"Aku takut, Bang.""Jangan takut, kan aku pegangin tangan kamu. Ayo, coba jalan," ujar Aldi mulai menjauh, tapi tidak melepaskan genggaman tangannya dariku. Langkah pertama, berhasil aku lewati meskipun tertatih. Langkah kedua dan langkah-langkah selanjutnya pun berjalan dengan lancar meskipun kadang oleng dan hampir jatuh, tapi ada Aldi yang selalu siaga menjaga keseimbangan tubuhnya untukku. "Kenapa kamu bohong?""Hem?" gumamku seraya melihat Aldi yang menyorotiku tajam. "Katanya tidak enak badan, tapi malah main? Kenapa gak pulang ke rumah dan istirahat?" tanyanya lagi. "Saat di perjalanan pulang, adik Abang nelpon, minta ditemani jalan-jalan karena anaknya rewel. Mana berani aku nolak, Bang."Aldi mengembuskan napas kasar. Kakinya tidak berhenti mundur agar aku bisa terus berjalan. "Terus, kenapa Abang bisa di sini dan tahu aku di sini?" Kini giliran aku yang bertanya. "Alina kirim pesan minta izin untuk bawa kamu pergi. Aku nyusul, karena tadi kamu bilangannya tidak enak ba
"Aku becanda, Luna. Kenapa wajahmu terlihat gugup begitu?" ujar Alina lagi seraya tertawa menepuk pahaku. "Ah, hahaha ... hanya bercanda rupanya." Di dalam hati, aku merutuki Alina yang sudah membuatku hampir kehilangan jantung. Sumpah demi Tuhan, tadi aku kaget luar biasa ketika dia berujar mempertanyakan diriku yang sebenarnya. Kukira Alina curiga atau sudah tahu siapa aku, tapi ternyata dia hanya berguyon saja. Dan menyebalkannya lagi, sekarang Alina tertawa melihat wajahku yang mungkin sudah seperti mayat hidup. Pucat. "Aduh, sampai berair aku ngetawain ekspresi kamu, Run." Alina kembali berucap seraya mengusap sudut matanya. Aku menarik napas panjang seraya tertawa sumbang. Hatiku masih dongkol oleh candaan wanita yang ada di sebelahku ini. "Tadi kamu nanya soal apa?" tanya Alina kemudian. "Emh ... apa, ya? Saya jadi lupa, Mbak.""Aruna, kamu marah sama aku, ya?""Enggak, Mbak. Mana bisa saya marah sama Mbak Alina," ujarku berdusta. Alina kembali terkekeh. Dan Akhirnya,
"Oh my God!" ujarku seraya memegang dada. Sumpah demi Tuhan, aku kaget luar biasa hingga tidak mampu berkata-kata. Hanya bisa diam seraya menatap perempuan yang berdiri di depanku itu. "Heh, kok malah bengong? Kamu orang jahat, 'kan?" tuduh wanita itu lagi. "K–kamu siapa?" Aku balik bertanya padanya. Mataku melirik ke sana kemari mencari tahu sekiranya ada orang lain selain kami di sini. Namun, ternyata tidak ada. Hanya dia dan aku di toilet wanita ini. Kembali kutatap wanita setengah baya yang masih menatapku curiga. Aku tidak pernah bertemu dengan dia sebelumnya, dan sepertinya dia bukan bagian dari keluarga Dinata Wiratmadja. Akan tetapi, kenapa langsung menuduhku seperti tadi? "Tadi, saya dengar kamu bicara soal misi dan harta. Kamu pasti wanita nakal simpanan om-om, ya? Kamu perempuan gatal yang selalu memoroti uang suami orang! Iya, 'kan? Ih, dasar anak jaman sekarang, gak ada malunya jadi simpanan," cerocos wanita tadi seraya pergi meninggalkan aku yang masih mematung.
Pelan tapi pasti, aku memundurkan kaki dan bersembunyi di balik pakaian yang menggantung rapi. Bagaimanapun juga, aku tidak boleh bertemu dengannya, atau riwayatku akan tamat. "Te ...," ucap Syafiq cadel yang kubawa serta dalam persembunyian ini. "Sttt .... Kita main petak umpet sama kakak Saffa, ya? Syafiq diam, nanti ketahuan kakak," ucapku seraya berbisik. Balita yang bersamaku diam beberapa saat, tapi mulai berulah ketika sudah merasa jenuh. Aku pun mencari cara agar Syafiq diam, tidak mengacaukan rencanaku. Aku menuntun anak itu semakin jauh dari ibunya yang tengah mengobrol dengan seorang wanita seumuran Nyonya Marta. Dia adalah Tante Arini, ibunya Rindu. Jika aku di sana, dia pasti akan mengenaliku, dan bertanya kenapa aku bisa bersama keluarga mantan menantunya. Tentu saja, itu akan menjadi bumerang bagiku, hingga kepura-puraanku tidak mengenal Rindu, akan terbuka. Makanya, mau tidak mau, aku harus menghindar. Ini untuk kebaikan bersama. "Tante Runa!"Aku melotot ke a
Dua jam telah berlalu, kini aku dan Alina sudah berada di rumah besar Dinata Wiratmadja. Seperti yang sudah direncanakan adik iparku itu, untuk malam ini dia akan menginap di rumah orang tuanya hingga besok suaminya datang menjemput. Suasana rumah yang tadinya sepi pun, berubah rame dengan kehadiran cucu-cucu Dinata Wiratmadja. Mereka disambut hangat oleh kakek dan neneknya, juga selalu mendapatkan kasih sayang yang sangat besar dari kedua mertuaku itu. Melihat kebersamaan Nyonya Marta dan Saffa serta Syafiq, membuat pikiranku berkelana sangat jauh. Mungkinkah, Nyonya Marta dan Dinata Wiratmadja akan menyayangi anakku, jika suatu saat nanti aku dan Aldi memiliki keturunan? Inginnya begitu, tapi ... akan sampai kah kisahku dan Aldi di momen itu? Harus! Aku harus punya anak dari Aldi, dan kami akan hidup bahagia bersama selamanya. Akan aku tutupi mata dan hatinya dari masa lalu, dan kuhapus kenangannya bersama Rindu. "Aruna!" "Eh, apa, Mbak?" jawabku kaget saat Alina memanggil se
"Ya, saya turun sekarang," ujarku dengan bibir bergetar. Kuambil tas selempang yang ada di atas kasur, lalu melangkah keluar melewati Aldi yang masih mematung di tempatnya semula. Entah apa yang sedang dia pikirkan hingga tidak sama sekali bereaksi saat adiknya berteriak dari bawah sana. Mungkinkah menyesal telah mengucapkan kata yang membuatku terluka? Mustahil! Mana mungkin pria sombong seperti dia memiliki rasa sesal. Sengaja kututup pintu sedikit keras agar Aldi siuman dari lamunannya, dan ikut turun bersamaku. Dan berhasil. Suara sepatunya terdengar menyentuh anak tangga di belakangku. "Lama banget," ucap Nyonya Marta saat aku sudah berada di tangga paling bawah. "Maaf, Mah," kataku pelan."Tidak apa-apa, Runa. Mama hanya becanda saja."Aku mengangguk seraya memaksakan tersenyum saat Dinata Wiratmadja merasa tidak enak dengan kata-kata yang diucapkan istrinya padaku. "Yasudah, kita berangkat sekarang." Alina memberi komando, dan semua orang mulai melangkahkan kaki kelua
"Aaahh ...! Rindu, Rindu, Rindu terus!!" Aku berteriak seraya menjambak rambut frustrasi. Kaki kuentakan kasar menginjak rerumputan yang tumbuh tebal di area taman. Tadi, aku izin pulang duluan dari restoran dengan alasan kurang enak badan. Padahal, bukan badan yang tidak enak. Melainkan hati yang sudah tidak tahan lagi mendengar Aldi membahas Rindu.Di sinilah aku berada. Duduk di bangku panjang yang ada di taman kota. Sendirian. Tidak ada rasa takut sama sekali, tidak ada rasa sepi. Yang ada sakit hati karena Aldi terus menyebut nama mantan istrinya. "Kenapa, sih harus Rindu terus yang dia bahas? Kenapa dia tidak menghargai aku? Aku istrinya, loh. Dan aku masih hidup, belum mati seperti Rindu!!" teriakku lagi mengeluarkan unek-unek. Kepala kutadahkan ke atas, melihat langit yang dihiasi bintang. Mata kupejamkan sejenak, hingga akhirnya kurasakan pergerakkan pada bangku yang kududuki. "Kamu?" kataku setelah tahu siapa yang ada di sampingku. "Kamu butuh ini," ujar pria seraya m
"Tidak semudah itu, Aruna.""Mudah saja jika Abang mau melakukannya," timpalku kembali membungkam mulut Aldi. "Oke, kalau begitu, buat aku lupa pada Rindu. Ajari aku jatuh cinta padamu," ujar Aldi kemudian. "Abang yakin mau melakukannya?" Aldi mengangguk pasti. Segurat senyum langsung terbit dari bibirku saat ini juga. Apakah sekarang aku sedang mimpi? Dia mau melupakan Rindu demi diriku? "Tiga bulan rasa itu tidak tumbuh, kita akhiri semuanya.""Hah?!" Aku berucap kaget. "Aruna, sebenarnya aku sudah menyukaimu. Kamu dengar? Aku sudah menyukaimu, tapi tidak bisa melupakan Rindu. Jadi, jika dalam waktu tiga bulan ke depan aku masih tidak melupakan Rindu, lebih baik kita berpisah. Aku tidak ingin menyakitimu seumur hidup karena hatiku masih terjebak masa lalu."Hati yang sempat berbunga, kini gamang kembali. Sanggupkah aku membuang bayang-bayang Rindu dalam kurun waktu tiga bulan? *Malam semakin larut hingga sekarang waktu sudah hampir tengah malam. Dan aku baru saja tiba di rum