"Mudah-mudahan siapa-siapa saja yang ada di sekitar sini tidak membuka kardus yang kubuang." Aku meletakkan kardus yang sedari tadi aku pegang di tong sampah tepat di depan rumah Alina. Biasanya, setiap hari akan ada orang yang mengangkut sampah di sini. Dan semoga saja orang itu secepatnya datang, biar hidupku aman. "Buruan!" ujar Aldi dari dalam mobil.Aku pun meninggalkan tempat sampah, lalu berlari kecil dan masuk ke mobil. Aldi menggerutu, tapi tidak aku indahkan. Sudah mulai terbiasa aku dengan kata-kata dia yang tidak enak di telinga. Jadi istri Aldi Wiratmadja itu harus kuat lahir batin. Bukan hanya tidak akan dinafkahi secara batin, aku pun tidak akan mendapatkan kata-kata pujian yang bernada mesra. Ah, itu mustahil untuk saat ini. "Maaf, Pak," kataku singkat. Mobil mulai melaju meninggalkan rumah Alina. Dan di tengah-tengah jalan, hujan turun dengan deras membuat udara panas berubah dingin. "Tidak berhenti dulu, Pak?" kataku akhirnya. "Tidak usah. Lama." Aku mengeru
"Kalian akan masuk kerja hari ini?" tanya Nyonya Marta saat kami sedang sarapan pagi ini. "Iya, Mah. Banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan. Apalagi ... di toko yang kemarin di kelola Naima."Hening. Semuanya diam setelah Aldi menyebutkan nama seorang wanita yang pernah menjadi bagian dari perjalanan hidupnya. Mantan calon istri. "Kamu akan mencari ganti Naima?" tanya Dinata kemudian. "Sepertinya begitu. Tapi, aku belum tahu siapa yang akan menggantikan dia.""Kenapa gak Aruna saja?" Aku langsung mengangkat kepala menatap Nyonya Marta yang baru saja memberi usulan pada putranya. "Tidak, Mah. Aruna akan tetap jadi asistenku. Dia tidak akan mampu mengelola toko."Kini aku tersenyum kecut mendengar jawaban dari Aldi. Ya, memang benar apa yang dia katakan. Aku tidak akan mampu, karena aku bukanlah Naima yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata. "Apa pun keputusanmu, Mama dukung, Al. Tapi, kamu harus ingat satu hal. Aruna, sekarang istrimu. Bedakan sikapmu di tempat kerja, dan
"Selamat pagi, Pak!" ucap karyawan toko serempak menyambut kedatangan kami. Menyapa Aldi, lebih tepatnya. Aku tersenyum manis kepada tiga wanita dan dua pria yang berdiri berjejer di depan pintu. Mereka membubarkan diri seiring dengan tubuh Aldi yang sudah masuk ke dalam toko. Dan aku masih mengikuti langkah kakinya yang berjalan lebar pergi ke sebuah ruangan. Harum parfum seorang wanita tercium saat Aldi membuka pintu. Barang-barang milik wanita itu pun masih tersimpan rapi tidak ada yang menyentuh. "Panggil semua karyawan," suruh Aldi padaku. "Untuk?" "Membereskan barang Naima."Aku tertegun. Benarkah apa yang aku dengar saat ini? Secepat itukah Aldi ingin melupakan Naima? "Kenapa diam? Tidak mendengar apa yang aku katakan tadi?" "Eh, iya, Pak. Saya mendengarnya." Buru-buru aku keluar dari ruangan Naima, lalu memanggil semua karyawan toko. Seperti yang tadi dia katakan padaku, Aldi benar-benar menyuruh karyawannya untuk mengemasi barang-barang milik mantan calon istrinya itu
"Tante, lepaskan Aruna!" Aldi buru-buru menghampiriku yang dijambak Tante Ratna. Suamiku itu langsung menarik tanganku, menjauhkanku dari jangkauan ibunya Naima. Namun, Tante Ratna tidak tinggal diam. Dia terus berusaha menyerangku meskipun tubuh ini sudah dalam kuasa Aldi. Iya, demi untuk menghindari Tante Ratna yang kesetanan, Aldi sampai memeluk tubuhku dengan sebelah tangannya. Sedangkan tangan satunya terus menghalau serangan Tante Ratna yang membabi buta. "Tante, sudah hentikan! Sudah aku bilang, pernikahanku dengan Aruna bukan karena keinginan kami, ini murni perintah Papa demi menutupi rasa malu keluarga kami!" ujar Aldi berkata tegas. "Omong kosong! Kalian pasti memiliki hubungan di belakang Naima, bukan? Dan demi perempuan murahan ini, kamu tega menjebak Naima di hari pernikahannya! Kalian yang sudah menjebak putriku, membuat dia menjadi tersangka, padahal dia korban! Korban kebiadaban kalian!!" Tante Ratna berteriak kencang hingga urat-urat lehernya menegang. Tanganku
"Tadi kamu bilang sama Tante Ratna, terpaksa putus dari pacarmu karena menjalani pernikahan denganku. Jadi, setelah kamu dikhianati pria itu, kamu dan dia masih bersama?"Aku membulatkan mata seraya mengangguk pelan menyadari ke mana arah bicara Aldi. Rupanya dia mempercayai ucapan bohongku pada Tante Ratna tadi? "Tidak, tadi saya bohong demi untuk mendiamkan dia agar tidak menyalahkan saya terus, Pak," kataku akhirnya. "Oh, kirain kamu beneran masih sama pria itu."Aku menggelengkan kepala. Setelah drama Tante Ratna berakhir, Aldi membawaku pergi dari toko sepatu, lalu melanjutkan perjalanan ke pabrik tempatku pertama kali bertemu dengan Aldi Wiratmadja. Kupandangi bangunan di depan sana yang sudah menjadi jalan menuju posisiku saat ini. Senyumku mengembang ketika banyak sekali karangan bunga di depan pabrik yang bertuliskan doa serta ucapan selamat atas pernikahan aku dan Aldi. "Bunganya bagus," kataku menghampiri salah satu karangan bunga, lalu memotretnya. "Bagus katamu? Ap
"Ya ampun, Pak! Bapak tidak apa-apa?" kataku seraya sibuk mengambil tisu dan mengelap kemejanya yang basah. "Tidak apa-apa matamu buta? Sudah tahu aku hampir kehabisan napas karena batuk, masih nanya tidak apa-apa!" ujar Aldi berdiri. "Maaf, Pak." Aku berkata dengan lesu merasa bersalah. Dengan tidak bicara, Aldi pergi ke toilet yang ada di ruangan ini. Masih kudengar batuk kecil dari Aldi yang diiringi suara air mengalir dari kran. Aku membersihkan meja kerja Aldi yang basah menggunakan tisu, lalu membuang botol air mineral yang sudah kosong. Airnya tumpah saat tadi Aldi batuk begitu hebat. Sungguh kasihan pria itu. Senyum kecil tersungging dari bibirku ketika mengingat saat-saat Aldi yang kesulitan bernapas akibat batuk yang tidak berhenti. Wajahnya memerah, matanya pun mengeluarkan air dengan mulut yang terbuka. "Dia kayak anak kecil kalau sedang seperti tadi," ujarku terkekeh. Sekarang, kekehan itu berubah menjadi tawa. Aku tertawa dan sangat puas menertawakan suamiku itu
Aku dan Aldi terperanjat ketika pintu terbuka tiba-tiba dan sosok wanita berdiri di sana dengan wajah kagetnya. Buru-buru aku menjauhkan diri dari Aldi, lalu merapikannya penampilan yang sedikit berantakan. "Hai, Al. Masuk," ujar Aldi kikuk. "Ah ... maaf, aku tidak tahu jika kalian—""Tidak ada apa-apa dengan Abang dan Aruna, Al. Percayalah, tidak ada yang terjadi," ujar Aldi langsung memotong ucapan Alina. "Yakin?" Alina berjalan menghampiri kami dengan tatapan menyelidik. "Ya, yakin sekali. Tadi, Aruna jatuh karena tersandung.""Seperti dalam drama-drama Korea?" Aldi mengangguk pasti demi untuk menutupi kebohongannya. "Terjadi sesuatu juga tidak apa-apa, Bang. Kalian, kan sah secara agama dan negara. Betul?" ujar Alina lagi. Entahlah apa maksud Alina bicara demikian. Namun, senyum itu tak lepas dari bibirnya, meskipun gerak tubuh wanita itu terlihat berbeda dari ucapannya. Dia seperti tidak suka jika aku mesra dengan kakaknya. Apa mungkin hanya perasaanku? "Emh, tumben dat
"Aw!" jeritku saat tangan ini ditarik paksa oleh seseorang. Aku membuka mata, mencari tahu siapa yang saat ini tengah mendekapku hingga pipi ini berada di dada bidang seorang pria. Senyumku mengembang saat menyadari ternyata aku berada dalam pelukan Aldi. Rasanya nyaman dan hangat hingga enggan bagiku untuk mengakhiri momen ini. Sedangkan pria itu, dia terus memarahi seseorang yang tadi hampir saja membuatku celaka. Aldi menegur supir pengangkut barang yang ceroboh dalam berkendara. "Saya minta maaf, Pak. Tadi, saya tidak melihat kalau ada yang lewat.""Makanya melek! Kalau istri saya ketabrak bagaimana?" Istri? Aldi mengakuiku sebagai istri di depan karyawannya? Aku langsung meraba dada yang kembali berdetak dengan irama bahagia. Saking senangnya, aku nyaris jatuh pingsan kalau saja tidak sadar jika ini berada di luar gedung. "Aruna kamu tidak apa-apa?" Alina menghampiri dan memegang lenganku khawatir. Aldi pun melepaskan dekapannya. Dia memindai tubuhku dari atas hingga baw
"Ada apa, Mah?" Aldi bertanya seraya menghampiri Mama yang duduk di ujung ranjang. "Duduk kalian semua. Lihatlah, apa yang Mama temukan di bawah bantal Papa?" ujar Mama seraya memperlihatkan kertas dengan coretan tinta di dalamnya. "Ternyata Papa sudah punya firasat akan pergi, dan dia buat surat wasiat ini untuk kita."Semua anak menantu memperhatikan kertas yang ada di tangan Mama. Sebagai anak laki-laki, Aldi ditunjuk Mama untuk membacakan apa yang Papa tulis di dalam sana. Aldi duduk di ujung ranjang bersama Mama, sedangkan aku dan Alina serta Adikara, berada di depannya seraya bersandar pada sandaran ranjang. "Assalamualaikum." Aldi mulai membacakan surat yang katanya ditulis langsung oleh Papa. "Istriku, anak-anakku, sebelum Papa menuliskan kata-kata penting dalam kertas putih ini, ijinkanlah terlebih dahulu untuk Papa mengucapkan beribu kata cinta untuk kalian."Aldi menghentikan sejenak bacaannya, lalu menarik napas dengan dalam. "Mama ... terima kasih atas cinta kasih yan
Kami yang ada di depan ruang jenazah berseru kaget saat tubuh Mama jatuh ke lantai. Ibu mertuaku pingsan. Cepat-cepat Om Gunawan dan Adikara mengangkat tubuh Mama, lalu membawanya ke salah satu ruang rawat yang ada di rumah sakit. Aku memanggil dokter agar memeriksa keadaan Mama yang tumbang. Mungkin kekehan karena terus menangis, shock juga atas meninggalnya Papa. "Gimana dengan Mama, Dokter?" tanyaku setelah dokter wanita itu memeriksa ibu mertuaku. "Ibu Marta mengalami shock, tapi tidak apa-apa, sebentar lagi juga siuman. Setelah bangun, nanti kasih makan, ya? Biar punya tenaga dan gak lemas lagi. Ini sudah saya buatkan resep obat buat diambil di apotik."Aku mengangguk. Alina yang melihat Mama bangun, langsung menghampiri ibunya itu dan memeluknya. Lagi. Tangis mereka berdua pecah membuatku memalingkan wajah menghapus air mata yang ikut tumpah. Segera aku keluar dari ruangan Mama, pergi ke apotik untuk mengambil obat yang tadi diberikan dokter. "Aruna, kamu mau ke mana?"
Om Gunawan yang baru saja datang bersama istrinya, langsung memeluk Aldi dan memberikan kekuatan agar suamiku itu bisa tegar menghadapi cobaan hidup yang berat ini. Sedangkan Bunda Nur, dia masuk ke ruangan di mana Mama berada. Ibu mertuaku itu tidak ingin jauh dari suaminya, terus saja menggenggam tangan Papa meskipun tahu genggamannya tidak akan terbalaskan. "Kenapa tidak pamit? Kenapa Papa pergi tidak mengatakan apa pun padaku, Om?" "Sudah, ikhlaskan. Gusti Allah tahu mana yang terbaik untuk hambanya. Dan kepergian ayahmu, sudah jadi rencana-Nya."Aldi mengurai pelukan, dia mencoba kuat dan kembali ke ruangan Papa bersama Om Gun. Aku pun mengikuti mereka. Melihat wajah Papa untuk yang terakhir kali, sebelum dibawa ke ruang jenazah. Raut kehilangan bukan hanya dirasakan kami sebagai keluarga, tapi Om Gun juga. Yang kutahu mereka sudah bersahabat sejak dulu, dan Papa sudah menganggap Om Gunawan adalah saudara.Tidak heran, jika ayah mertua Alina itu ikut menitikkan air mata meli
Sambil terisak, Mama menceritakan bagaimana awal mula Papa sakit, hingga harus masuk ICU. Kata Mama, semuanya sangat cepat hingga membuat wanita berusia enam puluh tahunan itu shock luar biasa. Tubuh Mama sampai bergetar karena masih kaget dengan apa yang terjadi kepada suaminya. "Tadi dokter bilang apa?" tanya Aldi lagi. Pasalnya, sejak kami datang tidak ada dokter yang masuk ke ruangan Papa, Mama pun hanya menangis, tidak mengatakan apa pun jika tidak ditanya. "Dokter tidak mengatakan apa-apa pada Mama, Al. Dia bilang, akan membicarakan sakitnya Papa pada anak-anak Papa. Makanya, Mama terus menelpon kamu agar segera datang," papar Mama menjelaskan. "Kalau gitu, mendingan sekarang Abang temui dokter dulu untuk menanyakan kondisi Papa dan tindakan apa yang harus kita lakukan? Biar Mama, aku yang temani di sini." Aku memberikan saran. Aldi melihatku dan Mama bergantian. Kemudian dia pamit untuk menemui dokter, agar semuanya jelas. "Mah, Mama tenang, ya? Aku yakin, Papa akan semb
Pagi ini langit begitu cerah, kusibak semua gorden agar cahaya matahari masuk ke dalam rumah. Hari ini aku bangun sedikit siang dari biasanya, karena tubuh yang terasa lelah. Satu minggu ke belakang, aku sangat sibuk dengan pekerjaan. Promo besar-besaran dilakukan perusahaan untuk menggaet konsumen baru, juga mempertahankan konsumen lama. Bazar dilakukan disetiap pusat perbelanjaan, hingga aku harus turun tangan menyiapkan dan mempromosikan barang produksi pabrik. Capek? Jangan ditanya. Makanya hari minggu ini aku sengaja bangun siang dan santai-santai di tempat tidur. "Bang!" Aku berteriak memanggil suamiku yang sedari bangun, aku belum melihatnya. "Tidak mungkin dia kerja," kataku lagi seraya keluar kamar, dan berdiri di balkon. Senyumku tersungging saat melihat orang yang kucari ada di halaman rumah. Dia sedang berolahraga ringan di sana. "Abang!" panggilku membuatnya mendongak. "Hey, sudah bangun?" Aku mengangguk. "Mandilah, sudah Abang buatkan sarapan untukmu."Aku mel
"Mau pulang naik taksi?" Aku menoleh pada Aldi yang bicara dari dalam mobil. "Silahkan berjalan keluar dari perumahan ini, baru Tuan Putri akan menemukan taksi."Setelahnya, Aldi keluar dari mobil, lalu masuk ke rumah tanpa mengajakku sama sekali. Seperti orang bodoh yang tidak punya arah tujuan, aku hanya diam seraya memainkan jari-jari tangan. Seandainya saja tadi aku menyadari sudah ada di depan rumah, tidak akan aku turun dari mobil seraya berucap demikian. Sekarang, aku malu sendiri karena ucapanku yang tidak sesuai dengan kenyataan. Aku melihat pintu rumah yang terbuka, tapi ragu untuk masuk ke sana. Aldi, juga tidak mengajakku bersamanya. Apa dia marah? Mungkinkah dia tak butuh aku lagi? Oh, hentikan pikiran kotor ini! Aku tidak mau bertengkar dengan Aldi gara-gara otakku yang selalu berpikir buruk tentang suamiku. "Masuk ajalah. Panas di luar terus," kataku seraya melangkahkan kaki menuju rumah. Di ruang tamu dan tengah Aldi tidak ada. Aku pun melanjutkan langkah henda
Jika bisa aku meminta, jika dunia bisa aku kendalikan sendiri, aku ingin hidup seribu tahun di sini, dengan orang yang sama. Dengan dia yang selalu menjadi tempatku bersandar, melebarkan dadanya hanya agar aku nyaman berada dalam dekapan hangatnya. Jatuh cinta? Aku merasakan itu setiap hari, setiap waktu, dan di setiap momen indah yang kami lewati. "Kenapa kamu liatin aku terus, Run?" Aldi bertanya dengan tangan menyelipkan rambutku ke belakang telinga. "Karena ... Abang tampan. Aku jatuh cinta pada Abang." Aku menempelkan kedua tangan di kedua sudut bibir agar suara setengah berbisik yang kukeluarkan hanya didengar Aldi. Suamiku terkekeh geli. Dia melipat kedua tangan di meja, lalu pandangannya lurus ke arahku. Kubalas tatapan itu dengan wajah imut dan bibir yang sedikit mengerucut. "I love you," kataku lagi dengan cara yang sama seperti tadi. Kini Aldi terbahak. Namun, segera dia menutup mulut dengan telapak tangan, tidak ingin suaranya didengar pengunjung yang lain. Apaka
"Aruna ...."Mataku terpaku pada pria yang baru saja datang dengan memakai baju tahanan. Pandangan kami sama-sama bertemu saling memandang dalam hingga akhirnya dia terlebih dahulu memalingkan wajah. Hari ini, Aldi membawaku bertemu dengan seseorang di masa lalu. Orang yang dulu sangat dekat, tapi harus berjarak karena masalah hidup yang rumit. Kami dulu seperti saudara kandung yang hubungannya sangat erat. Namun, harus renggang karena rasa benci dan keegoisan diri yang meninggi. Brukk!Aku tercengang dengan apa yang dilakukan Damar setelah berada di depanku. Dia menjauhkan tubuhnya, berlutut di depanku yang duduk bersebelahan dengan Aldi. "Dam," kataku, tenggorokanku tercekat, tak mampu berkata-kata. "Maafkan aku, Aruna. Maaf atas segala salah dan khilafku padamu. Pukul aku, pukul aku sesuka hatimu.""Tidak, Dam.""Pukul aku!!" Damar berteriak seraya memegang tanganku agar menyentuh tubuhnya. "Hentikan!" ujar Aldi menghentikan tangan Damar. "Jika seperti ini, kamu menghentika
"Sedang ganti seprai, Mbak. Mama dan Papa mau nginap, aku gak mau mereka merasa tidak nyaman dengan tidur di kasur yang tidak bersih."Aku tidak melihat pada Alina yang baru saja masuk. Tanganku terus menata tempat tidur agar terlihat bagus dan rapi. "Sampai segitunya kamu, Run," ujar Alina terkekeh. Setelah selesai mengganti seprai, aku duduk berdua di ujung ranjang dengan Alina. Wajahnya tidak seperti biasa. Dia terlihat murung dan tidak seceria tadi pagi. "Ada apa, Mbak?" tanyaku ingin tahu isi hatinya. Alina menarik napas, lalu mengembuskannya perlahan. Dia memangku tangan, menautkan jari-jarinya. Sedangkan pandangannya lurus ke depan pada hiasan yang menggantung di dinding. "Aku gak tahu ini hanya pikiranku saja, atau memang ada sesuatu yang terjadi pada dia. Perasaanku tidak enak.""Siapa, Mbak?" tanyaku, karena aku tidak tahu siapa yang dibahas Alina."Naima. Dia baik-baik saja, kan?" Aku diam.Pertanyaan Alina tidak aku jawab dan malah meraih seprai yang teronggok di lan