Share

BAB 5 Baju Luntur Kakak Ipar

Pagi hari ini cerah, usai aku menyiapkan pakaian kerja untuk suami, dan memasak untuk sarapan dan juga bekal, kami menyempatkan untuk berbincang-bincang di kamar sebelum suamiku pergi bekerja.

Ia meminta maaf padaku karena belum bisa mengajak berlibur bulan madu usai pernikahan, di samping masih masa berduka, ada perusahaan yang masih dalam keadaan sulit untuk ditinggal oleh suamiku.

Aku memaklumi hal itu, menjadi pemimpin perusahaan besar tidaklah mudah, aku juga tidak menuntut Mas Rey untuk hal-hal seperti itu.

Cukup ia percaya dan menyayangi diriku saja sudah sangat berarti untukku, aku harap bisa memiliki rumah kecil sederhana bersama Mas Rey, dan hanya ada kami berdua bersama calon buah hati kecil kami nantinya.

Sungguh luar biasa nikmatnya jika hal ini terwujud, tapi aku juga tau jika ini adalah hal yang tidaklah mudah, terlebih lagi jika meminta izin dari Ibu Wasida, mertuaku.

Tak ingin aku dicap sebagai menantu kurang ajar yang mencoba memisahkan anak dari ibunya. Tidak ada niatku untuk menghalangi bakti seorang anak dengan ibunya, tapi aku juga butuh tempat tinggal yang dapat membuatku bernapas dengan lega.

Kini aku sedang berkutat di tempat cucian, tempatnya cukup luas, membuatku leluasa untuk mencuci banyak pakaian.

Di depanku terdapat beberapa bak besar berisi baju-baju ibu mertua, dan kakak iparku. Hari ini entah perasaanku saja atau benar, tapi baju-baju yang harus aku cuci hari ini jumlahnya terasa lebih banyak dari kemarin.

Keringat membasahi sekujur dahi dan leherku yang mengecap jelas pada jilbab yang kupakai, sejujurnya meski aku adalah orang yang berasal dari kalangan menengah kebawah, mendiang kakek dan nenekku sangat menyayangi diriku, tak pernah sekalipun diriku ini dibentak oleh mereka, atau bahkan melakukan pekerjaan seberat ini sendirian.

Sepeninggal mendiang kakek dan nenek, aku hidup sebatang kara di rumah tua peninggalan kakek dan nenek, sesekali bibiku yang merupakan kakak kandung dari mendiang ibu datang menjenguk, tapi tak terlalu sering karena jarak tempat tinggal kami cukup jauh.

Nenek bilang, ayahku masih hidup, belum meninggal seperti yang mendiang ibu katakan padaku. Belum pernah sekalipun aku melihat ayah kandungku, bahkan sekedar foto saja tak pernah kulihat.

Saat masih kecil, aku kenyang dengan sebutan 'Anak Haram' dari para tetangga, bahkan teman sebayaku.Tapi masa kelam itu telah berlalu, tak ingin aku mengingatnya lagi, tak peduli juga dengan ayah kandungku, sudah jelas jika ia meninggalkan ibu dan aku sendirian. Sudah aku anggap diriku ini yatim piatu sedari dulu.

Usai setengah baju-baju ini aku cuci dan bersihkan, datang suara langkah kaki menuju ke tempat aku mencuci pakaian. Langkahnya menggebu, perasaanku jadi tak enak. Jangan-jangan ibu mertua akan berulah lagi memberiku hukuman.

Tapi ... ternyata aku salah, Mbak Jeni yang datang menghampiri diriku, ia berdiri di ambang pintu dengan wajah marahnya, atensiku tertuju pada beberapa pakaian di genggaman tangannya.

"Marya! apa-apaan ini? kamu apakan baju-baju mahal saya?!" bentak wanita berambut pirang itu, ia melemparkan beberapa potong pakaian yang ada di genggamannya tepat berada di wajahku.

"Semua baju-baju itu luntur! kamu bisa nyuci ga sih?! harga baju-baju itu mahal tau gak! kamu ga akan mampu beli itu semua!" maki Mbak Jeni, semua kata yang ia ucapkan padaku tak lepas dengan makian dan merendahkan diriku.

"Maaf Mbak! aku ga tau kalo ada baju yang luntur kemarin," jawabku, jujur itulah yang sebenarnya, tak mungkin aku sengaja melakukan hal yang jelas-jelas aku tau akibatnya akan seperti ini.

"Halah, alesan kamu! bilang aja kamu benci sama saya, iyakan?" tuduh Mbak Jeni dengan lantang, aku harus jelaskan bagaimana lagi? sejujur-jujurnya pernyataan dari mulutku, pastilah kakak iparku ini hanya akan mendengar kejelekan dari diriku seorang.

"Astagfirullah Mbak! ga ada di pikiranku sedikitpun untuk membenci Mbak Jeni, sumpah Mbak, demi Allah!" ucapku bersumpah.

"Hey ... berani ya kamu bersumpah palsu kayak gitu? dasar munafik kamu Marya!" Wanita berambut pirang itu mencekik leherku, tentu aku memberontak dan memberikan perlawanan semampuku.

Aku memegang tangan Mbak Jeni yang mencekik erat leherku, sekuat tenaga aku mencoba melepaskannya.

"Mbak! istighfar Mbak!" ucapku, dengan terus berusaha melepaskan genggaman Mbak Jeni, di saat itu lantai tempat cuci memang licin, banyak air sabun berserakan kemana-mana.

"Sok ngajarin saya istighfar kamu Mar! kamu itu wanita munafik yang gak tau diri! gausah sok ngajarin saya!" maki wanita berambut pirang dihadapan diriku.

Tak akan sanggup jika seumur hidup aku harus tinggal dalam cacian dan makian seperti ini, inilah yang membuat tekadku bulat untuk bisa keluar dari rumah ini.

Semakin kuat cengkraman tangan milik Kakak Ipar di leherku, aku juga tak bisa hanya mengalah dan pasrah, aku coba melawan.

Kini kami saling berteriak membuat kegaduhan dan tak mau mengalah satu sama lain, tentu aku tak bisa mengalah! karena jika aku mengalah aku bisa mati konyol di rumah ini. Atensi penghuni rumah sampai tertuju kemari.

Suara langkah kaki yang setengah berlari terdengar tergesa-gesa menuju ke tempat ini. Aku berharap ada yang dapat melerai kami berdua, aku takut nantinya ada yang terluka di antara kami karena mengingat lantai yang basah dan licin karena air sabun.

Brughh!!

"Arrghhh ... sakit," teriak histeris Mbak Jeni, aku juga kaget. Ia terjatuh, apa dia keseleo karena memakai heels? aku sama sekali tak mendorong tubuhnya, hanya berusaha melepaskan cengkraman Mbak Jeni yang ada di leherku.

tepat saat itu, ibu mertuaku sampai di ambang pintu beserta para pembantu yang turut ikut serta melihat kejadian ini, tidak! bukan keseluruhan kejadian, tapi akhir kejadiannya!

Bu Wasida berlari ke arah putri sulung tercintanya, tampak khawatir dan cemas akan kondisi putrinya, "kamu kenapa? kok bisa sampe jatoh gini, kaki kamu sampe lecet gitu loh!"

Dengan memasang wajah ketakutan ia menatap ke arahku, tangannya gemetaran, sama sekali bukan Mbak Jeni yang beberapa menit lalu memaki dan menghinaku, apa maksudnya semua ini?

Tangannya yang bergetar menunjuk kearah ku.

"Dia ... mencekik leherku Bu! setelahnya aku didorong sampai jatuh sama wanita itu!" ucapnya, membuatku ternganga mendengarkan segala kemunafikan yang keluar dari mulut kakak iparku yang satu ini, tak kalah kagetnya dengan para pembantu, mereka tampak tak percaya dengan apa yang mereka dengar.

Bu Wasida dengan wajah judesnya yang khas, melotot kearah ku menandakan kemurkaannya, aku meneguk saliva dan menggelengkan kepala kuat-kuat untuk membela diriku.

"Ndak Bu! bohong! yang Mbak Jeni katakan itu kebalikannya!" ucapku mencoba membela diri.

Meski aku tau hal semacam ini adalah hal yang tidak berguna di mata wanita paruh baya di depanku ini, aku saja tak dianggap menantu olehnya.

"Maksud kamu, putri sulung saya ini pembohong?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status