"Aku mau turun di sini aja," kataku lagi seraya bersidekap dada. "Kenapa? Kamu tersinggung dengan kata-kataku?" Aku diam. Aldi pun demikian. Kami tidak saling berbicara dan fokus dengan pemikiran masing-masing. Sebenarnya, aku tidak benar-benar ingin turun di sini dan berjalan kaki menuju pabrik. Kata-kataku hanya gertakan saja sebagai tindakan protes karena dia menganggapku wanita matre. Ya, meskipun kenyataannya begitu. Aku menikah dengan Aldi demi materi. "Aku tersinggung dengan kata-kata Abang," ucapku. "Aku tulus mencintai Abang, bukan karena uang.""Masa?" tanya Aldi terdengar menyebalkan. "Kalau aku nikah karena uang, atau karena Abang kaya raya, lalu ngapain aku tetap bekerja? Kenapa tidak pergi belanja dan bersenang-senang saja seperti istri-istri pengusaha yang sering nongkrong sambil arisan?" "Karena kamu tidak aku kasih uang untuk itu. Benar, bukan?" Aku menarik napas panjang, lalu mengembuskannya kasar. Benar juga apa yang dia katakan. Aldi memang tidak memberika
"Gara-gara kamu, hampir saja aku malu di depan karyawanku sendiri. Dan karena perbuatanmu, aku seperti orang bego yang tidak lancar bertutur kata."Aldi marah-marah. Dia meluapkan emosinya padaku setelah orang yang datang ke ruangan tadi, pergi. Dan sekarang aku pun keluar dari tempat persembunyian seraya mendengar omelan suamiku. Tak apa. Aku tidak sakit hati dan marah karena luapan kekesalan dia yang masih di batas wajar. Justru yang terdengar di telinga ialah, syair cinta Aldi yang membuatku lupa diri. Aku mesem-mesem membayangkan kejadian tadi yang nyaris membuatku tidak sadarkan diri. Untung saja aku masih bisa mengendalikan diri, jika tidak, mungkin saat Aldi menciumku tadi, mulut ini sudah berteriak kegirangan. "Aruna, kamu dengar, gak, sih apa yang aku ucapkan?" Aldi berbalik badan melihatku tajam. "Dengar, Abang .... Sudah, ah jangan marah-marah terus, nanti ubanan sebelum waktunya, loh. Yuk, mendingan sekarang kita pergi," kataku seraya menarik tangan Aldi. Pria itu men
"Ini gak salah?" ucapku masih menatap ponsel. "Apanya?" "Eh, ini, Bang. Emh ... lagi baca komentar di Instagram." Aldi mengangguk pelan. Lalu pandangannya kembali fokus pada air jernih yang berwarna biru di depannya. Sedangkan aku, membalas komentar yang diberikan mantan calon istri suamiku, sekaligus sepupunya itu. Naima. Iya, wanita itu yang memberikan komentar, hingga aku tersenyum penuh kemenangan. [Aamiin, Bu Nai. Saya sedang menikmati takdir ini,] ujarku. Setelahnya, dia tidak membalas ataupun memberikan komentar lagi. Mungkin dia sakit hati melihatku tampil mesra di sosial media bersama pria yang dicintainya. Hari semakin sore, dan langit pun mulai menggelap. Aldi mengajakku pulang, karena orang-orang di sekitar kami pun satu per satu meninggalkan tempat ini. "Boleh gandeng?" tanyaku saat kami mulai melangkahkan kaki. "Memangnya kalau aku melarang, kamu akan menurutku? Padahal dari tadi tanganmu sudah memegang lenganku. Alasan saja."Aku mengulum senyum seraya menempe
Maafkan aku, Rindu. Maaf karena telah mengingkari janjiku padamu. Aku tidak mampu menahan rasa ini. Rasa ingin memiliki seutuhnya suamimu. Kugenggam seprai demi untuk menahan rasa perih di bawah sana. Bibir kugigit kuat-kuat agar tidak mengeluarkan suara yang mungkin akan membuat suamiku menghentikan aksinya. Aku tidak sanggup mengakhiri ini. Aku begitu terbuai oleh naluri yang membawa diri merasakan indahnya surga dunia. Meskipun sakit menyertai, aku tidak mempedulikannya. "Ah ... Runa ...." Aku membuka mata menatap langit-langit kamar saat Aldi menyebut namaku seraya menjatuhkan diri dengan memelukku. Demi Tuhan aku tidak percaya jika baru saja dia menyebut namaku, bukan Rindu. Benarkah ini? Benarkah aku yang ada dalam bayangannya?Apakah aku hanya berkhayal saja? Rasanya tidak mungkin Aldi mengucapkan namaku di saat alam bawah sadarnya dipengaruhi obat perangsang. Kini Aldi menjatuhkan tubuhnya di sampingku dengan keringat yang masih membanjiri wajah serta tubuhnya. Dia tid
Pertanyaan apa itu? Aku bergeming seraya menatap matanya yang juga melihatku lekat. Sumpah, aku tidak mengerti dengan pertanyaan Aldi yang sama sekali tidak ada dalam pikiranku. Masih perawan? Untuk apa pertanyaan itu dia layangkan padaku? Bukankah dia seorang lelaki yang pernah menikah dan menggauli istrinya? Harusnya dia bisa merasakan dan membedakan mana perawan atau bukan. "Aruna," panggil dia lagi. "Kenapa Abang bertanya seperti itu?" Aku balik bertanya. Dia menyibak selimut hingga jatuh ke lantai. Lalu dia menunjuk seprai dengan ada noda bercak kemerahan di sana. "Aku minta maaf, harusnya ini tidak terjadi. Aku telah merenggut kesucianmu," ujarnya lagi terlihat menyesal. Aku mengembuskan napas kasar. Kukira dia kecewa karena aku tidak memuaskannya. Tapi ternyata, ini soal bercak merah yang mengotori seprai. Juga penyesalan dia yang telah membuatku kehilangan keperawanan. "Abang," kataku seraya mengangkat dagunya menggunakan telunjuk. "Kenapa Abang begitu terlihat sedi
"Kamu serius dengan permintaanmu itu?" Aldi bertanya dengan tatapan tidak percaya. "Iya," kataku, "berikan semua harta Abang? Maka aku akan menjualnya, lalu menyumbangkan seluruh uang itu untuk panti asuhan. Dengan begitu, Abang tidak akan merendahkanku karena kita sama. Sama-sama miskin tidak punya apa-apa."Aldi mengembuskan napas kasar. Ketegangan yang tadi ada pada dirinya, kini mulai menghilang. Yang tersisa hanya senyum kecil dengan pandangan menunduk ke bawah. "Aku kira—""Benar-benar meminta uangmu?" kataku memotong ucapannya. "Aku pun inginnya begitu. Aku ingin jadi orang jahat yang membawa kabur harta Abang. Tapi ... sayangnya rasa cintaku teramat besar hingga kulihat hanya dirimu, bukan uangmu."Aldi mengangkat kepala dan menatapku kembali. Tatapannya kali ini tidak bisa kuartikan. Matanya tajam, tapi pandangannya tidak menusuk. Justru lebih lembut hingga rasa damai yang kurasakan dari pancaran matanya itu. Pandangan kami saling mengunci untuk beberapa saat. Hingga akhir
"Itu foto Rindu, kan? Terus, itu yang disampingnya siapa?" Nyonya Marta kembali bertanya seraya menunjuk gambar wanita di sebelah Rindu yang wajahnya ditutupi stiker kepala babi. "Aku juga gak tahu, Mah. Kenapa harus ditutupi, sih? Dan kenapa dalam tulisan tadi, kita harus hati-hati pada wanita yang bersama Rindu ini?" Mendengar pertanyaan Aldi dan Nyonya Marta, aku hanya diam tanpa kata. Meskipun hanya melihat sekilas dan ditutupi stiker, aku sudah tahu siapa wanita yang ada dalam gambar itu. Aku. Akulah wanita yang ada di sana. Dan aku sangat yakin, jika Damar-lah yang mengirim foto itu sebagai ancaman untukku. Berengsek! Dia berhasil membuat jantungku akan loncat. "Emh ... mungkin itu adiknya Rindu, Bang?" Aku mulai mengeluarkan suara setelah beberapa saat menetralkan detak jantung. "Mungkin saja, sih. Tapi ... maksud dari kata-katanya apa?" "Bukannya Bang Aldi pernah ditawari turun ranjang?" Aku menjawab pertanyaan Nyonya Marta. "Mungkin karena dia sakit hati atas penolakan
Entah apa yang ada dalam pikiran Aldi saat aku mengucapkan kalimat tersebut. Tapi, untungnya kata-kata tadi hanya ada dalam hati saja. Sebenarnya aku belum bicara pada Aldi setelah memanggilnya tadi. Aku diam dengan masih menatap dia yang sekarang mulai kebingungan."Ada apa?" tanya Aldi lagi seraya mengibaskan tangannya. Aku menggelengkan kepala dengan senyum tipis pada dia. Dia yang merasa dipermainkan, langsung memalingkan wajah seraya berdecak kesal. Semakin sore kerjaku semakin tidak fokus. Aku terus memikirkan bagaimana caranya mendapatkan kunci lemari yang selalu dia sembunyikan?"Sepertinya kamu kelelahan, Aruna. Dari tadi banyak bengongnya," ujar Aldi seraya membuka tutup botol air mineral. "Iya, Bang. Sepertinya aku masuk angin, tubuh rasanya tidak enak begini.""Makanya, kalau tidur pake baju."Aku langsung menoleh pada dia yang sedang tersenyum seraya mengusap bibirnya yang basah. Kekehan kecil aku berikan sebagai tanggapan canda dari suamiku itu. "Pulang kerja mau ja