintas begitu saja di pikiranku dan terucap begitu saja di bibirku."Mas? apa kita, ndak bisa pindah dari rumah ini?"Raut wajah Mas Rey tampak berubah, yang awalnya tersenyum manis menjadi dingin, entah apa yang ada di benaknya saat ini. Apa aku mengatakan hal yang salah?"Untuk?" jawabnya singkat, entah kenapa suaranya menjadi dingin, tak sehangat seperti sebelumnya. Aku menelan saliva, rasa takut jika pria di depanku ini mengamuk padaku, tak bisa aku bayangkan bagaimana cara Mas Rey marah.Jujur aku belum pernah sekalipun melihat sisi amarah lelaki ini selama aku mengenalnya bertahun-tahun, mungkin hanya sosok tegasnya saja."A-aku merasa, kita harus bisa mandiri dalam menjalani pernikahan ini Mas, seatap dengan ibu dan kakak ipar membuat kita akan selalu bergantung pada mereka, dan malah akan merepotkan mereka. Mas? boleh ya?" tuturku,Dengan semaksimal mungkin aku membuat ekspresi penuh harap di hadapan pria ini.Ia menatapku denga
Pagi hari ini cerah, usai aku menyiapkan pakaian kerja untuk suami, dan memasak untuk sarapan dan juga bekal, kami menyempatkan untuk berbincang-bincang di kamar sebelum suamiku pergi bekerja.Ia meminta maaf padaku karena belum bisa mengajak berlibur bulan madu usai pernikahan, di samping masih masa berduka, ada perusahaan yang masih dalam keadaan sulit untuk ditinggal oleh suamiku.Aku memaklumi hal itu, menjadi pemimpin perusahaan besar tidaklah mudah, aku juga tidak menuntut Mas Rey untuk hal-hal seperti itu. Cukup ia percaya dan menyayangi diriku saja sudah sangat berarti untukku, aku harap bisa memiliki rumah kecil sederhana bersama Mas Rey, dan hanya ada kami berdua bersama calon buah hati kecil kami nantinya.Sungguh luar biasa nikmatnya jika hal ini terwujud, tapi aku juga tau jika ini adalah hal yang tidaklah mudah, terlebih lagi jika meminta izin dari Ibu Wasida, mertuaku.Tak ingin aku dicap sebagai menantu kurang ajar yang mencoba memisahkan anak dari ibunya. Tidak ada n
"Maksud kamu, putri sulung saya ini pembohong?" Ibu Wasida berdiri untuk menatapku dengan penuh kebencian.Seharusnya aku tak perlu cemas karena merasa jika apa yang dituduhkan oleh Mbak Jeni adalah fitnah, tapi jika yang aku hadapi adalah ibu mertuaku ... maka tak peduli apapun faktanya, aku lah tokoh antagonis di matanya."Sa-saya beneran ga ngelakuin semua tuduhan Mbak Jeni Bu! percaya sama Marya ...." meski tau kalimat ini sia-sia, aku tetap mencoba membela diri di hadapan ibu mertuaku. "Mbok! bawa Jeni ke kamar, obati luka di kakinya!" titah tegas wanita bersanggul di depanku ini dengan terus menatap tajam ke arahku."I-iya Nya" Mbok Yem tergopoh-gopoh membantu Kakak Iparku untuk berdiri dan membawanya ke kamar. Mbak Jeni terus meringis kesakitan dan membuat ibu mertua semakin terprovokasi dibuatnya. Aku tau itu pasti hanya akal-akalan kakak iparku agar aku semakin terpojok oleh ibu mertua.Ya Allah apalagi ini? baru dua hari aku tinggal di rumah ini, tapi tak ada yang membiark
Kini aku berada di kamar, berdua dengan suamiku. Aku menatapnya lekat, berusaha tetap tegar dan tenang meski rasanya ingin sekali menggebu-gebu membela diri, tapi aku tahan itu semua."Mas ... ga percaya sama aku?" Aku memulai pembicaraan duluan."Percaya," jawabnya singkat, aku menghembuskan napas lega akan jawabannya."Tapi saya juga percaya dengan keluarga saya." Hanya tatapan dingin yang aku lihat di mata pria di depanku saat ini, hening ... aku masih mencerna baik-baik kalimat yang dilontarkan Mas Rey padaku."Jadi ... Mas tak menganggap aku sebagai bagian keluarga Mas Rey?" tanyaku, tak mampu lagi untuk aku tidak meneteskan air mata.Aku pikir suamiku akan percaya padaku tanpa keraguan, tidak bisakah ia melihat kejujuran di mataku?Lelaki di depanku ini nampak terkejut dengan pertanyaan yang aku beri, nampaknya ia merasa bersalah akan kata-katanya barusan."Bukan begitu maksudnya Dek, tapi-""Tapi apa Mas? hanya segini rasa percayamu?" Diriku sangat emosional kali ini, tak bisa
Tok ... tok ... tok"Marya?" suara khas seorang wanita yang sangat kukenal memanggil namaku dibalik pintu, aku sedikit berlari menuju pintu untuk membukakan pintu masuk."Ani?" Aku memasang raut wajah terkejut, tetapi juga senang dengan kedatangannya. Dia adalah Ani, satu-satunya sahabat yang aku punya. Aku menengok kanan dan kiri, kemudian menarik tangan Ani untuk masuk kedalam rumahku."Ayo masuk!" ajakku, Ani menurut saja mengikuti langkahku."Kamu udah sarapan An? makan bareng yuk!" "Lah kebetulan! aku kesini bawain kamu makanan, Emak masak rendang jengkol loh Mar," tutur Ani, membuatku sumringah bahagia, rendang jengkol buatan Emak Ani memang rasanya paling enak."Wuaah ... makasih An, repot-repot segala," ucapku berbasa-basi sok malu-malu menerima makanan dari Ani."Halah, Ndak usah sok imut Mar, inget umur!" gurau Ani padaku diiringi dengan gelak tawa."Enak aja! umurku masih 20 tahun loh, umurmu kan juga sama aja!" protesku terhadap candaan Ani.Kami akhirnya makan berdua de
Pagi hari ini begitu cerah, suasana desa yang asri dan sejuk di pagi hari membuatku semangat untuk beraktivitas. Baru meninggalkan tempat ini beberapa hari, rasanya sudah seperti bernostalgia lama saja saat kembali kesini.Pagi-pagi aku sudah memasak nasi goreng satu porsi untuk diriku sendiri, kembali lagi seperti keseharian sebelum aku menikah beberapa hari yang lalu.Kalau dengan sendirian saja aku bisa hidup setenang ini, kenapa aku harus menikah sih? padahal hidup sendiri sebatang kara tidak seburuk itu, lebih buruk lagi jika tetap meneruskan satu atap dengan mertua."Mar! ayo kita main ke sungai!" seru Ani tiba-tiba, membuatku sedikit terkejut dengan kehadirannya."Salam dulu gitu loh kalo masuk rumah orang." Aku menggelengkan kepala, membuat Ani salah tingkah dan nyengir bagai kuda."Hehe ... ya maaf Mar, habisnya aku semangat banget nih!" ucap Ani dengan antusias."Bukannya ini ndak kepagian?""Justru kalo pagi kaya gini tuh, ga panas Mar." Aku mengangguk mengiyakan ajakan sah
"Wah ... dijemput suaminya ya Mar? kirain sudah ditalak," celetuk salah seorang ibu-ibu yang merupakan tetanggaku.Aku hanya diam tanpa menjawab sepatah katapun. Rasanya benar-benar tak nyaman, di tambah ada Mas Rey di sampingku saat ini."Marya ini adalah istri yang paling saya cintai, tak akan mungkin saya lepaskan istri sebaik dan secantik dia, Bu." Mas Rey membelaku di depan ibu-ibu tetangga yang mencibirku, membuat ibu-ibu itu melengos pergi dengan kesal.Kini aku berjalan menuju rumahku, aku berjalan pulang dengan berdampingan dengan seorang pria, siapa lagi kalau bukan Mas Rey?Beberapa kali kami berdua berpapasan dengan beberapa ibu-ibu yang super kepo akan kehidupanku, membuat aku sedikit risih dan muak. Yang dapat menjawab dan menyapa balik para tetangga dengan ramah malah Mas Rey."Kamu tau dari mana aku ada di sungai?" tanyaku memecah kecanggungan kami berdua."Tadi aku udah ke rumah, tapi kamu ga ada. Jadi aku iseng pergi ke sungai," jelas suamiku, dan aku hanya ber oh ri