Kini aku berada di kamar, berdua dengan suamiku. Aku menatapnya lekat, berusaha tetap tegar dan tenang meski rasanya ingin sekali menggebu-gebu membela diri, tapi aku tahan itu semua."Mas ... ga percaya sama aku?" Aku memulai pembicaraan duluan."Percaya," jawabnya singkat, aku menghembuskan napas lega akan jawabannya."Tapi saya juga percaya dengan keluarga saya." Hanya tatapan dingin yang aku lihat di mata pria di depanku saat ini, hening ... aku masih mencerna baik-baik kalimat yang dilontarkan Mas Rey padaku."Jadi ... Mas tak menganggap aku sebagai bagian keluarga Mas Rey?" tanyaku, tak mampu lagi untuk aku tidak meneteskan air mata.Aku pikir suamiku akan percaya padaku tanpa keraguan, tidak bisakah ia melihat kejujuran di mataku?Lelaki di depanku ini nampak terkejut dengan pertanyaan yang aku beri, nampaknya ia merasa bersalah akan kata-katanya barusan."Bukan begitu maksudnya Dek, tapi-""Tapi apa Mas? hanya segini rasa percayamu?" Diriku sangat emosional kali ini, tak bisa
Tok ... tok ... tok"Marya?" suara khas seorang wanita yang sangat kukenal memanggil namaku dibalik pintu, aku sedikit berlari menuju pintu untuk membukakan pintu masuk."Ani?" Aku memasang raut wajah terkejut, tetapi juga senang dengan kedatangannya. Dia adalah Ani, satu-satunya sahabat yang aku punya. Aku menengok kanan dan kiri, kemudian menarik tangan Ani untuk masuk kedalam rumahku."Ayo masuk!" ajakku, Ani menurut saja mengikuti langkahku."Kamu udah sarapan An? makan bareng yuk!" "Lah kebetulan! aku kesini bawain kamu makanan, Emak masak rendang jengkol loh Mar," tutur Ani, membuatku sumringah bahagia, rendang jengkol buatan Emak Ani memang rasanya paling enak."Wuaah ... makasih An, repot-repot segala," ucapku berbasa-basi sok malu-malu menerima makanan dari Ani."Halah, Ndak usah sok imut Mar, inget umur!" gurau Ani padaku diiringi dengan gelak tawa."Enak aja! umurku masih 20 tahun loh, umurmu kan juga sama aja!" protesku terhadap candaan Ani.Kami akhirnya makan berdua de
Pagi hari ini begitu cerah, suasana desa yang asri dan sejuk di pagi hari membuatku semangat untuk beraktivitas. Baru meninggalkan tempat ini beberapa hari, rasanya sudah seperti bernostalgia lama saja saat kembali kesini.Pagi-pagi aku sudah memasak nasi goreng satu porsi untuk diriku sendiri, kembali lagi seperti keseharian sebelum aku menikah beberapa hari yang lalu.Kalau dengan sendirian saja aku bisa hidup setenang ini, kenapa aku harus menikah sih? padahal hidup sendiri sebatang kara tidak seburuk itu, lebih buruk lagi jika tetap meneruskan satu atap dengan mertua."Mar! ayo kita main ke sungai!" seru Ani tiba-tiba, membuatku sedikit terkejut dengan kehadirannya."Salam dulu gitu loh kalo masuk rumah orang." Aku menggelengkan kepala, membuat Ani salah tingkah dan nyengir bagai kuda."Hehe ... ya maaf Mar, habisnya aku semangat banget nih!" ucap Ani dengan antusias."Bukannya ini ndak kepagian?""Justru kalo pagi kaya gini tuh, ga panas Mar." Aku mengangguk mengiyakan ajakan sah
"Wah ... dijemput suaminya ya Mar? kirain sudah ditalak," celetuk salah seorang ibu-ibu yang merupakan tetanggaku.Aku hanya diam tanpa menjawab sepatah katapun. Rasanya benar-benar tak nyaman, di tambah ada Mas Rey di sampingku saat ini."Marya ini adalah istri yang paling saya cintai, tak akan mungkin saya lepaskan istri sebaik dan secantik dia, Bu." Mas Rey membelaku di depan ibu-ibu tetangga yang mencibirku, membuat ibu-ibu itu melengos pergi dengan kesal.Kini aku berjalan menuju rumahku, aku berjalan pulang dengan berdampingan dengan seorang pria, siapa lagi kalau bukan Mas Rey?Beberapa kali kami berdua berpapasan dengan beberapa ibu-ibu yang super kepo akan kehidupanku, membuat aku sedikit risih dan muak. Yang dapat menjawab dan menyapa balik para tetangga dengan ramah malah Mas Rey."Kamu tau dari mana aku ada di sungai?" tanyaku memecah kecanggungan kami berdua."Tadi aku udah ke rumah, tapi kamu ga ada. Jadi aku iseng pergi ke sungai," jelas suamiku, dan aku hanya ber oh ri
Ketika kami berdua tengah menikmati makan malam dengan nikmat, tiba-tiba suamiku malah mengucapkan kalimat pertanyaan yang membuat aku terlonjak kaget mendengarnya."Pulang ya, Dek?" bujuk Mas Rey, membuat aktifitas makan yang tengah aku lakukan ini terhenti, aku tatap wajah pria yang ada di hadapanku saat ini."Pulang? ke rumah itu lagi?" tanyaku, kini suasana yang tadinya hangat seketika menjadi dingin.Berat hati ini jika harus kembali ke rumah itu, baru dua hari saja batinku sudah menyerah. Kembali lagi untuk apa? penghuninya juga tak menyukai keberadaan diriku."Mas ... apa kita ga bisa pindah saja?" tanyaku dengan penuh harap.Terlihat Mas Rey tengah membuang napasnya kasar, mungkin baginya meninggalkan rumah adalah keputusan yang berat.Aku tatap wajah tampannya yang kini tengah muram, apakah permintaanku terlalu berat untukmu Mas? bukankah wajar jika pasangan suami istri memutuskan untuk tinggal sendiri dibandingkan bersama orang tua?"Dek ... rumah itu adalah rumah utama kelua
Rey dan Marya masuk ke dalam rumah dengan bergandengan tangan, baru satu langkah masuk kedalam rumah, kedua pasangan itu disambut oleh Bu Wasida yang tengah duduk santai di sofa ruang tamu."Lah? masih punya muka kamu Mar? ternyata memang wanita yang gak punya malu!" celetuk wanita paruh baya dengan sanggul anggunnya."Buk! jangan begitu sama Marya, dia istriku,"ucap Rey membela sang istri, perasaan ngilu di hati Marya berubah menjadi haru karena mendengar pembelaan suaminya."Halah Rey ... Rey, kamu itu pasti udah dicuci otaknya sama si perempuan sialan itu!" tuduh Bu Wasida sambil menunjuk ke arah Marya, bahkan matanya sampai memancarkan kebencian yang mendalam.Marya menggenggam semakin erat tangan Rey, tertanda jika ia sedang takut dan gelisah. Seharusnya ia memang tidak perlu datang lagi ke rumah ini.Rey yang tahu perasaan takut sang istri, mencoba menenangkannya dengan menatap lekat Marya dengan hangat, matanya seperti memberikan i
Krieeeeet ....Perlahan Marya membuka pintu kamarnya, netranya langsung terpusat pada sosok Bu Wasida yang kini tepat berada di hadapannya.Wajah merah padam menahan amarah terlihat jelas pada wajah wanita paruh baya itu, tatapan nyalang Wasida dibalas dengan tundukan kepala Marya.Ia tak sanggup menatap wajah ibu mertuanya, raganya kini tengah ketar-ketir berhadapan dengan sosok wanita bersanggul itu.Sementara itu, Mbok Yem terpaku di ambang pintu dapur. Dari kejauhan ia menyaksikan semuanya, batinnya pun ikut ketar-ketir, bertanya-tanya apa yang akan dilakukan Bu Wasida pada Marya?"Ya Allah, apa lagi cobaan Nduk Marya iki," lirih Mbok Yem."Kamu pasti guna-guna anak saya! iya kan? ngaku kamu!" tuduh Bu Wasida dengan menggebu.Sepertinya sedari tadi saat ada Rey, ia sangat memendam semua kesalnya pada Marya, hingga akhirnya sekarang wanita tua itu bisa meluapkan kebencian saat putra bungsunya telah pergi."As
Sepasang suami istri terlihat tengah menikmati sepiring nasi goreng di meja mereka, Rey memutuskan untuk memboyong istrinya makan di luar, mengingat suasana tak kondusif yang terjadi di rumah.Kini Marya dapat menelan makanan dengan nyaman, ia makan dengan lahap karena memang sudah kelaparan sejak tadi. Namun beberapa saat kemudian, ia melirik ke arah suaminya.Terlihat Rey seperti sedang hanyut dalam lamunannya, ia bahkan tak menyuapkan sesendok nasi pun ke dalam mulutnya. Dahi Marya mengernyit, batinnya bertanya-tanya tentang apa yang kini tengah suaminya pikirkan."Mas?" "Hmm?" Rey mulai menata fokus, ia telah sadar jika istrinya kini menatapnya penuh tanda tanya."Kenapa? kok sampai melamun gitu," ucap Marya penuh selidik.Tampak lelaki tampan itu mengembuskan napasnya kasar, menimang-nimang untuk mengucapkan sebuah jawaban."Dek ... Mas boleh minta sesuatu?" tanya Rey ragu-ragu."Tentu, apa itu?" Marya sem