"Aw!" jeritku saat tangan ini ditarik paksa oleh seseorang. Aku membuka mata, mencari tahu siapa yang saat ini tengah mendekapku hingga pipi ini berada di dada bidang seorang pria. Senyumku mengembang saat menyadari ternyata aku berada dalam pelukan Aldi. Rasanya nyaman dan hangat hingga enggan bagiku untuk mengakhiri momen ini. Sedangkan pria itu, dia terus memarahi seseorang yang tadi hampir saja membuatku celaka. Aldi menegur supir pengangkut barang yang ceroboh dalam berkendara. "Saya minta maaf, Pak. Tadi, saya tidak melihat kalau ada yang lewat.""Makanya melek! Kalau istri saya ketabrak bagaimana?" Istri? Aldi mengakuiku sebagai istri di depan karyawannya? Aku langsung meraba dada yang kembali berdetak dengan irama bahagia. Saking senangnya, aku nyaris jatuh pingsan kalau saja tidak sadar jika ini berada di luar gedung. "Aruna kamu tidak apa-apa?" Alina menghampiri dan memegang lenganku khawatir. Aldi pun melepaskan dekapannya. Dia memindai tubuhku dari atas hingga baw
"Aku tidak benar-benar menyukai Naima, Pah," ungkap Aldi. "Jadi, kamu menerima perjodohan itu dengan terpaksa?" "Demi baktiku kepada kalian," ujar Aldi lagi menjawab pertanyaan ayahnya. Dinata Wiratmadja mengembuskan napas kasar. Begitu pun denganku. Ada kelegaan yang kurasakan mendengar pengakuan Aldi. Aku jadi tahu perasaan dia pada Naima, yang memang hanya menganggap wanita itu sebagai adik saja. Dengan ini, ada kesempatan bagiku untuk mendapatkan hati Aldi tanpa ada saingan. "Kenapa kamu tidak jujur pada kami kalau tidak memiliki perasaan pada Naima? Kenapa kamu bersandiwara seolah-olah memang mencintainya, Al?" Kini Nyonya Marta yang bertanya."Aku tidak ingin mengecewakan kalian," jawab Aldi. "Melihat Mama, Papa, dan Alina begitu gembira dengan perjodohan itu. Apalagi Tante Ratna dan Naima. Aku tidak mau kalian sedih dengan menolak keinginan semua orang."Hening. Tidak ada yang bicara lagi setelah Aldi menjawab pertanyaan orang tuanya. Sebagai orang baru yang suaranya dia
Kicauan burung terdengar menyebalkan. Dia seperti mentertawakanku yang tengah dilanda kegalauan. Bagaimana tidak, di sini aku duduk menyaksikan suamiku yang tengah bicara mengutarakan kerinduannya di pusara sang mantan istri. Seperti wanita bodoh yang tidak memiliki perasaan, aku duduk di samping Aldi yang terus merangkai kata meluapkan cinta pada batu nisan. Miris. Aku istrinya, tapi dia mengungkapkan kerinduan dengan menyebut nama wanita lain. "Pak, ini sudah sangat sore. Sebentar lagi perang datang," ujarku mengalihkan pandangan Aldi. Pria di sampingku ini menatap langit yang mulai menghitam. Sudut matanya mengkerut seiring dengan mata yang menyipit. "Ah ... rasanya baru sebentar di sini," ucapnya kemudian. Napas kuembuskan kasar, lalu tangan ini mengusap bunga-bunga segar yang belum lama ditaburkan Aldi di atas pusara Rindu. Sebelum menikah dengan Aldi, datang ke sini menjadi kesenanganku. Sering aku menceritakan tentang Aldi pada Rindu, meskipun dia tidak akan mendengar
"Loh, kok gak ada?" kataku seraya celingukan. Aku keluar dari kamar mandi dengan hanya memakai handuk di atas lutut. Tadinya, aku ingin menggoda Aldi yang pasti akan marah-marah melihat penampilanku. Namun, ternyata pria itu tidak ada di kamar. Dia pun tidak ada di balkon yang gordennya sudah ditutup rapat-rapat. Saat hendak mengambil pakaian di lemari, aku melihat pintu kamar yang terbuka sedikit. Dan aku bisa menebak, jika suamiku itu pergi ke luar. Ke dapur? Entahlah. Nanti akan aku cari tahu. Setelah berpakaian lengkap, aku pun keluar dari kamar. Rencananya mau minta makan, tapi masa iya, di rumah suami makan aja harus minta? Ngambil sendiri tanpa izin pun tidak akan jadi masalah sepertinya. "Bi, lihat Bang Aldi?" tanyaku pada asisten rumah tangga di rumah ini. "Oh ... tadi dipanggil Nyonya, Neng. Eh, gak apa-apa, ya kalau sekarang Bibi panggilnya Neng Aruna, saja? Biar lebih akrab."Aku tersenyum. "Tidak apa-apa, Bi. Terserah Bibi saja." Wanita dengan perawakan sedikit
"Jangan dengarkan permintaan Mama. Anggap saja itu hanya mimpi yang berlalu ketika siang datang."Kuhentikan kunyahan, lalu mengangkat kepala melihat pada lawan bicaraku. Aldi tidak menatapku, pandangannya fokus pada makanan yang sisa beberapa suap lagi di atas piring. Aku mendesah. Selera makanku langsung hilang seketika. Sebagai seseorang yang tadi mendapatkan amanah dari Nyonya Marta, tentu saja aku tahu ke mana arah bicara Aldi. Dan itu membuatku keberatan. Membuatnya jatuh cinta adalah pekerjaan yang harus kulakukan. Meluluhkan hatinya, sebuah keinginan. Dan aku memilih mendengarkan isi hati dan pesan mertuaku. Aku akan tetap menjalankan misi. Membuat Aldi jatuh hati. "Permintaan Mama tidak salah, Bang." Aku berucap seraya mengambil segelas air. Kini kening Aldi mengkerut. Dia keberatan aku mengubah panggilannya. "Berani sekali kamu memanggilku dengan sebutan itu?" ujarnya lagi."Salahkah?" Aku bertanya seraya menaikan sebelah alis. "Tidak, hanya tidak cocok saja.""Makan
"Apakah setelah ini ada meeting lagi?" Aku menggelengkan kepala. "Tidak ada, meeting hari ini memang hanya dengan orang yang tadi," ujarku kemudian. "Baguslah, aku jadi punya waktu untuk istirahat." Aldi meregangkan otot-otot tubuhnya, lalu bersandar pada kursi kebesarannya. Lima menit sebelumnya, kami baru saja mengadakan rapat penting dengan salah satu klien yang memasarkan produk sepatu dari pabrik ini ke luar negeri. Cukup menyita waktu, karena pembahasan mengenai ekspor ini sangatlah penting dan banyak sekali yang dibicarakan. Maka, wajar saja jika Aldi terlihat begitu lelah setelah kembali ke ruangannya. Dia memejamkan mata seraya menggoyangkan kursinya seperti bayi yang akan tidur. Aku keluar dari ruangan. Pergi ke dapur yang biasa dipakai para staf untuk membuat kopi, atau makan ketika istirahat. Biasanya hanya karyawan lama dan dibawakan bekal oleh istrinya yang makan di sini. Untuk anak muda, pastinya makan di luar. Terlalu banyak gaya, sih anak-anak baru di sini. Te
"Satu, dua, tiga, empat, lima. Lima kali tiga, lima belas. Wah, lumayan banyak, nih utang Abang sama aku.""Hah, apa? Utang?" Aku menganggukkan kepala dengan mata tetap fokus pada buku di pangkuan. "Utang apa?" tanya Aldi lagi. "Sini lihat!" Aldi merebut buku di pangkuanku, kemudian keningnya mengkerut membaca deretan catatan yang tertulis di sana. "Kamu mencatat setiap sentuhan dariku?" Aldi bertanya dengan tatapan tajamnya. Aku mengangguk lagi. "Yups, dan karena utang Abang sudah banyak, sekarang waktunya aku menagih. Sini, berikan hakku.""Kamu, tuh beneran setres, ya Run? Dan ini, ini kapan aku nyentuh kamu sampai berderet berkali-kali begini?" tanya Aldi lagi seraya menunjuk tulisan yang aku buat. Aku menggeser tubuh agar posisi dudukku semakin dekat dengan dirinya. Dan itu membuat Aldi menghindar. Semakin aku mendekat, semakin dia menjauhiku dengan melakukan hal yang sama. Menggeser tubuhnya hingga kini berada di ujung sofa. "Gak usah dekat-dekat!" ucapnya tegas. "Kan ja
"Masuk!" Aku sangat terkejut saat mendengar suara teriakan ayah mertua di bawah sana. Aku beringsut turun dari ranjang, lalu keluar dari kamar dengan kaki telanjang. Saat hendak turun dari tangga, kulihat dari atas sini Aldi tengah bersitegang dengan Dinata Wiratmadja."Papa bilang masuk, masuk!" teriak Dinata lagi pada suamiku. "Apa salahnya, sih Pah, hanya menjenguk? Ini soal nyawa manusia." Aldi bersikukuh ingin tetap pergi membuatku semakin ingin tahu siapa yang menghubunginya tadi. Satu per satu anak tangga aku lewati untuk sampai di mana mereka berada. Bukan hanya aku yang keluar dari kamar, tapi Nyonya Marta pun sama. Dan sekarang, aku benar-benar sudah berada di ruang tengah yang terasa panas oleh perdebatan antara ayah dan anak. "Apa pun alasannya, Papa tidak mengijinkan kamu pergi, Aldi! Daripada kamu menemui wanita itu dan keluarganya, lebih baik kamu temani istrimu tidur!" Suara Dinata Wiratmadja kembali menggelegar menentang keinginan putranya. Aku yang tidak tahu a