Kutinggalkan Aldi yang masih menyebut nama mantan istrinya. Kujatuhkan tubuh di atas pembaringan seraya menatap plafon kamar yang putih tak bernoda. Inikah yang dinamakan cemburu? Sesakit ini, dan sangat menyesakkan dada? Kupejamkan mata menikmati bayangan Aldi yang tadi mengucap satu nama. Rindu, wanita yang tak lain adalah sahabatku sendiri. Orang yang menjadi alasanku berada di tempat ini sekarang. "Kenapa sekarang kamu malah menyakitiku, Rindu? Aku di sini untuk membalaskan kematianmu. Tolong, jangan selalu datang dalam ingatan Bang Aldi selama misi ini belum terselesaikan."Akal sehatku hilang dibakar api cemburu. Aku bergumam seraya memejamkan mata, hingga semakin lama aku tak mampu lagi membukanya. Entah berapa lama aku tidur, tapi saat mata ini terbuka rasa kantuk masih tersisa. Kukucek indra penglihatanku hingga pemandangan indah begitu sangat menggoda di depan sana. Aldi, dia berdiri di depan lemari pakaian seraya bertelanjang dada. Sepertinya dia baru saja menyelesaik
"Ingat, utamakan kualitas. Jangan sampai, sepatu kita jebol setelah dipakai satu atau dua kali. Perhatikan jahitan, jangan sampai ada yang lepas dan loncat. Jangan pelit kasih perekat, harus sesuai dengan porsi yang dibutuhkan sepatu.""Baik, Pak!" ucap para karyawan dengan serempak. Aldi kembali berjalan seraya memperhatikan setiap proses pembuatan sepatu miliknya. Aku yang berada di belakang dia, hanya diam seraya mengikuti ke mana pria itu pergi. Juju saja, aku masih sebal soal di restoran tadi. Aku jadi tidak bersemangat kerja dan maunya makan manusia. Kesal luar biasa. "Aduh," kataku saat kaki tersandung keranjang berisikan sepatu setengah jadi. Aldi menoleh ke belakang. Dia menatapku sebentar, lalu menggenggam tanganku. Aku menghindar, menolak untuk dituntun pria itu. "Melek, jangan mempermalukan diri sendiri dengan jatuh di tempat ini," bisik Aldi di telingaku. Pria itu akhirnya berhasil menggenggam tanganku, lalu kembali berjalan tanpa melepaskan genggamannya. Sudah me
"Itu Tante Aruna!" seru Alina ketika aku turun dari mobil. Dua anak dari wanita itu langsung menoleh dan satu di antaranya tersenyum menyambutku. Kubalas senyum manis Saffa dengan rentangan tangan agar dia menghambur ke pelukan. Dan benar saja, gadis berusia delapan tahun itu langsung berlari ke arahku dengan senangnya. "Kok, gak sekolah?" tanyaku seraya mengurangi pelukan. "Papa pergi ke luar kota, Tante. Aku sedih," adunya dengan wajah cemberut. "Papa ke luar kota, kan untuk kerja. Cari uang buat Saffa dan Syafiq. Harusnya, Saffa gak boleh sedih, dan bisa bujuk adiknya yang merajuk.""Hem ... tapi, Papa ke luar kota bukan untuk kerja, Tante.""Bukan untuk kerja?" Aku mengulang kata inti yang membuatku tidak mengerti. Pandangan ini langsung kualihkan pada Alina untuk mendapatkan jawaban dari rasa ingin tahuku. Seolah mengerti dengan arti tatapanku, Alina mengangguk pelan, lalu menceritakan tujuan Aldi pergi ke luar kota. Katanya, suami dari Alina pergi untuk menjenguk keluarga
"Aku takut, Bang.""Jangan takut, kan aku pegangin tangan kamu. Ayo, coba jalan," ujar Aldi mulai menjauh, tapi tidak melepaskan genggaman tangannya dariku. Langkah pertama, berhasil aku lewati meskipun tertatih. Langkah kedua dan langkah-langkah selanjutnya pun berjalan dengan lancar meskipun kadang oleng dan hampir jatuh, tapi ada Aldi yang selalu siaga menjaga keseimbangan tubuhnya untukku. "Kenapa kamu bohong?""Hem?" gumamku seraya melihat Aldi yang menyorotiku tajam. "Katanya tidak enak badan, tapi malah main? Kenapa gak pulang ke rumah dan istirahat?" tanyanya lagi. "Saat di perjalanan pulang, adik Abang nelpon, minta ditemani jalan-jalan karena anaknya rewel. Mana berani aku nolak, Bang."Aldi mengembuskan napas kasar. Kakinya tidak berhenti mundur agar aku bisa terus berjalan. "Terus, kenapa Abang bisa di sini dan tahu aku di sini?" Kini giliran aku yang bertanya. "Alina kirim pesan minta izin untuk bawa kamu pergi. Aku nyusul, karena tadi kamu bilangannya tidak enak ba
"Aku becanda, Luna. Kenapa wajahmu terlihat gugup begitu?" ujar Alina lagi seraya tertawa menepuk pahaku. "Ah, hahaha ... hanya bercanda rupanya." Di dalam hati, aku merutuki Alina yang sudah membuatku hampir kehilangan jantung. Sumpah demi Tuhan, tadi aku kaget luar biasa ketika dia berujar mempertanyakan diriku yang sebenarnya. Kukira Alina curiga atau sudah tahu siapa aku, tapi ternyata dia hanya berguyon saja. Dan menyebalkannya lagi, sekarang Alina tertawa melihat wajahku yang mungkin sudah seperti mayat hidup. Pucat. "Aduh, sampai berair aku ngetawain ekspresi kamu, Run." Alina kembali berucap seraya mengusap sudut matanya. Aku menarik napas panjang seraya tertawa sumbang. Hatiku masih dongkol oleh candaan wanita yang ada di sebelahku ini. "Tadi kamu nanya soal apa?" tanya Alina kemudian. "Emh ... apa, ya? Saya jadi lupa, Mbak.""Aruna, kamu marah sama aku, ya?""Enggak, Mbak. Mana bisa saya marah sama Mbak Alina," ujarku berdusta. Alina kembali terkekeh. Dan Akhirnya,
"Oh my God!" ujarku seraya memegang dada. Sumpah demi Tuhan, aku kaget luar biasa hingga tidak mampu berkata-kata. Hanya bisa diam seraya menatap perempuan yang berdiri di depanku itu. "Heh, kok malah bengong? Kamu orang jahat, 'kan?" tuduh wanita itu lagi. "K–kamu siapa?" Aku balik bertanya padanya. Mataku melirik ke sana kemari mencari tahu sekiranya ada orang lain selain kami di sini. Namun, ternyata tidak ada. Hanya dia dan aku di toilet wanita ini. Kembali kutatap wanita setengah baya yang masih menatapku curiga. Aku tidak pernah bertemu dengan dia sebelumnya, dan sepertinya dia bukan bagian dari keluarga Dinata Wiratmadja. Akan tetapi, kenapa langsung menuduhku seperti tadi? "Tadi, saya dengar kamu bicara soal misi dan harta. Kamu pasti wanita nakal simpanan om-om, ya? Kamu perempuan gatal yang selalu memoroti uang suami orang! Iya, 'kan? Ih, dasar anak jaman sekarang, gak ada malunya jadi simpanan," cerocos wanita tadi seraya pergi meninggalkan aku yang masih mematung.
Pelan tapi pasti, aku memundurkan kaki dan bersembunyi di balik pakaian yang menggantung rapi. Bagaimanapun juga, aku tidak boleh bertemu dengannya, atau riwayatku akan tamat. "Te ...," ucap Syafiq cadel yang kubawa serta dalam persembunyian ini. "Sttt .... Kita main petak umpet sama kakak Saffa, ya? Syafiq diam, nanti ketahuan kakak," ucapku seraya berbisik. Balita yang bersamaku diam beberapa saat, tapi mulai berulah ketika sudah merasa jenuh. Aku pun mencari cara agar Syafiq diam, tidak mengacaukan rencanaku. Aku menuntun anak itu semakin jauh dari ibunya yang tengah mengobrol dengan seorang wanita seumuran Nyonya Marta. Dia adalah Tante Arini, ibunya Rindu. Jika aku di sana, dia pasti akan mengenaliku, dan bertanya kenapa aku bisa bersama keluarga mantan menantunya. Tentu saja, itu akan menjadi bumerang bagiku, hingga kepura-puraanku tidak mengenal Rindu, akan terbuka. Makanya, mau tidak mau, aku harus menghindar. Ini untuk kebaikan bersama. "Tante Runa!"Aku melotot ke a
Dua jam telah berlalu, kini aku dan Alina sudah berada di rumah besar Dinata Wiratmadja. Seperti yang sudah direncanakan adik iparku itu, untuk malam ini dia akan menginap di rumah orang tuanya hingga besok suaminya datang menjemput. Suasana rumah yang tadinya sepi pun, berubah rame dengan kehadiran cucu-cucu Dinata Wiratmadja. Mereka disambut hangat oleh kakek dan neneknya, juga selalu mendapatkan kasih sayang yang sangat besar dari kedua mertuaku itu. Melihat kebersamaan Nyonya Marta dan Saffa serta Syafiq, membuat pikiranku berkelana sangat jauh. Mungkinkah, Nyonya Marta dan Dinata Wiratmadja akan menyayangi anakku, jika suatu saat nanti aku dan Aldi memiliki keturunan? Inginnya begitu, tapi ... akan sampai kah kisahku dan Aldi di momen itu? Harus! Aku harus punya anak dari Aldi, dan kami akan hidup bahagia bersama selamanya. Akan aku tutupi mata dan hatinya dari masa lalu, dan kuhapus kenangannya bersama Rindu. "Aruna!" "Eh, apa, Mbak?" jawabku kaget saat Alina memanggil se