"Aaahh ...! Rindu, Rindu, Rindu terus!!" Aku berteriak seraya menjambak rambut frustrasi. Kaki kuentakan kasar menginjak rerumputan yang tumbuh tebal di area taman. Tadi, aku izin pulang duluan dari restoran dengan alasan kurang enak badan. Padahal, bukan badan yang tidak enak. Melainkan hati yang sudah tidak tahan lagi mendengar Aldi membahas Rindu.Di sinilah aku berada. Duduk di bangku panjang yang ada di taman kota. Sendirian. Tidak ada rasa takut sama sekali, tidak ada rasa sepi. Yang ada sakit hati karena Aldi terus menyebut nama mantan istrinya. "Kenapa, sih harus Rindu terus yang dia bahas? Kenapa dia tidak menghargai aku? Aku istrinya, loh. Dan aku masih hidup, belum mati seperti Rindu!!" teriakku lagi mengeluarkan unek-unek. Kepala kutadahkan ke atas, melihat langit yang dihiasi bintang. Mata kupejamkan sejenak, hingga akhirnya kurasakan pergerakkan pada bangku yang kududuki. "Kamu?" kataku setelah tahu siapa yang ada di sampingku. "Kamu butuh ini," ujar pria seraya m
"Tidak semudah itu, Aruna.""Mudah saja jika Abang mau melakukannya," timpalku kembali membungkam mulut Aldi. "Oke, kalau begitu, buat aku lupa pada Rindu. Ajari aku jatuh cinta padamu," ujar Aldi kemudian. "Abang yakin mau melakukannya?" Aldi mengangguk pasti. Segurat senyum langsung terbit dari bibirku saat ini juga. Apakah sekarang aku sedang mimpi? Dia mau melupakan Rindu demi diriku? "Tiga bulan rasa itu tidak tumbuh, kita akhiri semuanya.""Hah?!" Aku berucap kaget. "Aruna, sebenarnya aku sudah menyukaimu. Kamu dengar? Aku sudah menyukaimu, tapi tidak bisa melupakan Rindu. Jadi, jika dalam waktu tiga bulan ke depan aku masih tidak melupakan Rindu, lebih baik kita berpisah. Aku tidak ingin menyakitimu seumur hidup karena hatiku masih terjebak masa lalu."Hati yang sempat berbunga, kini gamang kembali. Sanggupkah aku membuang bayang-bayang Rindu dalam kurun waktu tiga bulan? *Malam semakin larut hingga sekarang waktu sudah hampir tengah malam. Dan aku baru saja tiba di rum
"Sarapan dulu, Di.""Tidak usah, Mah. Aku mau ajak anak-anak sarapan di luar saja, sekalian antar Saffa sekolah.""Oh, yasudah. Kalian hati-hati, ya?" "Iya, Mah. Kami pamit, ya?" ujar Adikara seraya menjabat tangan mertuaku. Alina beserta anak-anaknya keluar dari ruang tengah di mana Mama berada. Aku yang baru saja turun dari lantai dua, hanya melambaikan tangan kepada mereka. Terutama pada anak-anak yang begitu gembira karena dijemput ayahnya. "Mah, Mama hari ini mau dimasakin apa?" tanyaku setelah tidak ada lagi Alina di rumah ini. Rencananya, hari ini aku akan libur kerja. Dan hal ini pun sudah aku sampaikan pada Aldi. Seharian ini aku ingin ada di rumah untuk menghabiskan waktu bersama mama mertua. Ini salah satu strategi agar Aldi jatuh hati. Jika Aldi melihatku dan Mama kompak, mungkin hatinya akan terbuka sedikit demi sedikit. Mengejar cinta suami, lewat ibunya. "Tumben kamu nanya itu? Ada apa?" Mama balik bertanya. Matanya tidak melihat ke arahku. Sepertinya, ponsel pi
"Papamu, Al. Dia makan semaunya begitu, kalau kolesterolnya kambuh, gimana?" "Mamamu terlalu khawatir, Al. Sudah, jangan dengarkan dia, sekarang kamu duduk, dan cobain masakan istrimu ini. Gak sangka Papa, kalau ternyata Aruna pintar masak," ujar Dinata membantah ucapan istrinya. Aku yang melihat ayah mertuaku makan dengan lahap, juga makanan di meja makan yang sudah tidak utuh lagi, merasa bangga pada diri sendiri. Kerja kerasku tidak sia-sia. Nyonya Marta mendengkus kesal karena upaya dia untuk mencegah suaminya makan terlalu banyak, tidak diindahkan. Dinata malah semakin kalap dan makan sesuka hatinya. "Abang mau lauk apa?" tanyaku pada Aldi. Piring pria itu masih kosong. Dia masih memindai beberapa menu makanan yang aku masak. Dan semuanya bersantan. Hanya ada satu sayur bening yang masih utuh tidak disentuh Dinata. "Sup saja," jawab Aldi. "Hanya sup? Tidak mau ikan atau rendang seperti yang dimakan Papa?" Aku bertanya kembali. "Nanti aku ngantuk di tempat kerja, Run. Sis
"Aku seneng banget disamerin Kakak ke sini. Emangnya Kak Aldi tidak marah, Kakak ke sini?" Aku berdiri dari dudukku, lalu menghampiri adikku yang tengah berhias di depan cermin. Kuusap pundaknya, kemudian memeluk dia dari belakang. "Kakak datang ke sini secara diam-diam. Makanya, kita cepat pergi sebelum hape Kakak berbunyi.""Sembunyi-sembunyi? Jadi, Kak Aldi tidak tahu Kakak datang ke sini?" Luna kembali bertanya. Aku menggelengkan kepala seraya melepaskan rengkuhanku. Entah kenapa, rasanya sedikit sendu ketika bertemu dengan Luna. Aku menyadari kelalaianku sebagai seorang kakak yang tidak bisa menjaga dia setiap waktu. Jangankan untuk selalu ada di saat dia butuh, menemuinya pun harus dengan sembunyi-sembunyi. "Makanya, lebih baik kita pergi sebelum Damar dan suamiku menyuruh Kakak pulang. Yuk, cepetan kita berangkat," ujarku lagi bersiap pergi. Luna pun berdiri, dia mengambil tas selempang miliknya, dan kita pun keluar dari rumah dengan tidak berisik. Aku tidak mau rencana u
"Tentu saja tidak," jawabku penuh dusta. "Sudah, ah, aku mau pulang. Takutnya, mertuaku sudah di rumah, dan dia pasti akan mencurigaiku.""Oke, tapi ingat satu hal, Aruna. Kamu, musuh Aldi Wiratmadja. Rebut hartanya, buat dia sengsara."Aku mengangguk lemah. Saat akan pulang, Damar menghentikanku. Dia menyuruhku untuk menunggu, sedangkan dia masuk ke kamarnya. "Kak Damar ngapain, Kak?" tanya Luna melirikku. Aku mengedikkan bahu tidak tahu. Beberapa saat kemudian, Damar kembali dengan membawa ... seperti obat. Ah, iya benar. Itu obat. Untuk apa dia memberikan itu padaku, sedangkan aku baik-baik saja. "Ini obat apa?" tanyaku kemudian. "Bukankah kamu menginginkan sentuhan dari Aldi? Ini akan membantumu.""Ini obat—""Yes, tidak usah diperjelas. Larutkan satu tablet obat itu ke dalam minuman suamimu, dan nikmati hasilnya," ujar Damar dengan seringai percaya diri. Aku ikut tersenyum. Tangan ini meraba tablet berwarna putih yang ada di dalam plastik bening. Jika dengan obat ini aku b
"Gimana tadi malam?" "Apanya yang gimana?""Reaksi suamimu lah, apa lagi? Jangan-jangan, pagi ini kamu tidak bisa berjalan karena dia terlalu bersemangat dan tidak ada capeknya. Iya, 'kan?" Aku berdecak. Kepalaku menoleh ke belakang, takutnya orang yang dibicarakan ada di sana. "Gagal, Dam.""Hah, apa? Gagal? Kenapa bisa begitu?" tanya Damar dari sebrang telepon. "Air yang ada larutan obatnya, diminum Dinata."Suara tawa menggema dari sebrang sana. Damar menertawakan kesialanku yang pada akhirnya harus menelan kekecewaan. Pagi-pagi sekali, pria buruk rupa itu sudah menelepon menanyakan tentang Aldi malam tadi. Menyebalkannya lagi, sekarang dia menertawakanku sesuka hatinya. "Tenang, Aruna. Kan masih ada dua lagi. Masih ada waktu, bukan? Tapi ... aku lelah menunggu, Aruna. Aku ingin segera mendapatkan apa yang aku inginkan.""Sabarlah, Dam .... Aku pun sedang berusaha untuk itu," kataku dengan diakhiri desahan panjang. "Secepatnya, Aruna. Aku tunggu kabar darimu secepatnya. Kita
"Aku mau turun di sini aja," kataku lagi seraya bersidekap dada. "Kenapa? Kamu tersinggung dengan kata-kataku?" Aku diam. Aldi pun demikian. Kami tidak saling berbicara dan fokus dengan pemikiran masing-masing. Sebenarnya, aku tidak benar-benar ingin turun di sini dan berjalan kaki menuju pabrik. Kata-kataku hanya gertakan saja sebagai tindakan protes karena dia menganggapku wanita matre. Ya, meskipun kenyataannya begitu. Aku menikah dengan Aldi demi materi. "Aku tersinggung dengan kata-kata Abang," ucapku. "Aku tulus mencintai Abang, bukan karena uang.""Masa?" tanya Aldi terdengar menyebalkan. "Kalau aku nikah karena uang, atau karena Abang kaya raya, lalu ngapain aku tetap bekerja? Kenapa tidak pergi belanja dan bersenang-senang saja seperti istri-istri pengusaha yang sering nongkrong sambil arisan?" "Karena kamu tidak aku kasih uang untuk itu. Benar, bukan?" Aku menarik napas panjang, lalu mengembuskannya kasar. Benar juga apa yang dia katakan. Aldi memang tidak memberika