Rey dan Marya masuk ke dalam rumah dengan bergandengan tangan, baru satu langkah masuk kedalam rumah, kedua pasangan itu disambut oleh Bu Wasida yang tengah duduk santai di sofa ruang tamu."Lah? masih punya muka kamu Mar? ternyata memang wanita yang gak punya malu!" celetuk wanita paruh baya dengan sanggul anggunnya."Buk! jangan begitu sama Marya, dia istriku,"ucap Rey membela sang istri, perasaan ngilu di hati Marya berubah menjadi haru karena mendengar pembelaan suaminya."Halah Rey ... Rey, kamu itu pasti udah dicuci otaknya sama si perempuan sialan itu!" tuduh Bu Wasida sambil menunjuk ke arah Marya, bahkan matanya sampai memancarkan kebencian yang mendalam.Marya menggenggam semakin erat tangan Rey, tertanda jika ia sedang takut dan gelisah. Seharusnya ia memang tidak perlu datang lagi ke rumah ini.Rey yang tahu perasaan takut sang istri, mencoba menenangkannya dengan menatap lekat Marya dengan hangat, matanya seperti memberikan i
Krieeeeet ....Perlahan Marya membuka pintu kamarnya, netranya langsung terpusat pada sosok Bu Wasida yang kini tepat berada di hadapannya.Wajah merah padam menahan amarah terlihat jelas pada wajah wanita paruh baya itu, tatapan nyalang Wasida dibalas dengan tundukan kepala Marya.Ia tak sanggup menatap wajah ibu mertuanya, raganya kini tengah ketar-ketir berhadapan dengan sosok wanita bersanggul itu.Sementara itu, Mbok Yem terpaku di ambang pintu dapur. Dari kejauhan ia menyaksikan semuanya, batinnya pun ikut ketar-ketir, bertanya-tanya apa yang akan dilakukan Bu Wasida pada Marya?"Ya Allah, apa lagi cobaan Nduk Marya iki," lirih Mbok Yem."Kamu pasti guna-guna anak saya! iya kan? ngaku kamu!" tuduh Bu Wasida dengan menggebu.Sepertinya sedari tadi saat ada Rey, ia sangat memendam semua kesalnya pada Marya, hingga akhirnya sekarang wanita tua itu bisa meluapkan kebencian saat putra bungsunya telah pergi."As
Sepasang suami istri terlihat tengah menikmati sepiring nasi goreng di meja mereka, Rey memutuskan untuk memboyong istrinya makan di luar, mengingat suasana tak kondusif yang terjadi di rumah.Kini Marya dapat menelan makanan dengan nyaman, ia makan dengan lahap karena memang sudah kelaparan sejak tadi. Namun beberapa saat kemudian, ia melirik ke arah suaminya.Terlihat Rey seperti sedang hanyut dalam lamunannya, ia bahkan tak menyuapkan sesendok nasi pun ke dalam mulutnya. Dahi Marya mengernyit, batinnya bertanya-tanya tentang apa yang kini tengah suaminya pikirkan."Mas?" "Hmm?" Rey mulai menata fokus, ia telah sadar jika istrinya kini menatapnya penuh tanda tanya."Kenapa? kok sampai melamun gitu," ucap Marya penuh selidik.Tampak lelaki tampan itu mengembuskan napasnya kasar, menimang-nimang untuk mengucapkan sebuah jawaban."Dek ... Mas boleh minta sesuatu?" tanya Rey ragu-ragu."Tentu, apa itu?" Marya sem
Tertohok Wasida mendengar ucapan pedas Marya, berani-beraninya menantu udik itu melontarkan kalimat pedas padanya.Kini yang awalnya wanita paruh baya itu ada di belakang Nara, dengan gemuruh amarah ia menerobos mendekati wanita berhijab coklat itu, membuat Marya mundur beberapa langkah untuk menjauh.Meski ketar-ketir nyali Marya saat ini, tapi hati kecilnya tak terima jika ibunya dijelekkan oleh orang lain, meski itu adalah ibu mertuanya sendiri."Apa kamu bilang tadi? berani kamu sama saya?" Wasida menjambak rambut menantunya yang ada di balik hijab, ia mencengkram gunungan rambut itu kuat-kuat.Yang biasanya Marya akan berteriak kesakitan dan memohon pengampunan, ia malah diam saja tanpa memohon pada Wasida, membuat wanita paruh baya dengan sanggulnya itu semakin geram hingga menampakkan urat-urat kekesalan di wajah tuanya."Saya ga papa Buk, jika hanya saya yang Ibuk hina, tapi jangan bawa-bawa nama ibu saya! ibu saya wanita yang baik." Marya meneteskan bulir air matanya, namun ha
Marya tertegun ketika melihat sepiring nasi dengan hanya taburan garam kasar di atasnya, tak ada lauk pauk lain yang disuguhkan selain sepiring nasi garam itu."Hanya sepiring nasi garam ini lah yang cocok untuk kamu di rumah saya," ucap Wasida, kini tampak senyuman licik di wajah tuanya ketika menatap rendah sang menantu terakhir itu.Bagaikan tersayat sampai ke uluh hati saat ini perasaan Marya, bukan karena ia tak bisa makan nasi dengan garam. Dulu dia juga berasal dari keluarga yang serba kekurangan dalam hal materi, bahkan ketika tak sanggup membeli beras, ia sehari-hari hanya makan dengan singkong rebus saja.Tapi ini berbeda, ia harus makan nasi dengan garam bukan karena masalah ekonomi. Melainkan karena ibu mertua yang memang membencinya, ada rasa ngilu di dadanya.Padahal rumah ini pun tak kekurangan bahan makanan, semuanya serba ada dan mewah. Tapi untuk dirinya yang seorang menantu di rumah ini, hanyalah diberikan sepiring nasi dan gara
"Apa maksud Mbak Nara?" Marya masih memasang wajah bingungnya, tak mengerti apa maksud dari perkataan istri kakak iparnya itu.Sejak kapan Rey mau menikah dengan wanita lain? padahal jelas-jelas Rey telah meminta Marya untuk menunggu pinangannya sedari dulu."Maksud gue, Lia ini adalah wanita yang pernah hampir menjadi istri Rey, tapi karena guna-guna dari lo itu, Rey jadi buta dan malah ninggalin wanita secantik Lia," ujar Nara, tentu saja semua hal itu adalah bualan semata.Dari awal ia mencoba menjodohkan Rey dan Lia, Rey tak pernah menanggapi dan terkesan acuh. Hingga akhirnya Nara menyerah setelah Rey telah memiliki calon pilihannya sendiri.Tetapi sayang sekali, pilihan Rey sangatlah buruk di mata Nara. Sehingga kini ia kembali menghadirkan sosok Lia, karena ia merasa Lia masih memiliki kesempatan dan harapan untuk merebut Rey dari Marya."Mbak, kok Rey seleranya kaya gini sih? bahkan ga pantes banget buat bersaing sama aku," cicit
Kini Marya nampak sibuk menyiapkan makan malam untuk ibu mertua, Nara, dan juga tamu yang mengaku pernah hampir dinikahi oleh suaminya itu.Setelah selesai memasak semua hidangan, ia mulai menata makanan itu di atas meja makan. Dirinya hanya melakukan semua itu seorang diri, sesuai dengan pintaan Wasida."Haduh ... lama banget cuma nata makanan doang," protes Wasida melihat cara kerja Marya yang menurutnya sangat lambat."Maaf Buk, ini sudah siap semua," ucap Marya memberi tahu, ucapan itu sama sekali tak dihiraukan oleh Wasida."Ayo makan yang banyak Lia, jangan malu-malu di rumah ibuk, anggap saja rumah sendiri," tutur Wasida, jujur perkataannya membuat hati kecil Marya merasa iri."Iya Buk," jawab Lia dengan senyuman."Ngapain kamu masih berdiri di sini? sana ke dapur atau kemana gitu, mual saya liat kamu," seru Wasida, hal itu membuat Marya semakin tak memiliki harga diri di hadapan Nara maupun Lia.Wanita malang itu
Mbok Yem terlihat gelisah kesana kemari, wanita paruh baya bertubuh gemuk itu tengah mencari keberadaan Marya. Awalnya ia mau memberikan makan malam untuk Marya di kamarnya, namun Mbok Yem tak melihat sosok wanita yang ia cari di kamar sang empu."Ada apa toh Yem? kok panik gitu," tanya Yanti, yang juga seorang pembantu di rumah ini."Nyariin Non Marya, Yan," jawab Mbok Yem."Kamu ada liat ndak sih? di kamarnya ndak ada," timpal Mbok Yem lagi.Yanti menggelengkan kepalanya tanda tak tahu apa-apa."Aku kan juga masuk ke rumah ini bareng kamu tadi Yem, jadi aku gak tau apa-apa," jawab Yanti.Mbok Yem semakin cemas, entah kenapa ia merasa sangat khawatir dengan keadaan Marya."Oh ... Mia kan udah di sini dari tadi Yem, coba kamu tanya dia, orangnya ada di dapur," ucap Yanti memberikan usul.Mia juga merupakan salah seorang pembantu di rumah ini, dan Mia juga memanglah sudah duluan datang ke rumah ini sebe